Bergegas, aku menuju ke kamarnya. Terlihat baju yang dia kenakan sudah basah. Pasti dia baru saja muntah. Bahkan bantal dan selimut yang dikenakan pun, juga ikut basah.
Aku lekas membuka bajunya. Mengelap bekas muntahannya. Namun ternyata rasa lengket itu masih tetap ada."Raya, Mama ke dapur dulu, ambil air hangat, ya?"Gadis kecilku itu mengangguk lemah. Sudut matanya terlihat basah, tatapannya terlihat tidak bergairah.Bergegas aku menuju ke dapur, ingin mengambil termos yang berisi air panas. Rencananya aku ingin mengompresnya, agar badannya bersih dari cairan muntahannya.Namun baru saja termos itu kudapatkan, tangisan Raya sudah terdengar semakin kencang. Aku mencoba berjalan dengan cepat. Menerka-nerka jalan dalam dalam keadaan gelap.Satu tangan kananku menjinjing termos, sementara satu tanganku lagi memegang panci plastik yang akan kugunakan untuk mencampur airnya. Agar tidak terlalu panas, nantinya."Sebentar Sayang, sabar, ya?"Raya bukan tipe anak yang rewel, biasanya. Jika sedang masuk angin atau tidak enak badan, biasanya dia hanya akan tiduran sambil menonton tv, tanpa sedikit pun memperlihatkan tangisan. Namun kali ini keadaannya berbeda. Sedikit sedikit, Raya akan menangis.Begitu sampai di kamar, aku segera membuka tutup termos, dan menuangkan isinya ke dalam panci."Awww!"Aku menjerit. Tiba-tiba saja, kakiku terasa sangat panas. Air yang ada di dalam termos, ternyata bukannya tertuang ke dalam panci. Namun justru mengalir ke kaki.Dalam sekejap mata, kakiku sudah tampak memerah. Rasa perih dan panas pun kian menjalar, ke seluruh tubuh."Mama ...."Melihatku kesakitan, gadis kecilku itu tertatih, turun dari ranjang, mendekat ke arahku. Tangan kecil yang suhunya di atas normal itu, mengusap wajahku. Kemudian kepalanya turun ke bawah, meniup kakiku."Raya minta maaf ...." ucapnya lirih, sembari terus meniup kakiku. Mendengar permintaan maaf dari gadis kecilku, seketika hatiku menjadi pilu.Seketika dadaku terasa perih. Tidak tahu sebabnya, kenapa aku menjadi sedih."Tidak apa-apa. Mama baik-baik saja. Raya tidak bersalah. Tidak perlu meminta maaf. Yang penting kamu cepat sembuh ya, Nak?" Aku berbicara sambil berusaha menahan diri, agar air mata ini tidak jatuh ke pipi. Aku tidak ingin, bidadari kecilku ini melihatku menangis.Sungguh, memandang anak yang tengah sakit seperti ini, hatiku sangatlah bertambah sakit. Jika pun bisa, rasanya aku ingin bertukar rasa. Biar saja aku yang merasakan sakitnya, asalkan putriku tetap sehat dan ceria.Aku kembali menuang air panas itu ke dalam panci. Kemudian kukompreskan ke tubuh gadis kecilku.Setelah kurasa tubuhnya bersih, aku segera memakaikan pakaian yang bersih, dan mengganti sprei motif Doraemon dengan sprei motif berwarna ping, bermotif kuda poni. Sarung bantal pun juga kuganti dengan corak dan warna yang senada.Panas badannya belum turun juga. Padahal obat dari dokter, sudah kuberikan sesuai dengan dosis dan waktunya.Tadi pagi dokter bilang, jika obatnya sudah habis, tapi panasnya belum turun juga, maka kami harus kembali ke sana. Sejauh ini aku hanya mengikuti instruksinya."Mama, dingin ...."Di sinilah aku merasa dilema. Tadi dokter sempat berpesan. Jika panasnya tinggi, maka harus dipakaikan pakaian yang tipis saja. Tapi kini Raya mengeluh kedinginan. Padahal suhu badannya masih kepanasan.Akhirnya kucarikan dia selimut