Entah ungkapan apa yang tepat untuk menggambarkan situasinya saat ini. Dean merasa seperti tercekik. Isi kepalanya sudah penuh dengan rencana untuk membalas Alya. Tapi semuanya buyar saat ada Dian. Adik sahabatnya itu masih menguasai hatinya. Sejak tadi pria itu memilih diam dan fokus pada kemudinya. Alya yang duduk di sampingnya santai saja memainkan gawai. Gadis itu tadi sempat bercengkrama sebentar dengan Dian yang duduk di belakang.
Mobil berhenti di pinggir jalan di depan sebuah rumah bernuansa klasik. Tak begitu besar karena pagarnya tak cukup tinggi dan Dean bisa melihat Om Ded-Ded itu di teras bersama seorang wanita, mungkin istrinya. Oh, berarti Om Ded-Ded itu tidak single.
"Mampir dulu, Nak." seru Om Ded-Ded itu dari tempatnya duduk.
Dean akhirnya keluar untuk sekadar menyapa pria tua itu. Dia tidak mau dianggap tidak memiliki sopan santun. Dean meninggalkan Dian sendirian di dalam mobil.
Tegur sapa itu hanya sebentar karena Dean beralasan harus mengantar teman adiknya. Dan hal itu juga langsung diiyakan oleh Alya. Pria itu bahkan tak mau duduk barang sebentar.
Dean kembali masuk ke dalam mobilnya. Ia lirik Dian yang masih duduk di belakang sambil memejamkan mata. Kenapa gadis itu? Apa dia sakit? tanya Dean dalam hati.
Mobil melaju kembali dengan perlahan. Sampai di belokan gang, kendaraan itu berhenti lagi. Dean melirik Dian dari kaca spion tengah. Gadis berjilbab warna mocca itu kini sudah membuka mata. "Pindah ke depan, Di." ucapnya memerintah dengan lembut. Dia tidak mau jadi sopir.
"Di sini aja, Kak." jawab Dian lalu mengalihkan pandangannya ke luar mobil. Dean bisa melihat itu, lagi-lagi dari pantulan kaca spion tengah. Dian duduk tepat di belakang Dean.
"Kakak bukan sopir kamu." sahut Dean menyerukan isi hatinya tadi. Masih betah pria itu menatap spion.
Dian balas menatap mata Dean. Mereka bertatapan dengan kaca spion sebagai perantaranya. Dean tidak membalikkan badannya, pria itu duduk santai di depan. Cukup lama mereka begitu sampai akhirnya Dian memutar mata malas. Gadis itu membuka pintu mobil dan keluar.
Blam.
Cukup keras Dian menutup pintu mobilnya. Atau itu bisa juga disebut bantingan. Dean hanya tersenyum saja lalu menunduk, membuka ponselnya ketika benda itu mengeluarkan bunyi klunthing tanda ada pesan masuk.
Arya
[Makan malem di rumah gue gaes.]Raka
[Harus bawa gandengan.]Asem. Umpatan keluar dari dalam hati Dean. Raka memang senang jika dia menderita. Oh ya, bukankah ada Dian. Mereka semua pasti kaget nanti saat dia datang dengan Dian.
Dean mengangkat wajahnya demi melihat Dian yang akan memasuki mobil. Pria itu mengerutkan dahinya ketika tak mendapati gadis itu ada di sekitar kendaraannya. Dengan cepat ia melepaskan sabuk pengaman dan keluar. Tengok kanan-kiri, depan dan belakang mencari sosok Dian. "Di ...." teriaknya memanggil Dian yang sudah menaiki ojek online dan pergi meninggalkannya.
×××
Duduk di atas karpet dan menyender di kaki sofa, di ruang keluarga. Dean melihat Ara dan Gibran yang sedang bermain dakon. Kinan dan Tiara sedang menyiapkan makan malam. Arya dan Raka sedang ada di kamar Gibran. Katanya Raka ingin melihat hasil karyanya. Pret, palingan nanti juga menghujat.
"Taruh di sini dulu biar nggak kececer." ucap Dean memberi saran pada Ara karena anak itu terlihat kesulitan menggenggam biji-biji dakon yang lumayan banyak. Dean menunjuk permukaan karpet. "Tangan kamu, sih, kecil." lanjutnya lagi. Ara adalah bocah gemuk, tentu tangannya juga gembul seperti pipinya.
