Esoknya, aku menyerahkan semua berkas yang diperlukan untuk dibawa ke pengadilan. Kata suami Nisa, paling lambat satu mingguan setelah berkas di setorkan. Aku menurut saja, apalagi semalam temannya yang seorang pengacara itu menelepon.Katanya, aku bahkan tidak perlu mengeluarkan sepeser pun. Kalau ada yang harus dibayar, dia akan membayarnya. Sungguh orang-orang yang baik. Memang hanya orang baik yang pantas berteman dengan orang-orang yang baik pula."Suamiku saja yang pulang, aku masih mau di sini menemani kamu," lirih Nisa ketika melihatku menatap ke arahnya."Ah, maaf, tidak apa-apa kalau kalian masih mau di sini. Kebetulan temanku yang bernama Rania juga akan datang, nanti sekalian aku perkenalkan," ucapku cepat. Ternyata dia sedang penasaran.Kini hanya tinggal aku dan Nisa saja, Naya dan anak-anaknya Nisa ikut sana mertuanya Nisa ke sawah yang lumayan jauh dari sini. Aku tidak mengkhawatirkan Naya, dia sudah berusia lima tahun, karena anak-anak Nisa yang umurnya di bawah saja
"Dek, kamu mau makan apa? Biar Mas masakin!"Aku tidak sadar bagaimana sidang pertama itu berkahir, yang jelas sekarang Mas Nizam malah ada di rumahku yang di Bogor. Padahal, sudah jelas-jelas aku berusaha keras agar dia tidak tahu.Pikiranku waktu mama mertua angkat bicara langsung kosong. Itu adalah tempat umum, tetapi dia berani mengatakan tentang aibku yang bahkan aku sendiri tidak tahu hal ini ada padaku atau tidak.Aku hanya ingat Mas Nizam keberatan dengan perpisahan ini dan mengatakannya kepada Pak Hakim, selebihnya aku tidak ingat betul apa yang terjadi."Sayang, kamu kenapa bengong terus dari tadi?" Mas Nizam menyimpan segelas jus di atas meja, tepat di depanku, tetapi aku masih tidak mau menggubrisnya.Aku bahkan menitipkan Naya pada Nisa agar dia tidak melihat perang dingin antara orang tuanya. Aku tidak mau mentalnya rusak di usia yang masih sangat kecil. Jadi, aku tetap akan berusaha mengembalikan kehidupan membahagiakannya.Alih-alih mengindahkan pertanyaan Mas Nizam, a
Aku berusaha mencerna perkataan Rania satu persatu. Lalu, tiba-tiba aku teringat dengan perkataannya yang tadi. Siapa pengusaha ternama yang tadi membantuku? Tidak mungkin kalau Bos perusahaan saingan tempat Mas Nizam bekerja bukan?Kembali aku berusaha mengingat apa pernah berhubungan dengannya?Aku sungguh merasa heran, bukannya tadi kita sedang berada di ruang sidang, kenapa pria asing tiba-tiba bisa masuk?"Cukup, Rania. Tidakkah kamu tahu kata-kata yang baru saja keluar dari mulutmu itu terlampau kejam?" Mas Nizam bangkit dan melihat ke arah Rania dengan tatapan memelas."Kejam? Kalau mau dibandingkan siapa yang lebih kejam, tentu saja kau, Nizam!" bentak Rania. Kali ini emosinya sungguh tidak bisa dielakkan. Wanita ramah dan lembut ini memang bisa menjadi ganas serta menakutkan kalau sedang marah. Dia juga orang yang tegas dan juga pandai berdebat. Aku selalu mendengar dia berkata, "Enggak debat, enggak seru."Ternyata apa yang dia katakan sebagian benar. Sekarang aku bahkan ba
PoV Nizam"Jangan ikut campur, ini adalah masalah keluarga saya," bentakku geram ketika orang-orang ini selalu saja ikut campur dalam masalahku dan Selena. Padahal, mereka juga tidak tahu masalah yang sebenarnya."Bukan lagi, Selena sudah cerai dari anda sah secara agama sejak anda menikah diam-diam dengan wanita ini," tuding pria ceking itu sambil menunjuk ke arah Siska.Aku begitu marah mendengar dia berkata demikian tentang istriku dan aku sangat tidak menerimanya. Jadi, aku berniat untuk menghajarnya, namun baru saja mendekat, seseorang sudah mencekal tanganku lebih dulu."Apa yang Anda lakukan? Cepat lepaskan!" pintaku geram karena dia terus-terusan memegang tanganku."Akan saya lepaskan kalau Anda tidak lagi melakukan kekerasan," kecamnya dengan berani.Memangnya dia siapa sampai selalu ikut campur ke dalam masalahku? Dasar orang-orang tidak tahu diri. Harusnya dia bersyukur aku tidak menarik dia dan melaporkannya kepada pihak berwajib karena dia sudah terang-terangan merebut is
