"Sayang, aku harus segera pergi!" Setelah mendapatkan telpon dari seorang perempuan, suamiku itu mendadak menjadi seperti orang kebingungan.
Kemudian pergi ke luar rumah dengan langkah yang tergesa, seperti ada sesuatu yang harus dikejarnya. Bahkan tanpa mencium keningku seperti biasanya.Terseok-seok aku mengikutinya, karena aku masih menggendong Raya, gadis kecilku yang sedang demam tinggi."Papa jangan pergi. Raya mau tidur ditemani Mama sama Papa ...."Putriku yang tadi sudah hampir saja memejamkan mata, kini mendadak kembali membuka matanya, begitu mendengar bahwa papanya akan pergi meninggalkannya."Papa .... Papa ...."Raya mengeluarkan tangannya dari dalam gendonganku. Kedua tangannya menggapai-gapai ke udara, berharap papanya akan menyambutnya.Namun jangankan menyambut uluran tangan putrinya. Bahkan suamiku itu lebih memilih mendekati kendaraan besinya."Raya jangan rewel. Jangan nakal. Nanti Papa pulang, kalau urusan Papa sudah selesai." Mas Abi terlihat menekan tombol kunci mobilnya. Mobil yang sedari sore sudah terkunci, kini mengedipkan lampunya."Memangnya ada apa, Mas? Anakmu saja sedang sakit. Bagaimana jika nanti malam dia menanyakanmu?"Aku semakin kewalahan, karena Raya semakin memberontak dari gendongan. Keringatnya mengucur deras, diiringi dengan suara tangisan yang semakin keras."Mas, lihatlah anakmu. Dia tidak mau ditinggal pergi!" Aku berteriak sekali lagi."Atasanku meninggal dunia, Anjani! Apakah pantas, jika aku datangnya besok pagi? Istrinya sangat berduka. Dia sangat syok. Siapa lagi yang akan menguatkan istri dan anaknya, jika bukan aku?"Siapa yang akan menguatkan istri dan anaknya, dia bilang? Kenapa kata-kata itu terdengar aneh? Memangnya istrinya atasannya itu, siapanya Mas Abi? Kenapa harus suamiku yang menguatkan?"Innalilahi wa innailaihi rajiun .... Siapa yang meninggal, Mas? Atasan Mas yang mana?" tanyaku kemudian."Pak Arman!" Dia langsung masuk ke mobilnya."Pak Arman yang sudah tua, tapi istrinya masih muda, cantik dan wanita karir itu?" Tiba-tiba saja, Ibu mertua berteriak dengan keras, dari teras rumahnya yang bersebelahan dengan rumah yang kutempati. Mungkin sedari tadi beliau sudah mendengar percakapan kami."Iya, Bu. Kasihan sekali. Istrinya pasti sangat terpukul. Saat Pak Arman masih sakit saja, istrinya itu sering bilang, katanya dia sudah tidak kuat."Aku semakin tidak mengerti dengan arah bicara laki-laki yang kini telah menutup pintu mobilnya itu. Sudah tidak kuat, katanya? Apa maksudnya?Suamiku sungguh seperti sudah menjadi orang yang berbeda. Tangisan Raya tidak dipedulikannya. Dia memilih pergi menguatkan istri atasannya.Mobil pun melaju dengan cepat keluar dari halaman, seiring dengan rasa hatiku yang tiba-tiba saja merasa kehilangan.Aku merasakan firasat buruk. Entah itu apa, aku tidak tahu."Sabar Raya, ya? Nanti Papa pulang. Raya anak baik, Raya anak manis. Tidak boleh menangis ...." Kugoyangkan tubuh Raya dengan pelan, agar dia merasa nyaman."Anjani, kamu tentu tahu kan, siapa Pak Arman?" tanya Ibu mertua kemudian."Iya, Bu. Beliau adalah atasannya Mas Abi," jawabku."Dan kamu pernah melihat, istrinya itu seperti apa?""Pernah melihat sih, Bu, ketika dia ulang tahun, Mas Abi pernah diundang. Dan Mas Abi mengajakku untuk datang ke sana."Sambil menjawab pertanyaan Ibu, aku jadi teringat ketika beberapa bulan yang lalu menghadiri