Share

04 | Luka dan Amarah

Terlalu buru-buru adalah tindakan paling merugikan.

Fiona sudah bersiap membawa tubuh ke luar ruangan. Kebetulan sempat menangkap sosok adik kembarannya melintas bersama dua cewek yang pernah melakoni perkenalan singkat bernama Anaya Anvika dan Jihan Farahah. Ada keinginan memiliki hubungan lebih dekat dengan mereka melihat betapa asiknya ketiga cewek itu bercengkrama di tengah padatnya lalu lintas area sekolah saat ini.

Anggap saja sebagai pembentukan eksistensi agar namanya bisa sebagus di sekolahnya dulu. Maka perlu berbagai upaya, salah satu cara adalah dengan menempeli Flora. Dia sempat mengira adiknya tidak akan mengambil predikat siswi terkenal di tempat semegah SMA Tunas Harapan yang digadang-gadang selalu sukses mengeluarkan ratusan murid berprestasi setiap tahun. Akan tetapi, mengingat nilai rapor sodoran Prabu semalam serta meneliti langsung setiap pergerakan membuktikan atensi Flora benar-benar nyata.

Oleh karena itu, Fiona melangkah penuh percaya diri di belakang adik kembarannya sejak kali pertama menginjakkan kaki memasuki area sekolah. Mungkin akan terus berlanjut hingga dia memiliki nama besar sendiri. Fiona butuh pengakuan untuk bisa berkembang, sama seperti yang dilakukannya dulu.

Pergerakan tergesa menyusuri koridor amat ramai dipenuhi siswa-siswi ternyata berbuah malapetaka. Fiona tak sengaja menyenggol bahu seseorang sampai terjungkal ke belakang, hampir saja membuat luka serius jika saja gerombolan lain enggan mengulurkan tangan. Terlalu gegabah mengakibatkan sesuatu buruk terjadi begitu saja tanpa bisa dihindari.

"Fay, lo nggak apa-apa?"

"Sialan."

"Siapa yang berani nabrak ketua kita? Ngaku lo semua!"

Sentakan lantang menyemburkan api dari mulut lebar cewek bername-tag Gita Prianka sontak menghentikan setiap aktivitas para murid di sana, tak terkecuali Fiona yang langsung merasa jantungnya berhenti berdetak sejenak. Sungguh, bukan keinginannya untuk mencari masalah. Apalagi dia masih terlalu dini berada di lingkungan asing dan suasana menegangkan seperti ini.

"Kayaknya cewek itu, deh, Git," bisik seseorang yang masih terdengar jelas tertangkap gendang telinga Fiona.

Menutup mata rapat-rapat, tubuh cewek itu semakin diguncang ketakutan. Tak hanya gemetaran hebat, kepala pun enggan menoleh sekadar menunjukkan wajah bersalah. Padahal, dengan meminta maaf bisa saja melunturkan emosi mereka, tetapi justru bukan menjadi opsi yang dia lakukan selanjutnya.

Fiona buru-buru melarikan diri. Merancang skenario dadakan untuk keluar dari suasana menegangkan. Berharap segala usaha tak menghianati hasil. Harap-harap cemas tatkala langkah demi langkah melaju menjauh menghindari debaran menggila yang semakin mengusik ketenangan. Terasa berat sekali meski ada hasrat besar terbebas dari semua ini.

"Lo!"

Fiona mematung kala menangkap pekikan lantang yang menggema sempurna. Semua mata sudah tertuju padanya. Tidak salah lagi, dia telah tertangkap basah. Terlampau telat sekadar mengangkat kaki. Tubuhnya juga terlanjur kaku sebab dilanda kegugupan luar biasa. Akhirnya, memilih pasrah saja. Berdiri tegap tanpa berani bergerak sedikit pun. Menunggu kelanjutan aksi mereka terhadapnya.

Belum genap mengambil napas sempurna, tubuh Fiona terjerembab usai mendapat dorongan berkekuatan super dari arah belakang. Persis seperti aksi yang sempat dia lakukan, tetapi gagal. Namun, sungguh! Dia tidak berniat menyakitinya!

"Punya nyali lo nantangin kita?"

Aksi bar-bar seorang Gita disambut decak ngeri para murid yang mematung di sekitar. Hawa panas menegangkan sarat akan keselamatan cewek bermata lentik itu. Fiona tak ingin lagi melarikan diri. Toh, hasilnya sama saja dan mungkin akan mendapat ganjaran lebih parah dari ini.

Maka, tubuh yang sempat mencium keramik dingin perlahan bergerak menjulang. Memberanikan seluruh raga menghadap muka antagonis cewek berambut sebahu di depannya. Fiona juga mengarahkan mata sekilas ke arah dua manusia lain yang turut bahagia melihat deritanya. Diam-diam melayangkan umpatan. Sebatas kata hati, jauh berbanding terbalik dengan kepasrahan yang dia tunjukkan begitu jelasnya.

PLAK!

Bukan Gita lagi oknum pembuat suara bernada nyeri itu. Melainkan pentolan mereka, Fay Collen. Cewek berparas cantik dengan alis tebal menukik tajam persis aktris luar negeri yang sering wira-wiri di layar televisi. Tak hanya menimbulkan kegaduhan, melainkan panas luar biasa menjalar hingga ke pelupuk mata. Sigap menurunkan tetesan cairan bening tanpa bisa disembunyikan.

