Ibu Lis adalah orang yang tak suka dibantah. Begitu pula dengan Dean. Tapi, lelaki itu tak akan bisa membantah sang ibu jika beliau sudah mengeluarkan perintah. Seperti siang ini, seperti anak kecil yang akan mendapat hukuman jika tak mau menuruti ucapan ibunya. Dean sudah duduk malas di sebuah cafe bersama seorang perempuan yang katanya anak Om Ded-ded itu. Alya Savira.
"Jadi, apa alasan lo nerima perjodohan ini?" tanya Dean setelah basa-basi mereka yang benar-benar basi. Alya bilang dia akan menerima perjodohan itu. Gampang sekali dia.
Alya menoleh sekilas pada pria itu. Punggungnya masih bersandar dan kedua tangannya masih bersedekap. "Ya... Cuma biar ganti status aja. Lagian lo juga nggak buruk rupa." jawabnya santai. Gadis itu tak berniat menyeruput kopinya lagi.
Dean berdecak dalam hati. Perempuan ini cocok sekali dengan sang ibu. Buruk rupa? Hah?
"Bokap gue udah tua. Dia minta gue cepet-cepet nikah." sambung Alya.
Dean melirik Alya sekilas. Jika dilihat-lihat, Alya ini lumayan. Dia benar cantik seperti kata ibunya. Dagunya lancip dan hidungnya bangir. Rambutnya hitam kecoklatan sebatas bahu. Sepertinya lembut.
"Umur berapa, sih, lo?" tanya Dean.
"Penting?" Alya balas bertanya. Alisnya naik sedikit.
Dean menggeleng. Masih sulit jika harus menerima perjodohan itu juga. Tapi, demi ibunya, mungkin dia akan menawarkan perjanjian dengan gadis ini. Lagipula dia juga butuh pelampiasan. "Kita nikah kontrak."
Alya seketika menoleh. Ia tatap Dean cukup lama sebelum berucap. "Boleh."
"Tiga bulan." seru Dean tanpa tedeng aling-aling.
"Kecepetan. Bokap gue pasti curiga." sahut Alya dan meurunkan tangannya. Ia seruput lagi kopinya yang mulai dingin. "Satu tahun."
"Kelamaan." balas Dean tak setuju.
"Sepuluh bulan?"
"Lima."
"Lo pikir ibu lo nggak curiga?"
"Delapan bulan. Deal?" Dean menyodorkan tangannya dan langsung disambut oleh Alya. Segampang itu mereka membuat keputusan.
Alya kemudian mengeluarkan selembar kertas dan pulpen dari dalam tas jinjingnya. Gadis itu menuliskan banyak kalimat di atas kertas putih itu. Cukup lama ia berkutat dengan pulpennya sebelum menyerahkan kertas itu pada pria di depannya. "Lo bisa nambahin." ucapnya sambil meletakkan pulpen di meja, agak dekat dengan posisi Dean.
Dean meraih kertas itu dan mulai membacanya. Gadis ini pintar seperti dugaannya. Dia sudah mempersiapkan semuanya dengan apik.
1. Wajib memenuhi hak dan kewajiban, nafkah lahir dan batin.
"Lo maniak." Dean berucap frontal. Nafkah lahir batin, apa gadis itu minta ditiduri?
Alya mendesah malas. "Nggak lucu kalau gue nanti masih perawan pas udah jadi janda."
Hah? Dean hampir terbahak. "Lo masih perawan?" tanya Dean agak sangsi karena penampilan Alya yang menurutnya seksi. Blouse tanpa lengan dipadukan dengan rok span di atas lutut yang ketat. Gadis itu memang membawa blazer, tapi tak dipakai. Dean tadi bahkan sempat menikmati bongkahan pantatnya saat gadis itu berjalan ke toilet. Memang sebagai sesama manusia tidak boleh menilai orang lain dari penampilannya. Tapi, Dean juga bukan orang yang bodoh. Seingatnya dia cukup sering melihat Alya di bar langganannya dulu. Bergoyang bersama teman-temannya saat hari sudah larut untuk seorang perempuan. Dan Dean tahu jika Alya bukan perempuan polos macam istri Arya atau istri Raka. Alya dengan kehidupan malamnya tidak bisa menjamin jika gadis itu masih perawan.
