Share

Lima

Gusti Allah, dunia seolah berhenti berputar, aku benar-benar shock melihat apa yang terjadi di depan mata ...

"Gusti Allah ...," lirihku menyebut nama Tuhanku.

Kulihat mas Aryo sarapan berdua dengan Ratih, sesekali mereka berbincang lalu tertawa pelan bersama-sama.

Kedua manusia itu menengok ke belakang ketika mendengar aku berdehem.

"Eh, Dek. Sudah selesai baca Alqurannya? Yuk, sini! Ini Mbak Ratih sudah bikin sarapan dan sarapannya itu enak banget." Ucapannya itu secara tidak langsung sudah menjadi pujian untuk Ratih. Mendengar itu sudah membuat perempuan yang menggunakan daster panjang itu tersenyum malu.

"Sini, Mbak. Sarapan bareng," ajaknya. Gusti Allah bahkan dia menawari untuk sarapan bareng? "Woi! Aku yang punya rumah!" Tentu saja itu hanya diucapkan dalam hati.

Tanpa menjawab, kuteruskan langkahku ke tempat kompor.

Mengambil persediaan mie instan lalu mulai memasaknya. Tak lagi terdengar mereka bersuara. Hingga akhirnya aku sudah tak bisa menahan lagi.

"Mbak Ratih, kamu krasan tinggal di sini?" tanyaku, setelah tiba-tiba menemukan sebuah ide.

"Huk! Ap-apa, Mbak?" tanyanya gugup, bahkan dia sampai terbatuk.

"Kamu krasan tinggal di sini?" ucapku mengulangi lagi pertanyaan yang tadi.

"Betah, Mbak," jawabnya setelah sepersekian menit dia berfikir. 

"Ok, kalau begitu ngekos aja di sini. Murah kok, sebulan lima ratus ribu. Nanti di depan kamarnya kamu, biar dibuatkan gerobak untuk tempat kompor, dapur kecil lah ... gimana?" Wanita itu gelagapan mendengar pertanyaan dariku, sontak dia memandang mas Aryo, seolah meminta pembelaan.

"Kamu itu ngomong apa sih, Dek? Jangan suka yang aneh-aneh. Selama Agus dan Mbak Ratih belum dapat kos atau kontrakan yang tepat, biarkan mereka tinggal di sini." Sudah dua kali ucapan mas Aryo membuat kepala Ratih menjadi besar.

"Oh, oke. Kalau gitu ...." Aku menggantungkan kalimat, karena akan mengangkat mie instan yang sudah matang. Setelah menaruh mie kepiring lekas aku mengaduknya dengan bumbu, hemmm aroma mie goreng  sungguh menggugah selera. Sementara kedua orang tadi masih diam, demi menunggu lanjutan ucapanku.

"Ok, kalau gitu, kita yang akan cari kos," sambungku.

"Apa?!" Keduanya berseru karena kaget mendengar ucapanku.

"Gak usah kaget gitu dong, Mas. Kita masih mampu kok bayar kost-an. Lagian aku juga gak rewel-rewel amat jadi orang. Jadi hari ini kita sama-sama libur kerja. Setelah sarapan kita cari tempat kost. Ayo! Lekas dihabiskan." Setelah berkata cukup panjang kali lebar, aky pun kembali menyendok mie yang sudah tak panas lagi.

****

"Dek, kita gak usah cari kost, rumah ini cukup besar kalau cuma kita tempati bertiga," ucap mas Aryo ketika sudah berada di dalam kamar.

"Sepertinya kamu senang banget, Mas. Bisa berdekatan dengannya perempuan itu," balasku.

"Bukan begitu, Dek. Kalau dia ngekost untuk saat jelas mereka gak bisa. Mau bayar pakai apa? Keduanya gak kerja gitu? Kasihan mereka, Dek," pungkas suamiku.

Ah, memang benar apa yang diucapkan mas Aryo. Namun yang membuat aku kesal itu sikap perempuan yang sepantaran denganku itu. Sikapnya yang terlalu akrab pada lelaki lain, membuatku merasa kalau dia itu seperti ulat bulu, gatel dan bikin sebel.

"Kenapa harus kita si, Mas? Keluarganya pada kemana?" bantahku yang semakin tak mengerti dengan pola pikir mas Aryo.

Hening, tak ada balasan lagi dari suamiku, saat kutengok ternyata dia sedang tersenyum sambil menatap ponselnya.

"Dek ... Aku berangkat dulu, ya. Nanti kamu kalau mau berangkat hati-hati ya, jangan suka marah-marah, gak baik untuk kesehatan." Mas Aryo berkata sambil menyimpan ponsel di saku celananya, lelakiku itu berjalan ke arahku yang sedang duduk di sisi ranjang. Meraih tanganku menciumnya kemudian menciumi seluruh wajahku. Dia memang seperti itu, kalau aku sedang ngambek dia yang akan mencium tanganku.

"Udah, ya. Aku berangkat dulu. Daa, istriku tercinta, muach! Assalamualaikum ...."

"Wa'alaikumussalam," jawabku sambil menunjuknya dengan dua jari, jari telunjuk dan jari tengah. Setelah mengarahkan kedua jari tadi ke mataku.

Suamiku itu bekerja sebagai sopir kantor, Alhamdulillah apapun pekerjaannya, aku sangat mencintainya. Walau beberapa hari terakhir sikapnya sangat menyebalkan. Aku sendiri bekerja di sebuah percetakan fotokopi. 

****

Setelah merapikan penampilanku di depan cermin, lekas aku keluar kamar, tak lupa mengunci pintunya, hal yang jarang kulakukan sebelumnya. 

Karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Gegas mengeluarkan sepeda mini dengan merk Phoenix, alat transportasi kesayanganku. Walau di rumah ada sepeda motor metic merk terbaru yang dibeli dari hasil kerjaku sendiri. Aku lebih suka naik sepeda onthel ini.

Sekilas menengok ke ruang belakang, sepi, tak ada aktivitas di sana. Aku hanya menghendikkan bahu, lalu kembali meneruskan langkahku keluar rumah. 

"Yang sabar ya, Nak Mila," ucap Bu Asih ketika berpapasan denganku di depan rumah.

Ada apa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status