"Aleta akan segera menjalani kemoterapi," jawab Alya tanpa menoleh ke arah Bu Fania."Kamu tega?" hardik Bu Fania."Aleta pasti kuat. Iya, kan, Sayang?" tanya Alya sembari mengelus kepala putrinya dengan menahan sesak di dada. Ibu mana yang tega anaknya menjalani proses pengobatan mengerikan itu. Akan tetapi, hanya itu pilihan yang ada saat ini. "Aleta pasti akan sembuh. Iya, kan, Sayang?"Aleta mengangguk. "Iya, Ma. Aleta kalau pulang dari sini mau ngenalin Papa ke teman-teman di sekolah. Biar mereka enggak ngata-ngatain Aleta enggak punya Papa lagi."Mendengar itu Alya tidak bisa berkata-kata lagi. Dadanya kembali dipenuhi perasaan bersalah. Dalam hati, Alya kembali menyalahkan dirinya sendiri. Karena lahir dari ibu sepertinya, Aleta harus mengalami itu. Seandainya dulu ia bertahan menjadi istri Arfan bagaimanapun kesakitan menderanya, tentu Aleta tidak akan mengalami bullian seperti itu."Tentu, Sayang," sahut Arfan. Laki-laki itu mengerti kalau Alya pasti sedih, sehingga langsung
Alya menoleh. Ia menatap mantan suaminya itu dengan mata berkaca-kaca dan bibir tersenyum miris. Rasa-rasanya ia ingin menertawakan pertanyaan itu sembari menangis."Pertanyaan macam apa itu?" batin Alya pedih. Akhirnya ia menanggapi pertanyaan Arfan dengan balas bertanya. "Apa menurutmu ... kamu dan Meira memungkinkan untuk bercerai?"Kontan Arfan tidak bisa menjawab pertanyaan Alya. Ia tidak menyangka kalau wanita berbibir ranum itu akan bertanya seperti itu.Arfan diam seribu bahasa. Ia menyadari bahwa menceraikan Meira memang bukan perkara yang mudah untuk saat ini. Ia juga tidak sampai hati meminta Alya untuk menjadi istri ke dua. Karena di mata Arfan, sosok wanita seperti Alya memang tidak pantas berada di posisi itu, betapapun ia menginginkannya.Akhirnya tak satu pun kata yang terucap dari keduanya. Alya yang mengetahui jawaban Arfan tanpa laki-laki itu menjawabnya secara langsung pun, akhirnya memilih beranjak dari kursi yang permukaan terasa begitu dingin itu. Persis seperti
Malam sudah cukup larut, tetapi Bu Fania masih belum bisa tertidur juga. Berkali-kali wanita berwajah glowing itu mengganti posisi tidurnya untuk mencari posisi ternyaman. Namun, tetap saja ia gelisah dan matanya belum bisa terpejam.Penyesalan terus bergelayut dalam pikirannya. Dulu, ia pikir dengan memisahkan Arfan dengan Alya, hidup mereka akan lebih berkelas karena Arfan menikahi wanita yang selevel dengan mereka. Namun, kenyataan yang ada tidaklah demikian.Terlebih kini cucu Bu Fania satu-satunya sedang membutuhkan bantuan dari adik kandungnya. Memuncaklah penyesalan yang dirasakan wanita dengan usia lebih dari setengah abad itu.Bu Fania menghela napas berat. Dalam hati ia berandai-andai. Seandainya dulu dirinya mau menerima Alya dengan segala yang ada pada wanita itu, tentu saat ini mereka bisa hidup dengan bahagia. Arfan bahagia bersama istri yang dicintainya dan Bu Fania dengan cucu-cucunya. Namun, karena ingin terlihat sempurna justru yang terjadi ia telah menghancurkan seg
Meira membuka amplop cokelat yang berisi surat persetujuan Arfan untuk bisa menikah lagi. Wanita yang masih mengenakan piyama abu tua itu masih ingat betul bagaimana wajah ibu mertuanya kemarin saat memberikan itu kepadanya. Ketus dan sama sekali tak memedulikan perasaannya lagi.Meira menghela napas panjang. Terkadang, di saat seperti ini ia ingin menyerah saja. Bagaimanapun ia juga manusia biasa. Lelah rasanya terus menerus berjuang sendiri. Dan lelaki yang ia perjuangkan sama sekali tidak pernah mau menoleh kepadanya."Apa aku harus lepasin kamu, Fan?" lirih Meira seolah-olah suaminya itu ada di depannya."Aku capek .... Apa enggak ada sedikit aja tempat di hati kamu buat aku ...?" Satu persatu buliran bening terjatuh dari pelupuk mata Meira. Tetes demi tetes membasahi map cokelat yang berada di pangkuannya. Meira tidak pernah menyangka kalau pernikahannya dengan Arfan akan seperti ini. Ia pikir, Arfan yang sejak dulu selalu bersikap baik dan sangat menyayanginya itu akan bisa men