yang tipis, untuk menutupi tubuhnya. Kemudian gadis kecilku itu kembali memejamkan matanya. Nafasnya yang lembut beraturan, menandakan dia sudah tertidur dengan lelapnya.Lekas aku ikut membaringkan tubuhku di sampingnya. Aku sengaja tidur di kamarnya. Meluruskan pinggangku yang terasa begitu pegal. Kupeluk Raya, sambil melafalkan doa-doa.Ucapan suamiku tadi, terngiang-ngiang di cerukan kepala. Atasanku meninggal dunia, istrinya pasti sedang sangat berduka, aku harus segera ke sana. Istrinya pasti sangat syok, istrinya pasti sangat terpukul. Jika bukan aku, siapa yang akan menguatkan istri dan anaknya?Ah, kenapa aku merasa kata-kata itu begitu janggal? Seperti tidak pas, seperti tidak semestinya, seperti tidak pantas.Karena lama mata ini tidak mau terpejam juga, akhirnya aku pun beranjak dari tidurku, membuka ponselku untuk sekedar mencari hiburan.Baru saja ponsel kubuka, aku sudah langsung disuguhkan dengan postingan seseorang yang melewati beranda.Sebuah foto yang menunjukkan wajah suamiku, tengah duduk bersisihan dengan perempuan yang memakai pakaian serba hitam.Mereka terlihat saling menatap, dengan tatapan seperti sepasang insan yang sama-sama saling memendam keinginan.Bahkan saat kubaca caption yang menyertainya, aku justru dibuat lebih ternganga.[ Gaskeun, jangan kasih kendor. Setelah resmi menjanda, langsung jadikan istri kedua.]Kulihat dengan seksama, siapa yang membuat postingan seperti ini. Bukan akun suamiku. Bahkan foto profil dan namanya, aku tidak mengenalinya.Postingan ini bisa melewati berandaku, karena dia menandai akun suamiku. Tapi siapa, dia?Karena penasaran, aku pun lekas keluar dari aplikasi biru, beralih ke aplikasi hijau. Kulakukan panggilan video pada suamiku.Berkali-kali aku mencoba menelponnya, namun tidak diangkatnya. Padahal biasanya dia tidak pernah mengabaikan telponku.Tidak putus asa, aku pun kembali menelponnya. Terhubung, dan beberapa saat kemudian menjadi tersambung."Assalamualaikum, Mas ....""Waalaikum salam ... kenapa?" Dia bertanya dari seberang."Mas, maaf. Aku mau bertanya perihal postingan seseorang ...." Aku sebenarnya ragu, mau bicara tentang hal ini."Postingan apa?" tanya dia lagi."Sebentar ya, Mas? Aku kirimkan."Aku pun lekas mematikan panggilan ponselku. Kemudian kirimkan foto postingan yang tadi telah ku screenshot itu.Foto yang kukirim pun terlihat centang dua berwarna biru.Satu detik kemudian, terlihat dia sedang mengetik. Dan pesan balasan pun langsung terpampang di layar ponsel pintarku.[Oh, itu hanya orang iseng, Sayang. Jangan dipikirkan. Bu Reina itu seleranya tinggi. Dia maunya pasti dengan para lelaki kaya. Bukan lelaki sepertiku. Kamu jangan berfikiran aneh-aneh. Kalau sampai beliau tahu pikiran kamu yang aneh-aneh itu, aku yang malu. Bahkan bukan hanya malu. Namun karirku juga bisa terancam.]Setelah pesan itu kuterima, kemudian di bawah nama profilnya yang tadi tertulis online, kini tulisan itu telah hilang, dan berganti dengan tulisan terakhir kali dilihat pukul sekian.Kucoba melakukan panggilan video, ingin melihat apakah dia masih duduk berhimpitan dengan perempuan itu atau tidak, ternyata panggilanku sudah tidak bisa terhubung.Kembali lagi aku melihat aplikasi biru. Postingan yang baru saja menandai akun suamiku, kini sudah tidak terlihat lagi.