Share

Bab 2 : Permintaan Terakhir Aleya

“Mbak Aleya ngomong apa, Mbak?” Nayla benar-benar syok. Ia tidak menyangka kalau Aleya menyuruh suaminya sendiri untuk menikahinya. Ini benar-benar tidak masuk akal. Bukankah hal demikian dilarang dalam agama Islam? Kecuali kalau ....

Nayla menggeleng cepat. Ia menepis pikiran buruk tentang kakaknya yang tiba-tiba muncul di kepala.

“Mbak mohon Nay, menikahlah dengan Mas Abyan setelah Mbak enggak ada. Dan rawatlah Airin. Aku enggak mau Airin punya ibu tiri lain selain kamu, Nay. Mbak hanya mau kamu yang menjadi ibu sambungnya,” desak Aleya sembari meneteskan air mata.

“Sayang, ngomong apa sih, kamu?” potong Abyan. “Tolong tarik kembali ucapanmu itu!” serunya dengan penuh penekanan. Ia benar-benar tidak habis pikir, kenapa Aleya tiba-tiba menyuruhnya untuk menikahi adik iparnya sendiri. Ini benar-benar konyol.

Suasana di ruang rawat VIP itu semakin memanas. Semua orang terlihat sangat tegang. Bu Saida, Pak Hasan, Mama Mayang, Papa Angga, dan Rea hanya diam menyaksikan perdebatan antara Aleya, Abyan, dan Nayla.

“Mas, aku mohon, nikahilah Nayla, Mas! Demi anak kita!” desis Aleya di sela isak tangisnya.

“Enggak Sayang, aku enggak mau!” Abyan kembali menggeleng. Ia tidak akan mungkin memenuhi permintaan istrinya.

Aleya terlihat begitu kecewa. Ia tahu kalau Abyan sangat mencintainya dan tidak mungkin berpaling pada wanita lain. Mungkin akan sangat sulit bagi pria itu untuk menerima Nayla sebagai istrinya. Apalagi Nayla adalah adik iparnya sendiri.

Aleya menghela napas panjang. Wanita itu pun mengalihkan pandangannya ke arah sang ayah yang sejak tadi bungkam.

“Ayah,” panggilnya lirih.

“Iya, Nak.” Pria paruh baya bernama Hasan mendekati ranjang putrinya. Aleya pun meraih tangan kanan sang ayah, lantas menggenggamnya.

“Ayah, Aleya minta maaf kalau selama ini Aleya ada salah sama Ayah. Tolong jaga Ibu baik-baik!”

Pak Hasan menggelengkan kepala. Air matanya luruh setelah mendengar ucapan putri sulungnya yang begitu menyayat hati. Semua orang yang ada di ruangan itu pun turut menitikkan air mata.

“Mama, Papa ... Aleya minta maaf. Mungkin selama ini Aleya belum bisa jadi menantu yang baik untuk kalian. Maaf, karena setelah tiga tahun Aleya baru bisa memberi kalian cucu,” ucap Aleya kepada kedua mertuanya yang berdiri berdampingan di ujung ranjang.

“Tidak, Sayang! Kamu adalah menantu terbaik Mama. Terima kasih karena kamu sudah memberi kami cucu yang begitu cantik dan lucu,” sahut Mama Mayang yang saat itu tengah menggendong Airin.

“Iya Kak. Kak Aleya adalah kakak ipar terbaik Rea. Rea sangat menyayangi Kak Aleya. Rea mohon jangan pergi, Kak! Jangan tinggalkan kami!” imbuh seorang gadis cantik berusia dua puluh dua tahun yang tidak lain adalah adik kandung Abyan.

Aleya menarik kedua ujung bibirnya. Ia menatap anggota keluarganya satu per satu. Di tengah duka dan air matanya, ia mencoba untuk tersenyum. Rasanya sangat berat saat kita harus berpisah dengan orang-orang yang kita cintai. Namun, apalah daya kalau semuanya sudah menjadi suratan takdir. Aleya hanya bisa pasrah dan menerimanya dengan lapang dada.

“Nay.” Kini tatapan Aleya tertuju ke wajah adik kandungnya.

“Iya, Mbak,” sahut Nayla lirih.

“Mbak mohon, Nay, penuhi permintaan terakhir Mbak, ya! Menikahlah dengan Mas Abyan dan jadilah ibu sambung untuk Airin!” Aleya berharap kali ini Nayla akan setuju atau setidaknya menganggukkan kepala sebelum ia mengembuskan napas terakhirnya. Namun, nyatanya Nayla hanya bergeming. Butiran kristal bening semakin deras membanjiri kedua pipi gadis muda itu.

