“Mbak Aleya ngomong apa, Mbak?” Nayla benar-benar syok. Ia tidak menyangka kalau Aleya menyuruh suaminya sendiri untuk menikahinya. Ini benar-benar tidak masuk akal. Bukankah hal demikian dilarang dalam agama Islam? Kecuali kalau ....
Nayla menggeleng cepat. Ia menepis pikiran buruk tentang kakaknya yang tiba-tiba muncul di kepala.
“Mbak mohon Nay, menikahlah dengan Mas Abyan setelah Mbak enggak ada. Dan rawatlah Airin. Aku enggak mau Airin punya ibu tiri lain selain kamu, Nay. Mbak hanya mau kamu yang menjadi ibu sambungnya,” desak Aleya sembari meneteskan air mata.
“Sayang, ngomong apa sih, kamu?” potong Abyan. “Tolong tarik kembali ucapanmu itu!” serunya dengan penuh penekanan. Ia benar-benar tidak habis pikir, kenapa Aleya tiba-tiba menyuruhnya untuk menikahi adik iparnya sendiri. Ini benar-benar konyol.
Suasana di ruang rawat VIP itu semakin memanas. Semua orang terlihat sangat tegang. Bu Saida, Pak Hasan, Mama Mayang, Papa Angga, dan Rea hanya diam menyaksikan perdebatan antara Aleya, Abyan, dan Nayla.
“Mas, aku mohon, nikahilah Nayla, Mas! Demi anak kita!” desis Aleya di sela isak tangisnya.
“Enggak Sayang, aku enggak mau!” Abyan kembali menggeleng. Ia tidak akan mungkin memenuhi permintaan istrinya.
Aleya terlihat begitu kecewa. Ia tahu kalau Abyan sangat mencintainya dan tidak mungkin berpaling pada wanita lain. Mungkin akan sangat sulit bagi pria itu untuk menerima Nayla sebagai istrinya. Apalagi Nayla adalah adik iparnya sendiri.
Aleya menghela napas panjang. Wanita itu pun mengalihkan pandangannya ke arah sang ayah yang sejak tadi bungkam.
“Ayah,” panggilnya lirih.
“Iya, Nak.” Pria paruh baya bernama Hasan mendekati ranjang putrinya. Aleya pun meraih tangan kanan sang ayah, lantas menggenggamnya.
“Ayah, Aleya minta maaf kalau selama ini Aleya ada salah sama Ayah. Tolong jaga Ibu baik-baik!”
Pak Hasan menggelengkan kepala. Air matanya luruh setelah mendengar ucapan putri sulungnya yang begitu menyayat hati. Semua orang yang ada di ruangan itu pun turut menitikkan air mata.
“Mama, Papa ... Aleya minta maaf. Mungkin selama ini Aleya belum bisa jadi menantu yang baik untuk kalian. Maaf, karena setelah tiga tahun Aleya baru bisa memberi kalian cucu,” ucap Aleya kepada kedua mertuanya yang berdiri berdampingan di ujung ranjang.
“Tidak, Sayang! Kamu adalah menantu terbaik Mama. Terima kasih karena kamu sudah memberi kami cucu yang begitu cantik dan lucu,” sahut Mama Mayang yang saat itu tengah menggendong Airin.
“Iya Kak. Kak Aleya adalah kakak ipar terbaik Rea. Rea sangat menyayangi Kak Aleya. Rea mohon jangan pergi, Kak! Jangan tinggalkan kami!” imbuh seorang gadis cantik berusia dua puluh dua tahun yang tidak lain adalah adik kandung Abyan.
Aleya menarik kedua ujung bibirnya. Ia menatap anggota keluarganya satu per satu. Di tengah duka dan air matanya, ia mencoba untuk tersenyum. Rasanya sangat berat saat kita harus berpisah dengan orang-orang yang kita cintai. Namun, apalah daya kalau semuanya sudah menjadi suratan takdir. Aleya hanya bisa pasrah dan menerimanya dengan lapang dada.
“Nay.” Kini tatapan Aleya tertuju ke wajah adik kandungnya.
“Iya, Mbak,” sahut Nayla lirih.
“Mbak mohon, Nay, penuhi permintaan terakhir Mbak, ya! Menikahlah dengan Mas Abyan dan jadilah ibu sambung untuk Airin!” Aleya berharap kali ini Nayla akan setuju atau setidaknya menganggukkan kepala sebelum ia mengembuskan napas terakhirnya. Namun, nyatanya Nayla hanya bergeming. Butiran kristal bening semakin deras membanjiri kedua pipi gadis muda itu.
