Share

Bab 2

"Rika, kamu nggak boleh perhitungan gitu dong sama keperluan rumah tangga kita. Wajarlah kalo kamu membeli apapun itu seputar kebutuhan. Nggak ada salahnya. Artinya kamu mampu. Anggap aja sebagai salah satu bentuk pengorbanan."

Aku ingin tertawa mendengarnya bicara. Semudah itu dia berkata-kata.

"Mas bilang apa? Pengorbanan?" kilahku.

"Kalau gitu, apa bentuk pengorbanan kamu, Mas? Masa cuma aku doang yang harus berkorban?" aku melanjutkan kata-kataku.

"Dek, nanti kalo aku udah punya yang banyak, aku bakalan beliin rumah mewah buat kita. Sekarang uangnya lagi aku kumpulin kok."

"Jujur aja, Mas! Selama ini kamu nggak tabung uang kamu, kan? Makanya kamu nggak ngebolehin aku liat buku tabunganmu." Sergahku. Tentu saja semua itu aku tahu dari pesan-pesannya pada mertuaku.

[Ibu bangga kamu bisa selalu komitmen kasih gajimu sama ibu, Nak. Teruslah jadi anak berbakti.]

[Iya dong, Bu. Ibu kan  wanita nomor satu yang paling berjasa, tentu aku akan berjuang buat ngebahagiain ibu]

Begitulah sepenggalan pendek di antara pesan-pesan mereka yang kubaca kemarin.

Kulihat mata Mas Valdi membulat.

"Darimana kamu tahu, Rika? Tahu apa kamu soal tabungan aku. Lagian itu kan bukan urusanmu! Kerjaanmu sebagai istri aja nggak bisa becus, mau sok ngurusi uangku juga. Benahi dulu tugas kamu, Rika! Baru ngurusin hidup aku!"

Aku meradang dengan ucapan Mas Valdi.

"Mas pikir aku nggak tahu kalo selama ini Mas nggak pernah nabung?  Tapi sebenarnya uangmu malah selalu kamu kirimin ke ibu?"

Kali ini aura Mas Valdi berubah.

"Dek, sebaiknya jaga bicara kamu. Kamu itu istriku, Dek. Dengerin kata-kataku. Dosa hukumnya kalo membangkang sama suami. Kalaupun aku ngirimin uang buat ibu, itu udah jadi kewajibanku sebagai anak. Kamu nggak berhak untuk ngelarang aku ngelakuin itu. Ibuku adalah ratuku, dirinya diatas segalanya. Tolong kamu nggak usah mempengaruhi aku supaya membenci wanita yang paling berjasa buat aku, Rika!" suara mas Valdi tetap di nada seperti tadi.

"Emang gak salah, Mas. Tapi kamu nggak mikirin aku yang ngos-ngosan mengatur uang buat kebutuhan kita, dan semua itu cuma ngandelin uang aku aja. Sedangkan uangmu malah kamu royal-royalin buat keluarga kamu aja!" pukasku.

"Nggak usah bicara terlalu jauh, Rika! Aku suamimu! Hormati aku dan keputusanku! Kalau kamu nggak mau jadi istri kualat! Nggak ngerti dosa kamu ya!"

"Mas, kamu nggak usah bicara tentang dosa istri, sedangkan dosa suami ajah kamu belum ngerti." Jawabku.

"Rika, kalo kamu nggak mampu bikin aku nyaman di rumah ini, nggak mampu nyenengin hati suami, setidaknya kamu jangan bikin aku dongkol kayak gini!"

Aku mengusap dada, sudah terlalu banyak waktu yang telah aku habiskan demi untuk kenyamanannnya. Tapi rupanya semua itu tak berarti bagi Mas Valdi. Percuma!

"Ingat Rika, kalo kamu selalu bikin aku kesal, jangan salahin aku kalo aku mencari kenyamanan di luar sana!" ancamnya.

Mas Valdi mengumpat penuh kesal. Aku mengusap dada. Luar biasa rasanya menghadapinya. Dia selalu berusaha mengelak. Padahal aku sudah tahu bagaimana isi chatnya pada ibu. Benar-benar tidak mau disalahkan.

Selepasnya pergi. Aku bergegas menemui putriku. Mengantarnya sekolah sekalian berangkat kerja. Untung tadi Clara tidak mendengar perseteruan kami.

