Share

WANITA YANG KAU HINAKAN
WANITA YANG KAU HINAKAN
Penulis: Kencana Ungu

BAB 1. Bisakah bertahan?

“Ita! Eh ... eh, apaan ini! Main pakai barang orang sembarangan!” bentak Mbak Lili, seketika aku mengangkat bayi mungilku. Dia membuang air hangat yang ada di bak mandi.

“Maaf Mbak, tadi Kia nangis terus gerah jadi aku mandikan, aku pinjam sebentar saja kok, Mbak,” jawabku terbata, Kia bayiku nangis lagi.

“Enak, aja pinjam! Hidup itu modal, beli sana kalau mau pakai bak buat mandi! Rusak juga kamu enggak bisa ganti!” Mbak Lili membawa masuk bak mandinya ke dalam kamarnya.

Kupakaikan Kia handuk lalu kugendong pakai kain jarik dan kususui. Aku mengambil lagi kayu bakar di belakang rumah untuk memanaskan air lagi. Bayiku harus mandi kalau tidak dia akan rewel sepanjang malam.

Kuhidupkan tungku dengan susah payah karena harus menggendong bayiku. Setelah air hangat-hangat kuku baru kuberi air dingin. Akhirnya aku memandikan Kia dengan menggunakan priuk tempat penanak nasi.

 Kupangku Kia lalu kuambil airnya sedikit demi sedikit menggunakan cangkir plastik.

Setelah mandi Kia, langsung tidur. Bayiku ini sungguh pengertian dia belum akan bangun kalau mamanya belum beres mengerjakan pekerjaan dapur.

“Ita, Ibu mau makan oseng kangkung sama sambal ikan asin, kalau aku sama Mas Eko mau makan sop ayam sama sambal kecap. Jangan salah ya!” titah Mbak Lili. Aku mengiyakan saja malas ribut.

Dengan cepat aku selesaikan masakanku karena sebentar lagi juga Maghrib kasihan Kia dia tidak akan ada yang menggendongnya meski azan Maghrib berkumandang. Nenek dan budenya sama sekali tidak peduli.

Selesai memasak perutku keroncongan minta diisi karena aku menyusui maka aku gampang sekali lapar. Kuambil nasi pakai baskom kecil beserta lauknya lalu kubawa masuk ke dalam kamarku.

Kukunci dan aku makan dengan cepat. Hanya dengan cara beginilah aku bisa makan dengan layak. Karena mertua dan iparku pasti hanya akan memberiku sedikit saja makanan mereka bilang aku harus pandai jaga badan setelah melahirkan agar tidak gendut.

Sejak pengantin baru aku memang tinggal bersama mertua dan juga iparku. Mas Danu, suamiku kerja di luar kota akan pulang seminggu sekali. Jika ada suamiku mereka semua baik padaku, tapi jika tidak maka aku akan dijadikan babu oleh mereka.

“Ita! Kami sudah selesai makannya kamu segera bereskan sebentar lagi mertuaku akan ke sini pokoknya aku tidak mau tahu dapur itu harus bersih!” teriak Mbak Lili dari luar. Aku yang di dalam kamar hanya bisa beristighfar dan menangis. Aku tidak punya kekuatan untuk melawan mereka.

Pernah aku izin pada suamiku untuk pulang saja ke rumah orang tuaku, tapi dilarang dengan alasan terlalu jauh dari tempat kerja Mas Danu. Mau ikut suami pun tidak diperbolehkan alasannya Mas Danu masih numpang di kosan teman.

Rumah orang tuaku jauh dari sini, beda kabupaten meski masih sama saja tinggal di kampung.

“Kia, salihanya Mama, yang nyenyak ya, tidurnya Mama mau bantu Nenek dulu,” ucapku pada bayiku, hanya dialah pelipur laraku. Kia seperti mengerti ucapan mamanya dia menggeliat lucu sekali.

Bugh!

Aku meringis kesakitan. Mbak Lili memukulku menggunakan centong nasi tepat di kepalaku.

 “Bagus ya, sudah mulai jadi pencuri kamu!” Dia melemparkan baskom plastik kecil yang tadi kupakai untuk makan. Ya Allah, kenapa aku sampai bisa lupa dan kecolongan Mbak Lili masuk ke kamarku.

“Apa ini ribut-ribut! Itu mertuamu sudah sampai Li!” teriak ibu.

“Awas ya, kalau diulangi lagi! Bakalan aku pukul lebih dari ini!” Ancam Mbak Lili. Dia gegas pergi ke depan menyambut mertuanya.

