"Aku tidak tau bisa atau tidak untuk membantumu, setidaknya handuk ini bisa menutupi pakaianmu yang basah," ucap seseorang yang tiba-tiba datang menyodorkan handuk.
Hafizah menoleh, "Hafidz, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Eum, dari tadi, sama Putri juga menyaksikan kamu diguyur air, ini sudah malam, sebaiknya dilanjutkan besok, aku rasa Ibu Lestari juga tidak akan keluar kamar lagi." Hafidz mengetahui kebiasaan ibu mertuanya yang mengunci diri di dalam kamar dengan alkoholnya. "Terima kasih," balas Hafizah mengambil handuk tersebut. Tiba-tiba matanya tertuju pada Putri yang menarik-narik pelan handuk yang dikenakan Hafizah. "Tante cantik, ini aku bawakan minuman hangat," ucapnya. Hafizah tersenyum, rasa sedihnya menghilang seketika menatap senyuman Putri, seperti ada magnet yang begitu luar biasa membuatnya bisa semangat lagi. "Terima kasih anak baik." Diambilnya minuman hangat yang dibawakan Putri padanya, setidaknya sudah menjadi obat penawar rasa sakit sudah diperlakukan tidak baik oleh mertua sendiri. "Sama-sama," balasnya. Putri menggandeng tangan Hafidz kembali, mereka berjalan menuju kamar meninggalkan Hafizah di sana yang masih minum. "Wajah anak itu mengingat aku dengan seseorang, tapi siapa? Mengapa rasanya aku memiliki ikatan batin yang begitu kuat padanya? Entahlah, dia anak yang baik dan cantik, andaikan anakku ada di sini, pasti sama-sama cantik dengannya." Hafizah segera pergi ke kamarnya, meninggalkan pekerjaannya begitu saja, dia tidak peduli walaupun besok Lestari akan memakinya lagi, yang penting sekarang dirinya bisa mandi dan beristirahat. Setelah Hafizah berendam air hangat seperti dulu ketika masih ada suaminya, dia menggunakan piyama cantiknya yang ada di lemari, dan membuka sebuah koper kecil yang isinya sesuatu yang sangat berharga. "Sertifikat rumah ini masih tercantum namaku, tapi aku selalu menutupinya dari mertuaku kalau semua harta Mas Hamid adalah milikku, karena Mas Hamid selalu memberikan uang gajinya pada selingkuhan dan Ibu maupun Dera, tidak sedikitpun membeli sesuatu, bahkan mobil yang digunakan Ibu adalah milikku, tapi mengapa perlakuan Ibu sangatlah jahat kepadaku? Begitu juga Mas Hamid yang tega berselingkuh mengkhianati pernikahan kami," ucapnya lirih menangis kembali memeluk sertifikat rumahnya. Hamid suaminya membuat sertifikat palsu untuk ditunjukkan dan diberikan pada ibunya untuk menunjukkan jika dirinya sudah mapan dan mampu menghidupkan ibu dan adiknya, begitu juga mampu memiliki istri lebih dari satu, tetapi pada kenyataannya berbeda, semuanya bukan milik Hamid, melainkan milik Hafizah yang mendapatkan warisan dari kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia sejak dirinya masih gadis. Disimpannya lagi sertifikat rumahnya di dalam koper, di pandangannya foto pernikahan yang penuh dengan noda hitam karena perselingkuhan tersebut. "Mas, andaikan kamu ada di sini, mungkin Ibu tidak akan berbuat semacam itu padaku, tapi aku tau semua perlakuan Ibu juga karena kamu selalu menjelekkan aku kepadanya, aku masih belum memaafkan kamu, Mas." Malam panjang menjadi saksi kesedihannya yang mengingat berapa sakitnya dikhianati suami sendiri, dengan perlahan Hafizah menaiki tempat tidurnya dan menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. "Selamat tidur, dunia Ibu mertuaku." Baginya sekarang memang dunia yang dia jalankan adalah milik Ibu mertuanya, sama dengan dunianya dulu yang terpenjara lima tahun begitu menyiksa batinnya. Mata Hafizah tertutup perlahan-lahan, tidak ada yang dia pikirkan lagi. Pukul tujuh pagi seseorang tengah membuka kasar pintu kamar, dia membawa sebuah ember ditangannya yang berisi air. 