Home / Romansa / UTANG DIBAYAR CINTA? / Bab 5 – Antara Tatapan dan Bisikan

Share

Bab 5 – Antara Tatapan dan Bisikan

Author: Agnes
last update Last Updated: 2025-04-18 11:10:22

 

Hari Senin selalu jadi musuh banyak orang, tapi bagi Ayuna, hari itu terasa seperti lembar baru yang beratnya setara dengan hidup yang harus dipertaruhkan.

Dia berdiri di depan cermin kecil di kamar kosnya, menatap pantulan wajahnya yang ditata seminimal mungkin. Tidak menor, tapi cukup pantas untuk standar Mahendra Corp yang katanya perfeksionis kelas atas. Kemeja putih, rok pensil hitam, dan sepasang sepatu pantofel lama yang disemir seadanya agar tetap terlihat layak.

“Bukan untuk pamer, cuma untuk bertahan,” gumamnya pelan, mencoba menyuntikkan keberanian ke dirinya sendiri.

Sesampainya di lobi Mahendra Corp, pandangan puluhan mata langsung tertuju padanya. Bukan hanya karena dia pendatang baru, tapi juga karena sejak semalam, beberapa foto gala dinner sudah tersebar di akun media sosial internal perusahaan.

CEO Mahendra Corp datang bersama wanita misterius.
Siapa perempuan yang mendampingi Aqil Mahendra?
Pacar? Tunangan? Atau hanya rekan bisnis?

Bisik-bisik itu menggema meski tak terdengar. Tatapan mencurigakan, senyum basa-basi, dan lirikan cepat jadi sambutan resmi Ayuna pagi itu.

Wulan, sekretaris pribadi Aqil, menyambutnya dengan anggukan sopan. “Silakan langsung ke lantai 30. Pak Aqil sudah menunggu.”

Lantai 30. Lantai tertinggi. Lantai yang katanya hanya bisa diakses orang-orang tertentu. Dan kini, Ayuna resmi masuk dalam daftar itu.

Ketika pintu lift terbuka, aroma khas ruangan ber-AC bercampur wangi kopi premium menyambutnya. Desain interior ruang kantor itu minimalis, modern, dan... dingin. Bukan karena suhu, tapi karena atmosfernya.

“Masuk.” Suara itu datang dari balik pintu kaca buram bertuliskan Aqil Mahendra, CEO.

Ayuna melangkah masuk dengan hati yang dipaksa tetap tenang.

Aqil duduk di belakang meja besar, mengenakan setelan biru tua. Kali ini tanpa dasi, tapi tetap terlihat terlalu mahal untuk disentuh.

“Kamu telat dua menit,” katanya tanpa menatap.

Ayuna menghela napas pelan. “Saya sempat dimintai ID di resepsionis.”

Aqil menatapnya sejenak, lalu berdiri dan menyerahkan satu map coklat.

“Mulai hari ini, kamu akan ikut dalam rapat-rapat besar. Dengarkan, catat, dan pelajari pola kerja saya. Kamu bukan sekretaris. Kamu bukan staf biasa. Kamu pendamping yang akan membuat orang berpikir saya punya ‘penyeimbang’.”

Ayuna menyipitkan mata. “Penyeimbang atau tameng?”

Aqil tersenyum kecil. “Keduanya.”


Hari itu berjalan cepat. Dari satu rapat ke rapat lain, dari presentasi dengan investor asing, hingga makan siang yang penuh basa-basi. Ayuna duduk diam di samping Aqil, memperhatikan, mencatat, dan sesekali terlibat dalam diskusi ringan.

Beberapa orang mulai mendekatinya. Ada yang ramah, ada yang pura-pura sopan.

“Hebat juga kamu bisa deket sama Pak Aqil. Padahal biasanya dia... terlalu pilih-pilih,” bisik salah satu staf wanita dengan nada sinis.

Ayuna hanya tersenyum. “Saya juga masih belajar. Tidak semua yang kelihatan indah, semudah itu dijalani.”

Di akhir hari, Ayuna kembali ke ruang Aqil. Kakinya pegal, kepalanya berat. Tapi di matanya, ada rasa lega—karena ia berhasil melewati satu hari tanpa jatuh.

“Bagus,” komentar Aqil singkat saat ia menyerahkan catatan rapat.

“Kamu bahkan belum baca,” balas Ayuna.

“Saya lihat dari cara kamu tetap tenang. Itu lebih penting daripada sekadar tulisan.”

