Gusti Allah, dunia seolah berhenti berputar, aku benar-benar shock melihat apa yang terjadi di depan mata ...
"Gusti Allah ...," lirihku menyebut nama Tuhanku.
Kulihat mas Aryo sarapan berdua dengan Ratih, sesekali mereka berbincang lalu tertawa pelan bersama-sama.
Kedua manusia itu menengok ke belakang ketika mendengar aku berdehem.
"Eh, Dek. Sudah selesai baca Alqurannya? Yuk, sini! Ini Mbak Ratih sudah bikin sarapan dan sarapannya itu enak banget." Ucapannya itu secara tidak langsung sudah menjadi pujian untuk Ratih. Mendengar itu sudah membuat perempuan yang menggunakan daster panjang itu tersenyum malu.
"Sini, Mbak. Sarapan bareng," ajaknya. Gusti Allah bahkan dia menawari untuk sarapan bareng? "Woi! Aku yang punya rumah!" Tentu saja itu hanya diucapkan dalam hati.
Tanpa menjawab, kuteruskan langkahku ke tempat kompor.
Mengambil persediaan mie instan lalu mulai memasaknya. Tak lagi terdengar mereka bersuara. Hingga akhirnya aku sudah tak bisa menahan lagi."Mbak Ratih, kamu krasan tinggal di sini?" tanyaku, setelah tiba-tiba menemukan sebuah ide.
"Huk! Ap-apa, Mbak?" tanyanya gugup, bahkan dia sampai terbatuk.
"Kamu krasan tinggal di sini?" ucapku mengulangi lagi pertanyaan yang tadi.
"Betah, Mbak," jawabnya setelah sepersekian menit dia berfikir.
"Ok, kalau begitu ngekos aja di sini. Murah kok, sebulan lima ratus ribu. Nanti di depan kamarnya kamu, biar dibuatkan gerobak untuk tempat kompor, dapur kecil lah ... gimana?" Wanita itu gelagapan mendengar pertanyaan dariku, sontak dia memandang mas Aryo, seolah meminta pembelaan.
"Kamu itu ngomong apa sih, Dek? Jangan suka yang aneh-aneh. Selama Agus dan Mbak Ratih belum dapat kos atau kontrakan yang tepat, biarkan mereka tinggal di sini." Sudah dua kali ucapan mas Aryo membuat kepala Ratih menjadi besar.
"Oh, oke. Kalau gitu ...." Aku menggantungkan kalimat, karena akan mengangkat mie instan yang sudah matang. Setelah menaruh mie kepiring lekas aku mengaduknya dengan bumbu, hemmm aroma mie goreng sungguh menggugah selera. Sementara kedua orang tadi masih diam, demi menunggu lanjutan ucapanku.
"Ok, kalau gitu, kita yang akan cari kos," sambungku.
"Apa?!" Keduanya berseru karena kaget mendengar ucapanku.
"Gak usah kaget gitu dong, Mas. Kita masih mampu kok bayar kost-an. Lagian aku juga gak rewel-rewel amat jadi orang. Jadi hari ini kita sama-sama libur kerja. Setelah sarapan kita cari tempat kost. Ayo! Lekas dihabiskan." Setelah berkata cukup panjang kali lebar, aky pun kembali menyendok mie yang sudah tak panas lagi.
****
"Dek, kita gak usah cari kost, rumah ini cukup besar kalau cuma kita tempati bertiga," ucap mas Aryo ketika sudah berada di dalam kamar.
"Sepertinya kamu senang banget, Mas. Bisa berdekatan dengannya perempuan itu," balasku.
"Bukan begitu, Dek. Kalau dia ngekost untuk saat jelas mereka gak bisa. Mau bayar pakai apa? Keduanya gak kerja gitu? Kasihan mereka, Dek," pungkas suamiku.
Ah, memang benar apa yang diucapkan mas Aryo. Namun yang membuat aku kesal itu sikap perempuan yang sepantaran denganku itu. Sikapnya yang terlalu akrab pada lelaki lain, membuatku merasa kalau dia itu seperti ulat bulu, gatel dan bikin sebel.
"Kenapa harus kita si, Mas? Keluarganya pada kemana?" bantahku yang semakin tak mengerti dengan pola pikir mas Aryo.
Hening, tak ada balasan lagi dari suamiku, saat kutengok ternyata dia sedang tersenyum sambil menatap ponselnya.
