Share

Bab 2

Penulis: Silla Defaline
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-18 11:42:05

"Rika, kamu nggak boleh perhitungan gitu dong sama keperluan rumah tangga kita. Wajarlah kalo kamu membeli apapun itu seputar kebutuhan. Nggak ada salahnya. Artinya kamu mampu. Anggap aja sebagai salah satu bentuk pengorbanan."

Aku ingin tertawa mendengarnya bicara. Semudah itu dia berkata-kata.

"Mas bilang apa? Pengorbanan?" kilahku.

"Kalau gitu, apa bentuk pengorbanan kamu, Mas? Masa cuma aku doang yang harus berkorban?" aku melanjutkan kata-kataku.

"Dek, nanti kalo aku udah punya yang banyak, aku bakalan beliin rumah mewah buat kita. Sekarang uangnya lagi aku kumpulin kok."

"Jujur aja, Mas! Selama ini kamu nggak tabung uang kamu, kan? Makanya kamu nggak ngebolehin aku liat buku tabunganmu." Sergahku. Tentu saja semua itu aku tahu dari pesan-pesannya pada mertuaku.

[Ibu bangga kamu bisa selalu komitmen kasih gajimu sama ibu, Nak. Teruslah jadi anak berbakti.]

[Iya dong, Bu. Ibu kan  wanita nomor satu yang paling berjasa, tentu aku akan berjuang buat ngebahagiain ibu]

Begitulah sepenggalan pendek di antara pesan-pesan mereka yang kubaca kemarin.

Kulihat mata Mas Valdi membulat.

"Darimana kamu tahu, Rika? Tahu apa kamu soal tabungan aku. Lagian itu kan bukan urusanmu! Kerjaanmu sebagai istri aja nggak bisa becus, mau sok ngurusi uangku juga. Benahi dulu tugas kamu, Rika! Baru ngurusin hidup aku!"

Aku meradang dengan ucapan Mas Valdi.

"Mas pikir aku nggak tahu kalo selama ini Mas nggak pernah nabung?  Tapi sebenarnya uangmu malah selalu kamu kirimin ke ibu?"

Kali ini aura Mas Valdi berubah.

"Dek, sebaiknya jaga bicara kamu. Kamu itu istriku, Dek. Dengerin kata-kataku. Dosa hukumnya kalo membangkang sama suami. Kalaupun aku ngirimin uang buat ibu, itu udah jadi kewajibanku sebagai anak. Kamu nggak berhak untuk ngelarang aku ngelakuin itu. Ibuku adalah ratuku, dirinya diatas segalanya. Tolong kamu nggak usah mempengaruhi aku supaya membenci wanita yang paling berjasa buat aku, Rika!" suara mas Valdi tetap di nada seperti tadi.

"Emang gak salah, Mas. Tapi kamu nggak mikirin aku yang ngos-ngosan mengatur uang buat kebutuhan kita, dan semua itu cuma ngandelin uang aku aja. Sedangkan uangmu malah kamu royal-royalin buat keluarga kamu aja!" pukasku.

"Nggak usah bicara terlalu jauh, Rika! Aku suamimu! Hormati aku dan keputusanku! Kalau kamu nggak mau jadi istri kualat! Nggak ngerti dosa kamu ya!"

"Mas, kamu nggak usah bicara tentang dosa istri, sedangkan dosa suami ajah kamu belum ngerti." Jawabku.

"Rika, kalo kamu nggak mampu bikin aku nyaman di rumah ini, nggak mampu nyenengin hati suami, setidaknya kamu jangan bikin aku dongkol kayak gini!"

Aku mengusap dada, sudah terlalu banyak waktu yang telah aku habiskan demi untuk kenyamanannnya. Tapi rupanya semua itu tak berarti bagi Mas Valdi. Percuma!

"Ingat Rika, kalo kamu selalu bikin aku kesal, jangan salahin aku kalo aku mencari kenyamanan di luar sana!" ancamnya.

Mas Valdi mengumpat penuh kesal. Aku mengusap dada. Luar biasa rasanya menghadapinya. Dia selalu berusaha mengelak. Padahal aku sudah tahu bagaimana isi chatnya pada ibu. Benar-benar tidak mau disalahkan.

Selepasnya pergi. Aku bergegas menemui putriku. Mengantarnya sekolah sekalian berangkat kerja. Untung tadi Clara tidak mendengar perseteruan kami.

Hari-hari terasa begitu mengesalkan akibat ulah Mas Valdi. Membuatku kurang bersemangat. Hanya saja aku masih berusaha untuk fokus terhadap pekerjaan yang aku lakoni.

"Kenapa, Rika? Kok tumben mukamu lesu? Apa ada masalah sekitar pekerjaan?" Sebuah suara berat menyapa tatkala aku memasuki ruangan kantor.

Aku menoleh.

Pak Raka rupanya. Atasan di tempatku bekerja.

"Nggak ada apa-apa, Pak," jawabku berusaha santai.

