Bah menatapku dengan wajah sedih. Dia berdiri di hadapanku, menggunakan baju koko putih dan peci hitam kesukaannya. Tubuhnya begitu bersih, seperti ada cahaya yang melingkupi tubuh gagahnya.
Dia menatapku lama, tanpa kata. Aku pun sama. Dalam hening, mata kami bertautan.
“Bah,” ujarku. Bibirku menahan tangis yang seakan mau meledak.
Bah menarik tanganku, menyeretku entah ke mana.
“Bah.” Aku berusaha menepiskan tangan Bah, tetapi pegangannya terlalu kuat.
Setelah berjalan jauh. Bah berhenti dan tersenyum padaku.
“Era!” Aku mendengarpekikan dari kejauhan. Suara Bang Asman. Aku menoleh ke belakang.
Bang Asman berdiri dengan wajah dingin. “Ikut aku!” titahnya.
Bah menggeleng, dia hanya menggeleng sambil menangis tersedu.
Tangis Bah makin kencang terdengar. Dia memelukku kuat, sangat kuat hingga napasku sesak.
“Bah, lepaskan Era, Bah, sesak.”
“Hei, bangun!” Bahuku diguncang kuat. Aku tersentak dan langsung terduduk.
Bang Asman menatapku dengan penuh amarah.
“Subuh buta ribut mulut kau tu. Tak dapat tidur aku!”
Aku menenangkan debar jantung yang masih terasa cepat. Mimpi tadi terasa sangat nyata.
Apa maksud mimpi itu? Apa Bah tak rela aku pindah ke Jakarta? Apa dia sudah tahu, aku tidak akan bahagia bersama Bang Asman?
“Jangan lupa kau siapkan semua, Ra. Jam sepuluh kita berangkat.” Bang Asman bersiap melanjutkan tidurnya.
Aku melirik jam di dinding, sudah pukul lima pagi, sebaiknya aku bangun. Menyiapkan sarapan untuk bang Asman.
Barang-barangku sudah kubereskan dari semalam sebab tak ingin mendengar celoteh yang menyakitkan hati dari mulut Bang Asman.
Waktu sangat cepat berlalu. Rasanya baru saja aku bangun, saat melihat jam sudah menunjukkan pukul delapan.
“Jam berapo nak berangkat?” tanya Emak dengan mata basah.
“Kejab lagi, Mak. Usahlah menangis, tak sanggup Era tengok Mak sedih.” Aku pun menyusut air mata yang menganak sungai di pipiku.
“Menyesal aku menikahkan kau dengan Asman. Macam tak ado hati budak tu, tega dio bawa engkau pindah, padahal tanah kuburan Bah belum kering,” bisik Emak ke telingaku.
Ah, rasanya ini adalah waktu yang tepat untuk membalikkan semua perkataan Emak, puja puji yang dulu sempat ia cetuskan, mentah semuanya. Namun, sungguh tak bijak jika aku mengatakan hal yang membuat hati Emak tambah sakit.
“Maafkan Mak, Ra.”
Perempuan yang dalam beberapa hari ini tampak semakin tua, memelukku. Tangisnya tak terkendali.
Mendengar isak tangisnya yang begitu pilu, sakit terasa hingga ke dasar hatiku.
“Sudahlah, Mak. Ini semua terjadi atas kehendak Allah.” Aku menenangkan Emak, tak ingin ia makin merasa bersalah karena nasib burukku.
“Harusnya Mak dengo cakap Bah engkau. Bah keras betul menentang pernikahan kau dengan Asman, tetapi Mak kau ni degil (bandel), Ra. Aku sangko, karena kemenakan Tengku Asnawi, akhlaknya seelok beliau. Ruponyo, Asman lain. Dio tak samo dengan Tengku Asnawi.”
Aku tak dapat berkata apa-apa. Andai ada doa yang bisa kubaca, agar Tuhan mengembalikanku ke hari sebelum pernikahan, pasti akan kubaca doa itu siang-malam.
“Ra, ado kawan engkau.” Bang Arham memanggilku ke dapur. Lelaki itu sudah siap dengan seragam kerjanya.
“Siapo, Bang?”
“Entahlah. Aku suruh tunggu di ruang tamu.”
“Yelah, kejab Era ambil kerudung.” Aku melangkah ke kamar untuk mengambil kerudung.
“Mau ke mana?“ tanya Bang Asman saat melihatku memakai kerudung.
