âTidak ada Mbak, sudah habis untuk beli kebutuhan dapur,â jawabku jujur.âHalah, bohong aja mana sini dompetmu!â Mbak Lili merebut paksa dompetku yang aku letakkan di dekat belanjaan. Uangku sisa Rp. 50.000 dan itu diambil semua oleh Mbak Lili.Mas Danu terlihat sangat marah dan geram atas perbuatan Mbaknya, tapi karena kakinya sakit dia tidak bisa berbuat banyak.âDemi apa pun aku tidak ikhlas uangku kamu ambil, Mbak,â kataku terisak.âHalah, lebai hanya uang segini saja enggak ikhlas! Apa kamu lupa selama ini menumpang hidup di mana?â jawabnya tanpa rasa bersalah sama sekali.âKembalikan uang Ita, Mbak, atau aku tidak akan pernah lagi mau menganggap Mbak sebagai saudariku," teriak Mas Danu.âHa-ha ... kamu itu lucu Danu. Orang miskin seperti kalian itu enggak anggap aku saudara pun tidak masalah. Masih banyak saudaraku yang lebih bermanfaat dan menguntungkan enggak seperti kalian! Ah, sudahlah aku sibuk.â Mbak Lili pulang dengan penuh kemenangan.âItu uang belanjaku Mas, rencananya
âMas Eko ....â tegurku. Ajaib wanita hamil bersama Mas Eko ini langsung pasang badan dan menatapku dari atas sampai bawah.âEh ... emâanu kenalin, Ta, ini Desi," ucap Mas Eko memperkenalkan wanita yang bersamanya. Aku senyum saja, jujur meski Mbak Lili sangat jahat padaku, tapi aku tidak membenarkan tindakan Mas Eko yang menikah lagi tanpa sepengetahuan kami semua.âDesi ... kenalin ini Ita, Adik iparku,â kata Mas Eko lagi. Wanita bernama Desi itu tersenyum padaku dan menyalamiku.âKamu jangan salah paham ya, Ta. Desi ini teman lamaku kami kebetulan bertemu ....â Astaghfirullah aku sudah suâuzhon pada Mas Eko ternyata mereka hanya teman lama.âEh, iya, Mas ....ââMantan pacar, lebih tepatnya aku mantan pacar Mas Eko, dan kami sengaja bertemu sedang proses menuju halal,â sahut Desi. Mereka berdua saling lempar pandangan Mas Eko seperti tidak suka dengan kejujuran Desi dan yang lebih mengagetkanku lagi ternyata Desi ini cukup berani.âOh ... iya, Mbak Desi. Permisi ... aku mau belanja.â
âKenapa? Bener, kan?ââIya, Mbak,ââMaka dari itu jangan lagi kamu suruh-suruh aku dagang beginian.â Mbak Lili pergi membawa kembali daun singkong yang sudah dengan susah payah dipetiknya.Jam 02.30 WIB aku sudah bangun untuk membuat adonan donat. Sambil menunggu adonan mengembang aku salat tahajud dua rakaat. Kupandangi wajah kekasihku banyak guratan kesedihan di sana, wajahnya yang tampan kini semakin terlihat lebih tua dari umurnya. Kakinya yang terluka agak bengkok sedikit mangkinkah nantinya akan bisa berjalan normal lagi. Jika tidak sungguh kasihan suamiku akan cacat seumur hidup.Wahai Zat pemilik jiwa ragaku tak banyak pintaku, cukupkan rezeki kami, lapangkan sabar kami, dan jadikan kami orang-orang yang pandai bersyukur dalam keadaan apa pun.Jam 6 pagi aku mulai berkeliling kampung menjajakan donat perdanaku. Aku berharap donatnya habis karena hari ini Mas Danu harus ke sangkal putung lagi. Saat melewati rumah Mbak Desi lagi-lagi aku melihat Mas Eko baru ke luar dari rumahn
âEnak aja enggak bisa gitu dong, Li! Ini rumah bagianku sebagai anak tertua, kamu anak bungsu bagiannya tanah di gunung itu sekaligus mengurus Ibu!â Aku yang sedang menimba air di belakang rumah Ibu kaget mendengar teriakan Mbak Asih.âItu namanya enggak adil, Mbak. Selama ini aku sudah mengurus Ibu apa mata kamu buta? Dan tentang warisan ini tentunya bagi rata. Kalau Mbak enggak setuju bagi rata kita pakai pengadilan aja!â teriak Mbak Lili tidak mau kalah.Aku mengelus dada mereka hanya dua bersaudara, tapi masih saja ribut soal warisan dari dulu pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah ibu.Hening tidak terdengar teriakan dari mereka berdua mungkin ibu sedang menasihati mereka. Bak mandiku sudah penuh, aku berganti mencuci piring dan baju. Pagi tadi aku tidak sempat makanya siang beginilah saat Kia tidur aku baru bisa beres-beres rumah.Prang!Aku terlonjak kaget mendengar suara rantang dibanting dari rumah ibu disusul benda-benda lain yang saling bersahutan juga tangisan dari i
