Setengah jam kemudian, deru mesin halus terdengar dari luar. Adit berdiri di ambang pintu dan mendapati sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam metalik terparkir di depan rumah. Di balik kaca jendela yang terbuka separuh, Larasati melambaikan tangan kecilnya dengan santai.Adit mengambil tas kecilnya, menutup pintu dan menguncinya. Lalu ia berjalan mendekat ke arah Larasati."Ayo, masuk." Kata Larasati sambil tersenyum cantik.Mobil itu begitu nyaman di dalamnya, aroma interior kulit bercampur parfum mahal langsung tercium begitu Adit masuk. Larasati mengendarainya dengan tenang dan tak terlalu kencang.“Kita mau pergi kemana ini?”“Ke tempat misterius!” kata Larasati.“Misterius?”“Candi kuno!”“Oh… oke…”“Kamu nggak tanyak kenapa kita pergi ke sana?”“E, kenapa kita pergi ke sana?” tanya Adit. Larasati tertawa.“Mencari petunjuk. Kamu nggak mimpi apa gitu semalam?” tanya Larasati.“Mimpi?” Wajah Adit seketika menghangat. Ia jelas tak mungkin menceritakan jika ia mimpi bercinta denga
Adit dan Larasati melangkah perlahan di antara reruntuhan candi yang diselimuti lumut dan semak belukar. Udara pagi terasa segar, seakan membawa aroma tanah basah dan batu tua yang menyimpan jejak waktu berabad-abad.Candi itu tidak utuh. Ada banyak puing-puing yang teronggok dan terabaikan, seolah menunggu tangan yang tepat untuk menyusunnya kembali menjadi bangunan suci yang anggun dan gagah.Bangunan utama canti itu pun, yang ada di tengah, juga sudah tidak utuh lagi. Mungkin karena itu, tempat tersebut sepi dari wisatawan, dan hanya dikunjungi para peneliti.Kadang Adit mendongak, memperhatikan ukiran-ukiran kuno di dinding candi; kadang pula Larasati menunjuk sebuah relief, mengajak Adit menebak-nebak maknanya.“Bentuk candi ini, sungguh sama seperti yang ada di mimpiku…” kata Larasati. Perasaannya semakin tak karuan.“Sama persis?”“Ya. Aku belum pernah ke sini sebelumnya, dan tahu tempat ini dari mimpi…” ujarnya.“Dan juga kantor yang di depan tadi itu, ada di mimpimu?” tanya Ad
Adit tercekat, hatinya berdebar kencang. Ada rasa malu, takut, dan sekaligus dorongan aneh yang menggulung dari dalam dadanya. Dunia serba putih itu bergetar pelan, seolah merespons pergolakan yang terjadi dalam batinnya.Larasati melangkah perlahan mendekat, bagai bayangan cahaya yang berwujud. Setiap jejak kakinya menimbulkan riak lembut di lantai putih tak bertepi itu. Tubuhnya, meski telanjang, sama sekali tidak terkesan vulgar; justru seperti makhluk suci yang diselubungi keindahan tak ternoda. Matanya menatap Adit dengan kelembutan yang menusuk jauh ke dalam lubuk hatinya."Adit," bisik Larasati, suara itu bergetar entah oleh gugup atau oleh getaran suci yang menyelimuti mereka. "Ini bukan tentang nafsu... ini tentang menyatukan energi. Jiwa kita... harus benar-benar melebur..."Adit menahan napas saat Larasati menyentuh dada kirinya, tepat di atas jantung. Sentuhan itu bagai kilatan listrik, menyebar cepat ke seluruh tubuhnya, membakar, namun juga menenangkan.Tanpa sadar, Adit
