Share

bab 7

Author: Ana Battosai
last update Last Updated: 2024-11-14 20:00:04

“Emang kamu bisa milih makeup buat aku?” tanyaku hati-hati. Takut juga melihat ekspresi dia seperti tadi. Takut tersinggung, malah gagal shopping. Kan nggak asik.

“Bisa, Kok. Aku kan sering diajak Mama beli makeup. Eh, maksudnya nemenin Mama kalo dia mau shopping.” Evan berucap sambil tangannya memilih bedak brand lokal. Tangannya dengan terampil membuka bungkus bedak itu, lalu menyapukan di punggung tangan.

“Bagus, kok, Mbak. Ini cocok buat kulit Mbak yang normal dan sedikit kering. Kalo Mbak pake ini, cocok dan pasti makin cantik.”

Aku mendelik kesal. Bisa-bisanya dia di saat begini menggombal. Tapi jika dilihat dari raut wajahnya, Evan berkata jujur dan sedang tidak mengambil kesempatan untuk menggodaku.

“Jadi ini bagus buat aku?” tanyaku memastikan sambil mengambil bedak yang masih segel.

“Iya, percaya, deh.” Evan tersenyum manis. Entah datang dorongan dari mana, aku pun membalas senyumannya itu.

“Cantik!” serunya sambil berjalan melewatiku.

Aku merasakan wajahku panas dipuji begitu. Ck! Dasar tengil! Bisa-bisanya dia memperlakukan aku seperti itu! Awas saja, aku balas dia nanti!

Aku menyerah berbelanja makeup sendiri. Melelahkan karena banyak variasinya. Make-up yang aku pakai ini pun dibelikan oleh teman dan dia yang selalu berjasa dalam hal ini. 

Aku pikir, bisa mengerjai Evan dengan mengajaknya berbelanja akan membuatnya jenuh dan kesal. Malah aku sendiri yang kesal. Evan justru terlihat enjoy dan menikmati momen ini. Wajahnya terlihat tenang dan santai saat berkeliling dan memilih barang, sedangkan aku malah kalap. Pusing sendiri.

Manusia macam apa aku ini?

Aku mendengar Evan tertawa di belakangku. Entah apa yang sedang dia tertawakan. 

Aku berjalan gontai keluar toko. Sementara lelaki itu masih antre di kasir. Entah apa yang sudah dia masukkan ke dalam keranjang belanja, aku sendiri terlalu pusing melihat benda-benda berjejer di sana. Aku memandangi lelaki itu yang kini sudah berhadapan dengan wanita berpakaian merah muda, sesekali mereka berdua tersenyum lalu pada akhirnya transaksi jual-beli itu usai.

“Enak, nih, belanja kosmetik bisa sekalian godain mbak kasirnya!” seruku dengan nada ketus saat Evan sudah berdiri di hadapanku. Lelaki itu justru memandangku dengan tatapan aneh sekaligus bingung.

“Mbak kenapa? Maksudnya gimana? Aku nggak paham!” Evan duduk di samping kananku dan menyerahkan paper bag isi belanjaan.

“Nggak usah pura-pura bego!”

“Hah?” Ekspresi wajah Evan terlihat semakin bingung. “Maksud Mbak apaan, sih. Sumpah, deh, aku nggak paham!”

“Itu tadi, kamu pas bayar di kasir, sambil senyum-senyum segala. Nggak sekalian aja tukeran nomor hape, terus nanti bakalan ada pertemuan selanjutnya atau hubungan selanjutnya!” seruku panjang lebar.

Entah kenapa melihat adegan tadi membuat dadaku terasa sedikit panas. Iya, panas. Tapi cuma sedikit. Nggak banyak. Sumpah.

“Mbak cemburu?”

Hah? Apa ini bisa disebut cemburu? Apa aku bisa memiliki rasa cemburu pada orang yang sama sekali aku nggak cinta?

“Nggak usah ngarang. Mana mungkin aku cemburu.”

“Lah, itu tadi. Mbak ngapain nuduh aku begini begitu. Sampe punya angan-angan kalo aku bakal begini begitu sama kasir tadi. Padahal aku nggak ngapa-ngapain loh.”

“Kalo kamu nggak ngapa-ngapain, mana mungkin kalian kayak asyik gitu. Apalagi pake senyum-senyum segala.”

Evan terdiam, lalu sedetik kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Sangat kencang sampai beberapa pengunjung melihat ke arah kami. Sumpah, memalukan!

Laki-laki itu masih saja tertawa, seolah menertawakan sesuatu yang lucu. Entah di mana letak lucunya ucapanku tadi.  