Dalam hati aku menyayangkan sikapku. Bukankah perihal masalah rumah tangga tidak boleh di bawa ke tempat kerja?

Aku menghadap layar PC.  Memperhatikan setiap daftar kerja yang harus aku selesaikan hari ini. Meskipun terkadang titik fokusku tidaklah menuju ke sana.  Aku masih terngiang-ngiang ucapan Mas Valdi tadi.

[Ingat Rika, kalo kamu selalu bikin aku kesal, jangan salahin aku kalo aku mencari kenyamanan di luar sana!]

Apa benar Mas Valdi punya cara berpikir seperti itu? Apa dia tidak bisa merasakan sisi positifku yang berjuang selama ini? Atau dia hanya melihatku dari sisi keburukanku saja?

Ah sudahlah, tidak baik jika selalu berpikiran negatif.

Aku berusaha membuang prasangka tersebut.

"Hei, Rik, kok kamu nggak ikut ngumpul sama keluarga suamimu?" Tegur Nia.

Aku menyipitkan mata.

"Ngumpul keluarga?" aku bingung.

"Iya, tadi aku liat postingan adik iparmu. Seluruh keluarganya lagi ngumpul lho. Bentar ya," Nia meraih ponselnya.

"Nih!" Ia menyodorkan benda pipih itu padaku.

Keningku berkerut.

Disana kulihat semua foto dan video yang di posting oleh Dira, adik bungsu suamiku. Di sana lengkap mereka lima bersaudara beserta ibu mertua. Tak lupa semuanya ngumpul lengkap bersama anak-anak mereka. Mereka sepertinya sedang piknik. Terlihat dari kawasan tempat mereka berfoto adalah sebuah tempat yang cukup kukenal. Begitu cerianya muka Mas Valdi di sana. Ia memeluk dan mencumbui keponakan-keponakannya.

Yaaa, aku baru ingat, ternyata ini acara keluarga yang di sebut-sebut oleh Ibu Mertuaku di pesan yang ia kirimkan ke Mas Valdi kemarin? 

Tidak adakah sedikit saja basa- basi dari Mal Valdi atau yang lainnya untuk turut mengajakku? Ya Rabb ... Apa aku tidak dianggap di keluarga mereka.

"Gimana? Bener, kan?" ucap Nia.

Aku mengangguk.

Aku mengingat Clara, ya Tuhan Nak. Ayahmu juga sepertinya melupakanmu di momen acara kumpul-kumpul  sanak saudaranya. Hal ini membuatku semakin pilu. Mengapa harus melupakan Clara? Bukankah Clara darah daging mereka?

Aku semakin pias.

'Tenang, Nak. Nanti ibu yang akan ngebawa kamu liburan,'batinku.

Ingat sekarang mas Valdi, tidak akan ada lagi jatah bulanan buat ibumu, dan tidak ada lagi pelayanan ekstra buatmu!

Aku sadar, tanggung jawabku adalah Clara seorang. Sedangkan Mas Valdi, ia bukan tanggunganku. Biarlah dia menanggung beban hidupnya sendiri.

"Rika, maaf ya, jika apa yang ku kasih tahu malah bikin kamu sedih,” ujar Nia.

"Ah nggak, Nia. Nggak apa-apa." pukasku.

Ting!

Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau. Pesan siapa lagi ini. Aku mengernyitkan dahi.

[Rika, jangan lupa nanti masak yang banyak ya. Minta masakin soto ayam sama opor. Buat makan malam. Kami mau makan malam di rumah kalian. Oh iya, kuah sotonya tolong yang kental dikit ya] Pesan dari Kak Salma, ipar tertuaku.

Aku tersenyum kecut membaca pesan itu, "Tenang, Kak Salma. Pulanglah kalian kerumahku malam ini, ada hidangan spesial menunggu,"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Meita
aduhhh penasarann hmm
goodnovel comment avatar
Novita Sari
apa ya jd penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 147

    Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 146

    Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 145

    Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 144

    Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 143

    Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 142

    Bab 142Setelah aku mendengar rentetan cerita yang diceritakan secara detail oleh Rangga, tentang bagaimana kronologi aku mendapatkan informasi penting itu dari Melia, barulah aku bisa percaya. "Nah sekarang kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita lakukan setelahnya, kan? Tapi tenang saja kamu tidak perlu membuang-buang banyak waktu untuk mengurus semua masalah ini. Kamu hanya butuh istirahat sekarang, untuk masa penyelesaian masalah tersebut biar kami yang melakukannya." ujar Rangga.***Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Lihat beberapa wajah yang mungkin saja kecewa dengan apa yang terjadi dengan sidang siang ini. Beberapa diantara mereka memang menelan karena kejahatan mereka benar-benar terkuak dan mereka akan sulit sekali untuk mengelak. Rangga memang bisa mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Apa yang telah dipersiapkan olehnya memang berdampak positif pada jalannya sidang. Mereka dibuat kalah telak dengan bukti-bukti yang ada di pihak kami. Sebentar kemudian samar-sa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status