Orang-orang yang tadi mem-bully-ku kini menganga melihat kotak kado yang kuberikan. Jika saja mereka tahu isinya, sudah pasti rahang mereka akan jatuh ke lantai."Terima kasih, Retno. Sebenarnya kamu tidak perlu repot begini.""Sama-sama, Tante. Aku sama sekali tidak repot. Aku harap Tante tidak kecewa dengan isinya."Melihat Tante Mita memelukku, wajah Mama dan Mawar langsung masam. Begitu pula dengan Tante Santi beserta antek-anteknya. Mereka seperti tidak terima melihatku memberikan kado. Terutama tentu saja mertua dan iparku yang sejak awal telah berniat memojokkanku sebab mengira aku berangkat dengan tangan kosong.Mawar yang masih lebih labil pun protes, "Mbak Retno tadi katanya belum menyiapkan kado untuk Tante Mita?"Mama memejamkan mata cukup lama mendengar putrinya seperti tidak terima kalau aku membawa kado juga. "Em ... maksud adikmu, jika kamu membawa kado untuk dirimu sendiri itu sangat baik Nak, tapi akan lebih baik kalau kamu mengatakannya sejak tadi sehingga tidak aka
Semua orang bergeming sesaat melihat kado dariku sebelum menoleh pada orang yang ada di sisi kanan dan kiri. Lantas, dengan kompak mereka menahan tawa. Namun, sepertinya hadiah dariku terlampau lucu hingga pada akhirnya mereka pun tertawa keras. Benar, yang terdengar dalam ruang tamu keluarga Tante Mita kini hanya suara tawa. Mereka menertawakanku.Mama yang tampak puas tertawa kemudian menarik napas panjang-panjang untuk bisa mengendalikan dirinya. "Mita, tolong jangan tersinggung. Aku benar-benar tidak tahu jika Retno memberikan kado seperti itu padamu. Aku sungguh minta maaf atas kado yang sangat-"Belum sampai Mama menyelesaikan kalimatnya sudah dipotong oleh Tante Mita yang berkata, "Sempurna."Satu kata dari Tante Mita benar-benar membuat rahang orang-orang julid itu jatuh ke lantai. Buk!Sungguh aku ingin tertawa, tapi cukuplah memasang wajah tenang dan berjingkrak-jingkrak di hati saja."Mita, apa aku tidak salah dengar? Kamu tadi bilang kado dari Retno sempurna?" Tante Santi
Aku mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam tas bulukku. Lantas dengan senyum kuulurkan pada Tante Mita."Ini ada empat voucher makan malam di restoran."Tante Mita menerima voucher dariku dan membaca tulisannya. "Sky Hill Paradise, sebagai tamu VVIP? Ya Tuhan!" Kedua matanya membesar menatapku selagi tangannya berpindah ke depan mulut. "Retno, a-apa ini restoran baru yang sangat terkenal itu? Restoran mewah empat tingkat dengan puncak yang katanya menyuguhkan pemandangan seperti di surga?!"Aku tertawa. "Apa seperti itu yang orang katakan tentang restoran itu, Tante?" Tante Mita mengangguk cepat. Aku pun mengoreksi. "Sepertinya itu sedikit berlebihan. Kita bahkan masih ada di dunia dan belum tahu bagaimana wujud surga.""Benar-benar. Tapi, apa pun itu, apa kamu serius memberikan ini pada kami? Maksud Tante ... bukan sembarang orang yang bisa masuk ke dalam puncak restoran itu. Tamu VVIP adalah orang-orang terpilih saja.""Kalau begitu, Tante dan keluarga adalah orang-orang terpilih,
"Benar Ji, kamu keren banget. Masih muda, karier cemerlang, tampan, berkharisma. Kalau Tante seusia kamu pasti sudah klepek-klepek terpesona. Hahaha, tentu banyak wanita cantik dan sukses di luar sana yang suka sama kamu."Ucapan Tante Santi terdengar sebagai pujian hebat untuk suamiku, sekaligus terasa sebagai 'teguran' untukku supaya aku sadar diri dan insecure, bahwa ada banyak perempuan yang lebih pantas untuk suamiku. Tapi tak apa, aku cuek. Sejak awal, pandangan Tante Santi sama sekali tidak mempengaruhi pikiran dan perasaanku.Namun, hal berbeda ditunjukkan suamiku. Dalam diamnya kini, aku membaca raut kemarahan di wajahnya.Dan benar.Usai meletakkan cangkir kosong yang sebelumnya diisi teh oleh Susan, Mas Aji melontarkan kalimat yang terdengar begitu sarkas."Tante Santi, lama tidak bertemu, aku lihat Tante semakin tua. Wajah Tante mulai dipenuhi kerutan. Jadi, alangkah baiknya jika Tante lebih bijak dalam berkata ataupun bersikap."Mas Aji menutup tuturannya dengan senyum pu
