Lintang sudah benar-benar menutup telinga dengan gosip yang beredar di lingkungan sekitar. Ia juga tidak peduli bila para tetangga mencapnya sebagai istri yang tidak tahu diuntung, karena sudah memiliki suami seperti Raga. Bahkan, Lintang juga mendengar gosip dirinya berselingkuh dengan Maha. Karena itulah, Lintang memilih kabur dari Raga agar bisa lebih bebas menjalin hubungan dengan Maha.Ada-ada saja.Padahal, selain Maha masih ada beberapa pria yang kerap datang ke rumah Lintang untuk mengantarkan buku-buku, sekaligus bercengkrama. Namun, Lintang tidak pernah sekalipun digosipkan dengan mereka semua.Karena gosip tersebut jualah, Lintang semakin yakin untuk pindah dari tempatnya yang sekarang. Hanya tinggal menunggu ada yang menggantikannya mengontrak rumah, barulah Lintang pindah dari tempat tersebut. Untuk sementara, buku-buku yang ada akan Lintang titipkan di rumah Intan, bila Lintang belum mendapatkan tempat tinggal yang cocok.“Serius Mbak Lintang nggak ada hubungan sama pak
“Tapi, Mbak.” Suara Intan berbisik, karena khawatir akan terdengar Maha atau Raga yang sedang berada di teras rumah. Sementara Rama, seperti biasa sedang sibuk bermain dengan mobil remote controlnya, di ruang tamu Lintang. “Kalau kamu jalan sama bapak pengacara itu, tetangga pasti tambah julid. Omongannya pasti tambah lebar ke mana-mana. Apalagi kalian pergi naik motor gituan. Belum lagi, kalau pacarnya si bapak itu tahu, terus datang ke sini buat ngelabrak Mbak Lintang. Kan, tambah runyam.” Benar juga. Kenapa Lintang tidak berpikir sampai ke sana? “Beda cerita kalau kamu jalan sama mas Raga, Mbak,” sambung Intan mengeluarkan pendapatnya, karena sudah hafal dengan sikap ibu-ibu yang tinggal di sekitar lingkungan tersebut. “Meskipun tetap ada yang julid, tapi nggak akan ada yang mikir terlalu ekstrem. Seperti, Mbak Lintang pasti nanti langsung dicap cewek nggak benerlah, cewek gampangan atau … macam-macam.” Tubuh Lintang lantas merosot dengan helaan besar. Terduduk di tepi kasur sam
“Sorry, mendadak aku harus lihat rumah karena aku ada rencana pindah.” Cukup sederet kalimat tersebut yang dikirimkan Lintang pada Maha, sesaat sebelum ia menaiki ojek online yang sudah dipesan. Lintang hampir saja lupa bahwasanya ia juga memiliki rumah dari mendiang ibunya. Untuk itu, sepertinya Lintang tidak perlu mencari rumah lain lagi karena ia tidak perlu lagi bersembunyi dari Raga. Namun, kali ini Lintang tidak langsung pergi menuju rumah tersebut. Lintang akan pergi ke kantor lamanya untuk menemui Eza. Rencananya, Lintang akan meminta bantuan pada pria untuk mencarikan orang sekaligus kendaraan untuk membantunya pindah rumah. Sesampainya di kantor, Lintang menunggu Eza di lobi karena pria itu masih melakukan stok opname di akhir bulan seperti sekarang. Biasanya, para sales dan bagian administrasinya akan pulang lebih larut untuk menyelesaikan pengecekan tersebut. “Lintang …” Suara yang sudah sangat Lintang hafal, membuatnya segera mendongak lalu berdiri dari tempatnya. Seny
Sejak kemarin, Lintang sudah menonaktifkan nomor ponselnya. Ia menghindari telepon dan pesan dari Fajar, Maha, maupun Raga. Tidak hanya itu, Lintang juga tidak berada di rumah kontrakannya. Ia memilih untuk menginap di rumah mendiang sang ibu dan membersihkan seluruh ruangan untuk ditempati dalam waktu dekat. Lintang sudah muak melihat Raga dan Maha yang selalu saja berada di rumah kontrakannya, karena itulah ia mencari ketenangan di tempat yang lain.Masalah rumah kontrakan saat ini, untuk sementara akan Lintang biarkan begitu saja sampai ada orang yang ingin mengambil alih. Jika tidak, Lintang juga tidak akan rugi apa-apa, karena uang yang ia gunakan adalah milik Raga.Saat sudah berada di pengadilan, barulah Lintang mengaktifkan ponselnya, tetapi tidak berminat untuk melihat semua notifikasi yang masuk ke dalamnya. Bahkan, Lintang menutup toko buku online yang yang berada di beberapa marketplace, agar tidak memiliki tanggung jawab bila ada orderan yang masuk.“Lintang, kenapa aku n
