-Rayhan-
Aku tidak percaya melakukan ini. Menemuinya dirumahnya yang letaknya tidak ku ketahui. Wanita sialan! Mencampur-adukan perasaanku seperti ini untuk kesekian kalinya. Tapi ada perasaan lain yang juga melegakan dibandingkan dengan rasa penasaranku setelah belasan tahun tak bersentuhan dengannya. Mungkin kemarahan yang ku rasakan adalah manifestasi dari kerinduan yang tak pernah bisa ku lampiaskan. Betapa waktu menusukku dari belakang. Hari-hari buruk yang menerpaku dikarenakan olehnya, membuatku memilih untuk berpisah.
Aku membawa sebuah novel yang ditulisnya. Dia membuat cerita yang didalamnya terselimut pesan tesembunyi agar aku mau menemuinya di kediamannya. Entah ini cara yang cemerlang atau aku hanya ingin memujinya atau dia ingin membuatku takjub dan terkesan sehingga aku mau menemuinya. Wanita jalang… Tak pernah terpikir olehku untuk apa dia melakukan ini.
Kehentikan mobil tepat didepan rumahnya sekarang, Jalan Azalea 73. Bukan dikota, daerah yang tinggi dan cukup dingin. Pagar rumahnya sangat tinggi dan dijaga. Setelah aku melapor pada keamanan. Dengan mudah aku dapat masuk tanpa ditanya. Mobil ku tinggalkan parkir digarasi. Sepertinya sang tuan rumah memang mengharapkan aku datang. Ini rumah yang cukup mewah. Minimalis dan dinamis. Tamannya lebih menyerupai kebun, mungkin kebunnya dibelakang jauh lebih luas lagi. Aku diantar menuju ruang tamu. Lebih sepi yang ku kira. Seingatku dia memiliki anak, harusnya sekarang sudah besar.
Ini menyebalkan. Lebih dari 30 menit dan dia tidak muncul juga. Aku hampir saja tertidur jika pelayannya tidak datang menghampiri.
“Nyonya ingin menemui anda dikebun. Silahkan ikut saya.”
“Oh ya.” dalam hatiku yang paling suci ingin sekali mengutuk dirinya.
Mengikuti sang pelayan ketempat tuannya, aku melihat sekeliling rumah. Rumah yang indah, sungguh. Begitu damai. Aku tak tahu apa yang bisa membuatnya begitu. Pohon-pohon pun tidak membuat suasana menjadi mencengkam. Teduh dan bersahaja. Seperti sebuah kenikmatan yang tidak akan ku dapatkan di tempat lain.
“Silahkan tunggu disini” kata pelayan setelahnya berlalu.
Hanya ada meja dan kursi serta penganan diatasnya. Aku tak melihat rupanya sama sekali. Sekalipun mataku menyidik sekeliling tak henti dikebun ini. Tak lama aku mendengar langkah kaki dari ujung kebun. Aku menatap penuh sabar menunggu kedatangannya. Ia masih memiliki rambut panjangnya. Mengenakan pakaian atasan kemeja gelap dengan dua kancing atas terbuka dan bawahan celana panjang, dibalut lagi dengan jubah tidur yang tak diikat. Wajahnya tak berubah banyak sejak dulu, justru semakin cantik. Tubuhnya yang tinggi semampai membawa keranjang penuh buah dan bunga-bungaan. Sepertinya baru saja dipetiknya. Air mukanya begitu tenang dan percaya diri, perlahan sekali menghampiriku di tepi meja.
“Duduklah...” perintahnya.
Diletakkannya keranjang itu diatas meja sambil sedikit ditata. Meja yang sudah setengah isi menjadi hampir penuh dibuatnya. Sebuah ceret telah mengepulkan asap. Rupanya dibawah ceret itu sebuah tungku kecil yang terbuat dari tanah liat berisi kayu dengan arang yang membara didalamnya. Seketika itu juga bunga-bungaan yang baru dipetiknya dimasukkan kedalam ceret. Tak merasa puas, dia kembali kekebun memetik dedaunan entah apa, kemudian pergi membasuhnya dengan air dan kembali memasukkan daun itu kedalam ceret. Setelah menurutnya cukup, dia mengaduk dan menuangkan isi ceret itu ke cangkir.