*****Mataku terasa kian berat, ingin terpejam. Namun rasa panas di kakiku, membuatku merasa sangat tidak nyaman. Apalagi jika mengingat tentang postingan yang menampilkan foto suamiku bersama istri atasannya itu. Sungguh, hal itu sangatlah mengganggu jiwaku. Penjelasannya yang dia bilang itu hanyalah pekerjaan orang iseng, tidak bisa kuterima begitu saja.Paginya, sebelum adzan subuh berkumandang, aku sudahPOV. AnjaniTidak salah lagi. Dalam sepersekian detik aku melirik, aku melihat kakinya kian maju ke arahku."Anjani, bagaimana keadaan Raya?"Aku memilih diam. Toh dia juga bisa melihat sendiri, bagaimana keadaan putrinya saat ini."Anjani, aku minta maaf, jika perbuatanku tidak berkenan di hatimu. Aku harap kamu bisa mengerti. Mereka sedang berduka. Istrinya Pak Arman sangat down, hingga tidak bisa mengurus putrinya. Dan kebetulan, saat aku hendak pulang dari tahlilan, anaknya Pak Arman tiba-tiba saja pingsan. Demam tinggi. Karena merasa tidak tega, aku pun menawarkan bantuan. Percayalah. Apa yang aku lakukan, itu semata-mata karena alasan kemanusiaan. Wujud dari bakti seorang bawahan kepada atasannya. Bukan karena ada hal yang lainnya. Pak Arman itu adalah mantan atasanku. Karena beliau, aku bisa bekerja di tempat yang sekarang. Bisa memiliki gaji yang lumayan besar, bisa mencukupi semua kebutuhan kita. Aku banyak berhutang budi pada beliau. Rasanya tidak etis saja, jika setelah bel
POV. AnjaniAku mengenal salah satu dari wanita itu. Dia adalah istrinya Pak Arman, atasan suamiku.Seketika, amarah pun mulai menguasai jiwa. Menghentak-hentak, menabrak-nabrak dinding sukma. Dia yang begitu kami tunggu kepulangannya, ternyata justru ada di sini, bersama anak dan istri atasannya.Apalagi jika mengingat noda merah di dadanya itu. Aku menjadi berfikir, apakah noda itu adalah hasil perbuatan perempuan itu?"Anjani, kamu kenapa ada di sini?" Kudengar, lelakiku yang telah memberiku satu anak itu, bertanya seperti itu."Harusnya aku yang bertanya, Mas, kenapa kamu ada di sini!" Aku menjawab pertanyaannya sembari terus berjalan menuju ke loket pendaftaran."Ini, a--aku membawa anaknya Pak Arman. Dia dem--" Dengan suara terbata, lelaki yang biasanya terlihat berwibawa itu, berusaha menjelaskan kepadaku. Namun aku segera memotong ucapannya. Tidak sudi diri ini mendengar alasannya."Cukup, Mas. Aku tidak sudi mendengarnya. Simpan saja ceritamu. Bagiku Raya lebih penting dari s
POV. Abi"Sayang, maafkan aku ...." Aku memeluknya, sambil mencium keningnya dengan begitu dalam.Rencananya, aku ingin memindahkan tubuhnya ke sofa yang ada di dekat tembok. Namun saat aku baru saja ingin mengangkat tubuh itu, adiknya Reina sudah terlihat menyembulkan kepalanya, dari balik pintu."Mas Abi!" Dia memanggilku."Ssstttt!" Aku menempelkan jari telunjukku di bibirku."Mas Abi!" Dia sepertinya tidak mengindahkan kode yang kuberikan. Terbukti, dia masih saja memanggilku.Aku mengibaskan tanganku keluar, berharap agar gadis itu segera keluar dari ruangan ini. Jangan sampai dia membangunkan Anjani.Namun gadis itu bukannya keluar. Dia justru semakin melangkahkan kakinya ke arahku, sambil berkacak pinggang."Mas, Dita rewel. Menanyakan Mas. Dita maunya gendongan terus. Kasihan Mbak Reina. Dia harus menggendong Dita, sambil membawa tiang infus ke mana-mana.""Iya, sebentar. Kamu ngomongnya jangan keras-keras. Jangan sampai istriku bangun!" Aku berbicara dengan setengah berbisik.