'Byuuurr!' Tangan Hafizah menyeka air yang ada di wajahnya, setengah badannya basah kuyup seperti semalam, dan ternyata memang ibu mertuanya sudah ada di samping tempat tidur. "Nyonya, ada apa?" tanyanya terperanjat. "Menurutmu? Ini sudah jam berapa kamu masih tidur dengan nyaman di rumahku! Seenaknya juga tadi malam masih meninggalkan pekerjaan. Memang di sini tempat penampungan gratis! Cepat kerjakan pekerjaan rumah dan masak sarapan untuk aku." Hafizah menarik nafasnya perlahan, dia tetap harus sabar menghadapi tingkah laku mertuanya di pagi hari yang sudah marah-marah. "Baik, Nyonya, aku akan kerjakan semuanya." Segera Hafizah beranjak dari tempat tidur menuju dapur untuk mengambil alat-alat kebersihan dan memasak terlebih dahulu untuk ibu mertuanya. Namun, apa yang dia lihat di dapur? "Hafidz, sedang apa kamu?" tanyanya. Hafidz baru meletakkan makanan di piring dan mangkuk, "Aku memesan makanan, kamu tinggal bilang semua ini hasil masakanmu pada Ibu." tangannya merapihkan bungkus makanan dan dibuangnya ke tempat sampah. "Eh, tapi bukannya itu bohong? Aku tidak mau, kalau nanti ketahuan, gimana?" "Sudah jangan banyak berpikir seperti itu. Ibu Lestari tidak akan tau kalau kamu tidak masak, lagipula selama aku menikah dengan Dera, dia tidak pernah menginjakkan kaki ke dapur ini. Ikuti caraku daripada nanti majikanmu marah lagi," ujarnya meninggalkan Hafizah. Hafizah melihat semua makanan yang dibeli Hafidz begitu menggiurkan, terutama ayam gorengnya. Hafizah ingin sekali melahap ayam tersebut. "Ayamnya aku simpan satu untukku, aku juga harus sarapan, tapi ini disembunyikan dulu, nanti ketika Ibu sedang makan, aku makan di tempat persembunyianku," ucapnya segera mengambil satu ayam goreng dengan roti yang ada di depan matanya. Ada ikan goreng juga, tetapi kalau Hafizah mengambilnya akan lama untuk dimakan, dia harus menghadapi Lestari setelah makan, entah apa yang akan dilakukan Lestari setelah ini, yang pasti Lestari tidak mau menantunya nyaman di rumah. Saat semua sudah dihidangkan oleh Hafizah, ternyata Lestari mencium aroma sedap dari makanan yang disajikan pembantunya itu, dia berselera makan pagi ini, karena setiap pagi masakan pembantu sebelumnya tidak tercium aroma sedap yang menjadi seleranya. "Silakan, Nyonya." Hafizah berdiri memandangi makanan yang dibeli Hafidz, semuanya serba mewah dari restoran bintang lima, belum lagi ada potongan buah-buahan segar dengan fla terbaik. "Sedang apa kamu berdiri situ?" tanyanya ketus. "Maaf, Nyonya. Kalau begitu aku permisi." "Ya, pergi yang jauh dari hadapanku!" Hafizah pergi segera bersembunyi untuk sarapan, terlihat oleh Hafidz kalau Hafizah sedang makan di bawah meja dapur. "Dia terlalu bodoh!" Hafidz menggelengkan kepalanya, dia juga tidak sarapan satu meja dengan ibu mertuanya, sudah jelas kalau ibu mertuanya tidak akan menyukainya sampai kapanpun. Tiba-tiba terdengar suara pecahan dari arah rumah makan. 