Share

Bab 4

last update Last Updated: 2023-03-23 08:16:59

"Valdi, kamu bisa bantuin kakak nggak? Kalo bisa pinjemin aku uang, Val. nggak terlalu banyak, cuma sekitar sepuluh juta saja."

Kudengar kak Salma bicara di ruang keluarga.

"Cuma sepuluh juta, Kak? kalo cuma segitu mah aman. Kirim ajah rekening kakak, ntar aku transfer uangnya," Mas Valdi berkata begitu percaya diri.

Hmm, aku agak heran. Darimana dia mendapatkan uang senilai sepuluh juta? Apa mungkin dia benar-benar punya tabungan?

"Beneran, Val?"

"Ya beneranlah, Kak. Kayak biasanya, mana ada aku bohong.? Lagi pula kalo cuma uang segitu tidak mungkin aku minta dibalikin," lagi-lagi kudengar Mas Valdi bicara. Waduh, dia mau memberi uang tersebut secara cuma-cuma?

Jika menang benar, kenapa tak dikondisikan? Dia mau memberi uang dengan nominal yang tak sedikit pada kakaknya, sedangkan aku dibiarkan berjuang sendirian?

Suara mereka terdengar jelas. Di kamar, aku yang sedari tadi berpura-pura telah terlelap membuat mereka tak ragu bicara tanpa takut terdengar olehku.

"Apa kamu nggak pamit dulu sama Rika?" Tanya Kak Salma.

"Apa? Pamit dulu sama Rika? Kak salma, Kak Salma, buat apa pake pamit-pamit dulu sama Rika? Toh yang ngeluarin duit juga aku, bukan dia!" Suara Mas Valdi diselingi suara terkekeh ringan. Seperti menertawakan pertanyaan Kak Salma.

"Iya juga sih. Tapi apa istrimu gak marah nantinya?"

"Dia nggak mungkin berani marah sama aku, Kak."

"Ya udah kalau gitu, kamu emang laki-laki yang berani tegas sama istri. Oh iya, kalau begitu kamu langsung kirimin sekarang aja ya uangnya. Aku cari nomor rekening aku dulu."

"Nggak bisa sekarang, Kak," sergah Mas Valdi.

"Lho kenapa emang?"

"Soalnya barusan aku cek kayaknya m-banking aku sedang ada gangguan. Besok aja aku transferin uangnya."

Aku sedikit bergeming, bukannya Mas Valdi tidak mempunyai aplikasi m-banking? Tapi kok barusan dia bicara tentang m-banking? Seperti ada yang janggal.

"Tenang aja kak, besok pokoknya pasti aku transfer kok. Emang Kakak butuh uangnya kapan? Nggak sekarang banget, kan?"

"Iya, iya, besok."

Beberapa saat kemudian kudengar derap langkah memasuki kamar. Itu derap langkah Mas Valdi. Kembali kupejamkan mataku rapat. Pintu kamar tertutup. Lamat kudengar suara langkah kaki Mas Valdi mendekat.

"Rika, Dek Rika!" Mas Valdi menggoyang-goyangkan tubuhku.

Aku tak bergeming. Tumben cara bicaranya lembut? Biasanya menggelegar, apalagi ketika ada keluarganya.

"Dek Rika, bangun bentar, Sayang. Ada yang ingin aku omongin nih, penting!" Kembali Mas Valdi membangunkanku. Memanggilku dengan panggilan "sayang" lagi. Padahal biasanya mana pernah. Apa dia mau minta maaf? Ah entahlah.

"Ada apa sih, Mas?"

"Bangun bentar, Dek. Aku mau ngomong, bentar aja."

"Aku capek, Mas. Omong aja langsung," aku menjawab malas.

Kurasakan Mas Valdi duduk di sampingku. Sedangkan aku masih terlalu nyaman dengan posisiku sebelumnya.

"Dek!"

"Ya."

Serius sekali dia.

"Dek, Mas pinjem uang kamu bentar boleh nggak?"

Oalah, ternyata itu yang ingin ia bicarakan. Pinjam uang to.

"Kamu kan barusan gajian, terus kamu juga punya tabungan, kan?"

Hmm, mulai tercium aroma kebiasaannya dia.

"Untuk apa, Mas?"