Bagaimana mungkin aku akan menikah dengan Mas Abyan, Mbak? Sementara dalam hatiku sudah ada laki-laki lain yang sangat aku cintai dan juga mencintaiku. Aku sudah berjanji pada Revan untuk menunggunya. Dan aku tidak mungkin menikah dengan pria lain selain dia, Mbak. Maaf. Nayla membatin.

“Mas, aku mohon penuhi permintaan terakhirku ya! Menikahlah dengan Nayla. Biar aku bisa pergi dengan tenang karena sudah ada yang menjagamu dan juga putri kita, Airin,” pinta Aleya sambil menggenggam jemari suaminya. Namun, Abyan hanya menitikkan air mata. Tidak mengiyakan. Juga tidak menolak.

Lalu tiba-tiba saja dada Aleya berombak. Napasnya mulai tersengal. Sekujur tubuhnya terasa amat sakit. Sepertinya malaikat maut sedang berusaha untuk mencabut nyawanya.

“Laa ilahailallah.” Pak Hasan dengan sigap membisikkan kalimat tauhid ke telinga putri sulungnya.

“Laa-ila-ha ....” Aleya berusaha menirukan ucapan sang ayah dengan suara yang tersekat-sekat di kerongkongan.

Semua orang pun merasa panik. Tak lama kemudian, dada Aleya berombak pelan dan ia pun mengembuskan napas terakhirnya. Kelopak mata wanita itu tertutup rapat untuk selama-lamanya.

“Sayang, jangan tinggalkan aku, Sayang! Aleyaaa!” Abyan mengguncangkan tubuh istrinya yang sudah tidak bernyawa lagi. Lantas ia mendekap erat tubuh Aleya dan menangis sejadinya.

“Mbak Aleyaaa ... jangan pergi, Mbak! Mbak Aleyaaa!” Nayla berteriak histeris dengan air mata yang semakin bercucuran di pipi.

“Aleyaaa ... Aleyaaa!” Bu Saida pun sama histerisnya. Sontak Pak Hasan menarik istrinya itu ke dalam dekapannya. Namun, beberapa detik kemudian, wanita paruh baya itu pun jatuh tak sadarkan diri.

“Ibuuu!” Nayla memekik saat melihat ibunya jatuh pingsan. Pak Hasan segera membopong istrinya dan membaringkannya di sofa panjang.

“Rea, cepat panggil dokter!” titah Papa Angga kepada putrinya dengan panik.

“Iya, Pa.” Rea pun segera keluar menemui dokter.

Tak lama kemudian, dokter dan suster datang untuk memeriksa Aleya. Sementara suster yang lain memberikan pertolongan kepada Bu Saida yang sedang pingsan.

“Innalillahi wa innailaihi roji’un. Maaf Pak, Bu, pasien sudah meninggal dunia,” ucap dokter setelah memeriksa Aleya.

“Innalillahi wa innailaihi roji’un,” ucap Abyan dan yang lainnya dengan penuh duka dan air mata. Rea sontak memeluk kakaknya. Sementara Nayla berpelukan dengan ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.

“Suster, tolong catat waktu kematiannya!” titah dokter kepada salah seorang suster.

“Baik, Dok,” sahut suster itu, kemudian melaksanakan instruksi dari dokter.

“Yang sabar ya, Pak, Bu! Kalau begitu saya permisi dulu.” Dokter itu pun beranjak meninggalkan ruangan setelah menyelesaikan tugasnya. Sementara para suster melepas semua peralatan medis yang terhubung ke badan Aleya, kemudian menarik selimut untuk menutup sekujur tubuhnya hingga kepala.

“Pak Abyan!”

Teriakan seorang laki-laki membuat Abyan tersentak dari lamunan panjangnya. Ia pun menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Vino, asisten pribadinya yang sejak tadi menunggu di mobil datang menghampiri sambil membawa payung hitam.

Vino merasa sangat prihatin melihat kondisi atasannya saat itu. Setelan jas hitam yang dipakainya sudah basah kuyup. Ia pun mendekatkan payung yang dibawanya itu ke arah Abyan untuk melindunginya dari hujan dan membiarkan dirinya sendiri kehujanan.

“Pak, ada telepon dari Pak Angga. Bapak disuruh pulang karena bayi Bapak dari tadi menangis terus,” ucap pria bertubuh tinggi tegap itu dengan sopan.

Abyan tidak menyahut. Sebenarnya dia masih betah berada di samping makam istrinya. Namun, saat mengingat bayi perempuannya, ia pun beranjak meninggalkan area pemakaman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status