Aku membiarkannya tertawa lepas, sementara tangan kananku menyelinap di balik sweater yang dikenakannya. Sedetik kemudian, terdengar Evan berteriak.

“Aawwww! Sakit, Mbak!” Evan berhenti tertawa sementara tangannya mengusap perutnya yang tadi aku cubit.

“Rasain. Lagian ketawanya kenceng banget, kayak orang kesurupan!” ucapku lagi.

“Lagian Mbak tuh lucu. Harusnya kalo ada apa-apa tuh, tanya dulu. Jangan asal tuduh.” Nada bicara Evan mendadak serius.

“Aku nggak nuduh, Van.”

“Mbak itu nuduh aku ada obrolan penting? Duh, Mbak kalo lagi cemburu gemes juga, ya.” Evan menjawil pipiku. Aku menepis tangannya kasar, tapi laki-laki itu justru cengengesan. 

Dih, gila!

“Aku nggak cemburu!” tegasku dengan mimik muka dibuat seserius mungkin.

“Mbak tuh cemburu. Biasanya kalo orang cemburu itu asal tuduh tanpa mendengar penjelasan terlebih dulu.”

“Masa? Itu mungkin iya bagi orang lain, tapi tidak bagiku!” ucapku tak mau kalah.

“Tapi, Mbak mau tau nggak aku tadi sama Mbak kasir ngobrolin apaan?”

“Apaan?” tanyaku penasaran.

“Tadi, tuh Mbak kasirnya nanya. Belanja sebanyak ini buat siapa. Aku jawab dong, buat istri tercinta. Mbaknya senyum gitu, terus dia bilang beruntung banget ya, punya suami sepengertian diriku!” ucap Evan panjang lebar.

“Oh,” jawabku singkat. Enggan melanjutkan obrolan yang terasa semakin aneh, aku pun beranjak pergi menuju pintu keluar meninggalkan Evan yang masih saja nyerocos.

Rasain!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   teror lagi

    Cepat-cepat aku masuk kamar dan mengunci pintu. Cara menatap Denis padaku dan cara bicaranya membuatku ingin lari. Entah lah. Apa karena aku pernah menjadi istrinya sehingga aku bisa membaca pikiran Denis meski hanya dari gesture tubuhnya.Aku mencoba menguasai diri, tapi mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah kotak berwarna merah yang tergeletak di atas kasur. Aku lantas berjalan mendekati untuk mengambil benda itu.“Ini apa?” Batinku bertanya-tanya. Siapa pengirim kotak ini. Tidak ada nama pengirimnya dan di tutup kotak itu hanya ada sebuah tulisan ‘Untuk Ana '!Kotak ini untukku? Dari siapa? Jangan-jangan ini kado dari Evan? Duh, kok dia jadi romantis begini, sih?Tunggu dulu! Kalau misalkan ini dari Evan, kenapa dia tidak memberitahu lebih dulu. Tapi jika bukan dari Evan, lalu dari siapa? Masa Denis. Ini tidak mungkin!Karena penasaran, aku lantas membuka kotak itu. Mataku terbelalak saat melihat isinya.Di dalam kotak itu terdapat sepuluh lembar fotoku. Foto yang sengaja diambil ba

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   aneh

    Aku hendak memejamkan mata, karena hawa dingin kamar ini membuatku ingin segera tidur nyenyak. Tapi mataku kembali segar saat melihat Caca ke luar dari kamar mandi. Gadis bermata sipit itu terlihat manis dengan balutan bathrobe berwarna merah muda.“Buset, nyonya. Bisa lebih lama lagi, nggak, mandinya?” tanya Dea setengah emosi. Gadis itu langsung duduk di sisi ranjang saat Caca berjalan santai dan duduk di meja riasnya.Tangan Caca membuka handuk yang menutupi rambutnya yang basah, lalu mengeringkannya dengan hair dryer.“Ya ampun, Dea. Ini termasuk mandi gue yang paling cepet, tau!”“What the fu*k!” Dea sudah terlihat kesal.Bagaimana tidak, di antara kami bertiga, hanya Dea yang tidak terlalu suka membuang waktu. Dia termasuk gadis yang paling pandai memanfaatkan waktu dan selalu tepat waktu.Caca tidak menimpali ucapan Dea. Dia dengan santai mengeringkan rambutnya.“ih, udah, deh. Jangan pada berantem. Lagian hal sepele begini kan emang sering kejadian.”Tepatnya bukan sering. Ini

