Ketika semua mata tertuju pada pemakanan yang hampir selesai, ternyata Lestari baru datang dengan tangan kosong berdiri tanpa air mata.
"Pulang!" Lestari menarik tangan Hafizah agar menjauh dari tempat peristirahatan terakhir anaknya, membiarkan Hafidz yang akan mengurus semuanya. "Tapi, Bu ...." "Jangan tapi-tapi! Sekarang pulang kerjakan tugas rumah, kamu lupa kalau jadi pembantu? Kamu keluar rumah seenaknya tanpa menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu. Aku tidak akan biarkan!" Bisa-bisanya ibu mertuaku masih memikirkan pekerjaan rumah di saat pemakaman anak perempuan satu-satunya yang dia selalu bangga-banggakan. "Bu, dia anakmu, apa Ibu tidak sedih Dera tiada? Aku saja sedih, Bu." Belum pernah Hafizah menemui seorang ibu yang tidak sedih anaknya tiada. Namun, berbeda dengan ibu mertuanya yang tidak menangis sedikitpun. "Diam kamu, Hafizah! Jangan mencoba mengatur aku bagaimana. Sudah aku bilang kamu harus panggil, Nyonya! Sekarang aku mau kamu pulang dan kerjakan tugasmu, aku akan terus mengawasi kamu sampai benar-benar selesai." Hafizah keceplosan lagi memanggil ibu pada mertuanya, "Baik, Nyonya." Tangannya baru memegang pintu mobil untuk dibuka, tangan Lestari mencegahnya. "Siapa yang menyuruh kamu membuka pintu mobilku?" "Nyonya, bukannya kita mau pulang?" "Ya, kita mau pulang, tapi kamu tidak boleh masuk ke dalam mobilku, duduk dengan gratis di sana, bisa gatal-gatal kalau kamu duduk di dalam." "Lalu, aku duduk di mana, Nyonya?" Pikiran Hafizah berkecamuk memikirkan kendaraan pulang, karena dia tadi menumpang di mobil Hafidz, belum lagi tidak membawa uang sama sekali. Ditariknya kasar Hafizah menuju belakang mobil, kini Lestari membuka bagasi mobilnya. "Di dalam sini!" Hafizah menatap bagasi yang pengap jika ditutup, apalagi perjalanan dari pemakaman sampai rumah cukup jauh. "Nyonya, aku tidak akan sanggup jika ada di dalam bagasi, izinkan aku masuk ke dalam mobil untuk menumpang duduk sampai rumah, aku janji tidak akan berisik." Tentu Hafizah menolak mentah-mentah kalau dirinya diletakkan di bagasi mobil, dan ada beberapa kardus yang isinya telur busuk yang Lestari letakkan untuk membuat menantunya tidak bisa bernafas lagi ketika sampai rumah. "Masuk!" pekiknya dengan mata yang melebar kuat. "B-baik, Nyonya." Dengan terpaksa Hafizah masuk, senyum Lestari terlihat saat menutup perlahan bagasi mobilnya, Hafizah masuk dengan kaki yang tertekuk di bagasi mobil mertuanya, di tambah dengan aroma tidak sedap membuatnya tidak tahan. Akan tetapi semua itu tidak ada apa-apanya dengan bau sel penjara selama lima tahun. "Bu, kenapa setega ini sama aku? Tapi aku akan kuat dengan bau ini, walaupun bau sekali, ini hanya sebagian kecil dari bau yang ada di dalam sel penjara dulu, aku sudah banyak menelan bau yang beda-beda. Bahkan bau ketiak teman satu sel, semua aku lakukan demi bisa melihat anakku," ucapnya bertekad. Lestari mengendarai mobil secara ugal-ugalan untuk lebih membuat Hafizah tersiksa ada di dalam bagasi mobil. "Auuu!" Kepala Hafizah terbentur sana sini, matanya mulai memudar karena tubuhnya kekurangan oksigen di dalam tempat yang tertutup dan sempit. Setengah jam mobil baru sampai di depan rumah, ternyata