Ara menggeleng tak mau diganggu. Dia sedang fokus menaruh biji-biji dakon di dalam masing-masing lingkaran. Mengambil satu-satu dari tangan kirinya. "Nggak mau, nanti diambil Om Dean."
Dean mencebik. "Ya udah, taruh sini aja kalau gitu." serunya sambil membuka tangan kirinya.
Ara menoleh sebentar. Kedua matanya yang bulat hampir tertutup poni. Bocah itu lalu mengerjap lucu. Kemudian ia memberikan biji-biji dakon itu kepada Dean. Selanjutnya ia mengambil satu-satu dan menaruhnya di lingkaran. Membuat Gibran menghela napas jengah karena Ara terlalu lama.
Bagaimana ini? Tadi saja khawatir diambil Om Dean, kini bocah itu malah memberikannya pada Dean. Dasar Ara.
"Gandenganmu mana, Mas?" tanya Raka seperti biasa mengejek Dean. Tawa jenakanya keluar. Mereka berdua baru turun dari lantai atas.
Dean memutar bola matanya malas. Pertanyaan itu tak butuh jawaban. Pria itu meraih gawainya dan mengirimkan pesan pada adiknya. Mengetik dengan tangan kanannya.
[Tanyain temenmu tadi udah sampai rumah belum. Dia tadi minta diturunin di jalan. Katanya mau ke toko buku.]
Tidak mungkin Dean jujur jika Dian tiba-tiba pergi setelah ia suruh pindah duduk.
"Lho, mau dibawa ke mana?"
Dean mendongak, mengalihkan perhatiannya pada suara Tiara yang terdengar di telinganya. Terlihat Raka yang membawa piring-piring yang ada di meja makan menuju ke ruang keluarga.
"Makan di bawah aja." jawab Raka sambil menaruh piring itu di meja pendek, di samping Dean duduk.
Dean tak mau ikut campur. Mungkin Raka sedang ngidam ingin makan lesehan. Pria itu lalu beralih pada Ara dan Gibran lagi. Biji-biji dakon di tangannya masih ada. Ara memang terlalu lama. Gibran bahkan sampai menekuk siku menompang dagunya.
"Ayo, Kak Ara sama Kak Gibran cuci tangan dulu." seru Arya memerintah dan langsung diangguki oleh kedua bocah itu. Ara masih meninggalkan dua biji dakon di tangannya.
×
Makan malam berjalan dengan damai walau tanpa kehadiran Elyas dan istrinya. Mereka semua begitu menikmati masakan Kinan dan Tiara. Ikan bakar disandingkan dengan sambal, siapa yang bisa menolak kenikmatan dunia itu.
"Huh, pedesnya." tukas Raka sambil meneguk air minum langsung dari botol.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Dean. Sambal buatan Kinan memang pedas. Kata Arya bukan pedas, tapi sambalnya galak, sama galaknya seperti yang membuat. "Level seratus ini namanya." seru Dean menimpali. Keringat di mukanya sudah sebiji jagung.
Raka mengangguk setuju. Tapi tak ada niat dari mereka untuk menyudahi makan. Pantang mundur sebelum tandas.
"Kalau nggak pedes, namanya bukan sambel." ucap Tiara yang sama sekali tidak kepedasan. Wanita itu memang hanya makan sambal sedikit.
Kinan yang mendengarnya hanya tersenyum simpul. Dia dengan Arya sibuk mengawasi Ara dan Gibran. Jangan sampai anak-anak itu menelan duri ikan.
Malam ini adalah malam paling mengenaskan bagi Dean. Oke, dia memang menikmati hidangan. Tapi melihat kebersamaan Arya, Kinan dan anak-anaknya. Lalu Raka yang duduk menempel pada Tiara, membuat dia jadi iri. Dia memang akan menikah sebentar lagi. Tapi sayangnya bukan dengan gadis yang dicintainya.
"An, ngomong-ngomong Hara masih nanyain lo. Kemarin lusa gue ketemu dia." seru Raka yang sudah selesai makan.
Dean mengunyah nasi terakhirnya dengan santai. Sudah dibilang dia tidak bisa dengan orang militer, masih saja membicarakan hal itu.
"Bukannya dia udah nikah, ya?" tanya Arya. Dia tahu karena suami Hara adalah adik dari kenalannya.
Raka mengangguk sambil mengusap keringat di dahinya. "Hooh, tapi masih nanyain Dean. Tahu tuh anak mau ngapain."