acara ulang tahunnya. Perempuan itu memakai dress panjang tanpa lengan, dengan belahan dada yang sangat rendah, dan belahan kaki yang sangat tinggi. Sehingga bagian dadanya terlihat menyembul, sementara bagian bawahnya hampir terlihat celana dalamnya."Cantik sekali, kan? Sudah seperti artis ibu kota. Cantik, seksi, dan karirnya cemerlang. Dia konon bekerja di sebuah bank besar." Ibu mertua bercerita dengan begitu bangga. Seolah-olah dia sedang menceritakan anaknya."Anjani. Kamu itu harusnya bisa mencontoh perempuan modern seperti dia. Dandan yang cantik, dengan pakaian yang modis seperti dia. Agar suamimu itu tidak malu, jika mengajakmu datang ke acara-acara. Juga sebaiknya carilah pekerjaan yang bergengsi seperti istrinya Pak Arman itu. Bukan seperti kamu. Hanya menjadi guru. Guru SD, pula. Mending kalau jadi dosen, bisa dibangg--""Mohon maaf ya, Bu. Semua orang itu punya pilihan yang berbeda. Saya tidak merasa malu meskipun hanya menjadi guru SD. Pekerjaan saya adalah pekerjaan yang mulia. Dan perihal berpakaian, memang seharusnya perempuan muslim itu harus menutup aurat. Bukan malah auratnya diumbar ke mana-mana seperti perempuan yang sedang Ibu ceritakan!"Kubawa Raya kembali masuk ke dalam, sebelum Ibu mertua berceramah panjang lebar. Mending jika ceramahnya itu menuntun kepada kebenaran. Kebanyakan, justru menyesatkan. Entah sudah berapa kali saja beliau mencela pakaianku, juga merendahkan pekerjaanku. Padahal pakaianku juga bersih, wangi dan bukan pakaian murahan.Pekerjaanku, meski hanya guru SD, namun aku mengajar di sekolah yang bagus, sekolah yang mahal. Tidak mudah untuk bisa mengajar di sekolah itu. Harus melewati proses yang panjang, juga persaingan yang sangat ketat.Perihal perempuan yang baru saja dipuji setinggi langit oleh ibu mertua, aku juga tahu penampilannya seperti apa. Setiap aku bertemu dengannya, pasti dia selalu mengenakan pakaian seksi dan cenderung terbuka.Hingga isi dadanya selalu terlihat bergoyang-goyang, seolah melambai-lambai meminta untuk dibelai. Perempuan seperti itu, yang dibanggakan oleh ibu mertuaku.***** Hujan yang sangat deras, di tambah suara petir yang menggelegar bersahut-sahutan, juga kilat yang saling sambar menyambar, membuat malam ini terasa begitu mencekam. Ditambah lagi listrik yang tiba-tiba saja menjadi padam.Aku di rumah seorang diri, hanya bersama anak yang sedang demam tinggi.Sempurna sudah. Hatiku dilanda gelisah. Rasaku kian gundah.Dengan pelan, aku berjalan mencari di mana ponsel kuletakkan. Setelah benda pipih itu kutemukan, aku lekas mengambil lilin, dan kemudian menyalakan.Cahaya remang-remang pun mulai menerangi kamar. Meski tidak seterang lampu kamar, namun setidaknya aku bisa melihat, mana pintu, mana lemari dan mana ranjang.Kuletakkan Raya dengan pelan, di kamarnya. Pelan sekali aku meletakkannya. Jangan sampai anak yang baru saja tertidur ini, terjaga dan menanyakan papanya. Bisa gawat jika sampai dia terbangun dan menangis, akan susah menenangkannya.Begitu anak itu lepas dari gendonganku, seketika aku merasa lega. Pundak yang sedari Maghrib tadi menahan beban seberat lima belas kilogram, kini telah merasa ringan.Aku segera mengambil air wudhu dan menunaikan kewajiban. Sudah jam sepuluh malam, namun baru sekarang bisa shalat isya. Sejak tadi Raya rewel. Mungkin karena suhu badannya yang panas, anak