Dia telah duduk dikursinya sambil meniup-niup uap dari cangkirnya. Sesekali disesapnya perlahan karena teh itu masih panas. Matanya terus menatapku yang diam saja setelah disodorkan teh yang telah dibuatnya. Dia tak berkata sedikit pun hingga membuatku kikuk dengan posisi dudukku. Tak sedikitpun dari auranya gentar. Seperti, ia menunggu reaksiku.
Aku perlu mengatur nafas agar bisa menguasai diriku, minimal. Tak mungkin aku menguasai keadaan ditempat asing dengan tuannya yang tampak mengerikan. Jelas sekali secara geografis dia berkuasa. Dan tak mungkin aku berbuat hal yang memalukan disaat genting begini. Teringatlah aku dengan novel itu, ku keluarkan dari tas dan kulemparkan diatas meja dengan cara yang dramatik, pikirku.
“Apa itu?”
“Kau tentu tahu apa ini.”
“Jadi kau membacanya.”
“Jika tidak ku baca, tak akan mungkin aku ada disini.”
“Itu benar.” Katanya dengan seringai tipis.
“Jadi… apa yang sebenarnya kau inginkan, Sya?”
Sya tak langsung menjawab. Dia lebih memilih meletakknya cangkirnya. Menatapku kemudian mengalihkan pandangan. Dia mengambil kue yang tersedia. Aku bahkan tak tahu kue-kue apa disitu, sangat asing bagiku.
“Aku akan bilang… Aku tidak menyangka ini… Rayhan…”
Apa yang dikatakannya barusan membuatku menganga. Namun sepertinya tidak demikian untuknya. Sya sangat tenang, bahkan saat ini pun dia mengisap rokok yang tidak ku lihat keberadaannya sedari tadi. Mungkin kebiasaan barunya ini membuatnya sedikit lebih dewasa dan semakin mempesona, pikirku.
“Kenapa kau tidak menghubungiku saja?”
“Itu membosankan. Kau menghilang begitu saja tanpa penjelasan. Bertahun-tahun setelahnya apa kau pikir aku akan mudah untuk menghubungimu? Apa kau pernah mencariku? Tidakkan?”
“Kau sudah menikah, Sya! Lantas aku harus apa?!!” Rayhan menunjukkan emosinya.
“Kau bicara begitu karena kau menginginkan lebih dariku! Kau tidak pernah tulus!”
“Bullshit! Kenapa kau tidak mati saja?! Untuk apa aku disini?!”
“Mana ku tahu? Kau yang datang sendiri kesini!”
“Kau memintaku datang kesini lewat buku ini!” Sambil menunjukkan novel tersebut.
“Memang, aku hanya ingin tahu apa kau benar-benar menemuiku.”
“Kau tahu? Aku tidak terkesan! Buang-buang waktu saja.” Kesal Rayhan.
“Mungkin… Tapi kenyataannya kau ada disini, Rayhan. Kau seharusnya sadar sudah masuk kedalam permainan.”
“Apa maksudmu? Permainan apa?!” Tanya Rayhan heran.
