Share

Bab 3

Penulis: Silla Defaline
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-23 07:53:55

Aku dan Clara memasuki sebuah resto yang sudah lama tak kukunjungi.

"Kita mau makan malam disini, Ma?" tanya anak perempuan semata wayangku.

Aku mengangguk.

"Horeee ...!" Clara kegirangan.

Sengaja kubebaskan Clara memilih menu kesukaannya. Sama sepertiku, anak ini paling suka dengan menu seafood yang kaya bumbu dan gurih.

Tengah menunggu pesanan datang, kurasakan ponselku berdering.

Mas Valdi rupanya.

"Halo, Mas!"

"Halo, kamu dimana, Dek?"

"Kenapa, Mas?"

"Kamu ini gimana? Tadi kan udah dikasih tahu kalo Kak Salma, Kak Mel, Dira, dan ibu mau makan malam di rumah kita. Tapi kok kamu nggak masak, Dek? Cuma ada ada ikan asin di atas meja."

Dalam hati aku sedikit tergelak, makan tuh ikan asin. Itu hidangan spesial buat kalian.

"Lho, kalo nggak mau makan sama ikan asin, mereka bisa masak sendiri kan, Mas?" ucapku.

"Mereka lagi kecapekan, Dek. Kasihan kalo harus masak."

"Sama, Mas. Aku juga kecapekan abis seharian ini kerja. Maaf ya, Mas." balasku.

"Kak Salma udah cek kulkas, tapi kosong. Kamu belum beli apa-apa buat menyambut kedatangan mereka," keluh Mas Valdi.

"Kalo kulkas kita kosong, Mas bisa beli ajah lagi isi kulkasnya," jawabku.

"Akan lebih bagus lagi kalo beli nasi bungkus aja, Dek. Kelanaan kalo harus masak. Kasihan mereka keburu laper tuh kayaknya. Pesenin aja, Dek. Menunya ikan panggang atau ayam bakar juga boleh," ujar Mas Valdi di seberang sana.

"Terserah Mas ajah mau beli yang gimana, ikan panggang, ayam bakar, nggak masalah," tanggapku.

"Ya udah, kalo gitu adek pesenin sekitar sepuluh porsi ya, Dek. Suruh anter ke rumah,"

"Pesan sendiri ajah lah, Mas."

"Lhoo, kok aku yang pesen? Kamu lah yang pesen."

"Nggak bisa, Mas! Soalnya aku udah kenyang."

Kumatikan sambungan telepon seluler tersebut. Tak kupedulikan Mas Valdi yang belum sempat melontarkan tanggapan selanjutnya.

Enak saja menyuruhku memesan makanan buat mereka.

Setiap saban bulan keluarga Mas Valdi selalu bertamu ke rumah kami. Dan sebelumnya aku selalu menjamu mereka sedemikian rupa, tidak ada kerugian bagiku untuk menjamu kedatangan keluarga kedua belah pihak. Tapi yang membuatku kesal, setiap mereka datang, keluarga mas Valdi selalu bertingkah.

Aku jenuh dengan tuntutan yang mengharuskan aku agar selalu menyambut dan memperlakukan mereka dengan cara yang mereka inginkan.

Yang bertamu siapa yang menentukan aturan siapa. Sudahlah, aku tahu siapa mereka dan bagaimana sifat mereka.

Seusai makan malam, aku mengajak Clara untuk kembali pulang setelah sedikit mencuci mata di pusat perbelanjaan.

Tidak terlalu lama bagiku untuk kembali tiba di rumah.

Sesampainya di depan pintu, samar-samar kudengar celoteh orang-orang di dalam sana.

"Istrimu gimana sih, Val? Udah dikasih tahu kalo kita-kita mau dateng kok nggak ada persiapan gini? Malah nggak ada di rumah. Udah belajar tuh orang nggak mau ngehormatin keluarga kita. Harus kamu ajarin tuh istrimu, Val! Biar nggak jadi kebiasaan. Nggak guna kalo istri nggak bisa ngehargain keluarga kita." Suara kak Salma.

"Eh apa dia marah karena tadi nggak diajak jalan-jalan?" Suara Dira.

"Ah peduli amat. Yang penting yang hadir tuh Valdi, bukan dia. Kalo dia mah mau hadir atau nggak, nggak ada gunanya. Yang kita butuhkan itu cuma Valdi."

Dugh!

Jantungku berdetak mendengar tanggapan Kak Mel.

"Makanya Valdi, kamu jangan sampe diem aja sama tingkah istrimu! Lihat ini, cuma diminta masak aja nggak mau. Mau apa dia emangnya? Mengabaikan kita?" Itu suara ngedumel sang ibu mertua.

Aku melangkahkan kaki masuk. Pura-pura tak mendengar ocehan mereka tadi.

"Nah, kebetulan nih Rika udah pulang. Rik, tolong cepetan masak dulu nggih. Keburu malem nih. Perut udah keroncongan dari tadi. Lagian kamu darimana aja? Kok jam segini baru pulang? Nggak bagus perempuan suka keluyuran malem. Nggak liat kalo suami udah pulang!"

Ibu mertua langsung berceramah singkat di depanku.

"Kurasa lebih baik Ibu minta tolong sama Kak Salma aja, Bu."

