“Apa dia juga tidak makan?”
Lucas kembali bertanya setelah mendengar jawaban pelayan yang membawakan makanannya.
“Kami sudah menawarkan, Tuan. Tapi Nyonya Sophie menolak.”
Setelah mendengarkan jawaban itu Lucas memerintahkan sang pelayan untuk meninggalkannya sendiri dengan gestur tangannya.
Lucas duduk bersandar di kursinya, jari-jarinya mengetuk meja dengan jemarinya.
Pertanyaan yang sempat lolos dari mulutnya tadi masih bergema di kepala
“Di mana Sophie?”
Apa dia sedang mencoba mencari perhatian dengan menolak untuk makan? Atau dia sengaja memancing perasaan bersalah dari Lucas?
Lucas mendengus pelan dan menyandarkan kepala pada kursi.
Kenapa juga dia harus peduli? Ada banyak rumor tentang Sophie, dan jika dia berbuat baik maka Sophie tidak mungkin tidak memiliki tujuan.
Benar, bahkan walau dia memandang Lucas dengan wajah polosnya, pasti setidaknya ada satu hal yang sedang berusaha ia sembunyikan.
Lucas kembali menatap berkas di hadapannya, mencoba mengalihkan pikiran dari Sophie yang masih menghantui pikirannya.
=
Sophie kembali mengecek ponselnya. Ia tidak tahu sudah berapa kali ia melakukannya. Tapi ia masih tidak tahu apa atau siapa yang seharusnya ia hubungi.
Perkataan Lucas dan perlakuan yang ia terima dari keluarganya terus menghantui Sophie. Sebenarnya apa yang ia lakukan sehingga semuanya memperlakukan Sophie seperti ini?
Tapi tidak peduli berapa lama pun ia memikirkannya Sophie masih tidak bisa menebak apa yang telah terjadi.
Ia tidak pernah memiliki masalah sepelik ini sebelumnya. Hubungan Sophie dengan keluarga selalu baik. Orang tuanya selalu bangga padanya, karena Sophie selalu berhasil memenuhi harapan mereka.
Hubungannya dengan Ryan juga baik-baik saja. Tapi Sophie tidak bisa membawa dirinya untuk menghubungi Ryan saat ini.
Bagaimanapun juga, dia sudah menikah walau Sophie tidak tahu bagaimana itu semua terjadi. Bagaimana jika Ryan marah? Tidak, bagaimana jika sebenarnya mereka sudah berpisah sebelum kecelakaannya?
Bahkan walaupun tidak, apa mungkin dia mau menerima seseorang yang sudah menikah dengan pria lain?
Setelah menatap ponselnya untuk waktu yang lama, nama Maya tiba-tiba muncul di kepala Sophie. Benar, sahabatnya.
Bagaimana mungkin ia tidak terpikir untuk menghubungi Maya di saat seperti ini? Mereka sudah mengenal sangat lama dan wanita itu tidak pernah tidak berada di sisi Sophie.
Jika ada seseorang yang dengan sukarela mau menjelaskan apa yang terjadi pada Sophie, maka itu adalah Maya, bukan orang lain.
Dengan cepat Sophie mencari kontak Maya, tangannya menyentuh tombol telfon. Diam-diam ia terus berharap Maya akan mengangkat telfon dari dirinya.
Karena jika Maya juga bersikap sama seperti yang lainnya, lalu apa yang harus Sophie lakukan? Kepada siapa lagi ia harus berpegangan? Jika Maya juga…
“Sophie?”
“Maya?!” Sophie menjawab Maya dengan setengah berteriak, tidak mampu menahan perasaan lega yang muncul di dadanya.
“Apa kamu tidak apa-apa?” Maya bertanya dengan nada khawatir.
“Maya tolong bantu aku…” Sophie berkata dengan nada setengah putus asa.
“Apa yang terjadi?”
“Aku…” Sophie menelan ludahnya, tidak ada yang bertanya padanya setelah ia bangun dari komanya. Pertanyaan singkat dari Maya mampu membuatnya ingin menangis.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi, Maya…” Nafas Sophie tercekat. “Waktu aku bangun, tiba-tiba statusku sudah berubah menjadi istri seseorang. Lalu keluargaku…”
Bayangan pesta di rumah orang tuanya membuat mata Sophie memanas. “Aku tidak tahu kenapa, tapi keluargaku tiba-tiba seperti memusuhiku. Tapi tidak ada yang mau jelaskan semuanya padaku.”
“Sophie… apa kamu tak ingat apa yang terjadi sehingga bisa seperti itu?”