Lestari tidak langsung membukakan bagasi mobilnya. "Aku punya ide nih, aku biarkan dia dalam sana sampai malam. Aku yakin Hafizah sudah pingsan, lagipula melihatnya hanya membuatku kesal, aku bersantai tanpanya dulu." Lestari berjalan masuk meninggalkan mobilnya yang sudah ada di garasi mobil, dia bersantai hari ini di rumah mendiang Hamid dengan lebih tenang karena tidak ada Dera di dalamnya yang selalu mengomel dan meminta uang untuk berfoya-foya. "Begitu tenang di dalam rumah mewah anakku, apalagi Dera sudah tiada, baguslah dia sudah mati, aku bisa menguasai semua ini, dan tidak perlu lagi membiayai suami dan anak haramnya itu." Wanita paru baya yang usianya menginjak kepala empat itu akhirnya bisa menikmati hasil jeri payahnya membaca situasi agar Dera mati dan menyalahkan Hafizah. Sampai malam tiba sekitar jam dua puluh, mata Hafizah terbuka perlahan, benar kata Lestari kalau Hafizah pasti pingsan di dalam bagasi mobil. "Di mana aku?" Hafizah mencoba mengingat apa yang terjadi padanya, ternyata dia baru ingat kalau dirinya ada di dalam bagasi mobil ibu mertuanya. "Tolongggg!" Teriakan Hafizah pelan, tetapi terdengar oleh seseorang yang baru keluar dari mobil. "Kamu dengar tidak, Nak? Seperti ada yang teriak minta tolong." Putri mulai fokus mendengarkan teriakan yang dibilang ayahnya, sumber suara yang dicari Hamid ternyata ada di dalam bagasi mobil Lestari, posisinya bersebelahan dengan mobilnya. "Di dalam sini," ucapnya pada Putri. "Cepat buka, Ayah." Putri membantu ayahnya membuka bagasi mobil Lestari, dan terus terang Hafidz tidak menyangka kalau ada Hafizah di dalamnya. "Sedang apa kamu?" Hafizah bangun dari sana setelah dibukakan Hafidz, badannya sakit semua termasuk bagian kepalanya yang sakit. "Menurut kamu apa?!" Hafizah berjalan dengan badan yang terhuyung, lemas karena hanya makan satu roti tadi pagi, padahal malam Hafizah belum makan sama sekali. "Mana aku tau, kamu sendiri yang masuk ke dalam sana, aku pikir kamu akan pulang bersamaku dan Putri, tadi kami mencari kamu, tapi kamu tidak ada," balas Hafidz. "Ah, sudahlah jangan bicara lagi, aku mau masuk ke dalam, aku pusing." Hafidz memang melihat Hafizah terlihat memegangi kepala, dia ingin membantu, tetapi Hafizah sangat jutek kepadanya. "Ayah, Tante Hafizah kenapa?" tanya Putri. Bocah itu tertarik pada Hafizah, dia ingin Hafizah menjadi ibunya, apalagi Hafizah tidak jahat seperti ibu tirinya Dera. "Mungkin sakit, kita masuk yuk, sudah malam, kamu harus istirahat dan besok Ayah akan mendaftarkan kamu ke sekolah, kamu mau sekolah, Nak? Di sana pasti kamu mendapatkan banyak teman," kata Hafidz menawarkan pada anaknya. "Mau, mau, mau, Putri mau sekolah, Ayah. Putri mau punya banyak teman," balasnya antusias. Hafidz bersyukur memiliki anak seperti Putri yang penurut dan menggemaskan, apalagi Putri sudah bisa bicara sekarang ini. Saat Hafidz dan Putri sudah masuk ke dalam, terlihat jika Hafizah sedang berhadapan dengan Lestari. "Pel yang benar!" Bentakan ibu mertuanya membuat kepala Hafizah bertambah pusing, tadinya Hafizah mau cepat masuk ke dalam kamar berpikir kalau ibu mertuanya sudah tidur. "I-iya, Nyonya. Aku akan pel dengan benar, tapi kaki nyonya menginjaknya lagi, jadi aku sudah mengepel dengan benar," balas Hafizah. Lestari mengambil ember yang isinya air cucian pel tersebut, dia tidak suka kalau Hafizah terus menjawab jika dirinya sedang marah. 