Alya mendelik menatap Dean. Marah, tersinggung, tentu saja. Tapi ia tak mau memperkeruh suasana. Dia diam saja tak menjawab.
"Terus nanti kalau lo hamil, gimana?" tanya Dean lagi.
"Bagus, berarti gue ada temen. Karena gue nggak ada niat mau nikah lagi setelah ini." jawab Alya sekenanya. Dia tidak berbohong saat dia bilang tidak berniat untuk menikah lagi setelah nanti bercerai dengan Dean. Dia sudah muak dengan semua yang orang lain sering menyebutnya cinta. Cinta cinta ta* anj**g. Alya sudah beberapa kali menjalin hubungan dengan lawan jenis. Tapi semuanya selalu berakhir dengan kegagalan. Jika tak diselingkuhi, dia hanya dimanfaatkan.
2. Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing.
Dean mengangguk setelah membaca poin ke-dua. Dia setuju karena dia juga tidak mau urusannya dicampuri oleh Alya.
3. Tinggal terpisah dari orang tua.
"Gue nggak mungkin ninggalin nyokap gue." lirih Dean.
"Cih, anak mami." ejek Alya dan langsung mendapat lirikan maut dari pria di depannya itu. "Gue nggak mau kalau tiap hari harus akting mesra-mesraan sama lo. Gue nggak mau muntah tiap hari juga."
Asem. Umpat Dean dalam hati, tapi membenarkan juga ucapan Alya. Dia juga tidak mau bersandiwara terus-menerus.
4. Harus datang saat acara keluarga.
Lagi-lagi Dean menyetujui poin ini karena baginya keluarga adalah nomor satu.
Dean lalu mengambil pulpen di atas meja. Menuliskan beberapa kata di atas kertas. Selanjutnya memberikannya pada Alya.
5. Harus ada saat dibutuhkan.
Setelah membacanya, Alya melirik Dean lagi. Dibutuhkan yang bagaimana maksudnya? Ambigu sekali orang ini, batinnya.
×××××××××
Beberapa hari setelah pertemuan Dean dan Alya. Ibunya dan Om Ded-Ded itu sudah mengetahui jika mereka berdua menerima perjodohan. Ibu Lis terlihat sangat bahagia. Beliau bahkan sudah sibuk menghubungi saudara-saudaranya yang berada di Wonogiri.
Dean diam saja, dia tentu bungkam soal pernikahan kontrak itu. Bisa disembelih saat kurban nanti jika ibunya sampai tahu.
"Oh, udah pulang kamu, Mas?" Saking sibuknya di dapur dengan calon menantu, Ibu Lis sampai tidak tahu jika puteranya sudah pulang.
Dean hanya menatap sang ibu dan Alya bergantian. Misi apa yang sedang perempuan itu bawa saat ini? Ini terlalu cepat untuk pengakraban diri. Tanggal pernikahan mereka belum ditentukan.
"Alya, katanya pulang kerja mampir di toko kue. Lihat, Mama dibeliin Bolu talas." ucap Ibu Lis sumringah sambil menunjuk bolu berwarna ungu itu di meja.
Ibunya memang gampangan. Disogok bolu talas saja sudah senang bukan main.
Dean melirik Alya, gadis itu tersenyum simpul menatapnya.
"Lintang udah pulang, Buk?" tanyanya tanpa bergabung dengan mereka yang duduk di ruang makan. Pasalnya, adiknya itu tadi tak minta dijemput. Katanya akan pulang bersama temannya.
"Udah. Lagi sama temennya di kamar." jawab Ibu Lis lalu menoleh kepada Alya yang duduk di sampingnya. "Alya, nanti kamu makan malam di sini, ya."
Alya tersenyum canggung. "Maaf Tante, sebelum Magrib, Alya udah harus ada di rumah."
Cuih, pintar sekali perempuan ini bersandiwara. Sebelum Magrib sudah di rumah. Lalu yang joget-joget sampai larut malam itu siapa? Kloningannya? Batin Dean sudah muak. Pria itu lalu memilih untuk pergi dari sana dan menuju kamarnya yang terletak tak jauh dari dapur.
"Dean, nanti anterin Alya pulang, ya. Dia tadi naik ojek."
