Share

bab 8

Author: Ana Battosai
last update Last Updated: 2024-11-14 20:01:34

Aku memilih langsung pulang meski Evan memaksa untuk makan di luar. Rasa lapar menguap begitu saja saat memikirkan adegan mesra tadi, meski sebenarnya aku pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Entah ucapan Evan yang jujur, atau memang dia hanya sedang menutupi kesalahannya saja. Entah lah, sejak Denis mengkhianati kepercayaanku, aku sulit untuk percaya lagi. Terlebih percaya pada cinta.

Tas berisi make up kulempar ke kasur. Isinya berserakan di sana. Bodo amat, aku kesal. Sepanjang perjalanan aku diam. Entah apakah ini rasa cemburu atau marah atau kesal. Aku tidak mau ambil pusing. Terserah bagaimana hidupku jadinya.

“Mbak nggak percaya sama omongan aku?” tanya Evan saat melihatku masih saja diam dan mengacuhkan ucapannya, terus berjalan ke kamar mandi. Tapi langkahku terhenti saat tangannya mencekal lengan.

“Apa!” bentakku. Entah kenapa aku bisa selabil ini. Yang aku rasakan saat ini hanya marah dan kesal. Ingin berteriak kencang agar rasa sesak di dadaku ini hilang.

Tuhan, kenapa bisa begini?

Tangan Evan masih mencekal lengan, matanya yang indah menatap bingung. Mungkin di pikirannya bertanya-tanya, kenapa aku bisa sekeras ini.

“Apa lagi? Apa yang kamu mau dari aku? Hah! Sudah aku jelaskan, aku capek dibodohi dan aku capek jadi orang bodoh!” Aku berteriak di depan wajahnya. Aku bahkan tidak peduli dengan pernikahan ini. Aku tidak peduli hilangnya rasa simpatik dari Evan. Aku tidak peduli!

“Istighfar, Mbak! Mbak tuh kenapa? Aku salah apa? Aku udah jelasin semuanya. Apa yang Mbak lihat, nggak seperti apa yang Mbak bayangkan!”

“Munafik! Semua laki-laki sama saja!” Aku masih berteriak lantang. Emosiku belum juga turun meski Evan dengan sabar mencoba menjelaskan.

“Aku nggak kayak gitu!” bela Evan lagi.

“Halah! Sama saja. Kamu cuma enggak mau ngaku kalo ....”

“Ana!” Bentak Evan! Emosiku mendadak ciut dibentak begitu. Ini pertama kalinya Evan membentakku. Aku sadar memang sudah keterlaluan dan jalan pikiranku sangat kekanak-kanakan. Kalimat pedas yang ingin terucap mendadak hilang dari otak.

Cengkeraman tangannya semakin erat, membuat lenganku sakit. Aku mencoba melepaskan, tapi justru semakin erat. Tatapan mata Evan yang semula lembut, kini mendadak menyeramkan dengan mata yang memerah seperti menahan tangis.

“Kamu dengar baik-baik. Aku nggak sebejat laki-laki di luaran sana yang doyan mempermainkan wanita. Aku nggak serendah laki-laki yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Aku juga manusia, Ana! Aku berbeda dengan mereka. Aku sedang mencoba membuktikan padamu, kalau aku juga bisa membahagiakan satu wanita.” Ucapan Evan terdengar bergetar. Perlahan, Evan melepaskan cekalan tangannya, tatapan matanya pun berubah kembali normal.

“Satu-satunya wanita yang aku akan bahagiakan hanya kamu! Kamu bisa pegang ucapan aku. Aku sama sekali tidak punya pikiran untuk berbohong apalagi mempermainkan pernikahan. Bagi aku, menikah adalah ibadah seumur hidup. Dan aku mau beribadah bareng kamu, Mbak. Demi Allah, percaya sama aku!”

Usai mengucapkan kalimat itu, wajah Evan tertunduk. Dia terisak. Evanku menangis. Aku yang sudah membuatnya menangis. 

“Van ....” Aku menyentuh bahunya yang terlihat terguncang. Evan benar-benar terluka dengan ucapan dan juga sikapku.

“Aku mohon, Mbak. Untuk sekali ini, percayalah sama aku!” serunya dengan nada bicara pelan dan serak. Wajahnya masih menunduk. Lelaki itu menyembunyikan tangisnya.

Aku merasa bersalah sudah melakukan hal ini pada Evan. Bagaimana pun, dia tidak salah. Dia bahkan tidak memiliki sangkut paut dengan luka masa laluku. Lantas, apa hakku menghukumnya dengan cara kejam seperti ini?

Tangan kananku menyentuh pipi Evan yang basah, mengusap wajah itu pelan lalu mengarahkannya agar menatapku. Tanganku mengusap pipi Evan yang lembut, dan lelaki itu hanya diam saja.

Kedua mata Evan memerah dan ia pun masih terisak-isak, caranya menangis seperti anak kecil. Menggemaskan, membuatku tidak tega.

“Aku minta maaf sudah membuatmu menangis. Aku istri yang berdosa sudah membuat suaminya menangis di hari pertama pernikahan. Aku benar-benar minta maaf.”

