Di ruang keluarga yang penuh dengan keheningan, Hafizah menatap Hafidz dengan tatapan yang penuh makna. Di dinding, jam berdetak pelan seolah ikut merasakan ketegangan di antara mereka. Suasana itu terasa berat, namun ada sesuatu yang tak terucapkan, sebuah keinginan untuk memahami dan diterima.
Hafidz, yang awalnya terdiam, mulai merasakan getaran emosional yang aneh. "Tapi, kenapa harus sampai mengusirnya? Bukankah dia mertuamu?" tanyanya, suaranya bergetar tidak yakin.Hafizah menghela napas panjang, matanya menatap keluar jendela, seolah mencari jawaban di luar sana. "Kau tidak mengerti, Hafidz. Ibu Lestari jahat, dia juga seorang wanita yang keras kepala. Dia selalu merasa berhak untuk mengatur hidupku, bahkan setelah aku menikah dengan anaknya. Dia tidak bisa menerima bahwa rumah ini adalah milikku sekarang. Dia masih terjebak dalam pandangan bahwa semua yang ada di sini adalah miliknya."Hafidz merasa hatinya bergetar. Dia tahu betul bagaimana hubunSetibanya di depan rumah Hafidz, Hafizah yang sudah melihat kurir membawa paket pesanannya segera mengambilnya dari tangan kurir. "Apa itu, Hafizah?" tanya Hafidz."Ini balon dan beberapa barang lainnya untuk menyambut kedatangan Putri. Aku tidak ingin Putri datang tanpa senyuman," jawab Hafizah.Hafidz pun membantu Hafizah membawa barang-barang yang masih terbungkus, tidak ingin membiarkan Hafizah bekerja sendirian untuk menyenangkan anaknya."Aku akan membantumu, Hafizah.""Terima kasih, Hafidz," balas Hafizah.Mereka masuk ke dalam rumah, dan Hafidz tidak banyak bertanya lagi. Dia hanya mengikuti langkah Hafizah, sementara para pelayan di rumah itu juga membantu menyelesaikan pekerjaan dengan cepat."Cobalah letakkan balonnya di atas sana agar Putri bisa melihatnya terbang," ujar Hafizah.Hafidz segera naik ke atas kursi untuk memasang balon, mengikuti semua arahan Hafizah. Sementara itu, para pelayan tidak
"Hafizah! Kamu telah durhaka kepada mertua! Kamu wanita yang tidak tahu diri, merebut anakku dariku. Dia yang selama ini selalu memberiku uang, tetapi kini sibuk mengurus mu dan perilakumu yang sama sekali tidak bisa diterima. Aku benci kamu, Hafizah! Sangat membenci orang sepertimu!"Sungguh mengejutkan, Lestari memainkan drama ini di hadapan polisi yang sedang menyusun laporan berdasarkan bukti yang ada."Lestari, berhentilah berbicara. Menyalahkan Hafizah tidak ada gunanya, karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Hafizah telah merebut seluruh harta anakmu. Harta yang dimiliki anak laki-lakimu sebenarnya adalah milik orang tua Hafizah. Kamu telah dibohongi oleh Hamid, dan Hafizah sudah menjelaskan hal ini sebelumnya. Namun, kamu tampak sangat terobsesi dengan uang, hingga membuatmu kehilangan akal. Seharusnya, kamu tidak berada di sini; tempatmu seharusnya di rumah sakit jiwa!"Hafidz membela Hafizah yang sudah terisak menangis setelah terus-meneru