Langkah Dean terhenti di depan pintu kamarnya. Dari situ dia masih bisa melihat dua perempuan beda generasi itu. Sudah ingin melontarkan protes, tapi dia melihat senyum sinis Alya. Gadis itu mengejeknya dan dia harus membuat perhitungan. "Iya. Dean mandi dulu."
×
Tak lama, Dean hanya butuh waktu 15 menit untuk membersihkan diri. Setelah berganti baju dengan kaos pendek dan celana yang juga pendek. Pria itu sudah keluar dari kamar dengan membawa kunci mobilnya.
"Alya pulang dulu, ya, Ma."
Wow, secepat itu Alya merebut hati Ibu Lis. Tunggu, bukankah sejak Om Ded-Ded itu datang, Ibunya sudah senang bukan kepalang.
"Iya, besok main lagi, ya." Ibu Lis mengusap bahu Alya sembari mereka berjalan.
"Kak." Tiba-tiba ada sebuah suara dari arah tangga. Muncul Lintang dari balik tembok. "Kak Dean mau nganterin Kak Alya?""Iya." singkat saja jawaban Dean. Sejak kapan adiknya itu kenal dengan Alya?
"Sekalian titip temenku, ya, Kak. Anterin juga. Rumahnya deket kok." pinta gadis berkacamata itu serius. "Dian, kamu ikut Kakakku aja, ya." lanjut Lintang saat temannya sudah muncul dan berdiri di sampingnya.
Dian. Aisha Dianitha Pramono. Sejak kapan mereka berteman?
Bersambung.
Dean mendorong troli belanja dengan Ana yang duduk di dalamnya. Sesekali pria itu memaju-mundurkan troli hingga tawa Ana yang gemelikik terdengar renyah. Anak itu suka dengan salah satu wahana permainannya ini. Semacam sudah hapal, Ana akan minta naik ke atas troli ketika mereka akan belanja bulanan. Agak di depan, Alya tak jarang mengomel pelan. Selalu mengingatkan sang suami agar tetap menjaga keselamatan sang buah hati. Di saat seperti itu hanya decakan kesal yang Dean berikan, tanpa disuruh pun dia akan menjaga keselamatan Ana.Usia kandungan Alya sudah lima bulan. Perutnya sudah terlihat dari balik gamis panjang yang ia kenakan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kesehatan Alya dan bayi di dalam kandungannya semua baik-baik saja. Dean mengucap syukur. Allah memang Maha Baik."Jangan kenceng-kenceng, Ana lagi makan.""Mama bawel." Dean pura-pura berbisik pada Ana yang sudah mengunyah biskuit coklat. Ketika ibunya menaruh makanan ke dalam troli, bocah yang s
Sebelah tangan jatuh di pangkuan Dean. Pria itu menoleh ke samping kiri, menatap sang istri yang menyandar lemah di bahunya. "Capek banget, tolong pijitin sebentar, Kang."Alya Savira Wiryawan.Perempuan cantik yang dikirim Tuhan untuk melengkapi hidup seorang Dean Giriandra. Datang saat hati Dean baru dibuat patah sepatah-patahnya. Dean tidak pernah menyangka jika akhirnya dia bisa jatuh cinta kepada istrinya tersebut. Bagi Dean, cinta datang karena terbiasa bersama itu tidak ada dalam kamusnya.Tentang Dian, Dean tak mau menampik jika di dalam hatinya masih tersimpan sedikit tempat untuk gadis itu. Adik sahabatnya yang manis dan mampu menggetarkan hatinya di saat ia baru mulai mengenal apa itu cinta. Dean sudah berusaha sekuat tenaga. Dia sudah jatuh dalam pesona seorang Alya, tapi Dian, dia tetap istimewa.Serakah? Tidak. Dean tidak pernah ingin memiliki keduanya.Alya sudah banyak mengorbankan hidupnya untuk semua. Alya yang begitu hebat ketika