Sophie menggelengkan kepalanya, melupakan fakta bahwa Maya bahkan tidak bisa melihatnya saat ini. “Aku tak ingat apapun. Dokter bilang aku mengalami amnesia sebagian. Aku tidak ingat apapun sejak satu tahun sebelum kecelakaan.”
“Apapun?”
“Apapun.” Sophie menjawab dengan lemah.
Sementara itu, Maya yang berada di ujung telfon tidak mampu menyembunyikan senyuman di wajahnya. Ia harus bersyukur bahwa percakapan ini hanya melalui telfon atau Sophie akan bisa melihat ekspresinya.
“Oh Sophie…” Maya kembali berbicara dengan nada prihatin setelah ia berhasil menguasai dirinya. “Maaf, aku tidak tahu apapun. Aku hanya mendengar kalau kamu sudah bangun dan menikah. Aku takut mengganggumu, jadi tidak berani menghubungimu terlebih dulu.”
“Tidak masalah…” Sophie berusaha meyakinkan. “Harusnya aku yang menghubungimu dulu, tapi terlalu banyak yang terjadi. Aku juga masih harus beradaptasi dengan Lucas.”
Ah, Lucas. Maya kembali teringat kejadian di pesta saat itu, saat Lucas membantu Sophie. Apa hubungan mereka benar sebaik itu?
Maya menelan ludahnya. “Apa hubungan kalian baik-baik saja?” Maya mencoba berbicara senetral mungkin. Berusaha menyembunyikan rasa penasarannya dengan rasa khawatir yang dibuat-dibuat.
Suara helaan nafas Sophie yang terdengar berat hampir mengembalikan senyuman di wajah Maya.
Benar, kan? Tidak mungkin pria seperti Lucas akan bersikap baik pada Sophie setelah semua rumor yang tersebar. Itu pasti hanya karena…
“Lucas?”
Suara Sophie yang terdengar terkejut membuat Maya tersentak dari pikirannya sendiri. Sambungan telfon mereka terputus begitu saja.
“Apa dia juga tidak makan?”Lucas kembali bertanya setelah mendengar jawaban pelayan yang membawakan makanannya.“Kami sudah menawarkan, Tuan. Tapi Nyonya Sophie menolak.”Setelah mendengarkan jawaban itu Lucas memerintahkan sang pelayan untuk meninggalkannya sendiri dengan gestur tangannya. Lucas duduk bersandar di kursinya, jari-jarinya mengetuk meja dengan jemarinya.Pertanyaan yang sempat lolos dari mulutnya tadi masih bergema di kepala“Di mana Sophie?”Apa dia sedang mencoba mencari perhatian dengan menolak untuk makan? Atau dia sengaja memancing perasaan bersalah dari Lucas?Lucas mendengus pelan dan menyandarkan kepala pada kursi.Kenapa juga dia harus peduli? Ada banyak rumor tentang Sophie, dan jika dia berbuat baik maka Sophie tidak mungkin tidak memiliki tujuan.Benar, bahkan walau dia memandang Lucas dengan wajah polosnya, pasti setidaknya ada satu hal yang sedang berusaha ia sembunyikan.Lucas kembali menatap berkas di hadapannya, mencoba mengalihkan pikiran dari Sophie
Sophie yang mendengar pernyataan Lucas membalikkan tubuhnya untuk kembali melihat ke arah pria itu yang terlihat sama sekali tidak peduli.Tapi alih-alih menjawab ia mencoba menelan protesnya, berusaha untuk tidak memperburuk suasana antara dirinya dan Lucas.Tapi dalam hati ia sudah berjanji ia akan kembali besok. Jika melakukan ini memiliki kemungkinan untuk membuat Lucas merubah pandangannya pada Sophie maka ia akan terus mencobanya.=Sophie sama sekali tidak berbohong ketika ia mengatakan bahwa ia akan mencoba kembali. Setelah kejadian kemarin, tekadnya justru semakin kuat. Hal pertama yang ia lakukan begitu terbangun pagi itu adalah memastikan dirinya menjadi orang yang mengantarkan sarapan untuk Lucas ke ruang kerjanya.Nampan berisi roti panggang hangat, telur rebus, dan kopi hitam tanpa gula sudah ditata rapi oleh pelayan. Sophie memandangi nampan itu lama, lalu mengulurkan tangannya.“Aku saja,” ucapnya pelan.Pelayan yang semula hendak melangkah terhenti. Tatapannya gugup,
