Share

Uangku Bukan Uangmu, Mas!
Uangku Bukan Uangmu, Mas!
Penulis: Silla Defaline

Bab 1

"Mas, uang sekolah Clara bulan ini belum dibayar," kucoba untuk bicara pada Mas Valdi.

"Bilang ajah tuh sama gurunya kita bayarnya ntar tanggal empat. Adek gajian kan tanggal tiga." jawabnya santai.

Jawaban Mas Valdi sedikit membuatku menghela nafas panjang.

"Mas, listrik kita juga belum dibayar bulan ini," lanjutku.

"Iya, Mas tahu. Tunggu ajah sampai tanggal empat, Dek. Sekalian kamu bayarin uang sekolah Clara. Masa gaji kamu belum masuk tanggal empat nanti." jawabnya kembali.

Jawaban yang sangat tidak aku harapkan. Aku berjalan perlahan mendekatinya.

"Mas, bukannya kemarin Mas gajian?" tanyaku.

"Mana ada, Dek. Uang gaji mas belum masuk ke rekening. Lagian kalo pun masuk jumlahnya nggak seberapa juga," lanjutnya.

Setelah berbicara seperti itu, Mas Valdi langsung melangkahkan kaki menuju ke sepeda motornya. Lelaki yang berprofesi sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta tersebut pergi begitu saja.

Aku mendengkus. Kesal pun percuma. lelaki itu pelit sekali mengeluarkan uangnya. Terpaksa aku lagi yang harus mengeluarkan uang. Sebenarnya aku bukannya tidak rela jika harus membayar biaya sekolah Clara. Tapi seharusnya pengeluaran di rumah ini bukan hanya tanggung jawabku. Bukankah aku punya suami? Jadi sepantasnya dipikirkan secara bersama-sama.

Apakah karena gajiku yang sedikit lebih besar darinya hingga membuatnya lalai? Ah entahlah, aku tidak mengerti jalan pemikirannya.

Tapi bagiku, tidak etis juga jika setiap bulan uang yang kudapatkan selalu habis untuk biaya hidup kami, sedangkan uangnya tidak tahu dimana rimbanya. Gajiku yang senilai lima juta itu tidaklah terlalu besar nilainya jika di bandingkan dengan kebutuhan hidup yang serba mahal ini. Sedangkan gajinya yang kutahu berkisar dua juta setengah, kurasa sudah cukup membantu jika dia ingin bekerja sama menutupi kekurangan-kekurangan. Tapi, setiap kutanya soal gajinya, dia selalu saja berkilah jika kita harus berbagi, seluruh uangnya dia ditabung untuk membeli rumah, sedangkan gajiku untuk kebutuhan sehari-hari.

Namun, hingga saat ini aku tidak pernah tahu sudah berapa banyak uang yang ia tabung. Dia tak pernah memberi tahu dan tidak pernah mau jika kuajak bicara soal itu.

Ting!

Aku mendengar suara notifikasi. Aku menoleh, oh rupanya ponsel Mas Valdi ketinggalan. Iseng aku coba mendekat.

Aku menyipitkan mata. Pesan dari ibu mertuaku.

[Valdi, Uang dua juta yang kamu transfer udah masuk rekening ibu. Makasih ya, Nak. Ternyata gajimu udah naik ya, sampe bisa transferin ibu dua kali lipat dari sebelumnya.]

[Oh iya, jangan lupa kalo besok kita ada sedikit acara keluarga. Seperti yang udah kamu bilang kemarin, Ibu udah bilang sama adik-adik kamu kalo semua biayanya kamu yang bakal bayarin. Tolong kamu dateng yang cepet ya. Kalo Rika sibuk ya nggak apa-apa dia nggak ikut. Yang penting kamu yang harus hadir.]

Apa?

Penasaran, aku mencoba menelusuri pesan-pesan sebelumnya.

Jantungku berdegup setelah membaca pesan-pesan dari mertuaku. Ternyata Mas Valdi berbohong selama ini.