itu jadi tidak mau turun dari gendongan.Selesai shalat isya, rencananya aku akan membaca Alquran meski hanya sebentar. Namun baru saja kitab suci itu kubuka, aku sudah mendengar tangisan Raya. Akhirnya, Alquran pun kembali kuletakkan di tempat semula, sebelum suara tangisan Raya bertambah volumenya.Bergegas, aku menuju ke kamarnya. Terlihat ....POV. AnjaniTidak salah lagi. Dalam sepersekian detik aku melirik, aku melihat kakinya kian maju ke arahku."Anjani, bagaimana keadaan Raya?"Aku memilih diam. Toh dia juga bisa melihat sendiri, bagaimana keadaan putrinya saat ini."Anjani, aku minta maaf, jika perbuatanku tidak berkenan di hatimu. Aku harap kamu bisa mengerti. Mereka sedang berduka. Istrinya Pak Arman sangat down, hingga tidak bisa mengurus putrinya. Dan kebetulan, saat aku hendak pulang dari tahlilan, anaknya Pak Arman tiba-tiba saja pingsan. Demam tinggi. Karena merasa tidak tega, aku pun menawarkan bantuan. Percayalah. Apa yang aku lakukan, itu semata-mata karena alasan kemanusiaan. Wujud dari bakti seorang bawahan kepada atasannya. Bukan karena ada hal yang lainnya. Pak Arman itu adalah mantan atasanku. Karena beliau, aku bisa bekerja di tempat yang sekarang. Bisa memiliki gaji yang lumayan besar, bisa mencukupi semua kebutuhan kita. Aku banyak berhutang budi pada beliau. Rasanya tidak etis saja, jika setelah bel
POV. AnjaniAku mengenal salah satu dari wanita itu. Dia adalah istrinya Pak Arman, atasan suamiku.Seketika, amarah pun mulai menguasai jiwa. Menghentak-hentak, menabrak-nabrak dinding sukma. Dia yang begitu kami tunggu kepulangannya, ternyata justru ada di sini, bersama anak dan istri atasannya.Apalagi jika mengingat noda merah di dadanya itu. Aku menjadi berfikir, apakah noda itu adalah hasil perbuatan perempuan itu?"Anjani, kamu kenapa ada di sini?" Kudengar, lelakiku yang telah memberiku satu anak itu, bertanya seperti itu."Harusnya aku yang bertanya, Mas, kenapa kamu ada di sini!" Aku menjawab pertanyaannya sembari terus berjalan menuju ke loket pendaftaran."Ini, a--aku membawa anaknya Pak Arman. Dia dem--" Dengan suara terbata, lelaki yang biasanya terlihat berwibawa itu, berusaha menjelaskan kepadaku. Namun aku segera memotong ucapannya. Tidak sudi diri ini mendengar alasannya."Cukup, Mas. Aku tidak sudi mendengarnya. Simpan saja ceritamu. Bagiku Raya lebih penting dari s
POV. Abi"Sayang, maafkan aku ...." Aku memeluknya, sambil mencium keningnya dengan begitu dalam.Rencananya, aku ingin memindahkan tubuhnya ke sofa yang ada di dekat tembok. Namun saat aku baru saja ingin mengangkat tubuh itu, adiknya Reina sudah terlihat menyembulkan kepalanya, dari balik pintu."Mas Abi!" Dia memanggilku."Ssstttt!" Aku menempelkan jari telunjukku di bibirku."Mas Abi!" Dia sepertinya tidak mengindahkan kode yang kuberikan. Terbukti, dia masih saja memanggilku.Aku mengibaskan tanganku keluar, berharap agar gadis itu segera keluar dari ruangan ini. Jangan sampai dia membangunkan Anjani.Namun gadis itu bukannya keluar. Dia justru semakin melangkahkan kakinya ke arahku, sambil berkacak pinggang."Mas, Dita rewel. Menanyakan Mas. Dita maunya gendongan terus. Kasihan Mbak Reina. Dia harus menggendong Dita, sambil membawa tiang infus ke mana-mana.""Iya, sebentar. Kamu ngomongnya jangan keras-keras. Jangan sampai istriku bangun!" Aku berbicara dengan setengah berbisik.