Hari-hari terasa begitu mengesalkan akibat ulah Mas Valdi. Membuatku kurang bersemangat. Hanya saja aku masih berusaha untuk fokus terhadap pekerjaan yang aku lakoni.

"Kenapa, Rika? Kok tumben mukamu lesu? Apa ada masalah sekitar pekerjaan?" Sebuah suara berat menyapa tatkala aku memasuki ruangan kantor.

Aku menoleh.

Pak Raka rupanya. Atasan di tempatku bekerja.

"Nggak ada apa-apa, Pak," jawabku berusaha santai.

Dalam hati aku menyayangkan sikapku. Bukankah perihal masalah rumah tangga tidak boleh di bawa ke tempat kerja?

Aku menghadap layar PC.  Memperhatikan setiap daftar kerja yang harus aku selesaikan hari ini. Meskipun terkadang titik fokusku tidaklah menuju ke sana.  Aku masih terngiang-ngiang ucapan Mas Valdi tadi.

[Ingat Rika, kalo kamu selalu bikin aku kesal, jangan salahin aku kalo aku mencari kenyamanan di luar sana!]

Apa benar Mas Valdi punya cara berpikir seperti itu? Apa dia tidak bisa merasakan sisi positifku yang berjuang selama ini? Atau dia hanya melihatku dari sisi keburukanku saja?

Ah sudahlah, tidak baik jika selalu berpikiran negatif.

Aku berusaha membuang prasangka tersebut.

"Hei, Rik, kok kamu nggak ikut ngumpul sama keluarga suamimu?" Tegur Nia.

Aku menyipitkan mata.

"Ngumpul keluarga?" aku bingung.

"Iya, tadi aku liat postingan adik iparmu. Seluruh keluarganya lagi ngumpul lho. Bentar ya," Nia meraih ponselnya.

"Nih!" Ia menyodorkan benda pipih itu padaku.

Keningku berkerut.

Disana kulihat semua foto dan video yang di posting oleh Dira, adik bungsu suamiku. Di sana lengkap mereka lima bersaudara beserta ibu mertua. Tak lupa semuanya ngumpul lengkap bersama anak-anak mereka. Mereka sepertinya sedang piknik. Terlihat dari kawasan tempat mereka berfoto adalah sebuah tempat yang cukup kukenal. Begitu cerianya muka Mas Valdi di sana. Ia memeluk dan mencumbui keponakan-keponakannya.

Yaaa, aku baru ingat, ternyata ini acara keluarga yang di sebut-sebut oleh Ibu Mertuaku di pesan yang ia kirimkan ke Mas Valdi kemarin? 

Tidak adakah sedikit saja basa- basi dari Mal Valdi atau yang lainnya untuk turut mengajakku? Ya Rabb ... Apa aku tidak dianggap di keluarga mereka.

"Gimana? Bener, kan?" ucap Nia.

Aku mengangguk.

Aku mengingat Clara, ya Tuhan Nak. Ayahmu juga sepertinya melupakanmu di momen acara kumpul-kumpul  sanak saudaranya. Hal ini membuatku semakin pilu. Mengapa harus melupakan Clara? Bukankah Clara darah daging mereka?

Aku semakin pias.

'Tenang, Nak. Nanti ibu yang akan ngebawa kamu liburan,'batinku.

Ingat sekarang mas Valdi, tidak akan ada lagi jatah bulanan buat ibumu, dan tidak ada lagi pelayanan ekstra buatmu!

Aku sadar, tanggung jawabku adalah Clara seorang. Sedangkan Mas Valdi, ia bukan tanggunganku. Biarlah dia menanggung beban hidupnya sendiri.

"Rika, maaf ya, jika apa yang ku kasih tahu malah bikin kamu sedih,” ujar Nia.

"Ah nggak, Nia. Nggak apa-apa." pukasku.

Ting!

Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau. Pesan siapa lagi ini. Aku mengernyitkan dahi.

[Rika, jangan lupa nanti masak yang banyak ya. Minta masakin soto ayam sama opor. Buat makan malam. Kami mau makan malam di rumah kalian. Oh iya, kuah sotonya tolong yang kental dikit ya] Pesan dari Kak Salma, ipar tertuaku.

Aku tersenyum kecut membaca pesan itu, "Tenang, Kak Salma. Pulanglah kalian kerumahku malam ini, ada hidangan spesial menunggu,"

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Meita
aduhhh penasarann hmm
goodnovel comment avatar
Novita Sari
apa ya jd penasaran
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status