"Danu siapa?""Danu Kang cilok." Dewi mengernyitkan kening ketika mendengar teman dekatnya menjawab."Halah, masa kamu lupa sih? Danu mantan kamu waktu sekolah.""Astaga, ngomong dong. Iya ya, kalau inget waktu SMA aku masih unyu-unyu nan cantik," ucap Dewi sambil matanya mengerling."Halah, kepedean. Sekarang dia jadi pimpinan kita. Istrinya meninggal setahun yang lalu kena kanker ganas.""Kok kamu tahu? Kepo ya? Atau malah diem-diem kamu cari tahu?" Dewi menebak diiringi senyuman yang sulit diartikan."Apaan sih, ya nggak mungkin lah, Wi! Buat apa coba? Suamiku itu lebih ganteng dari Danu."Dewi hanya mengangguk sembari bibirnya maju dua centi."Kek nya kalian jodoh deh, Wi. Kamu janda dia duda. Dah pas banget," ucap Juleha dengan mendekatkan jari manis sebelah kanan dan juga sebelah kiri."Ngomong apa kamu, Juleha?"Dewi dan juga Juleha melanjutkan pekerjaan dan juga obrolannya yang semakin tidak jelas. Membicarakan banyak hal membuat mereka lupa akan waktu dan pekerjaan tak terasa
"Nis, kamu ambil minum sana! Mama haus, ambilkan juga buat Tante Dian." Tangan Halimah menepuk paha Anis sedikit kasar. Agar sang anak paham posisinya saat ini."Apa sih, Ma? Ambil aja sendiri!" Anis menolak. Pandangannya masih fokus pada benda pipih di tangan. "Sudah, buru!" Tangan Halimah menyambar ponsel milik Anis lalu matanya melotot agar Anis segera bangkit dari duduknya."Iya, iya! Bawel," ucap Anis dengan sedikit jengkel."Ih, bocah satu itu. Susah dibilangin!" "Kamu mau makan, Sayang? Aku ambilkan," tanya Veri pada Dian. Namun pandangan Dian tak beralih dari ponsel yang sedari tadi menjadi perhatiannya."Nggak usah! Aku mau pergi sebentar, nanti pulang sebelum acara pengajian dimulai. Oh, ya jangan lupa kamu cek berapa panen kita hari ini dan juga kamu bersihin kandang sapi. Besok ada yang mau beli sapi. Jadi kandang harus bersih!""Tapi, Sayang. Aku kan lagi ngurus acara ini, nanti siapa yang ngurus?""Kan ada Mama? Kalau ada bahan atau barang yang kurang biar Mama yang ny
Sudah seminggu Bayu tinggal bersama Dewi dan juga Ibunya. Kebutuhan keluarga semakin bertambah. Dewi harus mengeluarkan uang lebih banyak lagi untuk mengisi perut maupun kebutuhan yang lain. "Mas, kamu serius mau kerja jadi tukang bangunan?" tanya Ika dengan serius."Iya, memangnya kenapa?""Panas lah, Mas. Nanti kamu hitam, kotor lagi," ucap Ika dengan bibir mencebik. Dia hanya gengsi, melihat sang suami bekerja kasar. Padahal selama ini mereka terkenal sukses di kota. Apa kata tetangga, jika sekarang melihat Bayu menjadi tukang bangunan."Untuk sementara saja, nanti kalau sudah punya modal kita bisa jualan lagi. Kamu yang sabar, ya."Ika menatap langit-langit rumah. Lalu pandangannya beralih pada lelaki yang tengah duduk disebelahnya."Mas.""Apa?" tanya Bayu. Matanya menatap sang istri dengan seksama."Kita cari pinjaman saja, Mas. Gimana?""Pinjaman? Ika, kita sudah tidak memiliki apa-apa. Jadi kita tidak punya jaminan, tidak bisa!""Bisa, Mas.""Maksud kamu? Pinjaman online? Pok
Sudah menjadi kebiasaan Halimah, membersihkan rumah Dian setiap hari. Ya, tepatnya rumah sang menantu. Bukannya diperlakukan selayaknya mertua, tapi Dian memperlakukan Halimah selayaknya asisten rumah tangga. Meskipun terselip rasa kecewa pada Dian, Halimah tidak bisa berbuat apa-apa. Nasi sudah menjadi bubur. Kini tak ada yang bisa ia lakukan. Semua itu dilakukan karena Dian sudah membayar semua hutang-hutang Halimah. Dan juga membiayai sekolah Anis.Semua yang ada di dunia ini tidak gratis, ujar Dian waktu itu. Membuat Halimah harus membayar semuanya dengan tenaga yang ia punya. Masa tuanya tak ia nikmati sebagaimana mestinya."Bapak kan sudah pernah bilang, jangan terburu-buru dengan keputusanmu untuk menikahi Dian. Sekarang lihat, Mama mu harus melakukan banyak pekerjaan untuk mengganti uang yang kita gunakan," ujar Andi. Matanya memperhatikan Veri yang hanya bisa menunduk."Capek aku, Ver. Mesti nyuci baju lah, masak lah. Belum lagi kalau ada yang kerja, Mama mesti masak dengan