"Gue butuh permohonan bukan permintaan maaf," tuturnya penuh penekanan. Mata bak elang terus menyorot sadis menembus kelopak teduh sang lawan bicara.

Ketika suasana diisi bisik-bisik murid yang menilai adegan tak berperikemanusiaan, nyali Fiona lebih merosot tatkala menyadari dia menangani ketiga makhluk keji sendirian. Memang benar kalau tindakan Fay cs keterlaluan, tetapi masih menguatkan fakta bahwa belum ada siswa maupun siswi yang berani mengajukan diri sebagai pahlawan. Jangankan melawan, diberi pelototan untuk diam saja mereka langsung bungkam.

"Permohonan?" Fiona meneguk ludah di sela pertemuan indra penglihatannya dengan cewek berpenampilan menggoda. Selain wajah, bentuk tubuh pun turut menunjang kesempurnaan sosok Fay Collen. Hanya saja, minus etika.

Mendengkus seraya melenggokkan kepala menahan gelak, cewek itu kembali menatap lekat sang lawan bicara yang tampak ketakutan. "Yeah! Permohonan." Fay memajukan langkah, mendekatkan bibir ke arah telinga Fiona. "Memohon ampun dengan berlutut di depan gue," bisiknya membuat bulu kuduk meremang seketika.

Bela dan Gita tersenyum puas melihat perubahan ekspresi Fiona yang semakin pucat pasi. Terlihat jelas cewek itu gagal mengendalikan ekspresi kala mendapat nada rendah andalan sang ketua secara langsung. Memang tak bisa diragukan lagi bahwa predikat cewek paling ditakuti di SMA Tunas Harapan jatuh kepada siswi bernama Fay Collen.

Sekali melakukan kesalahan, entah disengaja atau tidak, hukumannya tetap sama; berlutut memohon ampun.

"Tap-tapi ... Aku harus ke kantin dulu ... Menemui saudaraku," cicit Fiona terbata yang mendadak menyeret adik kembarannya. Begitu sadar kelepasan membongkar status keluarga, dia segera menutup mulut menggunakan dua tangan.

"Saudara?" Fay mengerutkan kening antara terkejut dan tidak menyangka.

"Kebetulan juga kita mau ke kantin."

Detik itu juga, Fiona dibawa paksa oleh dua bawahan Fay menuju ruang penuh makanan. Melewati jalur riuh yang langsung terbelah saat mengetahui kedatangan ketiga cewek berwajah antagonis itu. Fiona cukup takjub dibuatnya. Benar-benar sangat ditakuti sekaligus disegani sampai-sampai semua murid rela menepi guna memberi jalan VIP untuk mereka.

Baru saja sampai, tatapan Fay langsung tertuju pada cewek yang sudah siap berdiri tegak di ujung ruangan. Kantin berubah senyap saat pertemuan empat mata dua manusia itu terjadi. Amat dramatis dan berlangsung lumayan lama. Hingga tepukan dari Gita dibarengi bisikan mengenai informasi bahwa Flora adalah saudara sanderannya kontras membuat Fay tergelak seketika.

Tak butuh waktu lama, mereka memilih menghampiri meja berisikan sekumpulan pengikut Flora. Sempat mengeluarkan sorot sayu memandang Rizal masih setia berdiri sebelah cewek berambut kecokelatan itu. Ada perasaan sakit hati bercampur amarah mengingat kembali masa lalu saat mendapat penolakan mentah-mentah dari seorang incarannya sedari awal pertemuan. Daniswara Rizal. Begitu memikat melalui pesonanya, tetapi amat menyakitkan ketika menyadari dia mendambakan cewek lain yang ternyata adalah musuh abadinya.

"Long time no see, ya, Flora Gavesha," sapa Fay tersenyum lebar sebagai sambutan untuk kali pertama bertemu setelah memakan habis kenyataan kebersamaan cowok incarannya dengan cewek di depannya.

"Lo punya hobi baru sekarang?" Flora tak segan meninggikan nada suara meski jarak di antara lawan bicara tidaklah berjauhan.

"Bullying? Yeah. Lo baru tahu?"

"Bukan. Tapi pansos," papar seseorang amat lantang yang mendadak menjadi pusat perhatian.

Laki-laki bersurai hitam itu memilih melenggang pergi setelah mendapat kecaman brutal dari Gita dan Bela. Sementara aksi nekatnya mendapat penghargaan khusus dalam hati Fiona. Sungguh, dia masih dimabuk kepalang akan kelebihan cowok berbadan tinggi menjulang. Terlalu fokus mengintai sampai kehilangan jejaknya dari gerombolan siswa-siswi yang menonton.

"Menjijikkan," desis Flora lekas menepi, menarik lengan saudaranya meninggalkan kantin.

Fay menggeram marah, mengepalkan kedua tangan erat. Siap memangsa siapa saja sebagai ajang kepuasan melampiaskan hasrat untuk menghancurkan Flora. Sekian lama menanti perdebatan penuh gejolak, berakhir selalu merasa gagal meluapkan letupan menyesakkan dada. Keberadaan Rizal memang sangat berpengaruh besar.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status