***
Dua bulan sebelumnya. Rayhan berangkat kerja dengan tergesah. Tidur malamnya tak nyenyak sebab proyek dikantornya sudah melebihi jatuh tempo. Timnya masih diberikan tenggat waktu agar bisa menyelesaikannya sesuai perjanjian. Ketika masuk ruangan kubikel, Rayhan langsung menyapa Reza. “Ja, maket progressnya udah sampe mana?” “Lu lihat aja tuh dimeja gue. Baru sampe nih.” “Ampun dah! Ini apaan?! Kagak sesuai sama rancangan gue. Lu kerja sambil ngapain sih? Tidur? Jauh banget bentuknya, Ja….” “Masa sih? Desain lu mungkin yang jelek, makanya maketnya juga jelek….” Ejek Reza “Bangsat! Gue lapor Pak Hendra, kencing dicelana lu!” “Ampun-ampun, paduka pangeran. Ampuni hamba… Iya gue benerin. Malem ini kelar. Gue janji…” “Malem? Kenapa gak lu kerjain sekarang, bangke?! Mumpung masih pagi, siang lu dah kelar.” “Iya siap komandan!” Mau tidak mau harus ditunda meeting dengan Pak Hendra. Rayhan bingung sejadi-jadinya, bikin maket saja bisa salah. Ya ampun, kenapa orang-o
“Sya…” “Ya?” Suara Sya memecah kesadaran Rayhan, ia melamun cukup lama. Namun Sya sepertinya tahu dan tak mengganggunya. “Kenapa aku ada disini?” Rayhan kembali bertanya tapi emosinya telah turun. “I don’t know. You tell me.” Sya menanggapi dengan santai. “Why?” “Because, you came to here.” “Am I?” Sya menyodorkan pisin berisi kue. “Makanlah, kau seperti mayat. Apa kau merindukanku?” Adu tatap bersinggungan dengan apa yang diucap Sya. Sepertinya hal itu sangat sensitif untuk mereka yang tak berhubungan kontak sangat lama. “Bukankah usia kau telah melewati tiga puluh?” “Lebih tepatnya tiga puluh lima.” Jawab Rayhan singkat. Tatapan mata Sya yang penasaran berusaha menelanjangi Rayhan. Dan Rayhan tahu itu. Sya sangat antusias bertemu dengannya walau tak pernah berubah sifat ketusnya. Malah Sya lebih seperti menontoni Rayhan dengan bersahaja. Matanya begitu melekat namun gerak tubuhnya tenang. Apakah ini yang diinginkannya? “Kau telah selesai memb
Sore menjelang, Rayhan terbangun dengan lebih santai tak seperti pagi tadi. Tubuhnya dirasa jauh lebih baik. Rayhan kemudian pergi mandi. Setelahnya dia mengenakan piyama yang ada dikamar itu karena tak ada baju atau kaos dan dia juga tak membawa pakaian. Keluar dari kamar diharapkan segera bertemu Sya. Berkeliling ditempat asing memang menyenangkan. Mungkin Sya dikebun. Piring yang dipecahkannya tadi pagi sudah tidak ada. Meja itu pun kembali berisi piring dengan makanan berat. Berbeda dengan menu pagi tadi. Karena Rayhan lapar, dimakannya dengan lahap. “Sudah ku bilang, sebaiknya kau makan.” Merasa dipergoki Sya, Rayhan menengadahkan wajahnya sambil mengunyah menatap wajah Sya. Kemudian kembali menikmati makanannya tanpa hirau. Sya duduk dikursinya setelah meletakkan beberapa buah yang mungkin baru dipetiknya. Menyenangkan sekali disini bisa memakan buah-buahan dengan hanya memetik saja. “Aku lebih suka memakanmu.” Goda Rayhan pada Sya. Rayh
Kali ini Rayhan seperti bangun dari mimpi buruk. Kepala pusing, tangan dan kaki terikat. Ingin berteriak tapi tak bisa. Dia berada diruang yang sempit dengan kilasan-kilasan cahaya melalui lubang sekeliling dinding kayunya. Satu-satunya cara yang bisa dilakukannya yaitu berontak, membuat gaduh. Tapi rupanya cara itu tak membuatnya dikeluarkan dari tempat itu. sialan! Apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian Rayhan lebih memilih diam karena lelah. Lamat-lamat terdengar langkah kaki mendekat. Dibuka penutup kotak itu dan muncul Sya dan seorang lagi laki-laki. “Nyenyak tidurmu?” “Keparat! Apa yang sebenarnya kau lakukan? Dimana aku?” “Peti mati.” “Bangsat! Kau menempatkanku di peti mati?! Kau psikopat!” “Aku bertaruh, menukar nyawamu dengan suamiku. Tapi sepertinya tidak berhasil. Tutup kembali petinya.” Perintah Sya kepada Heri, keamanannya. “Apa?! Keluarkan aku dari sini! Sya! Sya!” Peti mati telah ditutup sempurna oleh Heri. Sya m
