Share

Uangku Bukan Uangmu, Mas!
Uangku Bukan Uangmu, Mas!
Penulis: Silla Defaline

Bab 1

Penulis: Silla Defaline
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-18 11:40:44

"Mas, uang sekolah Clara bulan ini belum dibayar," kucoba untuk bicara pada Mas Valdi.

"Bilang ajah tuh sama gurunya kita bayarnya ntar tanggal empat. Adek gajian kan tanggal tiga." jawabnya santai.

Jawaban Mas Valdi sedikit membuatku menghela nafas panjang.

"Mas, listrik kita juga belum dibayar bulan ini," lanjutku.

"Iya, Mas tahu. Tunggu ajah sampai tanggal empat, Dek. Sekalian kamu bayarin uang sekolah Clara. Masa gaji kamu belum masuk tanggal empat nanti." jawabnya kembali.

Jawaban yang sangat tidak aku harapkan. Aku berjalan perlahan mendekatinya.

"Mas, bukannya kemarin Mas gajian?" tanyaku.

"Mana ada, Dek. Uang gaji mas belum masuk ke rekening. Lagian kalo pun masuk jumlahnya nggak seberapa juga," lanjutnya.

Setelah berbicara seperti itu, Mas Valdi langsung melangkahkan kaki menuju ke sepeda motornya. Lelaki yang berprofesi sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta tersebut pergi begitu saja.

Aku mendengkus. Kesal pun percuma. lelaki itu pelit sekali mengeluarkan uangnya. Terpaksa aku lagi yang harus mengeluarkan uang. Sebenarnya aku bukannya tidak rela jika harus membayar biaya sekolah Clara. Tapi seharusnya pengeluaran di rumah ini bukan hanya tanggung jawabku. Bukankah aku punya suami? Jadi sepantasnya dipikirkan secara bersama-sama.

Apakah karena gajiku yang sedikit lebih besar darinya hingga membuatnya lalai? Ah entahlah, aku tidak mengerti jalan pemikirannya.

Tapi bagiku, tidak etis juga jika setiap bulan uang yang kudapatkan selalu habis untuk biaya hidup kami, sedangkan uangnya tidak tahu dimana rimbanya. Gajiku yang senilai lima juta itu tidaklah terlalu besar nilainya jika di bandingkan dengan kebutuhan hidup yang serba mahal ini. Sedangkan gajinya yang kutahu berkisar dua juta setengah, kurasa sudah cukup membantu jika dia ingin bekerja sama menutupi kekurangan-kekurangan. Tapi, setiap kutanya soal gajinya, dia selalu saja berkilah jika kita harus berbagi, seluruh uangnya dia ditabung untuk membeli rumah, sedangkan gajiku untuk kebutuhan sehari-hari.

Namun, hingga saat ini aku tidak pernah tahu sudah berapa banyak uang yang ia tabung. Dia tak pernah memberi tahu dan tidak pernah mau jika kuajak bicara soal itu.

Ting!

Aku mendengar suara notifikasi. Aku menoleh, oh rupanya ponsel Mas Valdi ketinggalan. Iseng aku coba mendekat.

Aku menyipitkan mata. Pesan dari ibu mertuaku.

[Valdi, Uang dua juta yang kamu transfer udah masuk rekening ibu. Makasih ya, Nak. Ternyata gajimu udah naik ya, sampe bisa transferin ibu dua kali lipat dari sebelumnya.]

[Oh iya, jangan lupa kalo besok kita ada sedikit acara keluarga. Seperti yang udah kamu bilang kemarin, Ibu udah bilang sama adik-adik kamu kalo semua biayanya kamu yang bakal bayarin. Tolong kamu dateng yang cepet ya. Kalo Rika sibuk ya nggak apa-apa dia nggak ikut. Yang penting kamu yang harus hadir.]

Apa?

Penasaran, aku mencoba menelusuri pesan-pesan sebelumnya.

Jantungku berdegup setelah membaca pesan-pesan dari mertuaku. Ternyata Mas Valdi berbohong selama ini.

Suamiku barusan mentransfer uang pada ibunya? Sedangkan aku yang meminta untuk bayaran sekolah Clara dia bilang belum gajian, justru dia menyuruh menunda pembayaran hingga aku gajian saja. Artinya dia menunggu gajiku. Sedangkan dia mampu buat membiayai acara keluarganya. Kebohongan macam apa ini? Aku mengepalkan tangan. Manahan amarah kekesalan akibat kebohongan suamiku.