Tanpa bertanya lebih lanjut, aku segera mendekat ke arah Siska, dan menyentuh perutnya. Secepat mungkin dia menghindar, tetapi aku tidak kehilangan cara. Segera aku menarik tubuhnya ke dalam pelukanku dan menyentuh perutnya."Ini asli, Mas. Apalagi yang perlu kamu tanyakan?" jerit Siska membuatku melepaskannya."Semuanya masih belum berkahir, aku mau menunggu anak itu lahir dan kita tes DNA. Kalau anak itu bukan anakku, aku mau kembali kepada Selena," putusku pada akhirnya."Tidak bisa!" Mama dan Siska melarang bersama-sama."Nizam dengar, kamu dan Selena sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi, sudah seharusnya kamu sekarang hanya fokus kepada Siska dan Mama. Jangan ingat lagi wanita yang hanya tahu bersantai," cecar mama membuatku tidak suka."Ma, bersantai apanya? Dia di rumah mengurus anak kita dan menjaga rumah. Dia sudah melakukan banyak hal," jelasku dengan harapan mereka akan paham."Tidak! Dia itu hanya wanita matre yang hanya memanfaatkan hasil kerja kerasmu," sentak m
PoV Nizam"Kamu harus menikah dengan Siska, Zam. Baru Mama akan bisa bahagia, baik di dunia ataupun kalau Mama sudah enggak ada," pinta mama waktu di rumah sakit dan saat itu keadaannya benar-benar sangat memperihatinkan.Aku sendiri tidak tahu kenapa hubungan mama dengan Selena memburuk, lalu mama malah menyukai Siska. Yang jelas, saat itu perasaanku hancur dan tidak ada yang tersisa.Beberapa kali aku menolak dan mengalihkan permintaan mana ke hal-hal positif yang lainnya. Akan tetapi, semuanya sama sekali tidak membuahkan hasil. Mama tetap memintaku untuk menikah dengan Siska meski keadaannya waktu itu kritis.Selena bahkan tidak tahu mama pernah dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu yang lama. Akan tetapi, aku juga tidak berani memberitahunya, takut dia akan pergi ke rumah sakit, lalu mama mengusirnya.Sejak aku dekat dengan Siska dan mengerjakan pekerjaan kantor bersama. Rasaku padanya juga mulai tumbuh, tetapi tetap saja tidak bisa menyamakan dengan besarnya cintaku untuk is
PoV Nizam"Makanlah, Mas!"Selena kembali keluar dari dalam rumah setelah tiga puluh menit berlalu. Dadaku masih terasa sesak. Apa aku sungguh tidak punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya?Aku menatap wajahnya nanar."Kenapa lihat-lihat? Dulu, kamu saja tidak pernah menoleh ke arahku, Mas. Sarapan tidak dimakan, pesan dan telepon tidak dijawab. Bahkan malah minta jangan diganggu," gerutu Selena sambil kembali ke dalam rumah.Apa yang dikatakan benar. Selama ini aku telah menyia-nyiakan ketulusan dan kebaikan hatinya. Ah, apakah cinta kita benar-benar telah usai? Apa tidak ada sedikit saja rasa yang tertinggal di hatinya untukku?"Tidak ada, Mas. Rasaku padamu telah lama mati." Selena tiba-tiba muncul dari balik pintu dan menjawab pertanyaan yang ada dalam hati. "Lebih tepatnya sejak kamu mulai berbohong."Aku mengelus dada. Apa dia punya kemampuan baru? Kenapa bisa mendengar apa yang hati dan pikiranku katakan?"Apa tidak ada kesempatan kedua? Bukankah seharusnya tersedia sampai k
PoV NizamSetelah dari rumah Selena, aku langsung pergi ke perusahaan. Baru saja masuk ke ruang kerja, kedua tanganku kembali mengepal kuat.Aku harus mencari tahu apa yang dikatakan Chandra benar atau tidak. Jangan sampai aku bertindak gegabah sebelum mengetahui kebenarannya. Terlebih lagi Siska pasti mencurigai gerak-gerikku kalau tiba-tiba menjaga jarak dengan Pak Rizal.Jangankan Siska, semua karyawan yang ada di sini tahu kalau aku dekat dengan Pak Rizal, direktur utama di sini. Kita sama-sama anak pertama dan berasal dari kampus yang sama. Bedanya dia lebih beruntung karena berasal dari keluarga konglomerat.Jadi setelah lulus, dia langsung mengambil S-2 sambil ikut belajar tentang perusahaan ini. Sementara aku bisa masuk ke sini juga atas rekomendasinya. Kalau saja aku juga lahir di keluarga yang kaya, hal ini tidak akan pernah terjadi padaku."Ke mana saja kamu, Mas?"Baru saja membuka pintu, aku langsung mendapatkan tatapan tajam dari Siska. Sepertinya dia sudah menungguku la