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   aku takut setan

    Tidak ada yang berubah dari rumah Caca sejak terakhir kali aku mampir di rumahnya saat masih SMA dulu. Caca adalah penyelamat isi perutku. Gadis itu selalu membawa bekal makan lebih banyak yang separuhnya diberikan padaku. Aku yang saat itu tidak mampu untuk membawa uang jajan, apalagi membawa bekal makanan karena bapak harus fokus membiayai pengobatan ibu yang sedang sakit. Aku bisa bersekolah dengan bantuan beasiswa saja sudah sangat bersyukur, karena tujuanku sekolah saat itu hanya satu. Lulus dengan baik.Tapi Alhamdulillah, Allah maha baik sehingga memberikan aku dua sahabat yang luar biasa mulia. Tidak pernah memandangku sebelah mata hanya karena aku bukan dari kalangan orang kaya, tapi Dea dan Caca benar-benar merangkulku sebagai sahabat yang baik.Rumah berlantai tiga dengan pagar pembatas yang tinggi menjulang. Orang tua Caca adalah pengusaha hebat di bidang properti dan sukses karena sudah memiliki beberapa cabang di beberapa kota. Tidak heran jika rumah orang tua Caca terli

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   nasi goreng bumbu cinta

    Malam yang kami lalui masih sama. Kali ini, tanpa aku yang melakukan, Evan sudah melakukannya lebih dulu. Meletakkan bantal guling sebagai pembatas tidur kami. Sejak malam pertama di hotel waktu itu, aku sudah mengawali ini dan sekarang Evan yang melakukannya. Tapi kali ini, entah kenapa hatiku terasa sakit. Aku merasa sakit melihat kerelaan Evan menjalani rumah tangga ini. Aku sakit karena telah menyiksa batinnya selama ini. Dan aku sekarang bingung bagaimana menyudahi ini semua, aku ingin hidup sebagai pasangan suami istri yang normal. Aku ingin bebas bergelayutan manja padanya, memeluk dan menciumnya dengan semauku dan kapan pun aku mau. Aku ingin merasakan sentuhannya setiap saat dia ingin. Aku inginkan itu, sungguh!Aku menoleh ke arah Evan yang sudah terlelap, terdengar dengkuran halus lolos dari bibirnya. Bulu-bulu halus mulai tumbuh di sekitar kumis dan jambangnya karena beberapa hari belakangan ini Evan terlalu sibuk dan belum sempat bercukur. Wajahnya yang putih terlihat sed

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   malu tapi mau

    “Hhaaahhh ....” Aku hanya bisa mengela napas panjang. Ada sedikit rasa yang mengganjal di hatiku. Setiap detik dan hari yang aku lalui, selalu dipenuhi rasa bersalah karena membiarkan Evan begitu saja. Entah bagaimana keadaan Evan saat dirinya menahan luapan biologisnya yang sudah seharusnya segera tersalurkan. Tapi ia justru kuat menahannya dan tidak menunjukkan gejala aneh atau apa lah.“Van, aku minta maaf!” seruku lirih.Aku jongkok, mengusap kotak itu. Tapi bergegas kembali berdiri lagi, takut jika aku sampai tergoda dan mengenakan baju seksi itu. Lekas aku mengambil daster selutut dan pakaian dalam.Pintu lemari aku tutup kembali, meletakkan pakaian yang sudah aku pilih di kasur. Tanganku membuka handuk dan ....“Aargghh!” Evan berdiri di ambang pintu dan berteriak. Kedua tangannya menutupi wajah. Sontak, aku yang terlambat sadar ikut berteriak kencang sambil kembali menutupi tubuh dengan handuk.“Aduh, Mbak. Aku minta maaf. Sumpah, deh, aku nggak liat apa-apa!” seru Evan sambil

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   malu

    Evan tidak merasa bahwa dia meminta Denis untuk menjemputku, sementara tadi Denis bilang kalau dia disuruh Evan buat jemput aku.Siapa di antara mereka yang sedang berbohong dan siapa yang berkata benar? Meski tanpa bertanya pada mereka, aku sudah pasti menemukan jawabannya. Denis yang berbohong, karena hati kecilku berkata jika Evan berbicara jujur. Lagi pula, selama ini Evan tidak pernah berbohong padaku. Dia pun tidak pernah terlihat menyembunyikan sesuatu dariku. Entah, sih. Untuk saat ini, aku bisa merasakan jika Evan adalah laki-laki jujur dan Denis tidak.Aku tidak banyak bertanya tentang kejanggalan tadi pada Evan. Yang jelas, untuk saat ini dan seterusnya, aku harus lebih hati-hati ketika berhadapan dengan Denis. Laki-laki itu terlalu licik dan berbahaya. Apa lagi status Denis adalah mantan suami, tidak menutup kemungkinan jika di hatinya masih ada perasaan yang entah apa bentuknya padaku.Yang pasti, aku harus jauh-jauh dari Denis.Sikap Lilis pada Denis sampai detik ini mas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status