Sedetik, dua detik, tiga detik ... dan entah sudah berapa detik benda kenyal itu menempel di bibirku. Napasku terasa sesak dibuatnya.
Bara menarik dirinya dan mengusap lembut bibirku. Sedangkan aku masih belum berani membuka mata. Malu sekali rasanya. Aku yakin sekarang wajahku sudah memerah, seketika tubuhku juga terasa hangat.
"Cukup? Apa kamu melihat bukti yang lain?" tantang Bara.
Perlahan aku membuka mata. Aku melihat ekspresi Sesil yang entahlah. Matanya melotot dan mulutnya ternganga. Mungkin dia tak kalah shock-nya denganku.
Aku berusaha bersikap santai, menutupi kegugupan dan rasa tak menentu.
"Ayo, Sayang, kita ke depan." Bara kembali merangkulku. Kami meninggalkan Sesil yang masih mematung di tempatnya berdiri. Tak lama kemudian Fahri menyusul Sesil ke belakang. Seperti dua orang yang sedang bermusuhan, baik Bara maupun Fahri tak saling bertegur sapa saat berpapasan.
***
"Jadi ada apa? Kenapa kalian mengundangku ke sini?" tanya Bara setelah kami kembali ke ruang tamu, sepertinya dia enggan untuk berlama-lama di rumah mewah itu.
"Duduklah dulu, kita bisa bicara baik-baik." ucap wanita yang tadi menyongsong kami ketika baru datang.
"Aku tak punya banyak waktu!" sahut Bara.
"Setidaknya aku ingin melepas rinduku padamu. Aku ini ibumu, apa kau tidak merindukan Ibu?"
"Bukannya sudah ada Fahri yang menggantikanku untuk melepaskan rindumu." Aku masih belum mengerti, apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga ini. Mereka kaya, tapi sepertinya miskin dengan kasih sayang.
"Kalau tidak ada yang penting lagi, aku permisi!" tanpa menunggu jawaban, Bara mengajakku untuk keluar, sedangkan pelukannya di pinggangku tak pernah dia lepaskan.
"Tunggu!" Langkah kami terhenti ketika mendengar suara wanita yang menyebut dirinya sebagai Ibu itu.
"Sayang ... jaga Bara baik-baik!" Dia membelai lembut wajahku. Tetapi aku tak bisa membedakan itu sebuah ketulusan ataukah hanya sandiwara belaka. Entahlah ....
"Ayo, Sayang!" Bara kembali mengajakku untuk keluar, bahkan aku belum sempat untuk menjawab ucapan ibunya. Namun, sebelum pergi kusempatkan untuk menganggukkan kepala dan tersenyum pada wanita yang masih terlihat sangat anggun itu. Jika aku perhatikan, aku tak yakin dia punya anak yang sudah dewasa seperti Bara. Karena memang wajahnya masih terlihat sangat cantik dan awet muda.
***
Sesampainya di mobil, Bara menjambak rambutnya seperti orang yang sedang frustrasi, aku tak tahu apa yang mereka bicarakan saat aku ke kamar kecil, sehingga membuat Bara menjadi seperti itu.
Tanpa bicara sepatah kata pun Bara melajukan mobilnya, kini dengan kecepatan tinggi membuat aku ngilu, apalagi ketika mobil melewati tikungan, rasanya saat itu aku sedang naik rollercoaster.
"Ke mana aku harus mengantarmu?" tanya Bara memecah kesunyian yang terjadi semenjak keluar dari rumah ibunya.
"Kembali saja ke tempat tadi. Sepeda motorku ada di sana!"
Hening lagi ... dalam diam aku menatap Bara yang sedang berkonsentrasi melajukan mobilnya. Apa sebenarnya masalah yang sedang dia hadapi? Aku pikir para orang kaya tidak punya beban hidup, ternyata mereka tak ada ubahnya dari pada kaum menengah ke bawah, bahkan mungkin masalah mereka lebih besar. Apalagi gara-gara uang yang bisa merubah persaudaraan menjadi orang asing, seperti apa yang terjadi pada Bara dan Fahri.
Setidaknya aku masih bersyukur, memang aku kekurangan materi, namun ada Ibu dan Langit yang menjadi hartaku yang paling berharga.
Perjalanan terasa lebih singkat dari pada saat kami pergi tadi. Tak butuh waktu lama, kami sudah kembali tiba di hotel. Buru-buru aku turun.
"Tunggu!" Bara menahan tanganku yang akan membuka pintu.
"Kamu mau uang tunai atau aku transfer?" tanyanya.
"Transfer saja," sahutku.
Bara memberikan gawainya, "Catat nomor rekeningmu!"
Setelah mencatat nomor rekening, kembali kuserahkan gawainya.
"Sudah!" ucapnya.
Aku ternganga, otakku masih mencerna maksud ucapannya.
"Aku sudah mengirim seratus lima puluh juta, dan kuharap kau tak melupakan kesepakatan kita!" jelasnya.
Mataku tak berkedip, ternyata Bara mengirim lebih dari yang kuminta. Kebahagiaan menyeruak di hati, membayangkan Langit akan segera dioperasi. Saking bahagianya tak sadarnya aku memeluk Bara. "Terima kasih," ucapku berkali-kali.