'Byuuurr!' Disiramkan ke kepala Hafizah yang sekarang basah kuyup dengan air kotor tersebut. Air matanya mengalir menerima perlakuan ini dari ibu mertuanya. "Rasakan! Kalau majikan ngomong itu jangan protes terus!" Lestari pergi meninggalkan Hafizah, di sana Hafizah menangis sendiri masih memegangi alat pel, dan akhirnya alat pel di lempar jauh-jauh. "Argghhhhhhh! Kenapa aku memiliki Ibu mertua yang jahat, Tuhan? Hikss.""Kondisi pasien menunjukkan peningkatan yang signifikan dibanding sebelumnya. Saya akan memeriksa kembali dalam beberapa jam ke depan. Jika pasien terus membaik, ia akan dipindahkan ke ruang perawatan biasa atau diberikan izin untuk menjalani rawat jalan di rumah, sesuai permintaan Pak Hafidz."Hafizah merasa lega mendengar hal tersebut, harapannya pun bangkit untuk dapat bertemu dan berbicara dengan putrinya jika kondisinya semakin membaik."Baik, Dokter, terima kasih," sahut Hafidz dengan penuh syukur.Hafidz kemudian menghampiri Hafizah yang terlihat ceria menerima kabar baik itu. Ia mendekat sambil mengingatkan Hafizah dengan nada penuh harapan."Kamu dengar sendiri, kan, Hafizah? Anakmu akan segera pulih. Dia akan sadar dan tahu segalanya tentang ibu kandungnya," ucap Hafidz dengan lembut.Hafizah menoleh, senyumnya merekah, penuh rasa syukur sekaligus lega saat menyadari Hafidz mulai merelakan segalanya untuk kebahagiaan anak itu. "Hafidz, kamu juga ayahnya. Tidak ada yang bisa
Hafizah terdiam dalam keterkejutan yang mendalam. Perasaan yang selama ini ia alami terhadap Putri ternyata memiliki alasan yang jauh lebih mendalam daripada yang pernah ia bayangkan. Dengan suara bergetar, ia melontarkan pertanyaan yang penuh emosi kepada Hafidz."Jadi selama ini ... semua perasaan ini ... Putri adalah anakku? Aku ibunya, aku yang malah memulai penderitaan hidup anakku sendiri? Dia ada begitu dekat denganku, tapi aku bahkan tidak mengenalinya. Bahkan ketika dia terbaring sendirian di ruangan itu, aku hanya berada di sini tanpa mengetahuinya. Dan kamu ... kamu menyembunyikan semua ini dariku, Hafidz. Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan begitu besar hingga kamu merasa aku tidak layak mengetahui siapa dia sebenarnya? Apakah aku sebegitu buruknya di matamu?"Mata Hafizah yang penuh air mata bertatapan langsung dengan Hafidz. Emosi kian memuncak ketika ia menarik kerah kemeja laki-laki itu, memaksa jawaban atas pertanyaannya. Namun Hafidz, meski terlih
"Hafizah, tunggu sebentar, aku ingin berbicara denganmu. Apakah kamu punya waktu?" tanya Hafidz."Ada, tapi mau bicara tentang apa? Kita kan akan pergi ke tempat makan dekat sini, apakah itu yang ingin kamu bicarakan?" jawab Hafizah."Bukan, aku ingin memberimu ini," kata Hafidz sambil menyerahkan sesuatu kepada Hafizah.Hafizah menerima pemberian itu dan langsung memeluk Hafidz. Ternyata suaminya bisa begitu romantis malam ini. Mungkin ini adalah saat yang tepat bagi mereka untuk saling mesra, meskipun ada kemungkinan Putri akan tiba-tiba muncul."Terima kasih, Hafidz. Aku tidak menyangka kamu akan memberikan hadiah ini. Aku sangat mencintaimu."Hafizah merasa bahagia menerima hadiah dari suaminya, sementara Hafidz tampak bingung dan tidak tahu harus berkata apa. Pikiran serius mengganggu benaknya."Sama-sama, sayang. Kamu tahu ini hanya hadiah kecil. Seharusnya aku sudah memberikannya sejak lama, tapi baru sekarang aku bisa mel
