Share

Enam

"Yang sabar ya, Nak Mila," ucap Bu Asih ketika berpapasan denganku di depan rumah.

"Ada apa?" Sungguh aku tak mengerti mengapa tetanggaku itu berkata begitu. Sebenarnya hati ini ingin sekali bertanya lebih banyak. Namun, karena waktu yang sudah mepet, aku harus menahannya dulu.

Alhamdulillah, walau pikiran ini melayang saat naik sepeda tadi, gara-gara masih kepikiran kata-kata Bu Asih, "Yang sabar ya, Nak Mila" memang ada apa? Ih! Gemes deh!

****

Hari ini terasa sangat panjang dan lama, apalagi gak begitu banyak pelanggan yang datang, semakin membuat hariku kurang bergairah.

Aku hanya melirik sekilas ketika kurasakan sesuatu yang dingin menempel di tanganku.

"Napa sih? Lesu banget hari ini?" tanya Ari temanku, wanita yang masih senang melajang itu memberikan sebungkus es tebu padaku.

"Ar--" Aku mengurungkan niat untuk bercerita padanya. Rasanya malu jika harus mengumbar masalah rumah tangga kita.

"Kenapa sih?" Ari semakin penasaran, jiwa keponya meronta-ronta.

"Gak jadi ah," pungkasku.

"Ya elah, Mil. Kayak sama siapa aja? Padahal ini yang kunanti selama ini. Rumah tanggamu kan selama ini adem-ayem aja, kayak pengantin baru terus, jarang bertengkar, eh tiba-tiba kok kamu kelihatan sumpek banget, pasti ada sesuatu ini. Ayo cerita aja, aku siap kok menjadi pendengar yang baik," ocehnya panjang dan lama kayak coki-coki #eh.

"Gak ada," sahutku lalu kembali meletakkan kepala di atas meja.

"Mila! Yaelah. Beneran gak mau es tebunya?" Aku menggeleng.

"Mau soda gembira, biar kembali ceria." Aku tersenyum setelah mengucapkannya. Kira-kira dia mau gak ya membelikan untukku?

Hening tak ada jawaban hanya detik jam yang terdengar bak irama pengiring hati yang merana.

****

"Ni, nanti gelasnya kamu yang balikin." Mataku berbinar melihat sesuatu di dalam gelas dengan ukuran jumbo itu. 

Seolah mendapat kekuatan, gegas aku meraih gelas lalu mengangkat kemudian mendekatkan ke mulutku. Alhamdulillah ... MasyaAllah seger banget. 

****

"Mil, kalau pulang jangan lupa gelasnya ya!" seru Ari yang lebih dulu pulang karena sudah dijemput adiknya.

Aku hanya mengacungkan jempol, tanda kalau pasti beres. Setelah merapikan semua peralatan dan menutup pintu serta menguncinya. 

"Ini, Bu. Gelasnya terima kasih ya ...." Tak lupa kupersembahkan senyum terbaik untuk Ibu War pemilik warung es. 

Sepertinya ada yang aneh, wanita tambun itu masih saja memandangku dengan tatapan yang menghujam langsung ke manik mataku.

"Bayar dulu, Neng. Terima kasih belum jadi alat transaksi," ucapnya mak jleb ke hatiku.

Aku sempat membuka lebar mata serta mulutku mendengarnya. Tanpa menunggu lebih lama, segera mengeluarkan lembaran berwarna ungu dari saku rok yang kupakai.

"Ini, Bu. Maaf ya, kukira tadi sudah dibayar sama temanku. Maaf ya ... em masih ada kembaliannya tidak?" tanyaku hati-hati.

"Eh, ini pas Neng. Tadi temannya ambil gorengan," balasnya tanpa melihat ke arahku. Tangannya sibuk meracik beberapa macam es dalam gelas. 

"Oh ya, sudah. Mari, Bu. Permisi ...." Sepertinya dia tak dengar kata pamitku, buktinya dia gak menyahut.

"Iya, Neng. Makasih ya." Aku tak menyangka dia membalas walau agak terlambat.

****

Kukayuh sepeda mini ini dengan perasaan yang lebih ringan dari pada pas waktu berangkat tadi. Sampai di warung Mbak Na, aku berhenti untuk membeli kebutuhan untuk besok. Kebetulan di sana ada beberapa ibu-ibu yang lagi belanja juga.

"Baru pulang, Mil?" tanya Mbak Sari. Ketika aku melewatinya.

"Iya, Mbak," balasku sambil tersenyum.

"Mil, siapa sih wanita yang ada di rumahmu itu?" Sekarang giliran Mbak Rahma yang bertanya.

Aku memandangnya sekilas lalu kembali sibuk memilih beberapa sayuran.

"Oh, itu istrinya temannya mas Aryo, Mbak. Namanya Ratih, beberapa bulan yang lalu suaminya mengalami kecelakaan," jawabku.

"Oh ... hati-hati ya, Mil. Pokoknya kamu jangan sampai lengah, jaga baik-baik suamimu," pesannya. Aku sempat menyunggingkan senyum mendengarnya.

"Eh, dikasih tahu malah senyam-senyum," sewotnya.

"Iya-iya, Mbak. Terima kasih sudah diingatkan. Mereka gak lama kok. Kalau sudah menemukan kost atau kontrakan yang cocok mereka akan segera pergi. Terima kasih ya ...," ucapku sungguh-sungguh.

"Iyaaaa," balasnya sambil mengangguk.

"Sudah, Mbak. Berapa punyaku?" Mendengar pertanyaanku, Mbak Na segera mengambil kolkulator untuk menjumlah belanjaaku. Setelah selesai aku pun pamit pada mereka semua yang ada di warung.

****

Dari kejauhan bisa kulihat ada seorang sedang duduk di teras rumah, seorang wanita paruh baya.

"Ibuk?" Spontan aku bertanya sendiri. Gegas kukayuh sepeda lebih cepat.

"Ibu ...." Segera aku menghampiri wanita yang sudah melahirkan lelakiku itu. Wanita paruh baya yang masih kelihatan cantik itu berdiri menyambut diriku, segera meraih tangannya kemudian menciuminya dengan takzim. Setelah itu baru kami berpelukan.

"Sudah lama? Kok gak kasih kabar dulu, kan aku bisa jemput di terminal, Bu." 

"Kan mau beri kejutan, Mil. Eh malah ibu yang terkejut," sahutnya.

"Maks--"

"Silakan diminum, Bu." Tiba-tiba Ratih sudah membawa nampan berisi dua gelas, satu air dan satu teh hangat.

"Oh, iya, Bu. Ini Ratih, istrinya teman mas Aryo. Untuk sementara mereka akan tinggal di sini." Aku menjelaskan pada ibu, tentang keberadaan Ratih.

"Oh iya, Mil. Ini ibu ada oleh-oleh untuk kamu." Wanita itu tak menggubris, beliau malah menyerahkan buah tangan padaku.

"Alhamdulillah ... terima kasih, Bu. Sudah repot-repot bawain Mila oleh-oleh," ucapku.

"Iya, dong. Kamu kan mantu kesayangan ibu," sahutnya. Ada yang aneh dari sikap ibu, mertuaku itu sama sekali tak menganggap jika ada Ratih di sini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status