"Ada apa sama aku dan Arfan, Ma?" Meira menatap khawatir pada kedua orang tuanya.Mama dan papa Meira tak langsung menjawab. Pasangan suami istri itu saling menatap beberapa saat sebelum kemudian Pak Darma menjawab pertanyaan itu."Tadi kedua orang tua Arfan ke rumah.""Ngapain?" kejar Meira. Pikirannya langsung tak karuan. Satu hal yang pasti, jika sampai kedua orang tua Arfan membahas tentang Arfan dan Alya pada orang tuanya, Meira bertekad akan memberi pelajaran pada mertuanya itu."Kenapa kamu enggak pernah cerita sama kami?""Cerita apa, Ma? Mei sama Arfan baik-baik aja.""Mertuamu udah cerita semua sama Mama Papa, Mei. Mereka bahkan minta Mama sama Papa buat bujuk kamu agar setuju Arfan menikah lagi dengan Alya." Pak Darma menghela napas berat, menjeda ucapannya. "Demi kesembuhan anak Arfan katanya."Dada Meira terasa sesak mendengar itu. Ia benar-benar tidak menyangka kalau orang tua Arfan akan bertindak sejauh itu. Permintaan mereka kemarin saja masih membuat Meira begitu terl
"Ngaco kamu, Fan!""Ngaco gimana, Al? Aku seorang ayah. Aku cuma ingin bisa memenuhi keinginan putriku. Dimana salahnya?" Arfan menatap Alya dengan lekat."Keinginan Aleta itu sangat sederhana, Al. Dia cuma ingin bisa bersama kedua orang tuanya layaknya anak-anak lainnya. Dia cuma ingin hal sekecil itu. Gimana mungkin, aku sebagai papanya enggak mau menuruti keinginan sederhananya itu?" lanjut Arfan."Keinginan Aleta memang sederhana. Hanya saja kondisinya yang membuat itu menjadi enggak lagi sederhana, enggak lagi mudah. Keinginanmu juga enggak salah. Wajar. Kamu seorang ayah. Hanya saja ... kita tau kondisinya sekarang seperti apa." Alya menjeda ucapannya. Dadanya terlalu sesak setiap memikirkan Aleta."Akulah di sini yang salah. Aku yang enggak bisa memenuhi keinginan sederhananya itu. Aku juga yang membuat semua jadi serumit ini," lanjut Alya. "Seandainya Aleta enggak terlahir dari ibu sepertiku, dia pasti enggak akan merasakan semua ini."Tanpa menunggu respon Arfan, Alya langsun
"Aleta udah tidur?" tanya Arfan sembari berdiri di ambang pintu kamar Aleta begitu tiba di rumah orang tua Alya.Alya yang tidak tahu kehadiran Arfan pun menoleh. "Sudah.""Kita bicara di luar, ya!"Alya pun beranjak dari tempat tidur. Ia sudah bisa menebak kalau Arfan telah mengetahui apa yang sedang ibunya lakukan. Meski sebenarnya ia tak ingin Arfan mengetahui hal itu, tetapi tadi hanya mengantar payung untuk ibunya yang terlintas di kepala Alya untuk menghindari permintaan Aleta."Kenapa kamu enggak bilang?" tanya Arfan begitu Alya duduk di sofa ruang tamu."Bilang apa?""Kamu pasti tau, kan, kalau Ibu ... di rumah itu, lagi ngapain?" Arfan menatap Alya tak percaya.Alya tak menjawab. Ia memilih membuang muka."Al! Liat aku!"Alya akhirnya menoleh ke arah Arfan walaupun tidak menatap wajah lelaki itu. "Emang aku harus bilang apa sama kamu?""Kenapa Ibu sampai nyetrika di rumah orang? Kenapa, Al? Kenapa kamu biarin Ibu melakukan itu?""Bukannya dari awal kamu tahu? Keluargaku engga
"Berpura-pura gimana maksud kamu, Fan?" tanya Meira pura-pura tidak mengerti. "Bukannya selama ini yang kita lakukan bukan sebuah kepura-puraan? Kita tidur bersama, kamu menyentuhku layaknya seorang suami. Pernikahan kita ini nyata, Fan. Cintaku sama kamu juga nyata. Kamu jangan mengada-ada, deh!" Meira melipat kedua tangannya lalu membuang muka."Mei, tolong dengarkan aku kali ini," bujuk Arfan. "Kamu tahu? Setiap bangun tidur dan ternyata aku masih diberi napas, semua itu, itu kayak enggak ada gunanya tahu, enggak?" Arfan menghela napas. "Selama ini kayak buat apa, sih, aku masih hidup? Enggak ada hal sama sekali yang urgent buat aku lakuin. Aku cuma bangun tidur, mandi, sarapan, kerja, pulang, tidur lagi. Gitu terus, enggak tahu sampai kapan."Arfan menjeda ucapannya beberapa saat. Dadanya kembali sesak setiap akan berbicara tentang Aleta. "Dan sekarang ...." Arfan meraup udara banyak-banyak. "Ada Aleta." Jemari Arfan mencengkeram stir mobil dengan kuat. "Dia ... butuh aku. Dan dia