“Oh, aku lagi istirahat. Nggak enak badan,” ujar Lintang beralasan sambil memasukkan stok buku-buku yang masih berada di kamarnya ke kardus. “Makanya hape nggak aku aktifin. Toko di marketplace aja aku tutup, Za.”“Nggak enak badan? Sakit apa?” Eza jadi curiga dengan alasan yang diberikan Lintang. “Aku sampai ke sini sama pak Fajar, karena kamu nggak bisa dihubungi.”“Mas Fajar … ke sini?” Lintang menutup kardus yang sudah penuh dengan buku, lalu beristirahat sejenak. Mengingat Fajar, jelas saja Lintang juga mengingat seorang wanita yang menggandeng lengan pria itu, Celline. Ia pun tidak perlu menjelaskan terlalu panjang, mengenai alasan sakit yang diberikannya barusan. “Mau apa?”Eza mengendik. Menutup buku catatannya, lalu memasukkan ke dalam tas ransel. “Dia cuma bilang ada yang mau diobrolin sebelum balik ke Surabaya.”“Aku lagi di rumah almarhum ibu, yang mau aku pindahin sekarang ini.” Menurut Lintang, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan Fajar. Karena itulah, sampai det
Sebulan berlalu dari putusan sidang cerai antara Lintang dan Raga. Kehidupan Lintang kini lebih berwarna, karena semua beban sudah benar-benar ia lepas dari pundaknya. Dari masalah keluarga, Raga, Fajar, pun dengan Maha yang terkadang masih menelepon dan mengirimkan pesan yang bertanya mengenai tempat tinggal Lintang saat ini.Tentu saja Lintang tidak akan mau menggubrisnya, karena semua urusan di antara mereka sudah selesai.Lintang pun sudah kembali bekerja di bidang yang sama. Ia kembali menjadi sales buku di distributor berbeda, dan tetap menjalankan toko onlinenya sekaligus.Lelah? Tentu saja. Akan tetapi itulah harga yang harus dibayar bila ingin merubah masa depannya menjadi lebih baik lagi.“Kadang aku mikir, target omsetku tiap bulan terus naik, tapi, minat baca orang dengan buku cetak juga makin berkurang.” Lintang menghela panjang, ketika baru memasuki gedung diadakannya Nasional Book Fair tahunan siang itu. Salah satu event bazar buku terbesar, yang diselenggarakan setiap
“Masuk.”Lintang mengangguk mendengar perintah datar Indri. Melangkah masuk ke ruang VVIP rumah sakit, tempat Anwar di rawat. Andai pria itu tidak memintanya datang, Lintang tidak akan pergi ke rumah sakit meskipun mendengar pria itu jatuh sakit. Memang sekeras itulah, hati Lintang saat ini.Menurut sopir keluarga Dewantara yang menjemput Lintang di rumah, Anwar sudah berada di rumah sakit selama tiga hari. Sepulang dari luar kota, kesehatan Anwar menurun dan harus dilarikan ke rumah sakit dengan segera. Sepertinya, kelelahanlah yang menjadi pemicu hingga pria itu harus mendapatkan perawatan dengan segera.Lintang melihat Biya di sofa. Gadis yang tengah memandang ponselnya itu, melirik datar sekilas pada Lintang. Namun, Lintang tidak mau repot-repot menyapa, apalagi menggubrisnya.Yang jadi tujuan Lintang hanyalah Anwar. Setelah pria itu menyampaikan maksud hatinya, maka Lintang akan segera pulang. Pria itu masih terlihat pucat, tetapi Lintang rasa kondisinya sudah jauh lebih baik.“A
“Sandiwara selesai,” ucap Lintang tidak jauh dari pintu keluar ruang Anwar dirawat. Mempercepat langkahnya, walau terasa percuma karena Maha pasti dengan mudah sejajar dengannya. “Aku tahu, kamu begitu karena ada mas Raga, tapi, sekarang nggak usah akting buat manas-manasin dia. Kami udah cerai, dan nggak perlu yang begitu-begitu lagi.”“Siapa yang akting,” sanggah Maha setelah selesai memasukkan berkas ke tasnya dengan terburu. “Aku beneran mau ngantar kamu, Lin. Aku juga sudah tahu di mana kamu tinggal, dari om Anwar.”“Sekali aja kamu ke rumah, aku bakal pindah lagi.”Maha berhenti sambil meraih siku Lintang, agar gadis itu tidak meneruskan langkahnya. “Hei! Kamu ini kenapa? Semua kebaikan orang terus aja kamu tolak. Om Anwar ngasih saham lima persen karena dia peduli sama kamu, tapi apa balasanmu? Minta cash? Di mana adabmu sebagai anak?”“Sudah?” Lintang menarik tangannya dari cengkraman Maha. Semua yang dikatakan Maha barusan, tidak akan berpengaruh banyak bagi Lintang. Ia sudah