Setibanya kami di rumah, Mas Aji langsung duduk dan bersandar di sofa ruang tamu. Dia memejamkan mata dengan senyum yang terukir di wajah."Capek, Mas? Aku pijitin ya," ujarku.""Tidak usah, Sayang. Kamu pasti capek juga."Aku berjalan ke belakang sofa. Tanpa mengindahkan larangan Mas Aji, aku langsung memijat kepalanya. "Enak?""Hem, kamu memang ... luar biasa." Senyum Mas Aji semakin lebar.Dari otot-otot di pelipisnya yang berdenyut kuat, aku tahu Mas Aji sedang pening. Pikirku, mungkin dia lelah memikirkan sikap ibu dan adiknya."Mau aku buatkan teh hangat, Mas?"Mas Aji menggeleng dan menarik kedua tanganku hingga kini aku terlihat seperti memeluknya dari belakang. "Jangan pergi."Dahiku mengernyit. "Apa?""Berjanjilah, apa pun yang terjadi, jangan pernah pergi dariku.""Jangan berlebihan Mas, aku hanya akan ke dapur sebentar lalu kembali lagi. Apa yang membuatmu berpikir aku bisa meninggalkanmu lebih lama?"Mas Aji mengecup pipiku lembut. "Pokoknya jangan pernah berpikir untuk p
"Tapi apa, Sayang?""Entahlah, aku merasa ... Mama dan Mawar sengaja ingin mempermalukanku. Aku meminta kesempatan untuk membeli kado, tetapi Mama tidak mengizinkan. Katanya, kado darinya akan diatasnamakan dariku juga. Memang benar, itu dilakukan Mama. Tapi setelah semua orang merendahkanku. Mama bahkan memberikan kado atas nama kamu, Mas. Mengapa tidak memberikan kado itu padaku saja sehingga aku bisa menyelamatkan harga diri dengan kado itu? Untung saja, aku telah menyiapkan kado sebelumnya.""Retno, kenapa kamu berbicara seperti itu?""Mama, asal Mama dan Mawar tahu, sebenarnya aku hanya pura-pura belum membeli kado untuk melihat apakah mereka sudah berubah sepenuhnya atau belum. Ah, sudahlah, kalau Mas Aji mendengar lebih banyak cerita versi kacamataku sebagai 'korban' bully, kamu akan makin marah nanti."Mertua dan iparku menggertakkan gigi mendengar penuturanku. Mereka mungkin mengira perkataanku akan meringankan tuduhan yang diberikan Mas Aji. Enak saja! Sejak aku melihat vid
22. Gelagat Mencurigakan Retno berjingkat mendengar alarm yang ada di meja dekat bantal tempatnya berbaring berbunyi. Kedua pupilnya membesar melihat angka yang ditunjuk oleh jarum jam."Gawat! Aku kesiangan." Dengan hati-hati dia melepaskan tangan sang suami yang selalu mendekapnya sepanjang tidur. Namun, ketika dia telah berhasil duduk di pinggir ranjang selagi menguncir rambut dengan buru-buru, tangan suaminya kembali menahannya untuk beranjak."Sayang, mau ke mana? Tidur sini di sampingku.""Tidak, Mas. Aku kesiangan. Mama bisa marah besar kalau saat bangun tidak ada hidangan di meja makan.""Gampang. Nanti pesan makanan jadi saja. Sudah, tidur lagi sini."Retno mendengkus kesal atas celoteh sang suami yang masih setengah sadar dengan mata terpejam. Dia yang gemas ingin sekali menggigit tangan suaminya biar kapok dan terbangun seketika. Namun, jelas itu tidak mungkin. Alih-alih menggigit atau mencubit, Retno justru mengelus-elus rambut Aji supaya suaminya itu terlelap nyenyak la
Sontak saja reaksi perempuan itu membuat Aji mematung. Dia tentu tidak merasa begitu tenar hingga dirinya dikenal banyak orang. Kemudian dia pun berkata dengan terbata, "M-mbak ta-tahu nama saya?"Dari matanya, terlihat si perempuan menyunggingkan senyum. Dia lantas melepas maskernya. "Ya, jelaslah. Aku 'kan mantan kamu!" "Siska?!" Aji semakin terkejut melihat wajah perempuan yang duduk di jok belakang mobilnya ternyata adalah orang yang dulu pernah mengisi ruang di hatinya."Iya, ini aku, Siska, mantan kamu." Perempuan itu terbahak. "Gila aku, malu banget. Gosipin kamu ke kamu. Ya ampun! Malu banget rasanya. Pertemuan pertama setelah lama nggak ketemu kok gini banget sih Ji!"Aji menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia sendiri tidak bisa membayangkan sebesar apa rasa malu yang menyerang mantannya itu. "Hehehe, dunia sempit ya, Sis. Kamu pulang sejak kapan?" "Banget. Aku pulang belum ada seminggu. Please kamu jangan ilfeel ya Ji. Duh, meski udah jalan ke mana-mana, mulutku ini seper