"Dek ... Aku berangkat dulu, ya. Nanti kamu kalau mau berangkat hati-hati ya, jangan suka marah-marah, gak baik untuk kesehatan." Mas Aryo berkata sambil menyimpan ponsel di saku celananya, lelakiku itu berjalan ke arahku yang sedang duduk di sisi ranjang. Meraih tanganku menciumnya kemudian menciumi seluruh wajahku. Dia memang seperti itu, kalau aku sedang ngambek dia yang akan mencium tanganku.
"Udah, ya. Aku berangkat dulu. Daa, istriku tercinta, muach! Assalamualaikum ...."
"Wa'alaikumussalam," jawabku sambil menunjuknya dengan dua jari, jari telunjuk dan jari tengah. Setelah mengarahkan kedua jari tadi ke mataku.
Suamiku itu bekerja sebagai sopir kantor, Alhamdulillah apapun pekerjaannya, aku sangat mencintainya. Walau beberapa hari terakhir sikapnya sangat menyebalkan. Aku sendiri bekerja di sebuah percetakan fotokopi.
****
Setelah merapikan penampilanku di depan cermin, lekas aku keluar kamar, tak lupa mengunci pintunya, hal yang jarang kulakukan sebelumnya.
Karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Gegas mengeluarkan sepeda mini dengan merk Phoenix, alat transportasi kesayanganku. Walau di rumah ada sepeda motor metic merk terbaru yang dibeli dari hasil kerjaku sendiri. Aku lebih suka naik sepeda onthel ini.
Sekilas menengok ke ruang belakang, sepi, tak ada aktivitas di sana. Aku hanya menghendikkan bahu, lalu kembali meneruskan langkahku keluar rumah.
"Yang sabar ya, Nak Mila," ucap Bu Asih ketika berpapasan denganku di depan rumah.
Ada apa?
Untuk kalian yang ada diluar sana, jadilah manusia yang bijak. Jangan melukai orang lain, jika kamu tak ingin terluka.Terima kasih untuk semua yang sudah membaca cerita ini, semoga bisa diambil hikmahnya. Aamiin Aamiin Aamiin ...***Malam ini aku kembali merenung, memilih berdiri di ambang jendela yang terbuka. Dari sini aku bisa melihat terangnya cahaya bulan purnama. Pikiran ini benar-benar tak tenang semenjak kunjungan mas Aryo ke sini."Lagi mikirin apa?" tanya Mas Bayu yang tiba-tiba sudah memeluk tubuh ini dari belakang. Lelaki itu berbicara tepat di telingaku, seketika membuat bulu romaku berdiri."Aku kepikiran sama dia, Mas. Bagaimana kalau lelaki itu berniat mengambil Lintang dariku?" Aku mengutarakan isi hatiku pada mas Bayu."Kamu gak usah khawatir, Sayang. Percayalah aku akan selalu melindungi kalian berdua." Mas Bayu menjeda kalimatnya, untuk mengecup pipiku sekilas."Bagaimanapun juga Aryo itu ayah kandungnya. Jadi ... Aku mengizinkannya untuk menengok Lintang sebulan
"Maaf, Nak Mila. Sepertinya ada yang harus diluruskan di sini," ucap seseorang dengan suara berat.Aku dan mas Nano sama-sama menoleh ke asal suara. Ada seorang bapak-bapak dengan kopiah khas berwarna putih."Maaf, Bapak ini siapa?" tanya mas Nano."Saya orang yang dimintai tolong oleh nak Aryo. Perkenalkan nama saya Husain," sahutnya sambil mengulurkan tangannya pada mas Nano."Saya Nano, kakaknya Mila. Mari silahkan masuk dulu. Ayo, Mila. Cuma sebentar saja," bujuknya, saat aku menolak ikut masuk ke rumah.****"Sebelumnya, cerai (talak) dalam Islam terbagi dua macam, ya Nak," ucap Pak Husain mengawali obrolan, setelah kami sudah duduk di ruang tamu. Semua menyimak termasuk Aryo dan Ratih."Yang pertama talak Sunni, yaitu talak yang dilakukan sesuai prosedur syariat. Yang kedua talak Bid’i, yaitu talak yang tidak sesuai prosedur syariat." Pak Husain berhenti sejenak, Pria dengan janggut tipisnya itu mengambil napas panjang sebelum kembali menjelaskan."Begini, Nak Aryo. Mentalak ist