"Ya Allah, lindungilah hambamu ini dari godaan istri orang." Dean menengadahkan kedua tangannya yang masih basah. "Jangan jadikan hamba pebinor, Ya Allah." sambungnya lagi.
"Amin." cicit Ara masih sambil mengunyah makanannya. Bocah itu menatap Dean dengan matanya yang lucu.
Dean tersenyum karena doanya ada yang mengamini. "Terima kasih Ara cantik. Duhh, gemesnya... jadi pengen cubit tantenya deh." ucapnya tak nyambung.
Raka tertawa dan Arya hanya menggeleng saja. Sementara Kinan dan Tiara saling berpandangan tak mengerti.
"Gue yakin kalau lo nembak Dian pasti ditolak." seloroh Raka masih sambil tertawa.
Dean diam saja. Ucapan Raka memang benar.
"Dian orangnya alusan, lah lo ...." sambung Raka lagi.
"Heleh, gua dulu itu anak polos. Lo berdua tuh yang bikin gue terkontaminasi." sahut Dean membela diri. "Ayo, Yan. Gue yang bayarin deh. Lo harus cobain, nanti pasti mau lagi. Gue beliin yang masih ting-ting." ucapnya meniru perkataan Raka dan Arya yang dulu mengajaknya masuk ke lembah kesesatan dan kenikmatan. Bibirnya sampai miring-miring. "Lo berdua alusan juga baru sekarang. Nggak usah sombong. Lo dulu juga penebar be... Hmmph."
Mulutnya tersumpal tempe goreng dan kerupuk disaat yang bersamaan. Tempe dari Raka dan kerupuk dari Arya.
Bersambung.
Dean mendorong troli belanja dengan Ana yang duduk di dalamnya. Sesekali pria itu memaju-mundurkan troli hingga tawa Ana yang gemelikik terdengar renyah. Anak itu suka dengan salah satu wahana permainannya ini. Semacam sudah hapal, Ana akan minta naik ke atas troli ketika mereka akan belanja bulanan. Agak di depan, Alya tak jarang mengomel pelan. Selalu mengingatkan sang suami agar tetap menjaga keselamatan sang buah hati. Di saat seperti itu hanya decakan kesal yang Dean berikan, tanpa disuruh pun dia akan menjaga keselamatan Ana.Usia kandungan Alya sudah lima bulan. Perutnya sudah terlihat dari balik gamis panjang yang ia kenakan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kesehatan Alya dan bayi di dalam kandungannya semua baik-baik saja. Dean mengucap syukur. Allah memang Maha Baik."Jangan kenceng-kenceng, Ana lagi makan.""Mama bawel." Dean pura-pura berbisik pada Ana yang sudah mengunyah biskuit coklat. Ketika ibunya menaruh makanan ke dalam troli, bocah yang s
Sebelah tangan jatuh di pangkuan Dean. Pria itu menoleh ke samping kiri, menatap sang istri yang menyandar lemah di bahunya. "Capek banget, tolong pijitin sebentar, Kang."Alya Savira Wiryawan.Perempuan cantik yang dikirim Tuhan untuk melengkapi hidup seorang Dean Giriandra. Datang saat hati Dean baru dibuat patah sepatah-patahnya. Dean tidak pernah menyangka jika akhirnya dia bisa jatuh cinta kepada istrinya tersebut. Bagi Dean, cinta datang karena terbiasa bersama itu tidak ada dalam kamusnya.Tentang Dian, Dean tak mau menampik jika di dalam hatinya masih tersimpan sedikit tempat untuk gadis itu. Adik sahabatnya yang manis dan mampu menggetarkan hatinya di saat ia baru mulai mengenal apa itu cinta. Dean sudah berusaha sekuat tenaga. Dia sudah jatuh dalam pesona seorang Alya, tapi Dian, dia tetap istimewa.Serakah? Tidak. Dean tidak pernah ingin memiliki keduanya.Alya sudah banyak mengorbankan hidupnya untuk semua. Alya yang begitu hebat ketika