“Ado kawan Era datang, Bang,” jawabku.
“Kawan kau siapa? Jantan atau betino?“
“Manalah Era tahu, Bang.” Aku mengembuskan napas kesal.
Pria itu mengumpat kasar sebelum bangkit dan mengekoriku.
Astaghfirullah, aku terpaku di ruang tamu. Fahmi duduk di situ dengan wajah penuh rindu saat menatapku. Aku pun dengan rasa yang sama, tetapi aku tenggelamkan dengan susah payah ke dasar hati paling dalam.
“Eh, maaf, lama ke (kah) engkau menunggu?“ tanyaku gugup.
“Baru saja. Kenalkan, Bang, saya Fahmi, teman Era sekolah.” Fahmi mengulurkan tangan pada Bang Asman. Suamiku itu menyambut tangan Fahmi dengan gaya malas.
“Mengapa pagi buta dan bertandang ke rumah orang?“ ketus Bang Asman pada Fahmi.
“Maaf, Bang, saya belum sempat melayat ke sini setelah Pakcik Rahmat meninggal. Jadi saya nak ucapkan belasungkawa kepada Era,” papar Fahmi dengan suara lembut.
“Hmm, yelah. Jangan lama-lama, ya. Kami nak berangkat ke Jakarta!“ ujar Bang Asman ketus, kemudian ia meninggalkan kami.
Aku duduk di hadapan Fahmi dengan perasaan tak menentu. Gugup sudah pasti. Namun, ah, debaran jantung ini seperti tak terkendali. Lelaki di depanku ini tampak gagah. Kulitnya semakin gelap, tetapi sorot mata tajamnya masih sama dengan yang dulu.
Kami berhadapan dalam kesunyian. Tak ada yang hendak memulai pembicaraan. Namun, mata kami bertaut. Mulut memang tak bicara, hati saja memberi tanda bahwa cinta antara kami masih menyala.
“Ada apa?“ tanyaku akhirnya memecah keheningan.
“Aku hanya ingin memberi kado.” Ia menyodorkan kotak berwarna merah padaku. “Cincin ini aku beli untuk melamarmu, jadi anggap saja ini kado pernikahan dariku.”
Hatiku langsung sesak. Air mata merebak. Dengan tangan bergetar, aku mengambil kotak itu, dan menyimpannya di saku bajuku. Kalau Bang Asman tahu, bisa mengamuk dia.
“Time kaseh,” ucapku pelan dengan suara bergetar.
“Dahlah, aku balek dulu. Eh, betul kau nak pindah ke Jakarta?“ tanya Fahmi sebelum beranjak.
Aku mengangguk.
“Ngapa jauh betul? Kasian Makcik Halimah, tak ada kawan bercakap di rumah. Bah kau pun baru meninggal. Tak bisa menunggu ke?“
“Tak bisa, pekerjaan Bang Asman tak bisa menunggu.”
“Hmm, yelah, aku balek dulu, ye. Jaga diri elok-elok, Ra. Kalau tak bahagia sama dia, aku masih ada di sini, menunggu kau,” bisik Fahmi di telingaku.
Tengkukku merinding menerima sikap mesranya. Selama ini kami berhubungan dalam batas wajar, bahkan duduk berdekatan saja tak pernah. Mungkin, didorong oleh perasaan sedih, Fahmi berani bertindak sejauh itu.
Aku menarik tubuh menjauh dari sisinya, sebab takut, hatiku tak mampu lagi aku kendalikan. Aku hanya mengangguk. Ia pun tampaknya paham, dan tak ingin membahas masalah ini lebih dalam lagi.
Aku masuk ke kamar Bang Arham. Kamar itu kosong karena dia sudah berangkat kerja dari tadi. Aku buka kotak perhiasan itu, dan tampaklah cincin emas sederhana yang berukirkan namaku di dalamnya.
Aku menangis, menumpahkan segala sesal yang memenuhi dadaku. Sakit di dalam sana, serasa jantungku berhenti berdetak. Kenapa Tuhan begitu kejam menuliskan takdir hidupku? Melepaskan Fahmi, cinta dalam hidupku, dan melabuhkan jodohku pada Bang Asman, pria yang tak memiliki perasaan.
Entah apa nasib yang akan aku hadapi di sana nanti? Bagaimana nasib Emak jika aku tinggal sendirian? Bisakah kakiku melangkah kembali ke sini?
Tuhan, mengapa dunia tak adil untukku?