“Jadi mantu enggak becus setiap hari kerjaannya ngajak ribu ipar terus!” cerca ibu. Aku bukan tidak berani melawan ibu mertuaku, tapi aku masih menghormati beliau. Aku ingat pesan orang tuaku untuk tidak melawan mertua jika sudah tidak tahan tinggalkan.

“Buatin kopi sama teh jangan manis-manis buruan!” Kini Mbak Lili sudah ada di dapur lagi, dia membawa oleh-oleh dari mertuanya.

“Senangnya Ibu punya besan seperti mertuamu itu, Li, baik hati, kaya, dan kalau ke sini selalu membawa buah tangan enak-enak dan mahal-mahal,” ucap ibu sambil mencebik diriku. Sudah kutahu maksudnya, beliau hanya ingin membanding-bandingkan mertua Mba Lili dengan ibuku.

“Ini ... Mbak, sudah selesai mau dibawa ke depan atau tidak?”

“Enggak usah biar aku saja!” Mbak Lili merebut teh dan kopi yang ada di nampan yang kubawa.

“Kamu siapkan saja makan malam untuk mertuanya Lili. Ingat ya, cepetan! Jangan lelet keburu lapar,” titah ibu.

“Tapi, Bu ... Aku takut Kia bangun.”

“Kalau bangun ya, digendong. Alasan saja sudah buruan sana!” Ibu mendorongku hingga aku sedikit terjungkal.

Aku memasak oleh-oleh yang dibawa mertuanya Mbak Lili. Sambal sarden, goreng tempe. Kalau di desa menu seperti ini sudah sangat mewah.

Sudah kudengar suara tangisan Kia, dia pasti sudah haus karena sudah tiga jam lebih tidur.

Tergopoh-gopoh aku mengambil Kia dari gendongan ibu, dari tatapannya beliau sangat tidak suka.

Mereka sekeluarga makan bersama, aku ditawari pun tidak. Kutelan kepahitan ini sendiri berharap kelak anak cucuku tidak akan memiliki mertua seperti mertuaku.

HP-ku berdering Mas Danu meneleponku, seperti biasa dia katanya sudah mentransfer sejumlah uang untuk keperluanku juga Kia ke rekening Mbak Lili. Kalau sudah begini aku hanya bisa menangis karena uang itu sudah tentu lenyap diambil mereka.

“Kamu sakitkah, Dik? Suaramu serak begitu,” tanya Mas Danu.

“Iya, Mas, aku sakit. Pulanglah jika masih sayang padaku juga Kia,” jawabku terisak.

“Kenapa bilangnya begitu, Dik? Mas tentu sayang padamu juga anak kita, baiklah Mas akan minta izin jika diizinkan lusa Mas akan pulang,” ujar Mas Danu.  Suaranya terdengar sangat khawatir.

“Mas, jangan bilang ke Ibu ataupun Mbak Lili, ya, kalau mau pulang.”

“Loh, kenapa?” tanyanya heran.

“Biar kejutan untuk mereka Mas, sekali-kali enggak apa-apa kan kasih kejutan sama Ibu?” jawabku berbohong. Sebenarnya aku khawatir jika Mas Danu bilang tentu saja mereka akan melarang Mas Danu pulang.

“Oh, kamu Dik, bikin Mas penasaran saja. Ya, Sudah Mas tidak akan bilang,” jawab Mas Danu.

Aku senang semoga dengan Mas Danu pulang diam-diam ibu dan Mbak Lili tidak bermain drama bersikap baik padaku.

“Nduk, boleh Ibu masuk?” Itu suara mertuanya Mbak Lili, gegas kubuka pintu kamarku yang sudah reot ini.

“Silakan, Bu. Mari!" ajakku.

“Ibu ingin melihat anakmu. Syukurlah kalau anakmu sudah enggak nangis lagi?” ucap beliau.

“Alhamdulillah Bu, Kia memang tidak rewel. Kalau nangis pasti karena haus atau buang hajat,” jawabku antusias.

“Bukan itu masalahnya, Nduk. Tadi Ibu enggak sengaja lihat sewaktu anakmu nangis dia dicubit sama Lili, makanya Ibu khawatir,” terangnya.

Aku beristighfar. Tega sekali Mba Lili nyubit Kia yang masih umur 5 bulan. Tadi dia sudah memukulku pakai centong nasi, lalu mencubit Kia yang tidak tahu apa-apa.

Jika begini terus bisakah aku bertahan mengarungi bahtera rumah tangga bersama Mas Danu?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Azta Tour
Cerita nya terlalu banyak kebodohan, tidak rasional, hanya imaginasi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status