Padahal setiap bulan aku juga memberi jatah bulanan pada sang ibu mertua. Tapi ternyata Mas Valdi juga memberi dalam jumlah yang tidak kuduga.

Dan Mas Valdi, mengapa dia tak memberitahuku jika telah gajian? Dan gajinya naik? Kenapa dia tidak menyisihkan uangnya untuk kebutuhan di rumah ini? Mengapa justru hanya ingin mengandalkan aku sendiri? Ya Tuhan... Aku mengelus dada dibuatnya.

Aku mengambil ponselku, dan mencari nomor ibu mertuaku. Aku ingin bertanya langsung pada beliau.

Namun, sebentar kemudian aku mengurungkan niat untuk melakukan itu. Bukankah selama ini beliau selalu merasa bangga dan selalu membenarkan segala tidak tanduk anaknya? Jadi rasanya usahaku untuk menghubunginya akan menjadi sia-sia saja.

Seharian aku memendam kesal di hati. Memikirkan sikap Mas Valdi yang seperti enggan untuk memberikan nafkah penuh padaku dan anaknya? Apakah dia merasa aku bukan tanggung jawabnya? Sedangkan dia masih saja setiap hari menuntut makan, minum, dan pelayanan dariku?

Dengan perasaan tak menentu, aku menarik daun pintu dan mengunci. Perasaan jengkel dan tidak dihargai menjalar ke setiap pembuluh darahku.

Mulailah aku berpikir, apakah selama ini uangnya tidak ia tabung yang katanya untuk memuluskan rencana kami buat membeli rumah impian? Buktinya tadi uangnya malah ia transfer sama ibunya tanpa pernah bicara dulu denganku. Sedangkan aku sibuk memikirkan keuangan rumah tangga kami seorang diri. Ya Tuhaan, rumah tangga macam apa ini? ck... ck... ck...

Kita harus bicara soal ini, Mas Valdi!

Aku bersiap untuk menunggu waktu yang tepat utuk sesi bicara kami. Tidak sabar rasanya ingin mendengarkan penjelasan darinya.

Kulihat Mas Valdi tengan duduk di balkon sembari memainkan gadgetnya. "Ini waktu yang tepat," batinku.

Mas Valdi memang jarang meminta duduk bersama berdua, saling berbicara membahas hal-hal kecil. Mas Valdi selalu asik duduk sendiri dengan ponselnya.

"Aku mau bicara bentar, Mas.," ucapku.

"Bicara soal apa sih, Dek? Nggak kayak biasanya," tanggapnya.

"Soal keuangan rumah tangga kita," jawabku.

"Keuangan rumah tangga kita?" Mas Valdi mengerutkan kening. Aku mengangguk.

"Apa yang ingin kamu bicarain soal keuangan rumah tangga kita, Dek? Keuangan kita bukannya baik-baik aja, kan? Kurasa nggak ada tuh yang perlu kita bicarain," ucapnya. Masih seperti biasa, ia selalu mengelak jika aku ajak bicara soal begini.

"Ya, keliatannya emang biasa dan nggak ada yang salah sih, Mas. Tapi nyatanya aku selalu aja ngerasa kesulitan jika hanya ngandelin gajiku. Terkadang justru aku pusing sama pengeluaran kita. Terkadang uangku nggak sebanding sama pengeluaran kita yang serba mahal ini, Mas," aku memulai dari akar masalah.

"Ya kalo itu sih kamunya ajah yang perlu buat belajar lagi, Dek! Punya otak mah dipinterin dikit. Masa soal gitu ajah kamu masih mau nanya ke aku," ketusnya.

"Gini maksudku, Mas, kalo bisa boleh dong ya kamu bantu-bantu pake uang kamu buat biaya sehari-hari kita. Uangku seret kalo harus mencukupi semuanya, Mas," aku berterus terang.

"Nggak bisa, Dek. Uangku udah kesimpen di bank semua," elaknya.

"Semuanya?"

"Iya, Dek. Jadi nggak bisa diganggu gugat lagi."

"Kalo begitu boleh aku liat buku tabungannya?"

"Eh, kok bicara kamu ke sana sih? Apa kamu nggak yakin sama aku? Kamu kira aku bohongin kamu? Sampe nanyain buku tabungannya lagi."

"Apa nggak boleh aku sekedar liat?" suaraku meninggi.