Saat dokter menjelaskan dengan rinci kepada Hafidz mengenai kondisi anaknya, rasa takutnya menghilang karena ia memahami bahwa apa yang dialami anaknya bukanlah penyakit biasa. Hafidz pun melangkah kembali menuju Hafizah, namun ia mendapati bahwa Hafizah tidak ada di tempat itu."Di mana dia?" Hafidz berusaha mencari Hafizah di sekitarnya, tetapi tidak menemukan jejaknya. Bahkan, Hafizah tidak dapat dihubungi. "Ada apa dengannya? Kenapa ponselnya mati? Atau mungkin ada urusan mendesak di pekerjaannya? Aku rasa dia akan segera kembali," ujarnya sambil duduk di kursi.Hafizah, yang selama ini dianggap sebagai Hafidz, ternyata sedang terjebak dalam situasi berbahaya. Reyana, dengan nekat, menculiknya. "Kamu tahu, Hafizah, kamu adalah wanita yang sangat berbahaya. Bukan hanya bagi diriku, tetapi juga bagi orang lain, karena kamu bisa mendapatkan pria seperti Hafidz. Aku ingin kamu menyerahkan keberuntunganmu padaku. Untuk itu, aku harus me
"Hafidz! Tunggu sebentar, aku akan ambilkan minuman untukmu. Jangan pergi ke luar, karena di sana sangat berbahaya. Aku akan membantu Putri terlebih dahulu," kata Hafizah sambil berjalan meninggalkan ruang tamu.Hafizah yang tidak melihat Hafidz merasa bingung dan segera menuju kamar Putri. Sesampainya di sana, dia mendapati pintu kamar terkunci dari luar."Putri! Ini Tante, bangunlah," serunya.Namun, sebelum Hafizah sempat mengambilkan minuman untuk Hafidz, dia menemukan Putri sudah tidak sadarkan diri saat membuka pintu. Belum lagi, dia melihat dokter di sana juga telah dihipnotis oleh Reyana."Dokter! Tolong Putri, ada apa dengannya? Kalian! Apakah ini semua karena dia?"Hafizah menyadari situasi tersebut dan segera menepuk tangan untuk membangunkan mereka dari pengaruh hipnotis.Setelah dokter sadar, Hafizah sudah lebih dulu membawa Putri keluar untuk segera dilarikan ke rumah sakit. Sementara itu, Hafidz yang telah sadar da
Saat Reyana memasuki kamar untuk menemui Hafidz, ia melihatnya sedang berusaha membangunkan dokter, suster, dan para bodyguard yang berada di luar kamar anaknya."Reyana! Apakah kamu melakukan sesuatu yang membuat mereka seperti ini?" tanya Hafidz dengan nada marah.Reyana hanya tersenyum sambil menatap mata Hafidz yang masih menggendong anaknya. Ia tidak peduli dengan kemarahan Hafidz."Ya, aku melakukannya. Dan kamu akan kembali ke duniamu bersamaku. Tatap mataku, Hafidz. Di sana, kamu akan menemukan semua yang kamu cari selama ini: cinta, kepercayaan, dan kebahagiaan bersamaku selamanya," ujar Reyana.Hafidz menatap mata Reyana, dan tanpa sadar, ia terjebak dalam hipnotisnya. Akhirnya, ia menurunkan Putri dari gendongannya."Turunlah!" perintahnya."Ayah, kenapa kamu jadi seperti mereka? Ada apa ini? Aku takut!" Putri merasakan ketakutan yang mendalam.Ia melihat tatapan ayahnya yang kosong, seolah bukan ayahnya yang