Hafizah merasa gelisah, sementara Hafidz memperhatikan dua bodyguard yang tetap siaga untuk melindunginya. "Hafizah dalam bahaya. Kalian berdua harus tetap berjaga dan pastikan wanita tua itu tidak bisa masuk ke sini. Lakukan apa pun yang diperlukan untuk melindungi Hafizah dan tempat ini."Keduanya mengangguk, memahami perintah tanpa perlu menjawab, karena mereka bisa merasakan kewaspadaan bos mereka."Kamu dengar kan, Hafizah? Mereka akan menjaga di sini, dan aku juga akan menemanimu. Setidaknya, dengan begitu kamu bisa merasa lebih aman. Aku bisa tidur di sofa, jadi kamu bisa beristirahat tanpa khawatir."Hafizah membuka pintu kamarnya, memberi kesempatan kepada Hafidz untuk masuk dengan mudah, karena ia tidak ingin Lestari menyakitinya lagi. "Silakan masuk, Hafidz. Kamu bisa tinggal di sini sampai besok pagi," ujar Hafizah sambil menutup pintunya. Hafidz merasa senang bisa masuk, karena ini adalah yang diinginkannya: bersa
"Apa kamu serius, Hafizah?" tanya Hafidz untuk memastikan pernyataan Hafizah."Ya, aku serius, Hafidz."Hafidz merasakan kebahagiaan karena diterimanya kembali, namun di sisi lain, ia juga merasakan kesedihan ketika harus jujur tentang anaknya."Hafizah, aku berterima kasih padamu karena telah menerima aku lagi. Mengenai anakmu, aku tidak keberatan untuk membantumu. Kita bisa mencarinya bersama-sama, semoga kita menemukan jalan keluar dari semua ini. Aku tidak ingin kamu terus-menerus memikirkan hal yang sama."Hafizah tersenyum mendengar jawaban Hafidz. Dia bertekad untuk tidak menghindari Hafidz lagi, meskipun itu berkaitan dengan anaknya. "Hafidz, kamu adalah pria yang baik. Aku tidak ingin kehilanganmu dan Putri. Kalian berdua selalu ada di hatiku, meskipun aku telah berusaha menjauh dari kalian." Hafidz menggenggam kedua tangan Hafizah dengan lembut. "Sudahlah, Hafizah. Jangan terlalu memikirkan sikapmu. Seharusnya aku yang minta maaf karena
"Bukan hal yang mudah, Jep! Kamu tahu wanita ini sangat cantik, dan aku merasa ingin menyentuhnya.""Jangan lakukan hal lain! Kita tidak boleh melecehkan wanita, meskipun penampilan kita terlihat menyeramkan. Kita harus menyingkirkan wanita ini, tetapi sebelum itu, kita serahkan kepada Pak Hafidz. Dia ingin memberikan peringatan kepada wanita ini, sepertinya itu penting.""Baiklah, aku akan menahan diri. Namun, jika ini berlangsung terlalu lama, aku khawatir aku akan kehilangan kendali dan ingin menyentuhnya, bahkan mungkin mencium bibirnya.""Terserah padamu! Ayo, bawa ke tempat di mana kita bertemu Pak Hafidz."Mereka bergerak menuju Hafidz yang baru saja turun dari pesawat, sementara Hafizah, yang tidak dijaga, masih merasa ketakutan sendirian di dalam kamar hotel."Aku yakin sekali ada seseorang yang berniat jahat padaku, tapi siapa? Apakah orang yang membakar rumahku? Atau mungkin benar apa yang dikatakan Pam dan Jep, bahwa itu adala
Hafidz berpamitan kepada anaknya, namun ia harus menitipkan Putri kepada asistennya yang ikut bersamanya. "Pastikan Putri tetap aman di sini dan jangan biarkan dia pergi!" Perintah tersebut terdengar jelas sebelum Hafidz pergi, dan asistennya mengangguk, "Baik, Pak Hafidz. Nona kecil akan baik-baik saja." Hafidz merasa lega meninggalkan Putri, setidaknya kini Putri sudah sadar, dan mungkin setelah beristirahat beberapa hari, anak itu akan kembali beraktivitas.Pria itu sedang mencari tiket pesawat untuk kembali ke Turki. Dia tidak ingin berlama-lama bertemu dengan Hafizah, sementara Hafizah memutuskan untuk mengenakan kembali pakaian yang sudah kering setelah dicuci oleh pelayan di rumah Hafidz."Ibu Hafizah mau ke mana?" tanya pelayan."Saya ingin mencari tempat tinggal. Rasanya ini bukan rumah saya, jadi saya harus pergi untuk mencari tempat sementara. Namun, saya akan bekerja terlebih dahulu. Lagipula, saya tidak akan meras