Aku masuk, kulihat Kak Salma sedang selonjoran di sofa sambil memainkan ponselnya. Dress biru selutut milikku sudah melekat di badannya. Kurasa dress itu agak sempit di badannya yang bongsor.

Di pojok yang lain di ruang keluarga, Kak Mel sedang berguling santai di depan televisi. Apa? Piyama abu muda yang kubeli beberapa minggu lalu juga sudah ia pakai? Ck ... Ck ... Ck ...

Sedangkan anak-anak mereka yang seumuran Clara sudah pasti dipakaikan pakaian Clara yang mereka ambil secara suka-suka dari dalam lemari.

Kalau soal mainan clara, jangan di tanya, dari ruang tamu sampai dapur sudah berserakan dimana-mana.

Inilah yang terkadang membuatku agak kesal pada mereka. Apa pun di rumah ini sepertinya sudah mereka anggap hak milik mereka juga. Keluar masuk kamarku adalah hal lumrah bagi mereka. Bahkan terkadang, underwear ku saja tak segan-segan mereka pakai tanpa seizinku.

Belum lagi ketika mereka pulang, apapun yang mereka suka akan dibawa begitu saja tak peduli aku izinkan atau tidak.

Pernah aku mengeluhkan kelakuan bebas mereka pada mas Valdi.

"Biasa lah, Dek. Rumah kita kan rumah mereka juga. Kenapa juga harus ngerasa risih. Lagian, kamu sebagai ipar, pandai-pandai aja buat ambil hati mereka. Supaya kakak-kakakku suka sama kamu." Begitulah tanggapan Mas Valdi dulu tatkala kubahas masalah kakak-kakaknya.

"Rik, kenapa kamu nggak nyiapin makan malam buat kami? Kan udah dikasih tahu sebelumnya?" ucap Kak Salma dingin.

"Maaf, Kak. Aku lupa," jawabku.

"Masak kamu lupa? Tapi keluyuran malem kamu sanggup?" Kak Salma menatapku tak bersahabat.

Tanpa banyak bicara, aku menuju ke kamarku. Sengaja kuabaikan ucapan Kak Salma.

"Kurang ajar istrimu, Valdi!" samar kudengar mereka membicarakan aku.

"Ntar biar aku yang ngomong sama dia, Kak," tanggap Mas Valdi.

Tak kupedulikan apa yang akan dibicarakan Mas Valdi nantinya. Paling juga dia menyuruhku untuk menuruti keinginan saudari-saudarinya.

Masuk ke kamar, Lia, Farel, Serly dan Mona, anak Kak Mel dan Kak Salma tengah berlompatan di atas kasur. Ya Tuhaan, sprei dan bantal sudah tak tahu lagi bagaimana susunannya.

Aku lihat seisi lemari sudah acak-acakan, begitulah cara mereka jika mengambil pakaianku. Luar biasa mereka. Ada baiknya kukunci saja semuanya. Biar tak bebas mereka mengutak atik apa yang bukan hak milik mereka.

Sebentar kemudian, Mas Valdi masuk menghampiriku.

"Dek, ada baiknya kamu minta maaf sama Kak Mel, Kak Salma, Dira dan ibu," ucap Mas Valdi sembari mendekatiku.

"Kesalahan apa yang aku perbuat, Mas, sampe aku harus minta maaf sama mereka?"

"Lho, kamu nggak nyadar udah berbuat salah, Dek? Barusan aku liat status kamu, kamu makan di restoran, sedangkan makan malam mereka tak kamu siapkan! Aku khawatir mereka jadi benci sama kamu karena udah ngecewain mereka!" jelas Mas Valdi.

"Aku nggak ngecewain mereka, Mas! Aku makan di restoran juga nggak minta dibayarin sama mereka,"

"Dek, jangan bikin mereka jadi eneg sama kamu. Sebisa mungkin kamu ambil kembali hati mereka. Apa susahnya kamu berbuat kayak biasanya?"

"Nggak bisa, Mas!"

"Jangan keras kepala kamu, Dek! Jangan musuhi mereka!"

"Mereka sanak saudaraku! Kamu tahu, seorang istri bisa diganti. Tapi hubungan sanak saudara, sampai kiamat pun tak akan bisa di utak atik. Jangan bikin mereka membenciku hanya karena ulahmu!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 147

    Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 146

    Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 145

    Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 144

    Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 143

    Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 142

    Bab 142Setelah aku mendengar rentetan cerita yang diceritakan secara detail oleh Rangga, tentang bagaimana kronologi aku mendapatkan informasi penting itu dari Melia, barulah aku bisa percaya. "Nah sekarang kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita lakukan setelahnya, kan? Tapi tenang saja kamu tidak perlu membuang-buang banyak waktu untuk mengurus semua masalah ini. Kamu hanya butuh istirahat sekarang, untuk masa penyelesaian masalah tersebut biar kami yang melakukannya." ujar Rangga.***Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Lihat beberapa wajah yang mungkin saja kecewa dengan apa yang terjadi dengan sidang siang ini. Beberapa diantara mereka memang menelan karena kejahatan mereka benar-benar terkuak dan mereka akan sulit sekali untuk mengelak. Rangga memang bisa mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Apa yang telah dipersiapkan olehnya memang berdampak positif pada jalannya sidang. Mereka dibuat kalah telak dengan bukti-bukti yang ada di pihak kami. Sebentar kemudian samar-sa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status