"Anggap itu sebagai bonus ciuman tadi!"
Aku tersentak, seketika kesadaran menghampiriku, bergegas aku melepaskan pelukan dari tubuh bara dan menarik diri.
"Ya, Tuhan ... cerobohnya aku. Bisa-bisanya aku bersikap di luar batas," rutukku pada diri sendiri.
Aku tak berani lagi menatap Bara. Setelah mengucapkan selamat malam, aku keluar begitu saja dari mobilnya. Malu sekali rasanya. Aku yakin laki-laki itu pasti sedang menatapku dengan pandangan yang meremehkan. Wajar, karena dia pasti menilaiku seperti seorang wanita murahan yang rela melakukan apa pun untuk mendapatkan rupiah.
Mengesampingkan rasa maluku pada Bara, ada suatu kebahagiaan yang menyeruak di hati, mengingat sebentar lagi anakku--Langit akan segera dioperasi. Semoga Tuhan memberikan kesembuhan pada putra semata wayangku itu.Senyuman tak pernah henti membingkai wajahku selama perjalanan kembali menuju ke rumah sakit. Tak sabar rasanya untuk segera membagi kebahagiaan ini dengan Ibu, juga Langit.Bulan sabit di langit tampak tersenyum, seakan turut merasakan kebahagiaanku, pun dengan hamparan bintang yang berlomba mengedipkan sinarnya seperti sedang menggodaku. Seumur hidup, belum pernah aku merasakan kebahagiaan yang teramat seperti ini.Kutepikan motor sejenak ketika melewati penjual pecel lele, memesan dua porsi untuk kumakan bersama Ibu dan Langit. Selembar uang seratus ribuan yang sengaja kusisihkan akhirnya kubelanjakan juga.Langit pasti senang sekali jika aku datang dengan membawakan makanan favoritnya.
Bergegas kudorong tubuhnya. Entah dapat kekuatan dari mana, sehingga dengan sekali dorong tubuh Bara terpental dan kembali terjungkal di lantai."Aduh ...." Bara mengerang.Tika dan Miranda segera membantu Bara berdiri."Ma-maaf, saya tak sengaja," ucapku sembari menunduk, tak kuat menantang tatapannya yang tajam.Bara mengibaskan tangannya di udara, "Segera bersiap! Kalian berdua bantu dia!" perintahnya sambil memutar langkah. Tangannya mengelus-elus bokongnya yang kesakitan."Ada apa?" Miranda mendekat padaku dan berbisik."Hah? Entahlah," sahutku, karena aku bingung bagaimana menjelaskannya.Serentak Tika dan Miranda menggelengkan kepala dan tersenyum. Entahlah, entah apa yang ada dalam pikiran mereka."Ya sudah ... ayo, segera bersiap!" Tika berjalan ke lemari dan membantuku memilih baju, sedangkan Miranda mempersiapkan peralatan make-up. "Bara siapa?" Iseng kutanya pada Tika yang sedang memegang satu gaun di masing-masing tangannya."Nona belum kenal siapa dia?" Wanita berkulit
Bara keluar dari mobil, kemudian berputar dan membukakan pintu untukku, tangannya terulur bak seorang pangeran menyambut permaisurinya.Aku tak bergeming."Come on," ucapnya.Dengan ragu kusambut uluran tangannya. Bara menggenggamnya dan sedikit meremasnya."Sepertinya kamu kedinginan," ucap Bara. Dia semakin mendempetkan tubuhnya padaku saat kami berjalan masuk ke dalam kafe.Ya, aku memang kedinginan, karena darahku rasanya seakan berhenti mengalir."Rileks, jangan tegang begitu," bisiknya di ubun-ubunku.Di tengah-tengah kafe aku melihat ada sekumpulan orang, salah satu dari mereka melambaikan tangannya ke arah kami seakan memberi isyarat."Santai, jangan lupa tersenyum dan ingat jangan banyak bicara. Tetaplah berada di sampingku dan jangan pernah lepaskan genggamanku, karena apa yang kau lihat nanti bukanlah kejadian yang sebenarnya. Bisa saja mereka tersenyum di depanmu, tetapi mencibir di belakang, bisa saja mereka baik di depanmu, namun punya rencana lain di belakangmu. Paham?