Ayuna hampir membalas, tapi mendadak perutnya berbunyi pelan. Ia menunduk malu. Seharian belum makan karena terlalu sibuk menyesuaikan diri.

Aqil menatapnya sejenak, lalu membuka laci meja dan melemparkan sebatang protein bar.

“Makan. Kamu kelihatan hampir pingsan.”

Ayuna memandangi cokelat itu dengan ekspresi aneh. Tidak mengira pria sekeras Aqil bisa memperhatikan hal sekecil itu.

“Kamu nggak harus pura-pura peduli, Pak Aqil. Saya tahu ini cuma kontrak,” katanya lirih.

Aqil menatapnya lama. “Saya tidak pura-pura. Tapi kalau kamu nyaman menganggap saya tidak peduli, silakan.”

Dan Ayuna tahu—jawaban itu bukan karena dingin. Tapi karena Aqil takut ditanya lebih dari itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • UTANG DIBAYAR CINTA?    Bab 26 – Tanpa Kata Kontrak

    Ruang konferensi di lantai 15 terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu temaram, dan hanya dua cangkir kopi yang tersisa di meja panjang yang belum dibereskan. Ayuna dan Aqil duduk berseberangan. Di antara mereka, kotak kecil yang tadi dibawa Ayuna.Aqil menatapnya, matanya tak melepaskan pandangan sejak mereka duduk. “Kamu mau mulai duluan atau aku?”Ayuna menarik napas panjang. “Aku dulu.”Ia membuka kotak, mengeluarkan kertas kontrak pertama yang dulu ia tandatangani. “Kita mulai dari ini. Selembar kertas yang mengikat semuanya. Tapi juga… yang merusak banyak hal.”Aqil mengangguk pelan. “Aku tahu. Dan aku nyesel.”“Aku juga salah karena menyetujui itu tanpa benar-benar mikir jauh. Tapi saat itu aku butuh... terlalu butuh jalan keluar,” ucap Ayuna. “Aku nggak pernah sangka, dalam prosesnya, aku bakal kehilangan banyak bagian dari diriku sendiri.”Aqil bersandar, tangan dikepal di pangkuan. “Ayuna, aku nggak pernah anggap kamu hanya bagian dari solusi. Aku tahu sejak awal kamu lebih d

  • UTANG DIBAYAR CINTA?    Bab 25 – Rahasia yang Terkubur

    Suara notifikasi ponsel berdering bertubi-tubi sejak pagi. Ayuna duduk di tepi tempat tidur, menatap layar dengan ekspresi kosong. Banyak pesan masuk, sebagian dari rekan kerja lama, sebagian dari orang asing yang menyebar simpati sekaligus sindiran.Satu pesan dari Vina membuatnya benar-benar bangkit dari tempat tidur:"Yun, kamu harus lihat ini. Ada video wawancara ibu kandung Aqil di kanal berita gosip. Kayaknya ada hal besar yang dia sembunyiin selama ini."Ayuna membuka tautan yang dikirimkan. Video itu memperlihatkan seorang wanita elegan, berusia sekitar enam puluhan. Wajahnya masih cantik meski dihiasi garis-garis usia. Dialah Bu Arlina, ibu kandung Aqil yang selama ini jarang muncul ke publik.“Aqil selalu anak yang keras kepala,” ucap Bu Arlina di video. “Dan dia punya trauma yang tak semua orang tahu. Ketika ayahnya pergi dari rumah—bukan karena perceraian, tapi karena memilih perempuan lain—Aqil yang menyaksikan semuanya. Usianya baru delapan tahun saat itu.”Ayuna membeku

  • UTANG DIBAYAR CINTA?    Bab 24 – Senjata Masa Lalu

    Pagi itu, Ayuna membuka pintu kontrakan setelah ketukan panjang yang mengganggu. Ia mengira kurir makanan atau tetangga, tapi ternyata...“Nggak nyangka kamu beneran tinggal di tempat seperti ini,” ujar Nabila sambil mengamati interior kontrakan mungil itu dengan ekspresi geli.Ayuna menahan napas. “Kamu datang ke sini tanpa izin. Aku bisa lapor.”Nabila masuk begitu saja, tanpa menunggu dipersilakan. “Silakan. Tapi kamu tahu, aku bisa bikin cerita lebih dulu—tentang perempuan yang ‘diselundupkan’ ke hidup seorang CEO. Kamu tahu seberapa cepat berita itu menyebar?”Ayuna mengepalkan tangan. “Apa sih sebenarnya maumu?”Nabila menoleh dengan senyum miring. “Mudah. Pergi dari hidup Aqil. Serahkan dia padaku. Dengan begitu, semua kembali seperti seharusnya.”“‘Seharusnya’ versi siapa?” Ayuna menyela tajam namun tetap tenang.“Versi dunia yang biasa menerima seseorang seperti aku, dan akan selalu menolak orang seperti kamu,” kata Nabila dingin.Ayuna menghela napas. “Kamu terlambat. Aku su