Bunyi pintu dibuka kasar membuat kami semua menengok ke asal suara. Di sana sudah ada Mas Aryo yang sedang berdiri di tengah pintu."Mila!" Lelaki itu berseru. Rahangnya mengeras karena sedang menahan amarah.Semua yang berada di sini terdiam untuk sesaat kerena melihat kedatangan mas Aryo yang tiba-tiba. Tak lama kemudian datang istri sirinya, kini mereka sudah berdiri berdampingan. Seperti biasa Ratih akan menggandeng lengan mas Aryo. Seakan ingin menegaskan kalau dia yang berhak atas diri lelaki itu."Mila, apa yang sudah kamu lakukan pada Ratih?!" tanyanya geram, tatapan matanya tepat menghujam manik mataku, seolah diri ini sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal."Apa? Emang apa yang kulakukan padanya?" Jujur aku masih kurang faham dengan maksud pertanyaannya."Kamu boleh tak menyukainya, tapi jangan bersikap seperti preman. Mila, aku ini tetap suamimu, jadi gak usah cemburu sama Ratih! Mengertilah ... aku akan berusaha bersikap adil pada kalian," sahutnya dengan percaya diri
"Kamu ... mau kan, bertahan? Kita coba dulu menyadarkan Aryo," lanjutnya.Demi Allah aku sampai tersedak mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ibuku.Setelah batuk akibat tersedak tadi reda, kini aku tengah memandang ibu yang sedang tersenyum."Ibu ... Boleh gak orang hamil dicerai?""Ibu juga kurang faham, Mil. Tunggu ibu punya seorang teman yang mengerti tentang masalah seperti ini, mungkin dia bisa memberikan masukan dan memberi jalan keluar," jawab ibu. Wanita yang masih gesit di usianya yang tak muda lagi itu bangkit."Mau kemana, Bu?""Ambil ponsel. Tunggu ibu akan segera kembali. Jangan keluar kamar dulu, oke?" pesannya sebelum meninggalkan kamarku.Aku hanya tersenyum dan menyatukan jari jempol dan jari telunjuk hingga membentuk huruf O.Kembali aku merenung, apa keputusanku ini sudah tepat?"Ya Allah tolong hamba, tunjukkanlah jalan yang terbaik untukku." Selalu kupanjatkan doa di setiap tarikan napas ini.Banyak yang bilang dengan kita rela dan ikhlas dimadu, balasannya
Setelah aku sampai di sana, akan kupastikan kalau aku tak akan keluar dari sana. Itu rumah suamiku, jadi akan menjadi milikku juga istri satu-satunya mas Aryo."Tunggu kedatanganku, Mila," gumamku. Aku benar-benar gak sabar menunggu nanti malam.***Kedatangan kami disambut oleh Mila. Aku sendiri sedikit terkesan dengan penampilannya, dia nampak berbeda. Wajahnya kelihatan semakin berseri, begitu juga dengan bentuk badannya yang kelihatan sedikit berisi tapi nampak se*si. Seperti ada aura yang sangat baik di dirinya.Tak kusangka mas Aryo langsung menghambur memeluknya. Tentu saja itu membuatku cemburu dan jengkel. Sepertinya jalanku akan lebih mudah, karena Mila sudah melakukan penolakan pada mas Aryo dengan mendorong tubuh suamiku itu, dengan segera aku menggandeng tangannya.Mas Aryo memaksaku untuk mengatakan yang sebenarnya pada Mila, kalau yang mengirim pesan bukanlah dia, tapi aku. Saat seorang laki-laki yang dipanggil mas Nano itu pamit masuk ke dapur untuk menemui ibunya."Ce
Pov Ratih Aku sungguh terkejut bercampur kesal mendengar kabar kalau mas Agus mengalami kecelakaan dan sudah dibawa ke rumah sakit. "Kenapa bisa kecelakaan sih? Kalau sudah begini siapa yang susah? Apa-apa gak bisa hati-hati. Apa tadi kata Pak Polisi? Parah? Oalah Agus! Agus! Belum juga membuat hidupku bahagia kamu wes kena musibah, Gus ... Agus. Apes!" omelku sepanjang aku berkemas beberapa barang yang akan kubawa ke rumah sakit. "Bang, anterin ke rumah sakit," pintaku pada tukang ojek yang standby di pos kamling. "Siapa yang sakit, Mbak?" tanyanya kepo. "Mas Agus kecelakaan," sahutku sambil menerima helm darinya. "Innalilahi, di mana kecelakaannya, Mbak?" Pak ojek malah ngajak ngobrol. "Kurang tahu, Pak. Udah ah! Ayok cepetan!" sungutku. "Iya, iya. Ayo, Mbak. Duh, kasihan si Agus. Mudah-mudahan selamat tidak terjadi apa-apa," Pak ojek berdoa sambil menjalankan motornya. "Terima kasih, Bang. Ini, aku cuma punya duit segitu, Bang. Terima aja ya." Aku tak ped