Share

Bab 4

"Tunggu Ibu kalau begitu, Nduk. Ayo, Lek kamu juga harus ikut!"

"Iya, Yu."

Akhirnya mereka berjalan menuju rumah Bu Dian. Lek Tarno dan juga Ibu terlihat gelisah. Sedangkan Dewi berjalan santai tanpa tahu sebenarnya apa yang akan mereka perlihatkan padanya.

"Bukan siapa-siapa, Bu. Dia cuma tetangga yang rumahnya bercat kuning itu. Sebentar lagi kita juga sampai." Langkah mereka memang tidak terlalu cepat seperti Pak RT maupun warga lain. Dewi sengaja berjalan lambat karena memang sedikit capek setelah perjalanan pulang dari rumah Ibu.

Beruntung besok masih libur. Jadi kesempatan untuk bangun agak siang.

.

"Masih muda ya, Nduk?"

"Ya nggak lah, Bu. Bu Dian itu sudah cukup umur. Ya kira-kira umurnya empat puluhan lebih. Empat puluh tigaan lah. Sudah tua, dia kan sudah punya cucu. Sudah dipanggil nenek."

"Nenek? Kalau sama Ibu?"

"Ya beda lah, Bu. Ibu kan pakaiannya tertutup, badan ibu juga kecil. Kalau Bu Dian itu masih seksi, dia suka pake daster kalau di rumah. Pokoknya Bu Dian itu meskipun sudah tua tapi masih semlehoy. Hahaha." Tawa renyah Dewi terdengar renyah. Karena memang seperti itu Bu Dian. Meskipun usia tak lagi muda tapi bentuk badan juga wajahnya masih kelihatan muda. Dewi pun kalau melihat Bu Dian sebagai wanita, Iri dengan penampilannya.

Buk ….

Langkah wanita itu terhenti ketika melihat warga sudah berkerumun di halaman rumah Bu Dian. Terdengar suara para warga menghajar seseorang.

"Astagfirullahaladzim, apa itu Wi?"

Dewi menajamkan pendengaran agar bisa mendengar apa yang mereka katakan.

"Dewi Ndak tau, Bu." Dewi berjalan semakin cepat. Membelah kerumunan warga yang menghajar seseorang dengan membabi buta. Dewi juga penasaran siapa yang sedang mereka hajar habis-habisan. Di lihat cara mereka menendang maupun memukul tanpa ampun.

"Astagfirullahaladzim, ya Allah." Dewi berteriak sekencang-kencangnya setelah melihat sosok lelaki yang berlumur darah adalah lelaki yang sedari tadi Dewi cari.

"Hentikan! Saya mohon hentikan! Kalian ini benar-benar tidak punya adab. Menghajar suamiku hingga berlumuran darah seperti ini? Hati kalian terbuat dari apa? Apa salah suami saya? Huhuhu," Dewi berteriak sembari menangis meraung-raung. Menangkupkan kedua tangan pada pipi Veri. Pipi lelaki yang dua tahun ini membersamainya. Darah pun sudah berpindah pada tangan Dewi. Tak ia pedulikan. Yang ada hanya bisa menangis histeris.

"o amuk warga tapi bapak malah diam saja?!" Ibu kandung Dewi juga ikut marah. Dia tak pernah menyangka jika seorang RT justru membiarkan salah satu warganya dikeroyok.

"Kalian tidak punya hati! Saya bisa tuntut kalian karena sudah membuat suamiku terluka seperti ini! Dan kalian kenapa harus menelanjangi suamiku terlebih dahulu sebelum menghajarnya?!" Tangan Dewi menunjuk-nunjuk orang-orang satu persatu. Amarahnya benar-benar sudah di ubun-ubun. Melihat separuh jiwa, wajahnya bersimbah darah.

"Ya Allah, Mas. Kenapa kamu diam saja? Kenapa kamu tidak melawan jika tidak bersalah?" Dewi masih menangis tanpa malu di depan para warga.

Semua orang hanya diam dengan wajah meremehkan. Dewi benar-benar kecewa dengan para warga di desa ini. Apalagi dengan Pak RT yang menyaksikan dan dia hanya diam saja. Melihat suami wanita itu dihajar habis-habisan oleh warganya.

"Eh, Mbak Dewi. Suamimu itu bej*t. Kelakuannya seperti bina*ng." teriak salah satu warga.

"Astagfirullahaladzim, salah Mas Veri apa pada kalian?! Hingga kalian berkata kasar seperti itu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status