Langit mulai menghangat, menjelang siang, ketika Adit dan Larasati melangkah meninggalkan reruntuhan candi tua itu. Semuanya terasa hening, terlalu hening. Tak ada suara burung, bahkan angin pun enggan bergerak. Daun-daun hanya bergeming, seolah menahan napas.Mereka melintasi pelataran kecil yang dipenuhi lumut. Di ujung jalan setapak berbatu itu, berdiri seorang lelaki tua. Pakaiannya serba putih, lusuh tapi bersih, wajahnya tirus namun tidak menyeramkan; justru teduh, dengan tatapan yang terasa menembus jauh ke dalam dada.Langkah Adit terhenti. Larasati pun ikut berhenti di sampingnya. Lelaki itu bukan penjaga kompleks candi yang di awal menyambut mereka. Pakaian putih yang dia kenakan itu pun terlihat kuno, seperti apakain brahmana jaman dulu, yang mereka lihat di film-film silat.“Kalian telah membuka pintu yang tak seharusnya dibuka. Ada yang kalian dapatkan saat ini, namun juga akan ada yang datang menghampiri kalian berdua. Bersiaplah. Segala sesuatunya, akan dimulai dari sek
Larasati menoleh ke belakang. Iris matanya membesar melihat gerombolan motor yang mendekati mereka dengan kecepatan tinggi."Sepertinya mereka mengarah ke kita," bisik Laras, suaranya tertahan. Tangannya secara naluriah mencengkeram dashboard mobil.Adit mengencangkan pegangannya pada kemudi. "Tenang saja. Mungkin mereka cuma mau lewat."Tapi kalimat Adit tidak sesuai dengan tindakannya. Ia mempercepat laju mobil, matanya terus melirik spion. Gerombolan pemuda itu semakin mendekat, beberapa di antaranya memukul-mukul tongkat ke aspal sambil memacu kendaraan mereka."Adit, mereka semakin dekat," kata Laras, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdegup kencang."Aku tahu," jawab Adit pendek. Keningnya berkerut, mencari jalan keluar dari situasi ini. "Laras menggeleng. "Sepertinya mereka preman kampung sini—" Kata-katanya terpotong saat sebuah motor menyalip dan memepet di samping mobil mereka. Pengendaranya, seorang pemuda dengan tato di lengan, menatap tajam ke arah mereka."Mi
Rumah Adit memang kecil, hanya berukuran 6x8 meter dengan satu kamar tidur dan ruang tamu yang menyatu dengan dapur sederhana. Dindingnya berwarna putih kusam yang mulai mengelupas di beberapa bagian. Perabotan di dalamnya minimalis; sebuah kursi kayu tua berwarna cokelat, meja kayu, dan lemari kecil tempat beberapa buku tersusun rapi.Laras duduk di kursi kayu tua yang berderit pelan ketika ia menyamankan posisinya. Matanya menjelajahi setiap sudut ruangan dengan penuh minat. Meski sederhana, rumah ini terasa hidup dan hangat; sangat berbeda dengan rumah megahnya yang sering terasa dingin dan kosong."Maaf ya, rumahku hanya seperti ini,” kata Adit sambil membawa dua cangkir kopi dari dapur kecilnya.Laras menggeleng. "Justru aku suka di sini. Rumahku terlalu besar untuk ditinggali sendirian.""Kamu sendirian di rumah?" tanya Adit sambil meletakkan cangkir di atas meja."Ayah dan Ibu jarang pulang. Kamu tahu sendiri, ayahku pejabat. Waktunya di kantor dan entah apa itu jauh lebih bany
Kamar Adit sama sederhananya dengan bagian rumah lainnya; sebuah ranjang single dengan sprei putih bersih, lemari kayu kecil, dan meja kerja sederhana di sudut ruangan. Ada rak buku di dinding yang dipenuhi berbagai buku sekolahnya dulu, novel silat, dan buku-buku tua milik kakeknya.Larasati masuk dengan langkah ringan, matanya menjelajahi ruangan pribadi Adit dengan penuh ketertarikan. "Kamar yang nyaman," komentarnya sambil duduk di tepi ranjang.Adit berdiri canggung di ambang pintu, jantungnya berdegup kencang. Ini pertama kalinya ada wanita yang masuk ke kamarnya."Jadi... kamu mau kupijit bagian mana?" tanya Adit, berusaha terdengar profesional meski tangannya mulai berkeringat."Bahuku dan punggungku terasa kaku setelah semua kejadian hari ini," jawab Laras sambil menggerakkan bahunya yang terasa tegang. "Mungkin kamu bisa mulai dari situ?"Adit mengangguk. "Baiklah. Kamu bisa berbaring tengkurap."Laras melepas sweaternya, menyisakan kaos tipis berwarna putih yang memperlihat