***
Emak menghapus air mata yang menganak sungai di pipinya. Wanita tua itu memegang pipiku dengan kedua belah telapak tangannya. Tangannya bergetar dan dingin, ah, aku paham bagaimana rasanya menjadi dia. Baru saja ditinggalkan suami tercinta, sekarang anak perempuan satu-satunya pun harus pergi.“Cepatlah sikit, terbang nanti pesawat tu cemano (gimana)?” bentak bang Asman.Tangis Emak makin keras. Bahunya sampai berguncang hebat. Aku memeluknya, berusaha mengalirkan ketabahan ke aliran darahnya. Inilah takdir yang telah aku pilih, tak mungkin untuk mundur.“Era berangkat, Mak, do’akan Era banyak rezeki, bisa sering pulang tengok Emak.”Emak mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Duka dalam matanya terlihat jelas. Entah apa yang memenuhi benak wanita yang telah melahirkanku itu, mungkin dia menyesal karena menyetujui pernikahanku dengan Bang Asman, atau mungkin dia merasa t
10Menjadi istri seorang Asman Chairi, aku dipaksa menjadi mandiri, dewasa, dan mengambil keputusan sendiri. Asman tak memiliki waktu untuk mendengar keluhanku, pun memberi pendapat untuk masalah-masalah yang aku hadapi.Hidup kami berjalan seperti air mengalir, tenang. Sangat tenang. Tepatnya aku berusaha untuk tetap tenang menghadapi sikap tak peduli lelaki itu.Hari, minggu, bulan, aku habiskan dalam kesendirian. Bang Asman lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja—atau tempat lain yang aku tidak tahu—dari pagi buta hingga tengah malam.Awal mula pindah ke Jakarta, aku masih berharap dia berubah menjadi lebih baik. Setiap hari aku bangun lebih awal untuk membuatkan dia sarapan, melepas dia bekerja, dan hal lain yang lazim dilakukan suami istri. Aku berusaha sangat keras untuk melembutkan hatinya, membuat dia bisa mencintaiku. Paling tidak, bersikap baik padaku.Namun
Aku memegang benda pipih berwarna putih itu dengan tangan bergetar. Garis dua di bagian tengahnya membuat napasku nyaris putus. Hamil? Aku hamil? Bagaimana bisa? Selama ini aku sengaja mengkonsumis pil KB tanpa sepengetahuan Bang Asman. Aku berpikir untuk apa memiliki anak jika rumah tangga yang kami jalani ini jauh dari kata bahagia. Kehadiran anak dalam rumah tangga yang gersang, hanya akan membawa malapetaka. Kasihan anakku nanti. Dadaku sesak dengan sesal. Mengingat-ingat apakah aku lupa meminum pil KB sialan itu? Rasanya tidak. Aku sengaja menaruhnya di meja rias agar tak pernah lupa. Bang Asman pun pernah melihat pil itu, dan dia tidak pernah keberatan. Bagaimana aku akan memberi tahu hal ini padanya? Sedangkan kami sudah seminggu tidak bertegur sapa. Jangan tanya mengapa, karena jika aku ceritakan, seolah aku adalah wanita paling durhaka di dunia karena membuka aib suami seenaknya. Namun bisa aku pastikan, tak banyak w
Pukul dua belas malam lelaki itu pulang. Wajahnya terlihat sangat lelah, tidak seperti biasa. Kadang aku berpikir, apa yang dia lakukan di kantor sehingga selalu pulang tengah malam. Mas Wibi pun bekerja di kantor pemerintahan walaupun jabatannya tidak setinggi Bang Asman, tetapi suami Lina itu selalu tiba di rumah pukul lima sore.Untunglah Lina dan Mas Wibi bukan tetangga yang usil. Mereka diam saja melihat Bang Asman selalu pulang tengah malam. Lina tak pernah bertanya apa pun padaku. Hubungan kami yang dekat tak lantas menjadi alasan untuk mencampuri urusan masing-masing.“Ha, tumben kau menungguku? Dah tak marah?” sindirnya tajam, tanpa menoleh ke arahku.Hatiku bagai diiris sembilu dan ditetesi jeruk nipis saat melihat lelaki itu langsung masuk ke kamarnya. Kami memang sudah seminggu pisah kamar. Aku yang memulai dengan memilih tidur di kamar tamu. Sepertinya Bang Asman merasa ny