"Mas mau bayar dp beli tanah, Dek. Ntar kalo kita udah beli tanahnya, maka kita bisa bangun rumah dari tabunganku. Ide bagus kan, Dek?"

Aku agak terkejut mendengarnya, mau membeli tanah? Dan nyaris sudah pada tahap pembayaran uang muka? Kenapa tidak pernah bicara sebelumnya? Kenapa sangat tiba-tiba begini?

Aku memikirkan ucapannya.

"Butuh berapa, Mas?" Akhirnya aku menyahut.

"Nggak banyak, Dek. Lima belas juta aja." Jawabnya santai.

Cuma lima belas juta ia bilang? Itu uang gajiku selama tiga bulan, Ferguso!

Aku kembali berpikir sejenak sebelum melanjutkan.

Sepertinya sekarang aku tahu maksudnya. Baiklah Mas Valdi.

"Kalo bisa kamu transfer malam ini aja uangnya, Dek."

"Ntar dulu, Mas. Mas beneran mau bayar dp tanah? Tanahnya dimana dan buka harga berapa?" Tanyaku.

"Itu tanah murah, Dek. Lokasi strategis. Pokoknya kamu nggak usah khawatir. Pilihanku nggak akan mengecewakan." Mas Valdi meyakinkan.

"Beneran, Mas? Beruntung sekali kalo kita bisa beli tanah murah di lokasi yang strategis pula."

"Ya iyalah, Dek. Makanya kamu buruan transfer uangnya." Mas Valdi kian berbinar.

"Baiklah Mas, kalo gitu ntar aku transfer ya. Tapi aku kudu transfer ke rekening siapa?"

"Ke rekening aku lah, Dek. Kemarin aku udah buka rekening baru. Ntar aku kasih ke lamyu nomor rekeningnya." Jawabnya cepat.

"Oke, Mas. Ntar aku transfer."

Mas Valdi bangun dari duduknya, hampir berjingkrak kegirangan. Ia meraih kedua tanganku.

"Wah, kalo gitu makasih banyak ya, Dek," laki-laki itu mengecup keningku.

"Oke, Mas."

Kulihat muka Mas Valdi kian secerah langit di siang terik.

"Makasih ya, Dek. Kamu baik sekali. Gitu dong, baru namanya istriku!" Mas Galih mencubit hidungku.

"Sebentar ya, Sayang," Mas Valdi berkata sembari keluar kamar. Aku ikut bangun buat menutup pintu yang ia biarkan terbuka.

Eiits, dari tirai kulihat Mas Valdi tengah bicara pada Kak Salma.

"Aman, Kak. Uangnya udah siap. Sebagai bonus, aku akan transfer sebelas juta buat kakak," Mas Valdi mengacungkan jempolnya pada Kak Salma.

Ooh, jadi ini maksudnya, ternyata firasatku tak salah.

Dalam hati aku berdecih, tak terlalu peduli dengan tingkahnya. Hanya sedikit senyum tipis aku sunggingkan.

Mas Valdi, Mas Valdi. Tak apa kau menganggapku sepolos itu.

Heheee, silakan menunggu uang transfer dariku sampe tahun depan ya, Mas Valdi tersayang!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 147

    Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 146

    Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 145

    Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 144

    Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 143

    Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 142

    Bab 142Setelah aku mendengar rentetan cerita yang diceritakan secara detail oleh Rangga, tentang bagaimana kronologi aku mendapatkan informasi penting itu dari Melia, barulah aku bisa percaya. "Nah sekarang kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita lakukan setelahnya, kan? Tapi tenang saja kamu tidak perlu membuang-buang banyak waktu untuk mengurus semua masalah ini. Kamu hanya butuh istirahat sekarang, untuk masa penyelesaian masalah tersebut biar kami yang melakukannya." ujar Rangga.***Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Lihat beberapa wajah yang mungkin saja kecewa dengan apa yang terjadi dengan sidang siang ini. Beberapa diantara mereka memang menelan karena kejahatan mereka benar-benar terkuak dan mereka akan sulit sekali untuk mengelak. Rangga memang bisa mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Apa yang telah dipersiapkan olehnya memang berdampak positif pada jalannya sidang. Mereka dibuat kalah telak dengan bukti-bukti yang ada di pihak kami. Sebentar kemudian samar-sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status