Suamiku barusan mentransfer uang pada ibunya? Sedangkan aku yang meminta untuk bayaran sekolah Clara dia bilang belum gajian, justru dia menyuruh menunda pembayaran hingga aku gajian saja. Artinya dia menunggu gajiku. Sedangkan dia mampu buat membiayai acara keluarganya. Kebohongan macam apa ini? Aku mengepalkan tangan. Manahan amarah kekesalan akibat kebohongan suamiku.

Padahal setiap bulan aku juga memberi jatah bulanan pada sang ibu mertua. Tapi ternyata Mas Valdi juga memberi dalam jumlah yang tidak kuduga.

Dan Mas Valdi, mengapa dia tak memberitahuku jika telah gajian? Dan gajinya naik? Kenapa dia tidak menyisihkan uangnya untuk kebutuhan di rumah ini? Mengapa justru hanya ingin mengandalkan aku sendiri? Ya Tuhan... Aku mengelus dada dibuatnya.

Aku mengambil ponselku, dan mencari nomor ibu mertuaku. Aku ingin bertanya langsung pada beliau.

Namun, sebentar kemudian aku mengurungkan niat untuk melakukan itu. Bukankah selama ini beliau selalu merasa bangga dan selalu membenarkan segala tidak tanduk anaknya? Jadi rasanya usahaku untuk menghubunginya akan menjadi sia-sia saja.

Seharian aku memendam kesal di hati. Memikirkan sikap Mas Valdi yang seperti enggan untuk memberikan nafkah penuh padaku dan anaknya? Apakah dia merasa aku bukan tanggung jawabnya? Sedangkan dia masih saja setiap hari menuntut makan, minum, dan pelayanan dariku?

Dengan perasaan tak menentu, aku menarik daun pintu dan mengunci. Perasaan jengkel dan tidak dihargai menjalar ke setiap pembuluh darahku.

Mulailah aku berpikir, apakah selama ini uangnya tidak ia tabung yang katanya untuk memuluskan rencana kami buat membeli rumah impian? Buktinya tadi uangnya malah ia transfer sama ibunya tanpa pernah bicara dulu denganku. Sedangkan aku sibuk memikirkan keuangan rumah tangga kami seorang diri. Ya Tuhaan, rumah tangga macam apa ini? ck... ck... ck...

Kita harus bicara soal ini, Mas Valdi!

Aku bersiap untuk menunggu waktu yang tepat utuk sesi bicara kami. Tidak sabar rasanya ingin mendengarkan penjelasan darinya.

Kulihat Mas Valdi tengan duduk di balkon sembari memainkan gadgetnya. "Ini waktu yang tepat," batinku.

Mas Valdi memang jarang meminta duduk bersama berdua, saling berbicara membahas hal-hal kecil. Mas Valdi selalu asik duduk sendiri dengan ponselnya.

"Aku mau bicara bentar, Mas.," ucapku.

"Bicara soal apa sih, Dek? Nggak kayak biasanya," tanggapnya.

"Soal keuangan rumah tangga kita," jawabku.

"Keuangan rumah tangga kita?" Mas Valdi mengerutkan kening. Aku mengangguk.

"Apa yang ingin kamu bicarain soal keuangan rumah tangga kita, Dek? Keuangan kita bukannya baik-baik aja, kan? Kurasa nggak ada tuh yang perlu kita bicarain," ucapnya. Masih seperti biasa, ia selalu mengelak jika aku ajak bicara soal begini.

"Ya, keliatannya emang biasa dan nggak ada yang salah sih, Mas. Tapi nyatanya aku selalu aja ngerasa kesulitan jika hanya ngandelin gajiku. Terkadang justru aku pusing sama pengeluaran kita. Terkadang uangku nggak sebanding sama pengeluaran kita yang serba mahal ini, Mas," aku memulai dari akar masalah.

"Ya kalo itu sih kamunya ajah yang perlu buat belajar lagi, Dek! Punya otak mah dipinterin dikit. Masa soal gitu ajah kamu masih mau nanya ke aku," ketusnya.