Mereka keluar dari kamar dengan perasaan yang campur aduk. Adit berjalan lebih dulu, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu cepat. Ia merapikan rambutnya yang berantakan dengan jari, mencoba terlihat normal meski pikirannya masih berkecamuk dengan apa yang baru saja terjadi.Larasati mengikuti di belakangnya, wajahnya masih merona. Tatapannya terus tertuju pada punggung Adit, seolah menunggu pria itu berbalik dan melanjutkan apa yang tadi terhenti. Namun Adit tidak berani; atau mungkin tidak menyadari tatapan itu."Kamu mau minum sesuatu?" tanya Adit, suaranya terdengar serak. Ia berdeham, berusaha menormalkan nada bicaranya."Air putih saja," jawab Laras, duduk di sofa ruang tamu. Tangannya masih sedikit gemetar.Adit mengambil dua gelas air dari dapur. Saat kembali, ia melihat Laras sedang memejamkan mata, seperti menikmati sensasi yang masih tersisa di tubuhnya. Pemandangan itu membuat tenggorokannya mengering. Ada dorongan kuat untuk kembali menyentuh gadis itu,
Larasati menutup matanya sejenak, mencoba memperdalam konsentrasinya. Ia bisa merasakan getaran energi yang semakin mendekat, seperti gelombang yang merambat melalui tanah di bawah kaki mereka."Dua orang," gumamnya pelan. "Seorang laki-laki dan perempuan. Mereka... berbeda. Energi mereka terasa dingin, seperti kabut di pegunungan yang menusuk tulang."Mbah Joyo mengangguk perlahan. Garis-garis di wajahnya yang sudah menua semakin dalam saat ia memejamkan mata, membuka indera keenamnya."Benar. Mereka bukan orang biasa. Mereka sudah terlatih, tapi berbahaya. Mereka pasti bagian dari sekte itu."Adit yang sedari tadi hanya mendengarkan, bangkit dari duduknya. Rahangnya mengeras dan tangannya terkepal. " Kalau mereka mencari masalah, biar aku yang hadapi. Hanya dua kan. Mungkin aku bisa melawannya. Kita tak bisa terus lari, Laras…"Mbah Joyo menatap Adit dengan senyuman tipis yang misterius. "Kau berani, Nak. Itu bagus. Dan kau benar, kadang-kadang kita memang harus berhenti lari dan me
Sementara Adit bergegas ke kamarnya untuk berkemas, Laras berdiri di dekat jendela, matanya menyapu jalanan di depan rumah Adit. Entah kenapa, ia merasa sedang diawasi. Kemampuan barunya untuk membaca aura dan energi memberikan perasaan tidak nyaman; seperti ada kehadiran asing di sekitar mereka.Di kamar, Adit segera berganti pakaian dan membawa apa saja yang perlu dibawa."Sudah siap?" tanya Laras saat Adit keluar dari kamar dengan tas kecilnya."Sudah," jawab Adit, meski dalam hatinya ia merasa sama sekali tidak siap untuk apa pun yang akan mereka hadapi.Mereka berjalan ke mobil Laras. Sebelum masuk, Adit menoleh ke rumah kecilnya. Entah kenapa, ia merasa mungkin tidak akan kembali dalam waktu dekat."Tenang saja," Laras seolah bisa membaca kekhawatirannya. "Kita akan kembali. Tapi kita perlu belajar mengendalikan ini dulu," ia mengangkat tangannya yang sempat berpendar dengan cahaya ungu.Adit mengangguk dan masuk ke mobil. Saat mesin dihidupkan dan mobil mulai bergerak, ia meras
