“Maaf Pak, ini uangnya kebanyakan itu kangkungnya hanya 100 ikat saja,” kataku mengembalikan dua lembar padanya.“Enggak apa-apa, Mbak, ini amanah dari juragan ikan. Tolong diterima saja.”“Tapi, Pak, ini terlalu banyak,” kataku lagi.“Tidak apa-apa ini pemberian juragan ikan kalau tidak diterima malahan saya yang dimarah. Kata juragan ikan kalau kangkung sudah siap lagi kabari saja."“Alhamdulillah.” Aku dan Mas Danu bersamaan mengucap syukur.“Sampaikan ucapan terima kasih kami pada juragan ikan, ya, Pak,” ucap Mas Danu sebelum anak buah juragan ikan pergi meninggalkan rumah kami.Malamnya terjadi keributan di rumah ibu aku yang baru pulang dari warung dicegat Mas Roni lalu diseret ke rumah ibu.“Heh, Ita cepetan ngaku, kamu kan, yang ngambil duit Lili!” teriak Mas Roni.Aku tentu saja mengelak karena memang bukan aku yang ambil.“Kami tadi lihat sendiri kamu pas mau antar kue pagi-pagi,” sahut Mbak Asih.“Demi apa pun bukan aku yang ambil uang Mbak Lili. Langit dan bumi yang jadi s
🌸🌸🌸Aku pulang dengan terburu-buru karena suara Kia terdengar sampai kebun samping rumah ibu.Aku kaget karena Mas Danu terjatuh dan tidak bisa bangun dia sedang merangkak mencari pegangan untuk berdiri sedang Kia sudah menangis sampai suaranya serak untungnya Kia tidur di bawah. Kalau tidur di ranjang dia bisa jatuh.“Ya Allah, Mas!” Aku kesulitan menopang berat badan Mas Danu. Susah payah aku mengangkatnya untuk berdiri.“Kenapa Mas, bisa sampai jatuh begini? Lihat makin sakit kan, kakinya?” tanyaku.“Tadi waktu kamu ke warung, Mas Roni mencarimu katanya kamu mau dibawa untuk disidang karena sudah mengambil uang Mbak Lili. Kamu tidak ada di rumah makanya dia giniin Mas,” jawab Mas Danu dia sesekali meringis kesakitan.“Astaghfirullah, Kia! Bentar ya, Mas, aku angkat Kia dulu.” Kia anakku yang unik dia akan berhenti menangis hanya dengan mendengar suaraku makanya tadi fokus menolong Mas Danu dulu."Jahat sekali Mas Roni, sampai tega menyakitimu begitu, Mas," ucapku sedih."Besok
“Lebih baik kita tanyakan langsung, Mas. Aku khawatir kejadian ini akan berulang lagi,” kataku memberi solusi.“Kamu benar, nanti kita tanyakan pada Ibu, ya. Sekalian Mas mau tanya sertifikat kebun karet milik Kakek.”“Loh, memang punya?” tanyaku terkejut.“Iya, punya dulu sewaktu Kakek masih hidup memberikannya pada Mas, lalu Mas titipkan pada Ibu.”“Sudah berapa lama, Mas?”“Sudah dari Mas umur 17 tahun, Dik. Waktu itu Mas ikut merantau tetangga ke pulau seberang karena rumah ini dijadikan kandang sapi maka semua berkas-berkas penting dipindahkan ke rumah Ibu.”“MasyaAllah, Mas, itu sudah lama sekali. Sekarang aja umur Mas sudah 28 tahun. Semoga saja masih, ya, Mas.”“Semoga, Dik. Rencananya mau Mas jual separo. Untuk modal kita dagang dan dandan gubuk kita ini, Mas sudah tidak tahan dan juga kasihan padamu selalu saja dihina di mana-mana.”“Terima kasih, Mas. Semoga masih rezeki kita, ya?” jawabku meski aku ragu sertifikat itu masih ada atau tidak.Aku sedang membereskan tanaman-ta
“Aamiin ...” sahut Mas Danu.“Kamu rupanya sudah misah, Ta?” tanya Mbak Nur, kakakku nomor dua.“Alhamdulillah sudah, Mbak. Belajar ceker sendiri ini,” jawabku.“Kok, Mbak Nur tahu sih, kalau Ita sudah misah?” tanya Mbak Susi penasaran.“Tahulah, Sus. Lihat saja itu background rumah Ita geribik sama papan kalau dia masih di rumah mertuanya kan, bagus temboknya warna hijau,” jawab Mbak Nur sambil tergelak disambut Mbak Susi dan Mbak Ning yang juga ikut tertawa. Entah mengapa aku tersentil dengan ucapan Mbak Nur. Kulihat senyum ibu juga langsung pudar.“Eh, iya, Ibu masak apa?” tanya Mbak Ning.“Ibu enggak masak, Nak, tadi dapat punjungan dua rantang,” jawab ibu sambil membenarkan posisi duduknya.“Banyak amat, Bu. Lempar sini satu,” pinta Mbak Nur.“Mau untuk apa, Mbak? Ujung-ujungnya juga enggak kamu makan mubazir aja, mending kasih ke Ita aja dia pasti hari ini masak daun singkong,” timpal Mbak Susi.“He, iya sudah macam kambing saja, ya? Subur nanti kamu Ta,” timpal Mbak Susi. Kem