Sophie memincingkan mata melihat siluet seseorang di balik tirai yang menutupi bak mandi. Jangan-jangan … Lucas?Tapi, suara yang terdengar berikutnya membuat badan Sophie mendadak rileks kembali.“Ah, ini saya, Nyonya.” Suara pelayan muda itu. “Maaf mengganggu waktu Anda. Saya mengambilkan pakaian kotor untuk dicuci.”Sophie hanya mengangguk sekilas, tidak menjawab lagi.Di rumahnya dulu, ia juga telah terbiasa dengan kehadiran pelayan. Tetapi rumah ini masih begitu asing, membuat Sophie waspada tanpa sadar.Rumah yang begitu luas dan mewah, tapi sangat sepi.Satu minggu pun berlalu sejak Sophie pindah ke rumah Lucas. Harapannya untuk dapat berbicara dengan pria itu sudah pupus sejak hari tiga.Tujuh hari dan tidak sekalipun Sophie melihat wajah pria itu. Apa itu bahkan masuk akal? Jika sisi tempat tidur yang kosong tidak memiliki sedikit lipatan dan bantal yang bergeser dari tempat sebelumnya, Sophie mungkin sudah mengira bahwa pria itu tidak pernah kembali ke kamar mereka.Bahkan
Para pelayan keheranan hanya menemukan satu tas lusuh di bagasi. Mereka bahkan mengecek kursi depan dan belakang, namun tetap tidak menemukan apa pun.Hanya ada keheningan di sekitar mereka yang mengiringi tatapan-tatapan bingung yang saling bertukar. Meski begitu, tak ada yang berani melontarkan pertanyaan. Semuanya memilih diam, seolah menelan rasa penasaran mereka sendiri.Lucas keluar lebih dulu tanpa sepatah kata pun, melangkah masuk begitu saja, meninggalkan Sophie sendirian berdiri di bawah tatapan penuh tanda tanya.Sophie menggenggam tangannya sendiri, merasa tubuhnya mengecil di tengah bangunan megah yang menjulang di depannya. Rumah ini jauh lebih besar, lebih mewah, dibandingkan rumah keluarganya yang kerap disebut orang lain sebagai istana kecil. Namun entah mengapa, kemewahan ini hanya membuatnya merasa tertekan. Tidak ada yang menyambutnya, tidak ada yang memperkenalkan rumah yang katanya kini menjadi miliknya. Ia bahkan tidak tahu harus melangkah ke mana.Begitu Sophi
Maya memandang Sophie yang baru saja masuk melewati pintu utama dengan tidak percaya. Gelas yang ia pegang membuatnya tidak mampu menyembunyikan getaran di tangannya.Di tahun pertama setelah kecelakaan yang dialami oleh Sophie, tidak sekalipun Maya melewatkan satu hari tanpa menjenguknya sahabatnya itu. Tapi, bahkan walau ia tidak pernah mengatakannya secara gamblang, Maya tahu bahwa kepedulian bukanlah alasannya.Di hari kecelakaannya, Sophie telah melihat hal yang tidak seharusnya ia ketahui. Dan seharusnya rahasia itu akan selamanya tersimpan, terkubur bersama jasad Sophie yang akhirnya tidak lagi bernyawa.Saat Sophie tidak juga membuka matanya setelah satu tahun berlalu, pikiran Maya itu sudah menjadi keyakinan yang tidak terbantahkan, membuatnya melupakan Sophie dengan nyaman.Tapi sekarang, wanita itu justru kembali berdiri di hadapannya seperti seorang hantu yang sengaja mengejar Maya dari masa lalu.Dengan ragu Maya menelan ludahnya, takut Sophie akan menyadari kehadirannya.
Preman itu meringkuk di tanah, tas Sophie terlepas, dan ia segera kabur saat Lucas akhirnya melepaskan tangannya. Beberapa orang yang menyaksikan sempat berbisik, beberapa bahkan menyorot handphone mereka. Tapi tidak ada satupun yang benar-benar peduli untuk membantu.Lucas menunduk, mengambil tas yang dijatuhkan oleh sang preman. Ia berjalan ke arah Sophie yang masih terduduk di aspal. Lalu tanpa aba-aba, ia melemparkan tas itu ke pangkuan Sophie.“Berdiri.”Sophie menelan ludah, berusaha menopang tubuhnya dengan tangan yang sedikit bergetar. Rasa sakit di sikunya membuat bergerak lambat. Tapi perasaan intimidasi dari sorot mata tajam Lucas membuatnya tidak berani meminta pertolongan.Tapi gerakan lambat itu tampaknya membuat Lucas merasa tidak sabar, karena detik berikutnya, tangan besar pria itu memegang pinggangnya. Memaksa Sophie berdiri.Begitu ia berdiri, jarak diantara mereka semakin terhapus, membuat Sophie bisa merasakan wangi samar dari jas Lucas, juga tatapannya yang menu