Share

Bab 5

"Jawab Mas! Jangan diam saja seperti ini. Lawan mereka yang merendahkanmu!" ucap Dewi dengan berteriak lantang. Lagi-lagi Veri hanya diam saja. Dia menunduk. Lalu terdengar kata keluar dari mulutnya pelan.

"Maafkan aku, Wi." 

"Mas Veri nggak salah! Yang salah warga ini semua! Mereka nggak beradab!" ucap Dewi masih dengan pembelaan pada Veri.

"Dasar perempuan edyan, nggak waras. Selingkuh sama bocah ingusan. Eh, apa kamu nggak mikir Veri itu punya anak kecil. Bisa-bisanya kamu Embat dia! Astagfirullahaladzim!" ucap salah satu warga membuat netra Dewi beralih padanya.

Apa maksudnya? Apa maksud ucapannya baru saja? Apakah Veri selingkuh dibelakang Dewi?

Mata.Dewi membulat sempurna. Pendengarannya sengaja ia pertajam agar terdengar jelas semua ucapan para warga.

"Dewi … Dewi. Kamu itu beg* atau bod*h. Bisa-bisanya dikadali sama suamimu sendiri. Suamimu itu batu saja digerebek warga, sedang ninu-ninu sama Dian. Dan kamu masih membela dia?"

"Mbak Dewi suami model buaya buntung kok dibela. Dia itu sudah mengkhianati Mbak Dewi. Kenapa masih dibela?" Para tetangga akhirnya sahut menyahut. Ucapan mereka benar-benar membuat Dewi terbelalak dengan kenyataan yang sebenarnya.

"Astagfirullahaladzim, Veri apa benar yang diucapkan Bapak-bapak itu?" tanya Ibu sembari menarik sarung yang dipakai Veri asal-asalan. Akhirnya Dewi memperhatikan Veri dengan seksama. Memperhatikan dari ujung kaki hingga ujung kepala. Rambutnya acak-acakan sedangkan wajahnya keluar darah dari mana saja. 

Semakin membuat Dewi marah ketika melihat bagian bawah Veri terlihat tanpa celana atau apapun itu. Jika saja tidak ada sarung yang menutupinya mungkin miliknya yang menjijikan itu terlihat jelas.

Astagfirullahaladzim, berarti Dewi sedari tadi menangis meraung-raung membela lelaki bej*t yang sedang bermain api dibelakangnya? Bukan main. 

Benar-benar manusia menjijikan.

Setelah itu netra Dewi beralih pada wanita yang tengah berdiri tak jauh dari kami yang tengah bersimpuh di lantai. Rambutnya juga terlihat acak-acakan hanya sehelai kain jarik yang menutupi tubuh polosnya.

Terlihat dia menutupi pepaya miliknya yang bergelayut tak beraturan dengan tangan didepan. Menambah kemurkaan Dewi menjadi lebih berapi-api.

"Allahu Akbar," ucap Dewi lantang. Lalu wanita itu menghampiri wanita yang bernama Dian itu setengah berlari. Ditarik rambutnya ke kanan dan ke kiri. Terlihat dia hanya pasrah saja tak mau berbalik menyerang. Entah mengapa Dewi menjadi begitu kuat ketika amarah memuncak. 

"Astagfirullahaladzim, eling Nduk … eling 

… Ya Allah!" (Eling=inget) 

Ibu segera menarik lengan Dewi menjauhi wanita laknat itu bersama dengan Ibu-ibu yang lain. Ibu-ibu yang ternyata sudah berkumpul di halaman rumah Dian. 

"Sabar Dewi, jangan seperti ini." ucap salah satu warga. Sedangkan Dewi masih menjambak rambut Dian tanpa ampun. Semakin lama Dewi menjauhi Dian. Wanita itu terlihat menangis tergugu.

"Biada* kamu! B*jin*an kamu, mat* saja kau wanita murah**!" Wanita itu aku maki dengan kata-kata kotor. Amarah Dewi benar-benar sudah di ubun-ubun. Dewi yang awalnya membela mati-matian Veri kini justru berbalik menyerang Dian.

Nafasnya terengah-engah. Kini air mata yang tadi menetes tiba-tiba saja sudah mengering berubah menjadi amarah tak terkendali. Kini giliran Veri, lelaki yang tak berdaya setelah dikeroyok itu kini mendapat tamparan keras dari Dewi.

Plak ….

Tangan Dewi mendarat tepat di pipi Veri sebelah kanan. Tamparan tangan sekuat tenaga olehnya meninggalkan bekas merah di pipi penuh luka.