"Ayo kembali ke depan!" Bara melangkah keluar dan meninggalkanku yang masih mematung di dalam toilet. Pertemuanku dengan Denis membuat perasaanku sedikit terganggu, tetapi ucapan Bara yang seakan menganggap kalau aku adalah seorang wanita sewaan lebih terasa menyakitkan, hatiku rasanya seperti di remas-remas.Mungkin karena aku yang masih mematung, Bara kembali masuk ke dalam toilet, dia menggenggam tanganku dan membimbingku keluar."Tenang, jangan sampai orang-orang menyadari kegugupanmu. Santai," ucap Bara mengingatkan.Aku menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, untuk kembali menetralkan perasaanku."Udah?" tanya Bara, yang hanya kujawab dengan anggukan. ***"Ayo, Sayang, duduk!" Bara menggeser kursiku agar lebih dekat dengannya.Di bawah meja dia kembali meraih tanganku dan menggenggamnya, sesekali dia usap-usap seperti hendak memberi ketenangan padaku. Ah, seandainya dia melakukan ini
Saat otakku masih mencerna apa yang terjadi, mobil Bara sudah melaju."Ternyata dia benar-benar ingin ke sini," batinku setelah mobil mewah tersebut berhenti di sebuah bangunan putih tiga tingkat, tempat di mana Langit dirawat."Ayo, turun!" ucap Bara sembari membuka sabuk pengamannya."Tunggu!" Aku mencekal tangan Bara ketika dia hendak meraih parsel buah dan kantong yang dia letakkan di kursi belakang.Bara menatap pada tanganku yang mencekal tangannya."Maaf, aku tidak bermaksud lancang." Bergegas kulepaskan peganganku pada tangannya."Tidak apa-apa, sepertinya kau sudah punya kemajuan, yaitu menyentuhku, it's not bad, aku suka itu.""Bukan seperti itu, tetapi aku mohon ... kalau kau mau bertemu dengan anakku, tolong jangan bicarakan kebenaran antara kita pada ibuku nanti. Aku mohon. Aku tidak ingin beliau tahu kalau ... kalau anaknya sekarang adalah seorang wanita bayaran." Aku tertunduk, entah kenapa saat mengingat hal itu hatiku merasa tersentil, meskipun sejauh ini perlakuan Ba
Bara membiarkanku terisak, entah sudah berapa banyak air mataku yang keluar."Laras ... berhentilah! Kau mengotori bajuku!" Aku tersentak. Ya Tuhan ... bisa-bisanya aku nyaman dalam pelukan laki-laki menyebalkan ini.Bergegas aku menarik diri, pandangan mataku langsung tertuju pada bagian dada Bara yang sudah basah karena air mataku, juga ada sedikit lendir di sana, setelah aku perhatikan, sepertinya itu ingus. Cepat-cepat aku mengambil sapu tangan dalam tasku dan membersihkan ingus yang menempel di dada Bara. Sebelum dia menyadarinya.Aku pindah duduk ke samping Ibu, Bara menyusulku kemudian dan ikut menghempaskan tubuhnya di sebelahku.Ibu tampak gelisah, dia tampak memejamkan mata dan berkali-kali mengusap wajahnya."Bu?" Kuraih jemari Ibu dan menggenggamnya, berusaha memberikan ketenangan padanya, padahal sebenarnya jiwaku juga diimpit ketegangan."Langit pasti kuat, Langit anak yang kuat," ucapku.Ibu menatapku, menganggukkan kepalanya dan memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Ya,
Kusandarkan kepalaku ke dinding sembari memejamkan mata, dalam hati tak henti berdoa untuk keselamatan Langit.Aku merasakan sentuhan tangan Bara di tengkukku dan membawa kepalaku agar bersandar di bahunya. "Begini akan membuatmu lebih nyaman," ucapnya. Pandangan kami bertemu saat aku mendongakkan kepala.Aku berusaha untuk bangkit. Namun, Bara menahannya.Ya, Bara memang benar, sepertinya disaat-saat seperti ini aku memang membutuhkan bahu untukku bersandar dan membagi beban, tetapi sayang ... ah, sudahlah, aku tak mau menyalahkan takdir. Takdirlah yang mengharuskanku seperti ini, dan takdir jugalah yang menjadikanku wanita yang kuat. Buktinya sampai sekarang aku masih bisa berdiri tegap, meski tanpa tempat untuk berbagi.Lelah ... tak munafik, jiwaku berangsur lelah, kembali aku merasa nyaman bersandar pada pundak laki-laki yang baru kukenal itu. Kupejamkan mataku, menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran di dada yang semakin bertalu hebat membayangkan akan ada saya
"Beberapa hari yang lalu aku sudah menemanimu, sekarang giliran kamu yang menemaniku di sini." Bara beringsut dan merebahkan kepalanya di pahaku.Aku sedikit kaget karena perlakuannya, sedangkan laki-laki berhidung mancung itu dengan santainya memejamkan mata."Bara.""Diamlah, aku hanya ingin istirahat sebentar." Bara menimpali ucapanku yang mau memprotesnya.Aku menghela napas panjang, aku pikir Bara butuh jasaku untuk menemaninya menemui seseorang, ternyata malah hanya untuk dijadikan bantal.Dalam pangkuanku Bara terlihat sangat damai, sepertinya dia sudah tertidur pulas. Kupatut-patut laki-laki yang baru kukenal dalam hitungan hari itu. Fisiknya nyaris sempurna, jika aku bandingkan dia tak kalah ganteng dengan para aktor di televisi, selain itu dia juga sangat mapan, seharusnya dia bisa mendapatkan wanita mana saja untuk dijadikan pasangannya. Malah memilih untuk menyewaku? Aneh ....Sementara menunggu sang tuan tidur, untuk menghilangkan rasa suntuk kuputar musik di gawaiku dan