Share

Bab 6

"Sekarang sebaiknya bubar! Kita pulang ke rumah masing-masing! Kita akan sidang besok saja. Tidak mungkin kita sidang sekarang."

"Huuu," sahut para warga. Semua tidak terima dengan keputusan Pak RT. Terlalu bertele-tele. 

"Sekarang saja Pak RT. Kalau besok keburu melahirkan! Hahaha." Semua warga tertawa bersamaan. 

"Sudah-sudah sebaiknya Bapak dan juga Ibu pulang ke rumah masing-masing. Karena takutnya anak-anak kita mendengarkan keributan ini. Tidak baik untuk mereka ke depannya. Saya harap kalian bisa mengerti!" pinta Pak RT kepada warga. 

Akhirnya dengan terpaksa semua warga membubarkan diri. Begitu juga dengan Dewi. Dia pergi begitu saja bersama Fatimah dan juga Lek Tarno yang entah kapan sudah berada di belakang mereka. 

Meninggalkan Veri sendiri tanpa ada yang membantunya berjalan. Veri berjalan sendiri dengan tergopoh-gopoh menuju rumah. Menunduk tak berani mengangkat wajahnya sedikitpun. 

Sedangkan Dewi terlihat tidak memperdulikan lelaki yang masih sah menjadi suaminya itu. Wanita itu berjalan tanpa menoleh kebelakang sedikitpun.

Selama perjalanan terdengar banyak cemooh dan juga hujatan yang didengar Dewi. Yang pasti ditujukan pada lelaki yang berjalan tepat di belakangnya. Namun tak pernah dihiraukan oleh wanita itu. Langkahnya kian cepat ketika rumah bercat ungu muda itu terlihat.

Brak ….

Dewi membuka pintu rumah dengan kasar. 

"Astagfirullahaladzim, Dewi. Kamu bisa pelan tidak?" ucap Ibu Halimah, Ibu mertua Dewi.

Tak dihiraukan oleh wanita itu. Dia melangkah cepat menuju kamar lalu kembali menutup pintu dengan kasar.

Gubrak ….

"Dewi, kamu benar-benar kurang ajar. Tidak sopan bersikap seperti itu! Ini bukan rumahmu ya!" Wanita tua itu terus saja berteriak dari ruang tamu.

"Sabar, Nduk. Istighfar, kamu ngagetin Arum ini lho!" Segera Fatimah mengangkat bayi berumur satu tahun itu. Bayi yang diberi nama Arumi Bilqis Irawan. 

Menggendongnya lalu mencoba menenangkan bayi tersebut. Karena terbangun dan menangis ketika mendengar pintu kamar ditutup Dewi dengan kasar.

Dewi duduk di sisi ranjang. Fatimah hanya bisa menatap putrinya dengan seksama. Dia tahu betul bagaimana hati Dewi saat ini. Sehingga dia tidak terlalu banyak bicara. Membiarkan Dewi menenangkan hatinya terlebih dahulu.

Berkali-kali terlihat Dewi menghirup napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Mungkin dia mencoba menenangkan hatinya. 

Di sisi lain, Veri yang datang setelah Dewi masuk ke dalam kamar. Hanya bisa menunduk menghadapi kedua orangtuanya yang tengah duduk di sofa ruang tamu.

Tak ada pembicaraan yang berarti. Semua diam, seolah-olah semua sudah tahu dan tidak ada yang berani memulai pembicaraan.

"Wi." Fatimah memanggil Dewi setelah dirinya tak mendengar pembicaraan di luar. Seharusnya Veri sudah di hajar oleh kedua orang tuannya. Tapi kenapa semua hanya diam? Membuat Fatimah bingung dibuatnya. Sebenarnya apa yang ada dipikiran mereka?

"Dewi akan keluar, Bu. Tolong jaga Arum!" Dewi berbicara tanpa menoleh sedikitpun pada Fatimah yang tengah menggendong anaknya.

"Iya, Nduk. Kamu harus kuat," jawab Fatimah sembari berjalan maju mundur.

Ceklek ….

Dewi membuka pintu kamar lalu keluar menghampiri kedua mertuanya dan juga adik iparnya. Dewi duduk sedikit menjauh dari Veri.