Dewi masih sibuk memoles bedak pada wajahnya. Sedangkan Arum sudah bangun, ia sedang sibuk bermain boneka di atas ranjang."Arum sayang, Ibu kerja ya. Cari uang buat Arum, nanti kalau Ibu pulang Arum pengen dibawain apa?"Gadis kecil itu hanya nyengir, lalu memukul-mukul boneka yang berada disamping dan juga berada di depannya.Tak berapa lama pintu kamar terbuka, Dewi menoleh, mencari tahu siapa yang datang."Maaf, Wi.""Nggak papa masuk saja, Bu!" pinta Dewi pada wanita tua itu."Wi, kamu pacaran sama Joko?" Entah mengapa tidak ada angin tidak ada hujan Fatimah langsung bertanya. Memastikan kebenaran berita itu pada putrinya."Ibu, dapat informasi itu dari mana? Bulek Riris?"Fatimah terlihat menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. "Ibu tahu sendiri gimana Bulek, mana mungkin Dewi dekat dengan lelaki sampai Ibu tidak tahu! Ibu, untuk saat ini Dewi pengen fokus sama Arum dan juga Ibu. Jadi Ibu nggak perlu mikirin yang lain." Dewi menghampiri Fatimah, memeluknya bersamaan
"Dewi? Ini Dewi kan?" Seketika Dewi dan juga Juleha terdiam. Mata mereka saling menatap lalu memperhatikan lelaki yang tengah menghampiri."I-iya saya Dewi, Bapak …." Dewi tak melanjutkan ucapannya. Takut jika dugaannya salah."Aku Danu. Masak lupa sama man- mantan," ucap Danu dengan senyuman menggoda.Dewi hanya menggaruk tengkuk leher yang tidak gatal. Sembari tersenyum menutupi malu. "Cie, disamperin mantan." Juleha menggoda. "Apa kabar?" tanya Danu pada Dewi. "Alhamdulilah, baik. Kabar kamu sendiri gimana?""Alhamdulilah, kabar baik. Kamu kerja disini juga?"" Iya, dilihat dari penampilannya sepertinya kamu orang kantor ya?" Dewi memperhatikan dengan seksama pria yang ada di hadapannya saat ini. Pria ini begitu berbeda, lebih bersih, tampan dan juga mempesona. Uluh … uluh … bisa CLBK kalau begini."Iya, aku bagian administrasi. Boleh minta nomer nggak?""Boleh saja, apa sih yang enggak buat mantan terindah. Hi hi, mana ponsel kamu, Wi?" Juleha menepuk tangan Dewi lalu meminta
Setelah pertengkaran tempo hari. Ika tak kunjung pulang ke rumah. Entah kemana dia pergi? "Yu, kamu nggak nyari istrimu? Rumah tangga itu pasti ada pasang surutnya, wajar. Tapi apa kamu mau menyerah begitu saja?" tanya Fatimah yang tengah duduk di kursi yang ada di dapur."Nathan, kamu belajar ya di kamar. Papa mau bicara dulu sama Nenek!""Iya, Pa," jawab Nathan.Setelah Nathan pergi ke kamar. Bayu kembali melanjutkan pembicaraannya dengan Fatimah, dia tidak ingin jika Nathan mendengar masalah antara papa dan juga mamanya."Bayu, sudah nggak bisa mikir lagi, Bu! Bayu sudah berusaha merubah Ika, namun sayang, Ika terlalu keras kepala!""Tapi, Mas. Apa kamu nggak kasihan sama Ibu? Kalau Mas Bayu bercerai, apa kata tetangga mengenai keluarga kita? Aku sudah gagal berumah tangga, jangan sampai Mas Bayu juga demikian," sahut Dewi. Ia menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi dekat dengan Fatimah. Tangannya sibuk mengaduk teh yang baru saja ia seduh."Maafkan, Bayu. Bu, Bayu …." Bayu menghentik
"Anis, hamil." Halimah menunduk begitu pula Veri. Ada rasa malu dan juga bersalah pastinya. Keluarga yang mereka bangga-banggakan dulu ternyata berujung kepahitan."Insyaallah, kami akan datang," jawab Fatimah dengan senyum mengembang.Tak ada tanggapan yang berarti mengenai kehamilan Anis. Bukan suatu hal yan perlu mereka urusi. "Wi, kamu belum menikah?" tanya Veri setelah cukup lama terdiam. Dewi hanya menggeleng. "Jika aku bercerai dengan Dian, maukah kau kembali kepadaku lagi?""Astagfirullahaladzim, jadi Mas Veri kesini mau minta saja balik lagi sama kamu?! Jangan harap, Mas. Aku nggak akan pernah kembali, biarkan masa lalu menjadi masa lalu. Tapi tak ada niat sedikitpun untuk mengulang.""Tapi, Wi.""Mas, kalau niatmu kesini minta aku kembali lagi, mending kamu pulang saja!" Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam. Tak berapa lama ada sebuah mobil Pajero berwarna putih berhenti di pekarangan rumah. Semua orang yang ada di ruangan itu sontak menoleh ke luar."Siapa itu, Ba