Di rumahnya yang megah, Larasati berbaring di ranjang king size-nya, menatap langit-langit kamar yang tinggi. Rumah besar ini terasa lebih sunyi dan dingin setelah menghabiskan waktu di rumah kecil Adit yang hangat.Ia menutup mata, mencoba merasakan sisa-sisa energi Adit yang masih terasa di tubuhnya. Seperti bekas sentuhan yang tidak bisa dihapus, energi itu masih berdenyut lembut di bawah kulitnya, mengingatkannya pada sensasi luar biasa yang ia rasakan di bawah sentuhan pria itu."Kenapa kamu tidak menahanku, Adit?" bisiknya pada keheningan kamar.Ponselnya berbunyi sekali lagi. Ia membaca pesan dari Adit dan tersenyum. Ada banyak yang tidak terucap di antara mereka, banyak perasaan yang tertahan. Tapi mungkin ini memang belum waktunya. Mereka baru saja memulai perjalanan untuk memahami kekuatan mereka, untuk memahami ikatan aneh yang menghubungkan mereka.Laras bangkit dan berjalan ke jendela besar yang menghadap ke taman belakang rumahnya. Langit malam bertabur bintang, bulan se
Mereka keluar dari kamar dengan perasaan yang campur aduk. Adit berjalan lebih dulu, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu cepat. Ia merapikan rambutnya yang berantakan dengan jari, mencoba terlihat normal meski pikirannya masih berkecamuk dengan apa yang baru saja terjadi.Larasati mengikuti di belakangnya, wajahnya masih merona. Tatapannya terus tertuju pada punggung Adit, seolah menunggu pria itu berbalik dan melanjutkan apa yang tadi terhenti. Namun Adit tidak berani; atau mungkin tidak menyadari tatapan itu."Kamu mau minum sesuatu?" tanya Adit, suaranya terdengar serak. Ia berdeham, berusaha menormalkan nada bicaranya."Air putih saja," jawab Laras, duduk di sofa ruang tamu. Tangannya masih sedikit gemetar.Adit mengambil dua gelas air dari dapur. Saat kembali, ia melihat Laras sedang memejamkan mata, seperti menikmati sensasi yang masih tersisa di tubuhnya. Pemandangan itu membuat tenggorokannya mengering. Ada dorongan kuat untuk kembali menyentuh gadis itu,
Kamar Adit sama sederhananya dengan bagian rumah lainnya; sebuah ranjang single dengan sprei putih bersih, lemari kayu kecil, dan meja kerja sederhana di sudut ruangan. Ada rak buku di dinding yang dipenuhi berbagai buku sekolahnya dulu, novel silat, dan buku-buku tua milik kakeknya.Larasati masuk dengan langkah ringan, matanya menjelajahi ruangan pribadi Adit dengan penuh ketertarikan. "Kamar yang nyaman," komentarnya sambil duduk di tepi ranjang.Adit berdiri canggung di ambang pintu, jantungnya berdegup kencang. Ini pertama kalinya ada wanita yang masuk ke kamarnya."Jadi... kamu mau kupijit bagian mana?" tanya Adit, berusaha terdengar profesional meski tangannya mulai berkeringat."Bahuku dan punggungku terasa kaku setelah semua kejadian hari ini," jawab Laras sambil menggerakkan bahunya yang terasa tegang. "Mungkin kamu bisa mulai dari situ?"Adit mengangguk. "Baiklah. Kamu bisa berbaring tengkurap."Laras melepas sweaternya, menyisakan kaos tipis berwarna putih yang memperlihat
Rumah Adit memang kecil, hanya berukuran 6x8 meter dengan satu kamar tidur dan ruang tamu yang menyatu dengan dapur sederhana. Dindingnya berwarna putih kusam yang mulai mengelupas di beberapa bagian. Perabotan di dalamnya minimalis; sebuah kursi kayu tua berwarna cokelat, meja kayu, dan lemari kecil tempat beberapa buku tersusun rapi.Laras duduk di kursi kayu tua yang berderit pelan ketika ia menyamankan posisinya. Matanya menjelajahi setiap sudut ruangan dengan penuh minat. Meski sederhana, rumah ini terasa hidup dan hangat; sangat berbeda dengan rumah megahnya yang sering terasa dingin dan kosong."Maaf ya, rumahku hanya seperti ini,” kata Adit sambil membawa dua cangkir kopi dari dapur kecilnya.Laras menggeleng. "Justru aku suka di sini. Rumahku terlalu besar untuk ditinggali sendirian.""Kamu sendirian di rumah?" tanya Adit sambil meletakkan cangkir di atas meja."Ayah dan Ibu jarang pulang. Kamu tahu sendiri, ayahku pejabat. Waktunya di kantor dan entah apa itu jauh lebih bany