“Mas, maaf ya, tadi saudara-saudaraku kelewatan,” ucapku pada Mas Danu dan aku berusaha untuk tersenyum semanis mungkin, aku tahu rasanya dikucilkan karena aku pun merasakannya.“Sudah biasa, Dik. Kamu enggak usah merasa tidak enak begitu ini kan, bukan salahmu? Sini peluk Mas dulu.” Aku tahu meski bibir Mas Danu berucap demikian, tapi tidak dengan hatinya.Dipeluk kekasih halalku rasanya nyaman sekali, tidak mengapa aku miskin harta asalkan kami saling sayang dan melengkapi semoga suatu hari nanti aku bisa seperti mereka kaya harta.“Woi, asyik sekali siang-siang sayang-sayangan. Kerja Dan, usaha tuh, gimana caranya biar kakimu sembuh terus kerja dapat duit banyak. Ingat hutangmu sama kami masih ada,” ucap Wak Toni tiba-tiba dia sudah di ambang pintu depan.Aku dan Mas Danu saling berpandangan tak mengerti kapan kami berhutang.“Maaf Wak, kalau masuk rumah apa lagi rumah orang lain sebaiknya salam terlebih dahulu biar setannya enggak ikut masuk,” kataku kesal sekali.“Beh, sudah bera
“Dik ... bangun sudah azan asar,” panggilan Mas Danu samar kudengar, tapi entah kenapa badanku susah sekali untuk bangun.Mataku susah terbuka padahal aku sudah berusaha untuk melek, tangisan Kia juga terdengar. Perasaanku ada yang memegangi tangan dan kakiku dadaku juga sesak berasa ditindih beban berat puluhan kilo sampai sesak nafasku.Sekelebat bayangan hitam terbang dari pintu tengah ke pintu depan kemudian terbang lagi ke arahku. Lalu hilang. Kakiku seketika seperti ada yang menyayat sakit sekali.Sekali lagi mendengar panggilan Mas Danu, tapi aku tidak bisa terbangun aku sudah berusaha minta tolong sama Mas Danu, tapi tenggorokanku tercekat.Aku pasrah jika harus pergi, tapi tangisan Kia menyadarkanku. Allah ... Allah. Perlahan rasa sesak di dada berkurang.Allah ... Allah. Aku tidak bisa mengucapkan kata-kata lain selain Allah lalu kubaca ayat kursi dalam hati, sampai kalimat ... wasi’akurshiyuhussamawati walarldi ... sakit di sekujur tubuhmu makin terasa. Aku ulangi sampai t
“Ada apa ini di kamar mandi teriak-teriak tidak jelas!” bentak ibu.“Ini Bu, bajuku basah. Gara-gara menantu Ibu yang bod*h ini. Dia mau numpang mandi tidak mau ngisi bak Ibu dengan alasan kita ada sanyo,” jawab Mbak Lili menuding-nuding wajahku.“Makin hari bukannya makin bener malah gini kamu, Ta! Kalau numpang itu tahu diri!” bentak ibu padaku. Gayung yang dipegang Mbak Lili direbut lalu dipukulkan ke pundakku. Sakit sekali.“Cukup! Aku bukan boneka yang bisa kalian perintah seenak sendiri. Ibu, aku bisa saja membalas pukulan Ibu, tapi aku masih punya otak yang waras. Jadi, aku tidak ada waktu untuk meladi orang enggak waras seperti kalian berdua,” teriakku tak kalah kencang dengan teriakan Mbak Lili tadi.“Pergi sana! Pergi! Jangan kamu pakai sumur ini lagi!” Usir ibu.“Aku tidak akan pergi dari sini, Bu. Sumur ini yang buat bapaknya Mas Danu dulu. Aku menantu beliau jadi aku berhak untuk memakai sumur ini,” jawabku tegas. Ibu gelagapan lalu menarik tangan Mbak Lili untuk pergi d
"Emmp! Emmp!" Napasku sesak sekali, aku sudah berontak, tapi kalah tenaga. Badanku sudah diseret mendekati pintu keluar. Aku mulai nangis bayangan yang tidak-tidak sudah memenuhi isi kepalaku."Emmp! Kubuka mulut lalu kugigit telapak tangannya kuat-kuat. Berhasil tangan yang menekan leherku sedikit longgar. Dengan gerakan cepat aku menyikut perutnya. Dia mengerang kesakitan dan melemparku ke tanah. Aku terlepas."Mas Danu!" teriakku sekuat tenaga.Mendengarku berteriak orang ini panik dan hendak kabur. Aku yang terjatuh tepat di bawah kakinya tidak menyia-nyiakan kesempatan segera kutendang selakangannya dan tepat sasaran mengenai benda pusakanya.Dia terjatuh meringkuk memegangi senjatanya."Mas Danu!" teriakku lagi."Tolong!""Iya, Dik, ada apa!" sahut Mas Danu.Orang itu mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan mengancamku sambil tertatih dia berdiri lalu kabur lewat pintu dapurTergopoh-gopoh Mas Danu menghampiriku. Dia heran melihatku menangis duduk di tanah."Kamu kenapa, Dik?