'Crangggg!' "Suara apa itu?" Hafizah menghentikan makanannya yang tinggal sedikit, sedangkan Hafidz bersembunyi agar tidak terlihat oleh Hafizah. "Anak bodoh! Kamu kalau mau makan tuh ya, minta sama Ayahmu! Enak saja mengambil makanan di meja makan ini. Bilang sama Ayahmu kalau mau makan di rumahku harus bayar!" Tangan Lestari mencengkram kuat lengan Putri yang ketakutan sudah menjatuhkan piring yang ada ayam gorengnya. "Ampunn! Sakit!" Putri menjerit kuat karena ditekan tangannya oleh Lestari. Hafizah datang melepaskan cengkraman ibu mertuanya. "Cukup, Nyonya!" ditariknya Putri menjauh."Kondisi pasien menunjukkan peningkatan yang signifikan dibanding sebelumnya. Saya akan memeriksa kembali dalam beberapa jam ke depan. Jika pasien terus membaik, ia akan dipindahkan ke ruang perawatan biasa atau diberikan izin untuk menjalani rawat jalan di rumah, sesuai permintaan Pak Hafidz."Hafizah merasa lega mendengar hal tersebut, harapannya pun bangkit untuk dapat bertemu dan berbicara dengan putrinya jika kondisinya semakin membaik."Baik, Dokter, terima kasih," sahut Hafidz dengan penuh syukur.Hafidz kemudian menghampiri Hafizah yang terlihat ceria menerima kabar baik itu. Ia mendekat sambil mengingatkan Hafizah dengan nada penuh harapan."Kamu dengar sendiri, kan, Hafizah? Anakmu akan segera pulih. Dia akan sadar dan tahu segalanya tentang ibu kandungnya," ucap Hafidz dengan lembut.Hafizah menoleh, senyumnya merekah, penuh rasa syukur sekaligus lega saat menyadari Hafidz mulai merelakan segalanya untuk kebahagiaan anak itu. "Hafidz, kamu juga ayahnya. Tidak ada yang bisa
Hafizah terdiam dalam keterkejutan yang mendalam. Perasaan yang selama ini ia alami terhadap Putri ternyata memiliki alasan yang jauh lebih mendalam daripada yang pernah ia bayangkan. Dengan suara bergetar, ia melontarkan pertanyaan yang penuh emosi kepada Hafidz."Jadi selama ini ... semua perasaan ini ... Putri adalah anakku? Aku ibunya, aku yang malah memulai penderitaan hidup anakku sendiri? Dia ada begitu dekat denganku, tapi aku bahkan tidak mengenalinya. Bahkan ketika dia terbaring sendirian di ruangan itu, aku hanya berada di sini tanpa mengetahuinya. Dan kamu ... kamu menyembunyikan semua ini dariku, Hafidz. Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan begitu besar hingga kamu merasa aku tidak layak mengetahui siapa dia sebenarnya? Apakah aku sebegitu buruknya di matamu?"Mata Hafizah yang penuh air mata bertatapan langsung dengan Hafidz. Emosi kian memuncak ketika ia menarik kerah kemeja laki-laki itu, memaksa jawaban atas pertanyaannya. Namun Hafidz, meski terlih
"Hafizah, tunggu sebentar, aku ingin berbicara denganmu. Apakah kamu punya waktu?" tanya Hafidz."Ada, tapi mau bicara tentang apa? Kita kan akan pergi ke tempat makan dekat sini, apakah itu yang ingin kamu bicarakan?" jawab Hafizah."Bukan, aku ingin memberimu ini," kata Hafidz sambil menyerahkan sesuatu kepada Hafizah.Hafizah menerima pemberian itu dan langsung memeluk Hafidz. Ternyata suaminya bisa begitu romantis malam ini. Mungkin ini adalah saat yang tepat bagi mereka untuk saling mesra, meskipun ada kemungkinan Putri akan tiba-tiba muncul."Terima kasih, Hafidz. Aku tidak menyangka kamu akan memberikan hadiah ini. Aku sangat mencintaimu."Hafizah merasa bahagia menerima hadiah dari suaminya, sementara Hafidz tampak bingung dan tidak tahu harus berkata apa. Pikiran serius mengganggu benaknya."Sama-sama, sayang. Kamu tahu ini hanya hadiah kecil. Seharusnya aku sudah memberikannya sejak lama, tapi baru sekarang aku bisa mel