Larasati menoleh ke belakang. Iris matanya membesar melihat gerombolan motor yang mendekati mereka dengan kecepatan tinggi."Sepertinya mereka mengarah ke kita," bisik Laras, suaranya tertahan. Tangannya secara naluriah mencengkeram dashboard mobil.Adit mengencangkan pegangannya pada kemudi. "Tenang saja. Mungkin mereka cuma mau lewat."Tapi kalimat Adit tidak sesuai dengan tindakannya. Ia mempercepat laju mobil, matanya terus melirik spion. Gerombolan pemuda itu semakin mendekat, beberapa di antaranya memukul-mukul tongkat ke aspal sambil memacu kendaraan mereka."Adit, mereka semakin dekat," kata Laras, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdegup kencang."Aku tahu," jawab Adit pendek. Keningnya berkerut, mencari jalan keluar dari situasi ini. "Laras menggeleng. "Sepertinya mereka preman kampung sini—" Kata-katanya terpotong saat sebuah motor menyalip dan memepet di samping mobil mereka. Pengendaranya, seorang pemuda dengan tato di lengan, menatap tajam ke arah mereka."Mi
Langit mulai menghangat, menjelang siang, ketika Adit dan Larasati melangkah meninggalkan reruntuhan candi tua itu. Semuanya terasa hening, terlalu hening. Tak ada suara burung, bahkan angin pun enggan bergerak. Daun-daun hanya bergeming, seolah menahan napas.Mereka melintasi pelataran kecil yang dipenuhi lumut. Di ujung jalan setapak berbatu itu, berdiri seorang lelaki tua. Pakaiannya serba putih, lusuh tapi bersih, wajahnya tirus namun tidak menyeramkan; justru teduh, dengan tatapan yang terasa menembus jauh ke dalam dada.Langkah Adit terhenti. Larasati pun ikut berhenti di sampingnya. Lelaki itu bukan penjaga kompleks candi yang di awal menyambut mereka. Pakaian putih yang dia kenakan itu pun terlihat kuno, seperti apakain brahmana jaman dulu, yang mereka lihat di film-film silat.“Kalian telah membuka pintu yang tak seharusnya dibuka. Ada yang kalian dapatkan saat ini, namun juga akan ada yang datang menghampiri kalian berdua. Bersiaplah. Segala sesuatunya, akan dimulai dari sek
Adit tercekat, hatinya berdebar kencang. Ada rasa malu, takut, dan sekaligus dorongan aneh yang menggulung dari dalam dadanya. Dunia serba putih itu bergetar pelan, seolah merespons pergolakan yang terjadi dalam batinnya.Larasati melangkah perlahan mendekat, bagai bayangan cahaya yang berwujud. Setiap jejak kakinya menimbulkan riak lembut di lantai putih tak bertepi itu. Tubuhnya, meski telanjang, sama sekali tidak terkesan vulgar; justru seperti makhluk suci yang diselubungi keindahan tak ternoda. Matanya menatap Adit dengan kelembutan yang menusuk jauh ke dalam lubuk hatinya."Adit," bisik Larasati, suara itu bergetar entah oleh gugup atau oleh getaran suci yang menyelimuti mereka. "Ini bukan tentang nafsu... ini tentang menyatukan energi. Jiwa kita... harus benar-benar melebur..."Adit menahan napas saat Larasati menyentuh dada kirinya, tepat di atas jantung. Sentuhan itu bagai kilatan listrik, menyebar cepat ke seluruh tubuhnya, membakar, namun juga menenangkan.Tanpa sadar, Adit