âMaaf Mbak, itu bukan tugasku. Lagi pula di rumah ini, kan ada sanyo ngapain Mbak nyuruh-nyurah aku. Kalau dulu aku masih tinggal di sini tidak apa-apa itu sebagai baktiku pada Ibu, tapi kalau sekarang jangan harap lagi aku mau,â tegasku. Mbak Lili melongo mendengar penuturanku. Dia hendak marah lagi, tapi aku buru-buru masuk rumah dan menutup pintu dapurku sedikit kuat biar mereka tahu aku pun bisa marah sama seperti mereka.âKenapa, Dik?ââItu Mas, Mbak-Mbak kamu seenak sendiri seperti ratu memerintahkan tugas pada dayangnya aku disuruh mereka menuhin semua bak dan ember di kamar mandi Ibu, memang dikira mereka enggak capek," aduku pada Mas Danu.âSyukurlah kalau kamu tegas pada mereka, Dik. Mas pun tidak mau mereka semena-mena padamu, karena saat ini Mas tidak bisa membelamu lebih dengan kondisi Mas yang begini,â ucap Mas Danu. Ah, kenapa aku jadi melow begini aku paling tidak bisa melihat suamiku bersedih.âSsstt ... Mas jangan bilang begitu lagi ya, aku sebenarnya mau-mau saja me
đ¸đ¸đ¸âMaaf juragan, kangkungnya belum ada, kata yang punya sawah tiga hari baru numbuh lagi tunasnya,â jawabku.âMemang itu kangkung bukan milik kamu?ââBukan juragan, kami dapat dari ngambil di sawah tetangga,â jawabku tanpa melihat ke wajah juragan ikan. Entah kenapa aku merasa tidak enak hati.âOh, ya, sudah tidak apa-apa, besok kalau sudah ada biar anak buah saya yang ke sini. Ini kamu mau ke mana?ââOh, ini mau ke warung Wak Haji mau belanja bahan kue untuk jualan besok."âJadi, selain jualan kangkung kamu juga jualan kue?â tanyanya.âIya, benar juragan.ââKue apa yang kamu jual?ââDonat dan bolu sarang semut.ââHem, sepertinya enak. Kalau begitu saya mau pesan donatnya 100 biji sama bolu sarang semut ya 5 loyang, besok pagi jam 10 anak buah saya yang ambil ke sini.â Aku kaget mendengar pesanan Juragan Ikan. Aku sangat bahagia dan terharu.âApa juragan? Sebanyak itu?â tanyaku tak percaya.âIya, besok di rumahku akan ada pengajian anak-anak yatim-piatu jadi perlu kue banyak, ka
âKenapa, Nak Ita, kok malah nangis? Kalau belum punya uang cukup enggak apa-apa kalau belum nyicil hutangnya. Wak, percaya sama kamu pasti kamu amanah orangnya,â tuturnya lagi.Kumenghirup udara sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya perlahan. Aku mencoba membuang rasa sesak di dada.âBukan itu, Wak. Aku sedang sedih aja, kenapa orang-orang terdekatku sangat membenciku padahal meskipun aku miskin aku tidak merepotkan mereka apa lagi meminta-minta pada mereka.ââSabar, Nak. Namanya kembang hidup. Kalau tidak ada cobaan nanti kita tidak dewasa dan bijak menyikapi permasalahan kita ataupun menyikapi orang lain.ââTapi, sampai kapan, Wak. Rasanya aku benar-benar hilang kesabaran ingin sekali aku menyantet mereka aja,â kataku frustasi.âAstagfirullah, nyebut, Nak. Enggak baik ah, ngomong begitu . Wak, percaya kalau kamu wanita kuat dan Sabar makanya hanya kamu yang dikasih ujian begini. Sabar, ya Nak.â Wak Haji mengelus-elus bahuku. Mentransfer kekutan.âCerita ke Wak, ada apa sebenarny
Aku cukup lama berdiri di jalan depan rumah Mbak Desi. Anak remaja yang kutanya tadi sudah pergi begitu saja padahal aku belum selesai bertanya. Seorang ibu keluar lagi membawa besek ini kesempatanku untuk bertanya.âIbu, permisi apa acara di dalam sudah selesai?" tanyaku sedikit keki.âAlhamdulillah, sudah Mbak. Acaranya kan, memang dari tadi pagi dan Alhamdulillah berjalan lancar. Ada apa ya, Mbak?ââEm ... aâku. Maksudnya acara apa ya, Bu?â kataku enggak jelas. Duh, jadi salah tingkah gini. Ibu itu melihatku curiga kemudian tersenyum lebar.âJadi, ini acara aqiqah anak Mbak Desi dan sekaligus nikahan dia.ââMemang Mbak Desi kapan melahirkannya kemarin kami bertemu masih hamil.ââKemarin sore lahirannya di Bidan Tuti. Gangsar gitu bayinya pinter. Eh, dia itu kan, enggk punya suami alias hamil di luar nikah. Terus pagi tadi langsung aqiqahan anaknya nah, siang tadi sehabis Zuhur sekaligus nikahan,â terang ibu ini. Duh, sepertinya aku salah orang untuk bertanya sepertinya ibu ini suka