Se connecterDamian menggenggam tangan Nayla, membawanya ke depan sebuah lukisan kecil di dinding dekat kamar. Gerakannya cepat, tapi hati-hati. Jemari tangannya menekan beberapa tombol dengan terlatih seperti seseorang yang telah melakukannya ratusan kali tanpa ingin ada yang mengetahui.
Tanpa kata, Damian akhirnya menekan panel magnetik di balik lukisan. Sebuah klik sunyi terdengar, lalu sebuah pintu tersembunyi terbuka perlahan.
Di baliknya, terbentang lorong sempit yang hanya cukup untuk dua orang berdiri berdampingan. Semuanya gelap, dingin, seolah diciptakan hanya untuk kondisi yang tidak pernah ingin dijalani siapa pun.
Nayla tertegun. Dunia Damian, rupanya, selalu punya lapisan di balik lapisan.
Belum habis keterkejutannya, Damian sudah menariknya masuk lorong. “Lihat dan perhatikan ini, Amore. Ini penting,” ucap Damian pelan, menunjuk peta kecil yang tergantung di dinding logam.
Telunjuknya bergerak menyusuri garis-garis rute keluar, titik
Berada di antara dua pria yang tampak tak waras, Nayla mencoba menjadi satu-satunya yang punya akal sehat. Dia yang semula sepakat untuk hanya diam, kini mulai berani bersuara.“Menurutku kalian terlalu gegabah,” ucap Nayla tiba-tiba. “Bisa jadi dua orang itu masih punya backup. Ada orang lain di belakang mereka berdua.”Alessandro menoleh lebih dulu. Senyumnya muncul perlahan. Bukan karena meremehkan, melainkan karena dia mendengar kekhawatiran yang wajar dari seseorang yang masih berpikir dengan logika dunia normal.Di hadapannya, Damian juga ikut tersenyum tipis. Dua pria itu tidak saling pandang, tapi jelas berada di halaman pemahaman yang sama. Mereka sudah tahu jawabannya, sedangkan pemahaman Nayla masih belum sampai ke sana.Alessandro menyalakan rokok dengan gerakan santai. Api kecil itu menyala sebentar sebelum dia menarik napas pertama. Caranya menghirup dan menghembuskan asap menyiratkan pertanda bahwa dia menyerahkan urusan perdebatan ini kepada Damian.“Nayla,” ucap Damia
Tidak ada yang langsung bicara, tapi Nayla paham kalau ini tidak akan menjadi percakapan biasa. Bahkan, dari awal, arahnya sudah terasa salah.Damian sedang memeriksa lembar demi lembar laporan dari Alessandro yang sebelumnya dia selipkan di balik jaket. Alisnya berkerut, sesaat tampak terkejut, sesaat kemudian tampak seperti tak percaya.“Seharusnya pekerjaanku sudah selesai. Lima nama yang ada di perjanjian awal sudah bersih,” ucap Alessandro datar. “Semua.”Damian menurunkan laporan itu perlahan. Tubuhnya sedikit menjauh dari meja, disusul dengan kedua lengan yang lantas terlipat. Alih-alih menunjukkan kelegaan, air wajahnya justru sedikit mengeras.“Aku tahu,” jawab Damian. “Itu sebabnya aku heran kamu muncul malam ini.”Alessandro meliriknya singkat. Sudut bibirnya terangkat tipis. Bukan untuk tersenyum, tapi lebih seperti gestur seseorang yang tahu sesuatu yang orang lain belum tahu.“Aku tidak datang untuk menutup,” ucap Alessandro yang masih bisa santai dan menyandarkan kepala
Damian baru saja akan menggiring Nayla menjauh ketika Alessandro mendaratkan tubuh pada sofa. Kedua tangannya terlipat santai seperti seseorang yang baru saja berhasil menodong villa.“Nayla,” ucap Damian rendah, nyaris menempel di telinganya. “Masuk kamar.”Nayla menatapnya sekilas. Dia bisa melihat sorot perintah, permintaan, dan sekaligus seperti keputusan final. Namun, alih-alih menurut, Nayla justru cepat-cepat melepaskan jemarinya dari genggaman Damian.“Tidak.” Nayla menjawab dengan hanya satu kata tegas.Damian mengernyit. “Nayla—”“Aku tidak akan ke mana-mana,” potongnya. “Aku ingin tahu semuanya.”Nayla beralih menatap pria yang selama ini disebut sebagai si pembunuh bayaran. Ketika Nayla amati lagi, Alessandro hampir mirip seperti Damian. Dia bukan sosok yang mengintimidasi dengan suara tinggi. Justru sebaliknya, dia begitu tenang dan terkontrol. Dan Nayla sedikit banyak sudah bisa tahu bagaimana menghadapi orang seperti itu.Hal yang cukup berbeda di antara dua pria di had