Setelah memarkirkan mobilnya digarasi. Rayhan keluar dari mobil sambil membawa bucket bunga lalu bergegas menuju kebun yang ada dibelakang. Benar saja, Sya sedang menuangkan teh. Sya mengenakan kemeja satin berwarna biru tua dengan panjang se-paha, membiarkan dua kancing teratas terbuka. Rayhan segera berdiri dihadapannya dan memberikan bucket bunga yang baru dibelinya. Sya menerimanya, diperhatikan bucket bunga itu ada secarik kertas dengan pesan menyertainya MISS YOU. Sya merekahkan senyumnya lalu duduk kursinya. Begitu juga dengan Rayhan. “Mawar putih?”. “Kau suka?”. Rayhan tak sungkan meminum teh dan memakan kuenya. Seperti telah biasa ditempat ini. “Kau tahu, kebun ku punya lebih banyak dan bermacam bunga”. “Tapi ini pemberianku, tentu berbeda bukan?”. “Jika kau merasa begitu”. “Dua hari kemarin aku menerima pos yang aneh isinya. Kemudian empat hari yang lalu aku te
Sebulan lebih lamanya Rayhan tidak bertemu dengan Sya. Namun selama itu pula Rayhan mendapat pesan terus menerus dari ponsel yang diberikan Sya. Tak ada satupun pesan itu dibalas Rayhan. Bahkan pesan suara berisi Sya menyanyikan sebuah lagu, tak digubrisnya sedikit pun. Rayhan hanya membacanya, mendengarkan, kadang-kadang ikut bersenandung juga. Karena mendengar lagu tersebut terus-terusan, Rayhan malah jadi hapal lagu itu di luar kepala. Tanpa disadarinya di sela-sela aktifitasnya, Rayhan bersenandung lagu tersebut. When you tell me that you love me. Lagu dinyanyikan oleh ... . Suatu pagi, Rayhan menerima notifikasi di ponselnya bahwa dia mendapatkan promo makan di restoran yang baru dibuka, letaknya memang cukup jauh dari kantornya. Namun karena restoran ini restoran seafood. Rayhan tidak mau melewatkan promo yang hanya berlaku satu hari saja sampai jam 5 sore. Jadilah ketika masuk jam makan siang, Rayhan terburu-buru keluar kantor menaiki ojek secepat kila
Wanita berambut pendek yang di cat pirang dan bertubuh mungil itu bekerja disalah satu perusahaan advertasing. Baru tiga tahun Erin bekerja disana setelah lulus kuliah. Tak banyak yang bisa diceritakan, dia penyendiri. Dengan bakatnya yang luar biasa tak membuat dirinya banyak teman. Sehingga acapkali bertemu orang baru, rasa-rasanya mudah sekali untuk dekat. Namun sulit mempertahankan hubungan. Erin bertekad untuk memperbaiki sikapnya, namun stress memicunya bertindak diluar dugaan. Hari-harinya setelah bertemu Rayhan, Erin merasa gundah menanti kabar. Harap-harap cemas ia menanti sebuah pesan atau telepon mungkin. Ia ingin lebih dekat dengan Rayhan. Baginya Rayhan seperti angin surga dalam hidupnya yang membosankan. Bekerja segiat mungkin tak lantas dapat menemukan kebahagiaan. Erin tak ingin bersabar untuk dapat bertemu lagi. Namun ia tak mungkin muncul kembali tiba-tiba di kantor Rayhan. Erin bisa digunjing yang tidak-tidak dan Rayhan akan terkena
Pulang kantor sore itu teramat melelahkan bagi Rayhan. Ia tiba di apartemennya hampir menjelang malam. Rutinitas baru mengantar jemput Erin menjadi tambahan pekerjaan Rayhan yang tanpa sadar lama-kelamaan mengikatnya sendiri. Ketika tiba di pintu apartemennya, Rayhan langsung membuka dan menyalakan lampu. Lalu dia melangkah ke ruang tengah dengan santai tanpa menyadari apapun, hingga suara itu mengagetkannya. “Kenapa kau tidak pernah membalas pesanku?”. Suara itu, apakah itu Sya? Rayhan mencari keberadaan sosok itu disekeliling apartemennya. Matanya terbelalak ketika menemukan Sya tengah duduk di kursi kebesarannya. Sya tampak anggun dengan gaya duduknya, menyilangkan kaki diantara pahanya sendiri. Apa yang dikenakannya? Itu sangat menggangu ketenangan banti dan birahi Rayhan. Karena Rayhan tak merespon pertanyaannya. Sya kemudian bangkit dari duduknya. Lalu melangkah mendekat ke arah Rayhan dengan cara yang sangat dramatis. Rayhan belum pernah meliha