Aku terbangun pagi ini dengan pikiran lebih tenang. Rencana kabur itu membuat semangat hidupku menyala kembali. Aku yakin, Bang Asman tak akan mencariku. Malah mungkin dia senang karena aku tak akan lagi menjadi bebannya.Aku melirik jam dinding. Sudah pukul lima subuh. Aku memaksa diri untuk bangun, walaupun kepalaku sedikit pusing. Menurut artikel yang aku baca, ibu hamil memang mengalami pusing pada kehamilan tiga bulan pertama.Setelah ibadah subuh, aku menurunkan koper besar yang ada di atas lemari, membersihkan debu yang menempel di sana, lalu aku memasukkan semua baju ke dalamnya. Tak lupa perhiasan dan barang berharga lain aku kemas dalam tas kecil yang akan aku jinjing nanti.Dadaku sesak dengan rasa bahagia. Meninggalkan Bang Asman dan semua duka di sini seperti sebuah tujuan dalam hidupku kini. Aku rasa, jauh dari kehidupan Bang Asman membuat hidupku lebih bahagia. Kasihan sekali bayi di dalam rahimku jika dia
Debar di dadaku semakin kencang saat mobil memasuki area bandara. Ketakutan mendadak muncul mengingat diri ini belum pernah naik pesawat sendirian.Hilir-mudik orang lalu-lalang, ditambah deru pesawat memenuhi gendang telinga, membuat keberanianku menguap entah ke mana. Lina memarkirkan mobil di tempat menurunkan calon penumpang pesawat.“Sebenarnya aku pengin ngelarang kamu, Ra. Dalam kondisi hamil muda begini, bahaya banget pergi naik pesawat sendiri.” Lina menatapku dengan sorot mata cemas. Tangannya memegang tanganku.Apakah benar perkataan Lina? Aku tak mau mengambil risiko kehilangan bayi di dalam kandungan, tetapi saat mengingat kehidupanku bersama Bang Asman yang bagai dalam neraka, aku membulatkan tekad.“Enggak apa-apa, Na. Tenang aja. Aku kuat kok.”“Kehamilanmu masih terlalu muda, Ra. Aku enggak yakin Bang Asman ngizinin. Kamu kabur?&rdqu
Semalaman aku menyesali keputusan untuk meminta Lina mengantarku ke bandara. Rasanya aku harus mulai menjaga jarak dengan perempuan itu. Dia sudah tahu terlalu banyak.Aku tahu sebagai seseorang yang paling dekat denganku, merasa dirinya sebagai sahabatku, dia ingin menjagaku. Pun karena dia tahu aku sedang hamil muda. Lina mencemaskan janin dalam rahimku sebab dia sangat ingin punya anak. Namun, jika dia sudah ikut campur terlalu dalam seperti ini, bukankah aku berhak menjauh?Pikiranku sarat sesal, juga kerinduan pada kampung halaman. Apakah Emak sehat? Siapa yang memasak di rumah kini? Emak sudah tua, fisiknya tak terlalu kuat untuk bekerja berat. Ditambah pukulan batin yang dia alami sejak Bah menikah lagi, kondisi kesehatan Emak semakin menurun.Pukul satu malam aku masih terjaga. Mataku nyalang menatap dinding berwarna abu-abu yang menjadi batas antara kamarku dan ruangan lain di rumah ini. Rasa hampa menggerogoti
Minggu pagi yang cerah ini aku berjalan-jalan seorang diri di sekitar rumah. Menurut Bu Bidan, jalan pagi itu penting untuk mempermudah proses persalinan nanti. Kehamilanku sudah memasuki bulan ke sembilan. Jika benar perkiraan bidan, aku akan melahirkan pertengahan bulan ini.Beberapa kali aku berselisih jalan dengan tetangga yang sedang olahraga pagi. Seperti biasa, mereka menanyakan suamiku. Aku hanya menjawab dengan senyuman. Mungkin aneh bagi sebagian orang, sebab perempuan hamil pada umumnya jalan pagi bersama suami.Setelah mengeluarkan cukup banyak keringat, aku memutuskan untuk pulang. Tak lupa membeli nasi uduk untuk sarapan di rumah.Sejak hamil aku memang lebih santai. Bang Asman membayar seorang asisten rumah tangga untuk membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Mbak Mur hanya bertugas mencuci dan menyetrika.Sesampainya di rumah, aku melihat sebuah mobil pickup baru saja meninggalkan hal