"Kamu itu mbok yang sopan tho, Wi. Banting-banting pintu seenaknya sendiri. Kalau rusak memangnya kamu mau ganti?" ucap wanita yang tengah duduk dihadapan Dewi. Entah mengapa wanita tua itu seperti tidak tahu bagaimana suasana hati Dewi saat ini atau malah berpura-pura tidak tahu.

"Pak, putramu ini lho. Kelakuannya menjijikan, tak bermoral!" ucap Dewi dengan mata berapi-api.

"Astaga, Dewi. Kamu ini bicara apa? Veri itu suamimu, bisa-bisanya bicara kasar padanya!"

"Bu, apa Ibu tidak tahu? Kalau Mas Veri baru saja di grebek sama warga? Sedang berbuat mesum dengan Dian, wanita jal*ng itu!" Veri mengangkat wajahnya lalu menatap Dewi dengan seksama. Seolah dia tidak terima dengan sebutan jal*ng untuk wanita yang tadi telanjang bersamanya.

Semua orang hanya diam tanpa menjawab satu patah kata pun. Membuat Dewi semakin geram.

"Apakah kalian semua sudah tahu? Apakah tadi Pak RT datang kemari Bapak sudah tahu maksud tujuannya? Jawab saya, Pak!" Dewi menatap lelaki tua yang diharapkannya memberi respon bijak. 

Lelaki tua itu berdiri menghampiri Veri. Kemudian menarik kerah lalu memberi pukulan beberapa kali pada wajah anak lelakinya itu. 

"Astagfirullahaladzim, Bapak. Sadar, Pak. Ini anakmu lho! Bantu Ibu, Nis. Jauhkan Bapak dari Masmu!" Anis yang ketakutan melihat tindakan Bapak memberanikan diri menjauhkan lelaki tua itu dari Veri. 

"Anak kurang aj*r! Kamu berani-beraninya mencoreng nama baik Bapak dengan perilaku biad*b mu itu!" Lelaki tua yang bernama Andi Irawan itu memaki anak sulungnya. Anak sulung yang dianggap bisa menjaga nama baik keluarga dan juga bisa membawa nama baik keluarga lebih baik lagi. 

Malah justru menjadi anak yang melempar kotoran di wajah orang tuanya sendiri. Ya Tuhan, bagaimana mereka bisa memiliki anak seperti itu?

"Bapak ini kok bisa-bisanya langsung percaya sama Dewi. Semua ini gak bener tho, Le?" tanya Halimah pada Veri. Veri hanya menunduk, lagi-lagi lelaki itu hanya diam saja. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya sedari tadi. Hanya ada dua kata yang keluar sejak tadi. Yaitu kata minta maaf pada sang istri. Hingga sekarang belum ada kata lagi yang keluar dari mulutnya.

"Woalah, Le. Berarti omongannya Pak RT tadi benar? Kamu digerebek sama warga di rumah Dian?" tanya Halimah dengan suara keras.

"Berarti Ibu sama Bapak sudah diberi tahu oleh Pak RT? Kalian semua sudah tahu keberadaan Mas Veri? Kamu juga, Nis?" Dewi tak pernah menyangka. Dia adalah satu-satunya orang yang tidak tahu menahu hal ini.

Anis yang masih duduk di bangku SMA itu terlihat takut akan berbicara. Dia memutuskan hanya diam saja.

"Maafkan Bapak, Wi. Bapak tidak bisa mendidik Veri dengan benar." Andi kembali menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa bersama Anis. Sedangkan Halimah membantu Veri beranjak dari lantai ruang tamu. Lalu membantunya duduk di sisi lain.

"Sakit Ndak, Le?" tanya Halimah sembari melihat luka yang ada pada wajah putranya. Entah mengapa wanita itu masih bisa memperhatikan Veri padahal jelas-jelas Veri sudah bertindak diluar nalar.

"Ibu kan sudah bilang tho, Wi. Kamu itu sebaiknya Gak usah kerja. Di rumah saja mengurus suami mengurus anak, kalau sudah begini baru tau rasa. Suamimu cari kehangatan dengan wanita lain diluar sana!" Mata Dewi membulat sempurna mendengar ucapan sang Ibu mertua. Tidak ada kata minta maaf maupun rasa malu pada kelakuan putranya. Justru dia berbalik menyalahkan menantu yang dengan ikhlas membantu suami mencari nafkah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status