POV. AbiSeketika aku langsung melempar tubuh Reina, ke sebelah samping. Segera kutarik selimut dengan secepatnya, untuk menutup tubuh kami berdua.Kulihat, Adiknya Reina, yang tengah menggendong keponakannya, sudah berdiri di ambang pintu."Dina! Kenapa kamu main nyelonong saja!?"Dengan tubuh yang masih berbalut selimut, Reina berteriak dengan sangat kesal kepada adiknya."Mama, tadi baru saja ngapain? Kenapa main kuda-kudaan nggak pakai baju?" Dita berceloteh, menanyai mamanya."Dina! Bawa Dita keluar dari sini!" Reina menunjuk ke arah mereka semua.Dina yang diteriaki oleh Reina, bukannya pergi. Namun dia justru masih tetap berdiri di ambang pintu, seperti orang yang terpaku."Dina, kamu dengar tidak? Bawa Dita pergi dari sini! Dasar adik tidak tahu sopan santun. Main nyelonong saja tanpa ketuk pintu! Adik tidak ada akhlak. Kurang ajar!" Reina yang tadinya masih dalam posisi berbaring, kini sudah menegakkan punggungnya, menjadi duduk.Dia kembali menarik selimutnya, untuk menutupi
POV. AnjaniAkhirnya, aku hanya bisa mengelus dada yang kian bertambah sesaknya, melihat suamiku yang sudah pergi dengan mobilnya.Tidak apa-apa. Nanti malam dia pulang. Aku harus belajar menjadi istri yang pengertian. Atau mungkin nanti malam aku bisa menyelidikinya, mengintai rumah atasannya itu dari kejauhan. Benarkah ada acara tahlil atau tidak. Benarkah suamiku pergi ke sana atau tidak. Ya, mungkin aku memang harus mengintainya.****Saat bangun dari tidurnya, Raya kembali menanyakan papanya. Kukarang saja sebuah cerita, bahwa sore ini, papanya lembur hingga nanti jam sepuluh malam.Anak itu pun mengerti. Apalagi boneka yang tadi dibelikan oleh papanya itu, cukup menghiburnya.Dia menunggu ayahnya, sambil menyelesaikan lukisan yang dia buat. Lukisan yang menggambarkan tiga orang yang sedang duduk di atas rerumputan yang berwarna hijau. Raya bilang, mereka adalah Raya, aku, dan Mas Abi."Raya tidur saja dulu, ya?"Aku membujuk Raya supaya dia mau tidur. Nanti kalau dia sudah tidur
POV. Anjani"Aku mimpi kamu tidur dengan seorang perempuan ...." Aku sudah tidak kuat membendung tangisan.Tangisku pecah. Aku sesenggukan di dadanya. Namun Mas Abi justru tertawa, memperlihatkan gigi-giginya. Lelaki yang belum sempat berpakaian itu kemudian merengkuh tubuhku. Membawaku ke dalam pelukannya."Kamu pasti stres, karena kutinggal pergi sehari semalam. Iya, kan? Jangan banyak pikiran. Nanti cantiknya hilang." Dia menatapku dengan penuh kelembutan."Aku tahu, kamu kangen sama aku. Kamu baru selesai menstruasi, kan?"Lelaki yang bergelar sebagai suamiku itu pun, membawaku ke ranjang. Mulai membawaku kepada ibadah halal. Dia bahkan setengah memaksa, ketika aku menolaknya.Hingga akhirnya aku pun melayaninya. Memadu kasih dengannya. Tapi kenapa rasanya berbeda? Seperti tidak seindah ketika sebelum-sebelumnya.Ibarat makanan, hanya terasa hambar. Seperti makan makanan sisa. Sedikit pun, tidak ada semangat yang berkobar. Seolah kami hanya sedang menggugurkan kewajiban.Tidak ada