POV. AbiSeketika aku langsung melempar tubuh Reina, ke sebelah samping. Segera kutarik selimut dengan secepatnya, untuk menutup tubuh kami berdua.Kulihat, Adiknya Reina, yang tengah menggendong keponakannya, sudah berdiri di ambang pintu."Dina! Kenapa kamu main nyelonong saja!?"Dengan tubuh yang masih berbalut selimut, Reina berteriak dengan sangat kesal kepada adiknya."Mama, tadi baru saja ngapain? Kenapa main kuda-kudaan nggak pakai baju?" Dita berceloteh, menanyai mamanya."Dina! Bawa Dita keluar dari sini!" Reina menunjuk ke arah mereka semua.Dina yang diteriaki oleh Reina, bukannya pergi. Namun dia justru masih tetap berdiri di ambang pintu, seperti orang yang terpaku."Dina, kamu dengar tidak? Bawa Dita pergi dari sini! Dasar adik tidak tahu sopan santun. Main nyelonong saja tanpa ketuk pintu! Adik tidak ada akhlak. Kurang ajar!" Reina yang tadinya masih dalam posisi berbaring, kini sudah menegakkan punggungnya, menjadi duduk.Dia kembali menarik selimutnya, untuk menutupi
POV. AnjaniAkhirnya, aku hanya bisa mengelus dada yang kian bertambah sesaknya, melihat suamiku yang sudah pergi dengan mobilnya.Tidak apa-apa. Nanti malam dia pulang. Aku harus belajar menjadi istri yang pengertian. Atau mungkin nanti malam aku bisa menyelidikinya, mengintai rumah atasannya itu dari kejauhan. Benarkah ada acara tahlil atau tidak. Benarkah suamiku pergi ke sana atau tidak. Ya, mungkin aku memang harus mengintainya.****Saat bangun dari tidurnya, Raya kembali menanyakan papanya. Kukarang saja sebuah cerita, bahwa sore ini, papanya lembur hingga nanti jam sepuluh malam.Anak itu pun mengerti. Apalagi boneka yang tadi dibelikan oleh papanya itu, cukup menghiburnya.Dia menunggu ayahnya, sambil menyelesaikan lukisan yang dia buat. Lukisan yang menggambarkan tiga orang yang sedang duduk di atas rerumputan yang berwarna hijau. Raya bilang, mereka adalah Raya, aku, dan Mas Abi."Raya tidur saja dulu, ya?"Aku membujuk Raya supaya dia mau tidur. Nanti kalau dia sudah tidur
POV. Anjani"Aku mimpi kamu tidur dengan seorang perempuan ...." Aku sudah tidak kuat membendung tangisan.Tangisku pecah. Aku sesenggukan di dadanya. Namun Mas Abi justru tertawa, memperlihatkan gigi-giginya. Lelaki yang belum sempat berpakaian itu kemudian merengkuh tubuhku. Membawaku ke dalam pelukannya."Kamu pasti stres, karena kutinggal pergi sehari semalam. Iya, kan? Jangan banyak pikiran. Nanti cantiknya hilang." Dia menatapku dengan penuh kelembutan."Aku tahu, kamu kangen sama aku. Kamu baru selesai menstruasi, kan?"Lelaki yang bergelar sebagai suamiku itu pun, membawaku ke ranjang. Mulai membawaku kepada ibadah halal. Dia bahkan setengah memaksa, ketika aku menolaknya.Hingga akhirnya aku pun melayaninya. Memadu kasih dengannya. Tapi kenapa rasanya berbeda? Seperti tidak seindah ketika sebelum-sebelumnya.Ibarat makanan, hanya terasa hambar. Seperti makan makanan sisa. Sedikit pun, tidak ada semangat yang berkobar. Seolah kami hanya sedang menggugurkan kewajiban.Tidak ada