Bagaimana mungkin aku akan menikah dengan Mas Abyan, Mbak? Sementara dalam hatiku sudah ada laki-laki lain yang sangat aku cintai dan juga mencintaiku. Aku sudah berjanji pada Revan untuk menunggunya. Dan aku tidak mungkin menikah dengan pria lain selain dia, Mbak. Maaf. Nayla membatin.
“Mas, aku mohon penuhi permintaan terakhirku ya! Menikahlah dengan Nayla. Biar aku bisa pergi dengan tenang karena sudah ada yang menjagamu dan juga putri kita, Airin,” pinta Aleya sambil menggenggam jemari suaminya. Namun, Abyan hanya menitikkan air mata. Tidak mengiyakan. Juga tidak menolak.
Lalu tiba-tiba saja dada Aleya berombak. Napasnya mulai tersengal. Sekujur tubuhnya terasa amat sakit. Sepertinya malaikat maut sedang berusaha untuk mencabut nyawanya.
“Laa ilahailallah.” Pak Hasan dengan sigap membisikkan kalimat tauhid ke telinga putri sulungnya.
“Laa-ila-ha ....” Aleya berusaha menirukan ucapan sang ayah dengan suara yang tersekat-sekat di kerongkongan.
Semua orang pun merasa panik. Tak lama kemudian, dada Aleya berombak pelan dan ia pun mengembuskan napas terakhirnya. Kelopak mata wanita itu tertutup rapat untuk selama-lamanya.
“Sayang, jangan tinggalkan aku, Sayang! Aleyaaa!” Abyan mengguncangkan tubuh istrinya yang sudah tidak bernyawa lagi. Lantas ia mendekap erat tubuh Aleya dan menangis sejadinya.
“Mbak Aleyaaa ... jangan pergi, Mbak! Mbak Aleyaaa!” Nayla berteriak histeris dengan air mata yang semakin bercucuran di pipi.
“Aleyaaa ... Aleyaaa!” Bu Saida pun sama histerisnya. Sontak Pak Hasan menarik istrinya itu ke dalam dekapannya. Namun, beberapa detik kemudian, wanita paruh baya itu pun jatuh tak sadarkan diri.
“Ibuuu!” Nayla memekik saat melihat ibunya jatuh pingsan. Pak Hasan segera membopong istrinya dan membaringkannya di sofa panjang.
“Rea, cepat panggil dokter!” titah Papa Angga kepada putrinya dengan panik.
“Iya, Pa.” Rea pun segera keluar menemui dokter.
Tak lama kemudian, dokter dan suster datang untuk memeriksa Aleya. Sementara suster yang lain memberikan pertolongan kepada Bu Saida yang sedang pingsan.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un. Maaf Pak, Bu, pasien sudah meninggal dunia,” ucap dokter setelah memeriksa Aleya.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un,” ucap Abyan dan yang lainnya dengan penuh duka dan air mata. Rea sontak memeluk kakaknya. Sementara Nayla berpelukan dengan ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.
“Suster, tolong catat waktu kematiannya!” titah dokter kepada salah seorang suster.
“Baik, Dok,” sahut suster itu, kemudian melaksanakan instruksi dari dokter.
“Yang sabar ya, Pak, Bu! Kalau begitu saya permisi dulu.” Dokter itu pun beranjak meninggalkan ruangan setelah menyelesaikan tugasnya. Sementara para suster melepas semua peralatan medis yang terhubung ke badan Aleya, kemudian menarik selimut untuk menutup sekujur tubuhnya hingga kepala.
“Pak Abyan!”
Teriakan seorang laki-laki membuat Abyan tersentak dari lamunan panjangnya. Ia pun menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Vino, asisten pribadinya yang sejak tadi menunggu di mobil datang menghampiri sambil membawa payung hitam.
Vino merasa sangat prihatin melihat kondisi atasannya saat itu. Setelan jas hitam yang dipakainya sudah basah kuyup. Ia pun mendekatkan payung yang dibawanya itu ke arah Abyan untuk melindunginya dari hujan dan membiarkan dirinya sendiri kehujanan.
“Pak, ada telepon dari Pak Angga. Bapak disuruh pulang karena bayi Bapak dari tadi menangis terus,” ucap pria bertubuh tinggi tegap itu dengan sopan.
Abyan tidak menyahut. Sebenarnya dia masih betah berada di samping makam istrinya. Namun, saat mengingat bayi perempuannya, ia pun beranjak meninggalkan area pemakaman.