Seminggu kemudian, Alya dan bayinya sudah diperbolehkan pulang. Dan yang membuat Dean terkejut adalah para sahabatnya sudah ada di sana. Setelah ditelisik, ternyata itu adalah kerjasama antara Raka dengan Ibu Lis. Bosnya itu juga sudah mengubah kamar kosong di lantai bawah menjadi sebuah kamar anak yang bernuansa pink. Khusus untuk Ana, kata Ara waktu mereka sampai di rumah."Om, ini yang pilih aku lho." ucap Ara menunjuk sebuah boneka beruang seukuran melebihi badannya yang berwarna pink. "Ini juga aku... Ini, ini, ini juga." imbuhnya sambil menunjuk sebuah lemari pakaian kecil, lemari mainan dan sofa mini. Semuanya berwarna merah muda.Dean berlutut di depan Ara. Ia mengusak poni yang menutup dahi. "Oh ya? Ara ikut Papa sama Om Raka belanja?"Ara mengangguk semangat hingga poninya terayun. "Heem, Ara ikut bikin juga. Ara juga punya boneka yang kayak gini." ujarnya yang sekarang sudah tak cadel lagi. Dia sudah bisa mengucap huruf R dengan cukup jelas. Anak itu
Dua hari setelah Alya sadar dari koma. Kini dia sudah diperbolehkan pindah ke ruang perawatan. Bertemu langsung dengan anaknya. Perempuan itu menangis lagi, tak bisa membendung keharuan yang menyelimuti. Sekali lagi, tak bosan ia mengucap terima kasih kepada Sang Maha Pencipta."Ayo... Ayo Ana pinter... Cucunya Mbah Uti pinter." Ibu Lis membantu Alya yang sedang menyusui Ana. Bayi itu bingung puting karena sebelumnya sudah minum menggunakan botol susu. Putingnya kali ini tak sebesar puting buatan pabrik.Alya terus menyodorkan dadanya. Air susunya sudah deras, tapi Ana malah menangis tak mau menyedot. Tiba-tiba Ibu Lis mendekatkan posisi wajah Ana ke dada sang ibu. Beliau memasukkan puting Alya ke dalam mulut Ana yang terbuka. Bayi itu masih menolak. Tangisnya semakin kencang. Alya sendiri juga sudah tak tega. Namun, Ibu Lis tak menyerah begitu saja. "Masukin, Al. Biar asinya nggak ada yang keluar. Masak orang segini banyak kalah sama bayi." ucapnya gemas. "Nah begitu.
Kematian adalah perpisahan paling kejam. Jauhnya jarak tak akan bisa ditempuh dengan kendaraan apapun"Al, jangan pergi, Al. Jangan tinggalin kita... Ana gimana kalau kamu pergi."Gelisah, panik, takut, kosong.Dean meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat untuk menyalurkan suhu tubuhnya yang hangat. Pria itu masih menangis di samping tubuh istrinya yang dingin."Al!"Plak plak."Bangun woe...!"Terperangah bangun ketika ia merasakan sakit di lengannya. Seketika kepalanya juga terasa sangat pusing. Dadanya berdegup kencang. Badannya lemas. Dean mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan putih itu. Ada ibu, ayah mertua dan sahabat beserta istrinya masing-masing. Kinan menggendong Ana dan Tiara berada di dekatnya. Mereka semua nampak bingung membalas tatapannya.Dean lalu beralih melihat ranjang pasien. Kosong. Benarkah Alya sudah pergi meninggalkannya? Meninggalkan anaknya juga?"Dih nangis."Dean menutu
"Kira-kira nanti aku bisa masuk surga, nggak ya?"Dean menoleh kepada istrinya yang masih memakai mukena. Seusai sholat subuh berjamaah, tiba-tiba Alya bertanya seperti itu. "Ngomong apa kamu?" Pria itu mendekap badan sang istri dari samping."Aku dulu nggak pernah sholat. Sering keluar malem. Mabuk juga... Aku pikir ini emang cara Allah ngehukum aku. Telat banget nggak sih? Aku inget Allah pas keadaanku udah begini?"Dean mengusap-usap bahu Alya, tak melarang wanita itu menangis di dadanya. Jika bicara dosa, dia lebih banyak berdosa. Tak hanya meninggalkan kewajiban lima waktu, mabuk dan keluar malam. Dean juga berzina. Jujur, sama seperti Alya. Dia juga baru ingat untuk menjalankan perintah-Nya setelah keadaan seperti ini. Lelaki tersebut sekarang rajin memohon kepada Allah, semoga istri dan anaknya selamat semua. Semoga nanti mereka berdua bisa mendampingi anak mereka melihat dunia. Egois, tak tahu diri...ya itulah dia. Ibaratnya baru sekali mendekat, tapi su