  • UTANG DIBAYAR CINTA?    Bab 23 – Pilihan yang Tak Sederhana

    Pagi itu, apartemen Ayuna terasa sunyi. Hana sudah berangkat sekolah bersama Ibu Nur yang kini justru sering membantunya, setelah dulu nyaris jadi sumber masalah. Ayuna berdiri di depan cermin, memandangi wajahnya yang tampak lelah—mata sembab dan kulit pucat tak bisa disembunyikan dengan riasan tipis.Kata-kata Bu Rumi masih terngiang jelas dalam kepalanya. Tentang cinta. Tentang keberanian. Tentang ketidakadilan yang harus dihadapi sendiri.Teleponnya berdering. Nama Vina muncul di layar. Ayuna ragu sejenak, lalu menjawab.“Yun, gue harus bilang sesuatu,” kata Vina tanpa basa-basi. “Hari ini, nama lo muncul di grup kantor Mahendra Creative. Ada gosip lo dibilang jadi ‘simpenan’ bos besar. Lo ngerti artinya?”Ayuna membeku.“Aqil...?”“Dia nggak ngomong apa-apa. Tapi orang-orang mulai tanya-tanya. Beberapa ada yang nyari tahu siapa lo sebelum kerja jadi kontrakannya. Gila, Yun. Gila banget.”Ayuna menarik napas panjang. “Vina, kalau ini makin besar... gue nggak bisa nyeret lo juga ke

  • UTANG DIBAYAR CINTA?    Bab 22 – Tumbal yang Tak Terucap

    Malam itu, Ayuna duduk sendiri di balkon rumahnya. Hana sudah tidur, dan Vina baru saja pulang. Ia menatap langit Jakarta yang kelam, lampu-lampu terlihat samar dari balik tirai tipis yang bergerak perlahan. Di tangannya, surat pengunduran diri dari beasiswa masih terlipat rapi. Ia belum benar-benar menyerahkannya—meski dalam hati, ia sudah mulai melepaskan banyak hal. Lalu ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal masuk: “Besok pukul 10 pagi. Café Nostalgia, Jl. Suryo. Datanglah sendiri. – Nabila.” Ayuna memandangi layar itu lama. Dalam benaknya, terngiang ucapan Vina beberapa hari lalu: "Kadang, lo harus tahu siapa musuh lo sebenarnya, Yun. Bukan cuma dari kata-kata, tapi dari caranya tersenyum didepan lo , sambil nyiapin pisau dari belakang." Keesokan paginya, Ayuna datang ke kafe itu dengan jaket panjang dan syal, mencoba menyamarkan dirinya dari perhatian publik. Nabila sudah duduk di pojok, dengan segelas kopi latte dan kacamata hitam besar seperti selebrita

  • UTANG DIBAYAR CINTA?    Bab 21 – Jarak yang Tak Pernah Diminta

    Sudah seminggu lamanya sejak Ayuna memutuskan mengambil jarak diantara mereka berdua. Tidak ada pesan dari Aqil, tidak ada tugas dadakan atau meeting dadakan yang harus di ikuti , atau entah tugas tugas lain yang sebenarnya hanya basa basi untuk bertemu. Bahkan tidak ada tanda-tanda keberadaan pria itu di media sosial. Ayuna duduk di meja kerja kecilnya, mencoba menulis ulang resume. Ia memutuskan untuk kembali mencari pekerjaan tetap. Kontraknya dengan Aqil belum selesai secara hukum, tapi untuk saat ini, Ayuna memilih berdiri sendiri. Vina datang sore itu, membawa dua gelas kopi dingin dan ekspresi khawatir yang tak bisa disembunyikan. “Lo yakin mau balik kerja, Yun? Kontrak lo masih berjalan.” Ayuna mengangguk sambil memandangi layar laptopnya yang kosong. “Justru karena masih berjalan. Aku nggak mau hidup cuma nunggu di balik status itu. Kalau semua ini cuma sementara, setidaknya aku udah siap.” Vina duduk di ujung ranjang, menatapnya lekat-lekat. “Gue ngerti sih... tap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status