“Kita bisa menikah, itu karena takdir Allah, Mbak. Kalau pun bukan takdir. Mau bagaimana aku memaksa, kalau bukan karena takdir, aku nggak akan bisa dapetin Mbak. Jadi tolong, terima aku ada di hati Mbak!” Evan meraih tanganku yang masih di pipinya, lalu menggenggamnya erat.

Aku hanya bisa menganggukkan kepala karena kehabisan kata-kata. Juga perlakuan Evan yang hangat juga lembut. Tanganku yang semula hanya dia genggam, kini diciuminya pelan tapi terasa mesra. Hingga aku tak punya kekuatan untuk memberontak kala Evan menarik tubuhku dalam pelukannya.

“Aku sayang sama, Mbak. Sayang banget pokoknya!” seru Evan tepat di telingaku. Mendengar kalimat mesra seperti itu, tanganku membalas pelukan Evan, mengusap punggungnya pelan.

Untuk sesaat, aku menikmati pelukan Evan. Pelukan suamiku yang terlihat begitu tulus. Rasa hangat juga nyaman, membuatku enggan melepas dekapan ini.

“Van ... sepertinya aku mulai menyayangi kamu!” Aku hanya bisa berucap dalam hati, rasanya belum siap jika rasa ini harus aku utarakan. Aku masih takut untuk kecewa lagi.

“Van ....” Aku memberanikan bersuara karena sejak beberapa saat lalu hanya diam mematung.

“Iya, kenapa, Mbak.” Tangan Evan masih mengusap kepalaku. Entah apa yang dia cari di sana, padahal aku nggak punya kutu.

“Kaki aku pegel. Pelukannya udahan, sih!” seruku sambil tertawa. Evan mengendurkan pelukan, wajahnya yang putih bersemu merah karena malu. Aih, suamiku.

Evan mengusap lehernya, seperti menahan malu juga salah tingkah. Begitu pun aku. Ah, rasanya tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata.

“Mbak ....”

“Hummm ....”

“Aku nggak marah dicemburui. Aku malah seneng, kok. Tapi jangan sering-sering ya.”

“Kok gitu?”

“Perut aku sakit dicubit kayak tadi. Tuh, ini aja masih merah!” serunya sambil membuka sweater dan menunjukkan perut bekas cubitan.

“Ha-ha-ha, iya, iya. Maaf, ya, suamiku!” Aku mengerlingkan mata sebelah, sengaja menggodanya.

“Aih, mesranya. Suamiku.”

Malu, sumpah. Berasa abege yang lagi menikmati masa pacaran aja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   teror lagi

    Cepat-cepat aku masuk kamar dan mengunci pintu. Cara menatap Denis padaku dan cara bicaranya membuatku ingin lari. Entah lah. Apa karena aku pernah menjadi istrinya sehingga aku bisa membaca pikiran Denis meski hanya dari gesture tubuhnya.Aku mencoba menguasai diri, tapi mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah kotak berwarna merah yang tergeletak di atas kasur. Aku lantas berjalan mendekati untuk mengambil benda itu.“Ini apa?” Batinku bertanya-tanya. Siapa pengirim kotak ini. Tidak ada nama pengirimnya dan di tutup kotak itu hanya ada sebuah tulisan ‘Untuk Ana '!Kotak ini untukku? Dari siapa? Jangan-jangan ini kado dari Evan? Duh, kok dia jadi romantis begini, sih?Tunggu dulu! Kalau misalkan ini dari Evan, kenapa dia tidak memberitahu lebih dulu. Tapi jika bukan dari Evan, lalu dari siapa? Masa Denis. Ini tidak mungkin!Karena penasaran, aku lantas membuka kotak itu. Mataku terbelalak saat melihat isinya.Di dalam kotak itu terdapat sepuluh lembar fotoku. Foto yang sengaja diambil ba

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   aneh

    Aku hendak memejamkan mata, karena hawa dingin kamar ini membuatku ingin segera tidur nyenyak. Tapi mataku kembali segar saat melihat Caca ke luar dari kamar mandi. Gadis bermata sipit itu terlihat manis dengan balutan bathrobe berwarna merah muda.“Buset, nyonya. Bisa lebih lama lagi, nggak, mandinya?” tanya Dea setengah emosi. Gadis itu langsung duduk di sisi ranjang saat Caca berjalan santai dan duduk di meja riasnya.Tangan Caca membuka handuk yang menutupi rambutnya yang basah, lalu mengeringkannya dengan hair dryer.“Ya ampun, Dea. Ini termasuk mandi gue yang paling cepet, tau!”“What the fu*k!” Dea sudah terlihat kesal.Bagaimana tidak, di antara kami bertiga, hanya Dea yang tidak terlalu suka membuang waktu. Dia termasuk gadis yang paling pandai memanfaatkan waktu dan selalu tepat waktu.Caca tidak menimpali ucapan Dea. Dia dengan santai mengeringkan rambutnya.“ih, udah, deh. Jangan pada berantem. Lagian hal sepele begini kan emang sering kejadian.”Tepatnya bukan sering. Ini

