Share

Undangan
Undangan
Penulis: Anis Bunga Dewi

Novel Misterius

-Rayhan-

Aku tidak percaya melakukan ini. Menemuinya dirumahnya yang letaknya tidak ku ketahui. Wanita sialan! Mencampur-adukan perasaanku seperti ini untuk kesekian kalinya. Tapi ada perasaan lain yang juga melegakan dibandingkan dengan rasa penasaranku setelah belasan tahun tak bersentuhan dengannya. Mungkin kemarahan yang ku rasakan adalah manifestasi dari kerinduan yang tak pernah bisa ku lampiaskan. Betapa waktu menusukku dari belakang. Hari-hari buruk yang menerpaku dikarenakan olehnya, membuatku memilih untuk berpisah.

Aku membawa sebuah novel yang ditulisnya. Dia membuat cerita yang didalamnya terselimut pesan tesembunyi agar aku mau menemuinya di kediamannya. Entah ini cara yang cemerlang atau aku hanya ingin memujinya atau dia ingin membuatku takjub dan terkesan sehingga aku mau menemuinya. Wanita jalang… Tak pernah terpikir olehku untuk apa dia melakukan ini.

Kehentikan mobil tepat didepan rumahnya sekarang, Jalan Azalea 73. Bukan dikota, daerah yang tinggi dan cukup dingin. Pagar rumahnya sangat tinggi dan dijaga. Setelah aku melapor pada keamanan. Dengan mudah aku dapat masuk tanpa ditanya. Mobil ku tinggalkan parkir digarasi.  Sepertinya sang tuan rumah memang mengharapkan aku datang. Ini rumah yang cukup mewah. Minimalis dan dinamis. Tamannya lebih menyerupai kebun, mungkin kebunnya dibelakang jauh lebih luas lagi. Aku diantar menuju ruang tamu. Lebih sepi yang ku kira. Seingatku dia memiliki anak, harusnya sekarang sudah besar.

Ini menyebalkan. Lebih dari 30 menit dan dia tidak muncul juga. Aku hampir saja tertidur jika pelayannya tidak datang menghampiri.

“Nyonya ingin menemui anda dikebun. Silahkan ikut saya.”

“Oh ya.” dalam hatiku yang paling suci ingin sekali mengutuk dirinya.

Mengikuti sang pelayan ketempat tuannya, aku melihat sekeliling rumah. Rumah yang indah, sungguh. Begitu damai. Aku tak tahu apa yang bisa membuatnya begitu. Pohon-pohon pun tidak membuat suasana menjadi mencengkam. Teduh dan bersahaja. Seperti sebuah kenikmatan yang tidak akan ku dapatkan di tempat lain.

“Silahkan tunggu disini” kata pelayan setelahnya berlalu.

Hanya ada meja dan kursi serta penganan diatasnya. Aku tak melihat rupanya sama sekali. Sekalipun mataku menyidik sekeliling tak henti dikebun ini. Tak lama aku mendengar langkah kaki dari ujung kebun. Aku menatap penuh sabar menunggu kedatangannya. Ia masih memiliki rambut panjangnya. Mengenakan pakaian atasan kemeja gelap dengan dua kancing atas terbuka dan bawahan celana panjang, dibalut lagi dengan jubah tidur yang tak diikat. Wajahnya tak berubah banyak sejak dulu, justru semakin cantik. Tubuhnya yang tinggi semampai membawa keranjang penuh buah dan bunga-bungaan. Sepertinya baru saja dipetiknya. Air mukanya begitu tenang dan percaya diri, perlahan sekali menghampiriku di tepi meja.

“Duduklah...” perintahnya.

Diletakkannya keranjang itu diatas meja sambil sedikit ditata. Meja yang sudah setengah isi menjadi hampir penuh dibuatnya. Sebuah ceret telah mengepulkan asap. Rupanya dibawah ceret itu sebuah tungku kecil yang terbuat dari tanah liat berisi kayu dengan arang yang membara didalamnya. Seketika itu juga bunga-bungaan yang baru dipetiknya dimasukkan kedalam ceret. Tak merasa puas, dia kembali kekebun memetik dedaunan entah apa, kemudian pergi membasuhnya dengan air dan kembali memasukkan daun itu kedalam ceret. Setelah menurutnya cukup, dia mengaduk dan menuangkan isi ceret itu ke cangkir.

Dia telah duduk dikursinya sambil meniup-niup uap dari cangkirnya. Sesekali disesapnya perlahan karena teh itu masih panas. Matanya terus menatapku yang diam saja setelah disodorkan teh yang telah dibuatnya. Dia tak berkata sedikit pun hingga membuatku kikuk dengan posisi dudukku. Tak sedikitpun dari auranya gentar. Seperti, ia menunggu reaksiku.

Aku perlu mengatur nafas agar bisa menguasai diriku, minimal. Tak mungkin aku menguasai keadaan ditempat asing dengan tuannya yang tampak mengerikan. Jelas sekali secara geografis dia berkuasa. Dan tak mungkin aku berbuat hal yang memalukan disaat genting begini. Teringatlah aku dengan novel itu, ku keluarkan dari tas dan kulemparkan diatas meja dengan cara yang dramatik, pikirku.

“Apa itu?”

“Kau tentu tahu apa ini.”

“Jadi kau membacanya.”

“Jika tidak ku baca, tak akan mungkin aku ada disini.”

“Itu benar.” Katanya dengan seringai tipis.

“Jadi… apa yang sebenarnya kau inginkan, Sya?”

Sya tak langsung menjawab. Dia lebih memilih meletakknya cangkirnya. Menatapku kemudian mengalihkan pandangan. Dia mengambil kue yang tersedia. Aku bahkan tak tahu kue-kue apa disitu, sangat asing bagiku.

“Aku akan bilang… Aku tidak menyangka ini… Rayhan…”

Apa yang dikatakannya barusan membuatku menganga. Namun sepertinya tidak demikian untuknya. Sya sangat tenang, bahkan saat ini pun dia mengisap rokok yang tidak ku lihat keberadaannya sedari tadi. Mungkin kebiasaan barunya ini membuatnya sedikit lebih dewasa dan semakin mempesona, pikirku.

“Kenapa kau tidak menghubungiku saja?”

“Itu membosankan. Kau menghilang begitu saja tanpa penjelasan. Bertahun-tahun setelahnya apa kau pikir aku akan mudah untuk menghubungimu? Apa kau pernah mencariku? Tidakkan?”

“Kau sudah menikah, Sya! Lantas aku harus apa?!!” Rayhan menunjukkan emosinya.

“Kau bicara begitu karena kau menginginkan lebih dariku! Kau tidak pernah tulus!”

“Bullshit! Kenapa kau tidak mati saja?! Untuk apa aku disini?!”

“Mana ku tahu? Kau yang datang sendiri kesini!”

“Kau memintaku datang kesini lewat buku ini!” Sambil menunjukkan novel tersebut.

“Memang, aku hanya ingin tahu apa kau benar-benar menemuiku.”   

“Kau tahu? Aku tidak terkesan! Buang-buang waktu saja.” Kesal Rayhan.

“Mungkin… Tapi kenyataannya kau ada disini, Rayhan. Kau seharusnya sadar sudah masuk kedalam permainan.”

“Apa maksudmu? Permainan apa?!” Tanya Rayhan heran.      

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status