Hari sudah semakin sore. Rinai hujan perlahan mulai reda. Vino mengemudikan Mercedes Benz hitam itu dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota. Sesekali ia melirik ke arah bosnya yang duduk di belakang dari kaca spion depan. Abyan terlihat melamun sambil mengarahkan pandangannya ke luar jendela yang tertutup rapat. Wajah dan bibirnya tampak pucat karena berdiri di bawah hujan selama hampir satu jam. Tubuhnya pun mulai menggigil kedinginan karena seluruh pakaiannya telah basah kuyup. Tanpa instruksi dari Abyan, Vino menambah kecepatan mobilnya. Laki-laki muda berusia dua puluh enam tahun itu tidak mau sampai bosnya jatuh sakit. Ia memotong beberapa kendaraan yang melintas di depannya dengan gesit. Dalam waktu kurang dari setengah jam saja, mereka pun sampai di depan rumah. Melihat mobil majikannya, Pak Mahmud yang merupakan tukang kebun Abyan langsung membukakan pintu gerbang. Mercedes Benz hitam itu pun bergerak memasuki halaman dan berhenti tepat di depan rumah.
“Oeeekkk ... oeeekkk ....” Suara tangisan bayi menggema ke seluruh penjuru ruangan. Nayla dan Bu Saida yang saat itu tidur di kamar tamu bersama Airin, langsung terjaga dari tidurnya. Jam dinding telah menunjukkan pukul 23.45. Nayla segera bangun dan mengecek popok Airin. Mungkin bayi itu merasa tidak nyaman karena popok yang dipakainya sudah hampir penuh. Nayla pun segera menggantinya. Namun, setelah popoknya diganti, Airin tidak juga diam. Tangisannya malah semakin menjadi-jadi. “Mungkin dia haus, Nay. Biar Ibu gendong. Kamu bikinin susu gih!” “Iya, Bu.” Nayla pun bergegas membuatkan susu formula yang sudah ia siapkan di atas nakas beserta botol dan airnya. Sementara Bu Saida menggendong Airin dan berusaha menenangkannya. Setelah susunya jadi, Nayla segera memberikan botol itu kepada ibunya. Bu Saida pun meminumkan susu itu kepada Airin. Seketika Airin berhenti menangis dan menyusu dengan kuat. Sepertinya bayi mungil itu benar-benar sangat kehausan.
Dengan langkah kakinya yang lebar, dalam hitungan detik Abyan sudah berdiri di depan pintu kamar tamu yang ditempati oleh Nayla dan Airin. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pria yang tengah memakai kaus hitam dan celana pendek itu segera membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Seketika itu juga, suara tangisan Airin pun berhenti. “Mas Abyan!” Nayla terperanjat kaget. Saat itu ia tengah berbaring di sisi Airin sambil memberinya susu formula. “Em ... maaf, Nay. Aku hanya ingin melihat Airin,” ucap Abyan dengan sedikit gugup. Ia merasa bersalah karena menerobos masuk begitu saja dan membuat gadis bermanik cokelat itu kaget. Nayla pun segera mengubah posisinya menjadi duduk. Jantungnya tiba-tiba berdegup dengan kencang saat berhadapan dengan Abyan. Dia jadi salah tingkah dan merasa kurang nyaman saat berada di dekat laki-laki yang masih berstatus sebagai kakak iparnya itu. “Nay, kamu sudah salat Subuh belum?” tanya Mama Mayang yang tiba-tiba muncu
Tok tok tok! Suara ketukan pintu membuat Abyan terseret ke alam nyata. Sejak beberapa saat yang lalu, pria itu berdiri sambil termenung menatap foto pernikahannya dengan Aleya yang tergantung di dinding kamarnya. Pintu pun terkuak. Sosok Rea tampak berjalan memasuki kamar kakaknya. “Kak Abyan, ayo kita turun! Petugas KUA sudah datang,” seru gadis cantik yang memakai kebaya berwarna kuning keemasan itu. Abyan pun memutar kepalanya ke arah Rea. Baju pengantin berwarna putih yang dipadukan dengan kain batik tampak membalut tubuhnya yang tinggi besar. Kopiah berwarna senada bertengger di kepalanya. Kalung bunga melati yang tergantung di leher, menambah kesempurnaan penampilannya siang itu. “Hari ini Kakak terlihat sangat tampan,” puji Rea sambil tersenyum. “Tapi akan lebih tampan lagi kalau ada senyuman yang menghiasi wajah Kakak.” “Bagaimana aku bisa tersenyum, Rea? Aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Aku tidak mencintai Nayla,” te