"Dek, kayak yang sering aku bilang, sekarang fokus sama peran masing-masing saja lah. Bukannya kita udah berbagi, kamu cukupin biaya sehari-hari, dan aku menabung buat beli rumah." ujar Mas Valdi.

"Mas, untuk ini aku butuh kepastian. Kamu bener-bener nabung atau nggak?" kali ini tak kupungkiri suaraku tegas.

"Dek, masa aku bohong? Kamu percaya sama aku dong!"

"Ya, aku cuma tanya apa kamu beneran tabungin gaji kamu atau nggak? Itu aja!" tegasku.

"Iya jelas aku tabunglah gajiku. Memangnya kamu mau ngapain nanya-nanya gaji aku, ha?" suara Mas Valdi meninggi.

"Kalo kamu emang bener nabung, tolong tunjukin sama aku di mana buku tabungannya?" aku ngotot menanyakan buku tabungannya sebab kulihat Mas Valdi tidak mempunyai m-banking di ponselnya. Seandainya dia punya aplikasi itu, pasti sudah kupaksa dia untuk memberitahu pinnya padaku.

"Hei, Jadi kamu mau ikut campur soal uang-uangku? Iya? Rika, aku kasih tahu kamu ya, kamu nggak perlu ikut campur soal uang yang aku dapat melalui keringatku!"

Astaga! Aku benar-benar terkejut dengan jawaban yang ia beri.

"Jadi seperti itu maumu, Mas Valdi?" aku merendahkan suaraku.

"Tentu saja!" jawabnya.

"Baiklah," aku mengalah

Baiklah Mas Valdi. Kita mulai rumah tangga ini dengan cara seperti yang kamu inginkan. Aku melangkah menjauhinya.

*

Hari beranjak pagi, aku bergegas memandikan Clara dan menyiapkan apa yang kami butuhkan. Sebentar kemudian kulihat Mas Valdi keluar menuju ke kamar mandi. Sengaja tak kupedulikan dia.

"Dek, Mana seragam kaos oblong biru sama jeans yang baru kubeli kemarin?"

"Gak tahu, Mas. Masa baju kamu kamu kok nanyanya sama aku," jawabku singkat.

Aku tahu Mas Valdi menatapku tajam setelah mendengar jawaban dariku. Ah, masa bodoh.

"Kamu jawabnya kayak gitu, Rika?" ucapnya.

"Ya," jawabku singkat. Kudengar ia mendengkus.

Kulihat Mas Valdi menuju ke meja makan.

Saat yang kutunggu.

"Dek, kamu gak masakin sarapan? Ini udah siang, aku ini mau berangkat kerja. Kamu gimana, sih?" keluhnya.

"Emang Mas ngasih duit buat beli bahan masak?" tanyaku.

Mas Valdi mendekat.

"Kan kamu habis gajian kemarin, Rika. Tolong nggak usah cari masalah." imbuhnya.

Aku balik menatap netranya.

"Mas, seharusnya kamu nggak usah singgung soal uang gajiku, toh uangku kudapetin dari keringet aku sendiri, kok. Terserah aku mau masakin kamu atau nggak itu urusanku. Nggak usah ikut campur soal gajiku!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
istri sangat setia dan mau berkorban..eh suami enak2 gajihnya utk urus keluarga sendiri
goodnovel comment avatar
Novita Sari
keren ceritanya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 147

    Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 146

    Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 145

    Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 144

    Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 143

    Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 142

    Bab 142Setelah aku mendengar rentetan cerita yang diceritakan secara detail oleh Rangga, tentang bagaimana kronologi aku mendapatkan informasi penting itu dari Melia, barulah aku bisa percaya. "Nah sekarang kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita lakukan setelahnya, kan? Tapi tenang saja kamu tidak perlu membuang-buang banyak waktu untuk mengurus semua masalah ini. Kamu hanya butuh istirahat sekarang, untuk masa penyelesaian masalah tersebut biar kami yang melakukannya." ujar Rangga.***Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Lihat beberapa wajah yang mungkin saja kecewa dengan apa yang terjadi dengan sidang siang ini. Beberapa diantara mereka memang menelan karena kejahatan mereka benar-benar terkuak dan mereka akan sulit sekali untuk mengelak. Rangga memang bisa mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Apa yang telah dipersiapkan olehnya memang berdampak positif pada jalannya sidang. Mereka dibuat kalah telak dengan bukti-bukti yang ada di pihak kami. Sebentar kemudian samar-sa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status