"Gini maksudku, Mas, kalo bisa boleh dong ya kamu bantu-bantu pake uang kamu buat biaya sehari-hari kita. Uangku seret kalo harus mencukupi semuanya, Mas," aku berterus terang.

"Nggak bisa, Dek. Uangku udah kesimpen di bank semua," elaknya.

"Semuanya?"

"Iya, Dek. Jadi nggak bisa diganggu gugat lagi."

"Kalo begitu boleh aku liat buku tabungannya?"

"Eh, kok bicara kamu ke sana sih? Apa kamu nggak yakin sama aku? Kamu kira aku bohongin kamu? Sampe nanyain buku tabungannya lagi."

"Apa nggak boleh aku sekedar liat?" suaraku meninggi.

"Dek, kayak yang sering aku bilang, sekarang fokus sama peran masing-masing saja lah. Bukannya kita udah berbagi, kamu cukupin biaya sehari-hari, dan aku menabung buat beli rumah." ujar Mas Valdi.

"Mas, untuk ini aku butuh kepastian. Kamu bener-bener nabung atau nggak?" kali ini tak kupungkiri suaraku tegas.

"Dek, masa aku bohong? Kamu percaya sama aku dong!"

"Ya, aku cuma tanya apa kamu beneran tabungin gaji kamu atau nggak? Itu aja!" tegasku.

"Iya jelas aku tabunglah gajiku. Memangnya kamu mau ngapain nanya-nanya gaji aku, ha?" suara Mas Valdi meninggi.

"Kalo kamu emang bener nabung, tolong tunjukin sama aku di mana buku tabungannya?" aku ngotot menanyakan buku tabungannya sebab kulihat Mas Valdi tidak mempunyai m-banking di ponselnya. Seandainya dia punya aplikasi itu, pasti sudah kupaksa dia untuk memberitahu pinnya padaku.

"Hei, Jadi kamu mau ikut campur soal uang-uangku? Iya? Rika, aku kasih tahu kamu ya, kamu nggak perlu ikut campur soal uang yang aku dapat melalui keringatku!"

Astaga! Aku benar-benar terkejut dengan jawaban yang ia beri.

"Jadi seperti itu maumu, Mas Valdi?" aku merendahkan suaraku.

"Tentu saja!" jawabnya.

"Baiklah," aku mengalah

Baiklah Mas Valdi. Kita mulai rumah tangga ini dengan cara seperti yang kamu inginkan. Aku melangkah menjauhinya.

*

Hari beranjak pagi, aku bergegas memandikan Clara dan menyiapkan apa yang kami butuhkan. Sebentar kemudian kulihat Mas Valdi keluar menuju ke kamar mandi. Sengaja tak kupedulikan dia.

"Dek, Mana seragam kaos oblong biru sama jeans yang baru kubeli kemarin?"

"Gak tahu, Mas. Masa baju kamu kamu kok nanyanya sama aku," jawabku singkat.

Aku tahu Mas Valdi menatapku tajam setelah mendengar jawaban dariku. Ah, masa bodoh.

"Kamu jawabnya kayak gitu, Rika?" ucapnya.

"Ya," jawabku singkat. Kudengar ia mendengkus.

Kulihat Mas Valdi menuju ke meja makan.

Saat yang kutunggu.

"Dek, kamu gak masakin sarapan? Ini udah siang, aku ini mau berangkat kerja. Kamu gimana, sih?" keluhnya.

"Emang Mas ngasih duit buat beli bahan masak?" tanyaku.

Mas Valdi mendekat.

"Kan kamu habis gajian kemarin, Rika. Tolong nggak usah cari masalah." imbuhnya.

Aku balik menatap netranya.

"Mas, seharusnya kamu nggak usah singgung soal uang gajiku, toh uangku kudapetin dari keringet aku sendiri, kok. Terserah aku mau masakin kamu atau nggak itu urusanku. Nggak usah ikut campur soal gajiku!"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
istri sangat setia dan mau berkorban..eh suami enak2 gajihnya utk urus keluarga sendiri
goodnovel comment avatar
Novita Sari
keren ceritanya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status