Seminggu kemudian, Alya dan bayinya sudah diperbolehkan pulang. Dan yang membuat Dean terkejut adalah para sahabatnya sudah ada di sana. Setelah ditelisik, ternyata itu adalah kerjasama antara Raka dengan Ibu Lis. Bosnya itu juga sudah mengubah kamar kosong di lantai bawah menjadi sebuah kamar anak yang bernuansa pink. Khusus untuk Ana, kata Ara waktu mereka sampai di rumah."Om, ini yang pilih aku lho." ucap Ara menunjuk sebuah boneka beruang seukuran melebihi badannya yang berwarna pink. "Ini juga aku... Ini, ini, ini juga." imbuhnya sambil menunjuk sebuah lemari pakaian kecil, lemari mainan dan sofa mini. Semuanya berwarna merah muda.Dean berlutut di depan Ara. Ia mengusak poni yang menutup dahi. "Oh ya? Ara ikut Papa sama Om Raka belanja?"Ara mengangguk semangat hingga poninya terayun. "Heem, Ara ikut bikin juga. Ara juga punya boneka yang kayak gini." ujarnya yang sekarang sudah tak cadel lagi. Dia sudah bisa mengucap huruf R dengan cukup jelas. Anak itu
Dua hari setelah Alya sadar dari koma. Kini dia sudah diperbolehkan pindah ke ruang perawatan. Bertemu langsung dengan anaknya. Perempuan itu menangis lagi, tak bisa membendung keharuan yang menyelimuti. Sekali lagi, tak bosan ia mengucap terima kasih kepada Sang Maha Pencipta."Ayo... Ayo Ana pinter... Cucunya Mbah Uti pinter." Ibu Lis membantu Alya yang sedang menyusui Ana. Bayi itu bingung puting karena sebelumnya sudah minum menggunakan botol susu. Putingnya kali ini tak sebesar puting buatan pabrik.Alya terus menyodorkan dadanya. Air susunya sudah deras, tapi Ana malah menangis tak mau menyedot. Tiba-tiba Ibu Lis mendekatkan posisi wajah Ana ke dada sang ibu. Beliau memasukkan puting Alya ke dalam mulut Ana yang terbuka. Bayi itu masih menolak. Tangisnya semakin kencang. Alya sendiri juga sudah tak tega. Namun, Ibu Lis tak menyerah begitu saja. "Masukin, Al. Biar asinya nggak ada yang keluar. Masak orang segini banyak kalah sama bayi." ucapnya gemas. "Nah begitu.
Kematian adalah perpisahan paling kejam. Jauhnya jarak tak akan bisa ditempuh dengan kendaraan apapun"Al, jangan pergi, Al. Jangan tinggalin kita... Ana gimana kalau kamu pergi."Gelisah, panik, takut, kosong.Dean meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat untuk menyalurkan suhu tubuhnya yang hangat. Pria itu masih menangis di samping tubuh istrinya yang dingin."Al!"Plak plak."Bangun woe...!"Terperangah bangun ketika ia merasakan sakit di lengannya. Seketika kepalanya juga terasa sangat pusing. Dadanya berdegup kencang. Badannya lemas. Dean mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan putih itu. Ada ibu, ayah mertua dan sahabat beserta istrinya masing-masing. Kinan menggendong Ana dan Tiara berada di dekatnya. Mereka semua nampak bingung membalas tatapannya.Dean lalu beralih melihat ranjang pasien. Kosong. Benarkah Alya sudah pergi meninggalkannya? Meninggalkan anaknya juga?"Dih nangis."Dean menutu
"Kira-kira nanti aku bisa masuk surga, nggak ya?"Dean menoleh kepada istrinya yang masih memakai mukena. Seusai sholat subuh berjamaah, tiba-tiba Alya bertanya seperti itu. "Ngomong apa kamu?" Pria itu mendekap badan sang istri dari samping."Aku dulu nggak pernah sholat. Sering keluar malem. Mabuk juga... Aku pikir ini emang cara Allah ngehukum aku. Telat banget nggak sih? Aku inget Allah pas keadaanku udah begini?"Dean mengusap-usap bahu Alya, tak melarang wanita itu menangis di dadanya. Jika bicara dosa, dia lebih banyak berdosa. Tak hanya meninggalkan kewajiban lima waktu, mabuk dan keluar malam. Dean juga berzina. Jujur, sama seperti Alya. Dia juga baru ingat untuk menjalankan perintah-Nya setelah keadaan seperti ini. Lelaki tersebut sekarang rajin memohon kepada Allah, semoga istri dan anaknya selamat semua. Semoga nanti mereka berdua bisa mendampingi anak mereka melihat dunia. Egois, tak tahu diri...ya itulah dia. Ibaratnya baru sekali mendekat, tapi su