Abyan bergegas menuju kamar tamu untuk melihat bayinya. Nayla mengikutinya dari belakang. Sesi foto keluarga pun terpaksa dihentikan. Papa Angga dan Mama Mayang menggiring para tamunya untuk mencicipi jamuan makan siang yang telah disediakan di meja prasmanan. “Airin!” seru Abyan yang terlebih dahulu sampai ke kamar tamu. Di sana ada Mbok Sum yang tengah menjaga Airin selama akad nikah berlangsung. “Airin kenapa, Mbok?” tanya Abyan mendekati mereka. “Non Airin baru bangun tidur, Tuan. Mungkin dia kehausan,” sahut Mbok Sum yang sedang menggendong Airin dan berusaha menenangkannya. “Mbok, berikan Airin padaku!” seru Nayla yang sudah memasuki kamarnya. Mbok Sum pun segera memberikan bayi itu. “Cup cup cup ... Sayang, jangan nangis lagi ya! Mama ada di sini,” desis Nayla berusaha menenangkan Airin. Dikecupnya pipi tembam bayi itu dengan penuh kasih sayang. Tak lama kemudian, tangisan Airin pun mereda. Benar-benar ajaib! Abyan terpaku mempe
Benar saja, Revan masih berusaha keras untuk menghubunginya. Jantung Nayla semakin berdebar tidak karuan. Hatinya diliputi ketakutan yang kian mencekam. Apakah ia harus jujur dan membongkar semuanya? Apakah ia harus mengakhiri hubungannya dengan Revan dan membiarkan hati mereka sama-sama tersakiti? Di tengah kekalutannya, tiba-tiba seorang wanita berusia tiga puluh tahunan masuk ke kamarnya. Wanita itu tidak lain adalah seorang MUA (Make Up Artist) yang tadi meriasnya. Tanpa berpikir panjang, Nayla segera mematikan ponselnya dan menaruhnya di atas nakas. “Mau dilepas sekarang Mbak, kebayanya?” tanya wanita bermata sipit itu. “Eh ... iya, Mbak,” jawab Nayla sedikit gugup. Setelah melepas semua hiasan kepala dan pakaian pengantinnya, Nayla pun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di bawah siraman air shower yang segar, pikiran Nayla kembali dipenuhi oleh bayang-bayang Revan. Hatinya kian gelisah dan dipenuhi rasa bersalah. Ia tidak a
Nayla memasuki kamarnya. Sekilas ia melirik ke arah jarum jam dinding yang hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Lalu pandangannya teralih ke arah Airin yang tertidur pulas di atas ranjang dengan kain bedung bermotif binatang yang membalut tubuh mungilnya. Di jam-jam seperti ini, Airin memang sangat anteng. Namun, saat tengah malam, bayi itu akan terbangun dan menangis dengan kencang karena kehausan. Nayla sudah sangat hafal karena sudah satu minggu ia tidur bersamanya. Nayla mengambil tas perlengkapan bayi, lalu memasukkan semua pakaian Airin, popok, susu formula, dan perlengkapan bayi lainnya. Setelah semuanya beres, ia pun menggendong Airin dengan hati-hati sekali agar bayi itu tidak kaget dan terbangun, kemudian mencangklongkan tas perlengkapan bayi tersebut di bahu kanannya. Dengan sebongkah keraguan dalam dada, Nayla beranjak keluar dari kamarnya. Langkah kakinya terasa amat berat. Saat itu ia benar-benar takut kalau Abyan akan menolaknya mentah-mentah dan m
Nayla membuka mata saat suara tangisan Airin menusuk gendang telinganya. Ia pun beringsut bangun. Dengan cepat kedua tangannya membuka kain bedung yang membalut tubuh Airin, lalu mengecek popoknya. “Airin kenapa, Nay?” Suara Abyan membuat Nayla tersentak kaget. Tiba-tiba pria itu sudah berdiri tegak di sampingnya. Ia sama sekali tidak mendengar langkah kakinya. “Emh ... ini, Mas. Kayaknya popoknya penuh. Aku akan menggantinya,” sahut Nayla tanpa menoleh ke arah pria itu. Tangannya bergerak cepat merobek sisi kanan dan kiri popok Airin. “Mungkin dia haus,” tutur Abyan dengan panik saat tangisan Airin terdengar semakin kencang. “Iya, Mas. Apa Mas bisa menolongku untuk membuatkan susu?” tanya Nayla yang sudah berdiri untuk mengambil popok baru di dalam tas perlengkapan bayi. “Baiklah. Mana susunya?” Nayla pun mengeluarkan satu kotak susu formula, botol kecil, dan termos kecil dari dalam tas, lantas menyerahkannya kepada Abyan. Aby