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   aku takut setan

    Tidak ada yang berubah dari rumah Caca sejak terakhir kali aku mampir di rumahnya saat masih SMA dulu. Caca adalah penyelamat isi perutku. Gadis itu selalu membawa bekal makan lebih banyak yang separuhnya diberikan padaku. Aku yang saat itu tidak mampu untuk membawa uang jajan, apalagi membawa bekal makanan karena bapak harus fokus membiayai pengobatan ibu yang sedang sakit. Aku bisa bersekolah dengan bantuan beasiswa saja sudah sangat bersyukur, karena tujuanku sekolah saat itu hanya satu. Lulus dengan baik.Tapi Alhamdulillah, Allah maha baik sehingga memberikan aku dua sahabat yang luar biasa mulia. Tidak pernah memandangku sebelah mata hanya karena aku bukan dari kalangan orang kaya, tapi Dea dan Caca benar-benar merangkulku sebagai sahabat yang baik.Rumah berlantai tiga dengan pagar pembatas yang tinggi menjulang. Orang tua Caca adalah pengusaha hebat di bidang properti dan sukses karena sudah memiliki beberapa cabang di beberapa kota. Tidak heran jika rumah orang tua Caca terli

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   nasi goreng bumbu cinta

    Malam yang kami lalui masih sama. Kali ini, tanpa aku yang melakukan, Evan sudah melakukannya lebih dulu. Meletakkan bantal guling sebagai pembatas tidur kami. Sejak malam pertama di hotel waktu itu, aku sudah mengawali ini dan sekarang Evan yang melakukannya. Tapi kali ini, entah kenapa hatiku terasa sakit. Aku merasa sakit melihat kerelaan Evan menjalani rumah tangga ini. Aku sakit karena telah menyiksa batinnya selama ini. Dan aku sekarang bingung bagaimana menyudahi ini semua, aku ingin hidup sebagai pasangan suami istri yang normal. Aku ingin bebas bergelayutan manja padanya, memeluk dan menciumnya dengan semauku dan kapan pun aku mau. Aku ingin merasakan sentuhannya setiap saat dia ingin. Aku inginkan itu, sungguh!Aku menoleh ke arah Evan yang sudah terlelap, terdengar dengkuran halus lolos dari bibirnya. Bulu-bulu halus mulai tumbuh di sekitar kumis dan jambangnya karena beberapa hari belakangan ini Evan terlalu sibuk dan belum sempat bercukur. Wajahnya yang putih terlihat sed

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   malu tapi mau

    “Hhaaahhh ....” Aku hanya bisa mengela napas panjang. Ada sedikit rasa yang mengganjal di hatiku. Setiap detik dan hari yang aku lalui, selalu dipenuhi rasa bersalah karena membiarkan Evan begitu saja. Entah bagaimana keadaan Evan saat dirinya menahan luapan biologisnya yang sudah seharusnya segera tersalurkan. Tapi ia justru kuat menahannya dan tidak menunjukkan gejala aneh atau apa lah.“Van, aku minta maaf!” seruku lirih.Aku jongkok, mengusap kotak itu. Tapi bergegas kembali berdiri lagi, takut jika aku sampai tergoda dan mengenakan baju seksi itu. Lekas aku mengambil daster selutut dan pakaian dalam.Pintu lemari aku tutup kembali, meletakkan pakaian yang sudah aku pilih di kasur. Tanganku membuka handuk dan ....“Aargghh!” Evan berdiri di ambang pintu dan berteriak. Kedua tangannya menutupi wajah. Sontak, aku yang terlambat sadar ikut berteriak kencang sambil kembali menutupi tubuh dengan handuk.“Aduh, Mbak. Aku minta maaf. Sumpah, deh, aku nggak liat apa-apa!” seru Evan sambil

  • Turun Ranjang: Diceraikan Abangnya, Diratukan Adiknya   malu

    Evan tidak merasa bahwa dia meminta Denis untuk menjemputku, sementara tadi Denis bilang kalau dia disuruh Evan buat jemput aku.Siapa di antara mereka yang sedang berbohong dan siapa yang berkata benar? Meski tanpa bertanya pada mereka, aku sudah pasti menemukan jawabannya. Denis yang berbohong, karena hati kecilku berkata jika Evan berbicara jujur. Lagi pula, selama ini Evan tidak pernah berbohong padaku. Dia pun tidak pernah terlihat menyembunyikan sesuatu dariku. Entah, sih. Untuk saat ini, aku bisa merasakan jika Evan adalah laki-laki jujur dan Denis tidak.Aku tidak banyak bertanya tentang kejanggalan tadi pada Evan. Yang jelas, untuk saat ini dan seterusnya, aku harus lebih hati-hati ketika berhadapan dengan Denis. Laki-laki itu terlalu licik dan berbahaya. Apa lagi status Denis adalah mantan suami, tidak menutup kemungkinan jika di hatinya masih ada perasaan yang entah apa bentuknya padaku.Yang pasti, aku harus jauh-jauh dari Denis.Sikap Lilis pada Denis sampai detik ini mas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status