Saat dokter menjelaskan dengan rinci kepada Hafidz mengenai kondisi anaknya, rasa takutnya menghilang karena ia memahami bahwa apa yang dialami anaknya bukanlah penyakit biasa. Hafidz pun melangkah kembali menuju Hafizah, namun ia mendapati bahwa Hafizah tidak ada di tempat itu."Di mana dia?" Hafidz berusaha mencari Hafizah di sekitarnya, tetapi tidak menemukan jejaknya. Bahkan, Hafizah tidak dapat dihubungi. "Ada apa dengannya? Kenapa ponselnya mati? Atau mungkin ada urusan mendesak di pekerjaannya? Aku rasa dia akan segera kembali," ujarnya sambil duduk di kursi.Hafizah, yang selama ini dianggap sebagai Hafidz, ternyata sedang terjebak dalam situasi berbahaya. Reyana, dengan nekat, menculiknya. "Kamu tahu, Hafizah, kamu adalah wanita yang sangat berbahaya. Bukan hanya bagi diriku, tetapi juga bagi orang lain, karena kamu bisa mendapatkan pria seperti Hafidz. Aku ingin kamu menyerahkan keberuntunganmu padaku. Untuk itu, aku harus me
"Hafidz! Tunggu sebentar, aku akan ambilkan minuman untukmu. Jangan pergi ke luar, karena di sana sangat berbahaya. Aku akan membantu Putri terlebih dahulu," kata Hafizah sambil berjalan meninggalkan ruang tamu.Hafizah yang tidak melihat Hafidz merasa bingung dan segera menuju kamar Putri. Sesampainya di sana, dia mendapati pintu kamar terkunci dari luar."Putri! Ini Tante, bangunlah," serunya.Namun, sebelum Hafizah sempat mengambilkan minuman untuk Hafidz, dia menemukan Putri sudah tidak sadarkan diri saat membuka pintu. Belum lagi, dia melihat dokter di sana juga telah dihipnotis oleh Reyana."Dokter! Tolong Putri, ada apa dengannya? Kalian! Apakah ini semua karena dia?"Hafizah menyadari situasi tersebut dan segera menepuk tangan untuk membangunkan mereka dari pengaruh hipnotis.Setelah dokter sadar, Hafizah sudah lebih dulu membawa Putri keluar untuk segera dilarikan ke rumah sakit. Sementara itu, Hafidz yang telah sadar da
Saat Reyana memasuki kamar untuk menemui Hafidz, ia melihatnya sedang berusaha membangunkan dokter, suster, dan para bodyguard yang berada di luar kamar anaknya."Reyana! Apakah kamu melakukan sesuatu yang membuat mereka seperti ini?" tanya Hafidz dengan nada marah.Reyana hanya tersenyum sambil menatap mata Hafidz yang masih menggendong anaknya. Ia tidak peduli dengan kemarahan Hafidz."Ya, aku melakukannya. Dan kamu akan kembali ke duniamu bersamaku. Tatap mataku, Hafidz. Di sana, kamu akan menemukan semua yang kamu cari selama ini: cinta, kepercayaan, dan kebahagiaan bersamaku selamanya," ujar Reyana.Hafidz menatap mata Reyana, dan tanpa sadar, ia terjebak dalam hipnotisnya. Akhirnya, ia menurunkan Putri dari gendongannya."Turunlah!" perintahnya."Ayah, kenapa kamu jadi seperti mereka? Ada apa ini? Aku takut!" Putri merasakan ketakutan yang mendalam.Ia melihat tatapan ayahnya yang kosong, seolah bukan ayahnya yang