Nayla baru saja meletakkan pistol ketika intercom di sudut ruangan berdering. Suaranya memotong sisa hening dengan nada datar yang terasa salah tempat. Nayla refleks menoleh, alisnya berkerut, seolah suara itu baru saja menariknya kembali ke dunia yang lebih nyata dan lebih berbahaya.Damian tidak langsung bergerak. Bahunya menegang lebih dulu, lalu rahangnya mengeras. Tatapannya mengarah ke intercom, bukan dengan heran, melainkan dengan kewaspadaan. Dalam villa ini, tidak akan ada bunyi intercom yang muncul tanpa alasan.Pada bunyi ke tiga, dia akhirnya melangkah ke dinding dan menekan tombolnya. “Ya?”Suara Marco, salah satu penjaga, terdengar tertekan. Ada nada tegang yang tentu saja bercampur dengan sinyal ancaman. “Ada tamu.”Detik itu juga, dada Damian terasa mengencang. Kata ‘tamu’ terdengar seperti kesalahan. Seperti sesuatu yang seharusnya tidak mungkin ada di villa ini.Seketika, pikiran Damian pun menyimpulkan dua hal. Kalau bukan orang suruhan Jonathan, itu pasti sisa oran
Pintu berat itu tertutup tanpa ada suara gema. Hening yang sepenuhnya hening membuat Nayla paham kalau setiap sisi dinding dibuat agar bisa meredam suara. Bukan serupa busa yang biasa ada di studio musik, tapi lebih seperti panel berpola yang Damian bilang berfungsi untuk memecah gelombang dari tekanan ledakan senjata api. Mustahil untuk menghilangkan suara sepenuhnya, tapi setidaknya akan jauh lebih tertahan.“Kamu masih terlihat ketakutan,” ucap Damian.“Tidak,” sanggah Nayla. “Tidak sama sekali.”Nayla sempat membuang napas panjang, sebelum akhirnya mengedarkan pandang. Ruangan ini jauh lebih luas dari yang Nayla kira akan ditemui di bawah tanah. Cahaya putih lembut memancar dari sela-sela dinding, tidak silau, tapi cukup terang untuk memperlihatkan setiap sudut.Di sisi kanan, barisan meja panjang berjajar rapi. Di atasnya ada pelindung telinga, kacamata bening, sarung tangan tipis, dan kotak-kotak berisi peluru yang tertata seperti barang pecah belah mahal. Di ujung ruangan, loro
Nayla sempat menyimpulkan kalau Damian akan menolak mentah-mentah permintaannya. Terbukti, Damian menarik tangannya secara paksa agar segera menjauh dari lemari yang penuh dengan senjata api. Bahkan, pria itu setengah menyeretnya untuk keluar dari ruangan pribadinya.Namun, di luar dugaan, Damian ternyata membawanya ke halaman samping dekat kolam renang. Mereka berhenti di depan sebuah lemari kayu besar yang berdiri rapi di salah satu sisi dinding. Lemari itu tampak biasa, hanya serupa loker untuk menyimpan handuk. Kayunya mengkilap lembab oleh uap air, engselnya bersih, dan tak ada tanda bahwa benda itu ternyata menyimpan sesuatu selain keperluan berenang.“Saranku, persiapkan dirimu, karena aku tidak main-main kali ini.” Suara Damian merendah seperti seseorang yang akan mengungkap sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi.Nayla memandang lemari itu dengan alis terangkat. “Handukmu juga punya rahasia?”Damian tak tersenyum, hanya menatapnya sebentar, lalu menyentuh garis kecil di si