"Kurang aj*r, lelaki biad*b!" Segera Dewi dijauhkan dari Veri oleh entah siapapun itu. Yang pasti jika ia bisa, ia sudah membun*h lelaki yang dua tahun ini membersamai.

Dewi semakin tak terkendali. Ketika mengetahui kebenaran bahwa lelaki yang sedari tadi dia bela mati-matian ternyata tidak lebih dari seorang yang menjijikan di matanya sekarang ini.

Andai saja tak ada Ibu dan juga para warga. Mungkin dia sudah membu*uh lelaki dan perempuan itu menjadi satu liang lahat. 

Mana mungkin ada istri yang bisa mengendalikan amarahnya. Mengendalikan kekecewaannya ketika mengetahui suami yang amat dicintai berani bermain api di belakangnya. Terlebih Dewi selama ini tidak pernah berpikir seburuk itu pada lelaki yang dianggapnya baik.

Karena selama dua tahun mereka mengarungi bahtera rumah tangga tak ada yang salah di mata Dewi. Veri selalu bisa memanjakan Dewi dengan baik. Selalu perhatian dengan wanita berambut sebahu itu. Veri adalah lelaki yang perhatian dengannya dan juga putri semata wayang mereka. Selalu menjadi suami yang siaga dan juga peduli pada keluarga.

Tapi ternyata semua perlakuannya hanya menutupi kebusukan perilakunya. Dewi saat ini benar-benar kecewa dan juga marah. Andai saja Dewi melihat penggerebekan itu terjadi. Menyaksikan dua manusia yang berselimut nafsu bina*ng. Entah apa yang akan dilakukannya?

Astaga, entah dimana akal pikiran mereka hingga jam masih menunjukan angka sembilan tepat sudah berbuat maksiat. Apakah mereka sudah tidak bisa mengendalikan nafsu? Ya Tuhan, akan mendapatkan ganjaran seperti apa manusia seperti ini?

"Kita arak mereka keliling komplek! Biar tau rasa!" Beberapa warga juga ikut marah dengan tingkah kedua insan tak bermoral itu. Berharap mereka mendapatkan hukuman yang setimpal. Apalagi bisa membuat mereka malu. 

"Tenang, saya harap warga bisa mengendalikan emosi!" tutur Pak RT dengan tenang meskipun dia tahu bahwa warga yang sedang dihadapinya tak ada satupun yang tenang. Kedua tangannya diangkat keatas. Memberikan pertanda bahwa semua warga harus bisa mengendalikan amarahnya. 

Pak RT adalah satu-satunya manusia yang harus berusaha tenang. Agar Veri dan juga Dian tidak mat* ditangan mereka.

"Tenang bagaimana tho Pak RT? Lha wong manusia model begini kok dibela! Seharusnya mereka ini di cambuk sampai mat* sekalian, menjijikan!" 

"Sabar … sabar Bapak-bapak. Kita akan adakan sidang. Sekarang biarkan mereka ini berpakaian lengkap dulu. Mereka ini juga manusia seperti kita."

Beberapa warga masih terdengar kasak-kusuk dibelakang. Salah satu warga mengambilkan pakaian mereka lalu melemparnya. 

Veri dengan cepat menyambar pakaiannya yang berserakan di tanah. Entah apakah dia masih mempunyai rasa malu atau tidak? 

"Ganti disini aja, gak usah ditutup-tutupi memangnya masih punya malu?!" Salah satu warga berteriak. 

Dian berniat pergi ke dalam rumah namun tak sempat dia melangkah salah satu warga sudah mendorongnya. Tidak membiarkannya pergi dari tempatnya berdiri. Sedangkan Veri dengan cepat memakai semua pakaiannya.

Dian pun akhirnya memakai pakaian yang ditanggalkannya dihadapan banyak mata. Wanita itu benar-benar dibuat malu.

"Wanita sudah tua, sudah memiliki cucu masih bersikap tak bermoral. Benar-benar tak punya malu!" Terdengar bisikan demi bisikan dari para warga yang ternyata sudah berkumpul semua. Entah kapan mereka datang yang pasti semua warga komplek itu sudah berkumpul menjadi satu di halaman rumah Dian.

Dewi, wanita yang tadi menangis meraung-raung kini terlihat menjadi garang. Kedua tangannya diapit Ibu Fatimah, Ibu kandungnya yang tadi menemani. Dan juga salah satu tetangga, terlihat jelas sang Ibu menangis, kecewa mengetahui akan kebej*tan menantunya

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status