Aku tersentak kaget, terbangun dari tidurku saat merasakan sebuah sentuhan terasa di bagian dadaku. Reflek aku menepisnya sekuat tenaga.
"Layani aku dengan tenang jika tidak mau pisau ini meng0r0k lehermu," suara berat itu terdengar mengintimidasi diriku.Dalam remang cahaya lampu kamarku, aku melihat sosok yang sedang menindih tubuhku adalah bapak sambungku. Pria yang berapa bulan lalu menikah dengan ibuku."Ibumu sedang tidak ada di rumah kan, jadi percuma kamu berteriak. Selain itu kamu juga akan kehilangan nyawamu jika berteriak," bisiknya lagi.Aku merasakan benda dingin menempel di leherku, membuat tubuhku semakin ketakutan.Harusnya tadi aku ikut ibu pergi ke rumah simbah yang sedang sakit, daripada aku harus tinggal sendirian di rumah ini dengan lelaki yang tidak ada hubungan darah denganku.Tangan kasar itu mulai menjamah tubuhku kembali, aku hanya bisa diam ketakutan dibawah tekanannya. Bagaimanapun juga aku yang masih belia ini takut jika harus menghadapi kematian dengan cara mengenaskan."Anak yang manis, harusnya sejak tadi kamu menurut seperti ini jadi aku tidak perlu mengancam dirimu dengan benda ini," ujarnya sambil melempar benda berkilat itu ke kolong tempat tidurku.Tangan kekar itu terus menjamahku, menikmati setiap inci tubuhku. Sesekali dengan bibirnya dia memberikan kecupan yang basah dibagian tubuhku yang mulai terbuka sedikit demi sedikit.Lalu pada akhirnya, aku merasakan sebuah benda tumpul mengoyak bagian intiku dengan sangat kasar."Aakkkh ...." jeritan menyayat hati keluar dari mulutku namun tidak membuat binatang berwujud manusia yang berada di atas tubuhku ini berhenti. Sepertinya itu malah membuatnya semakin bersemangat untuk menikmati tubuhku.Aku terbangun dari tidur dengan posisi langsung terduduk diatas tempat tidur, keringat bercucuran membasahi keningku. Dering alam membangunkanku dari tidur dengan berteman mimpi buruk tadi."Mimpi itu lagi," ucapku sambil menyeka keringat di keningku.Bergegas aku bangkit dari tempat tidur dan segera pergi ke kamar mandi. Hari ini meskipun aku tidak bekerja, namun aku harus pergi ke kampus.****Kuayunkan langkahku menuju halte bus terdekat dari kosanku. Pandanganku tertuju pada sosok wanita yang menutup rapat tubuhnya dengan pakaian panjang, dia terlihat anggun diatas motor matic yang sedang dinyalakan. Dibagian depan terdapat Tas tangan dan juga tas yang seperti berisi bekal makanan.Tampak jelas jika wanita itu akan berangkat kerja, melihat pakaiannya yang rapi bisa diperkirakan jika wanita itu bekerja di tempat yang bagus. Dalam hati aku merasa iri padanya, akankah aku suatu saat mendapatkan pekerjaan yang bagus di sebuah perusahaan.Kembali langkahku terayun menuju halte bus tujuanku. Sebenarnya biasanya aku akan naik ojek, namun karena hari ini aku tidak terburu-buru pergi ke kampus, maka aku memilih untuk jalan kaki sekalian berolahraga.Kembali aku melihat dua orang yang sedang berboncengan melewati diriku, mereka akan berangkat kerja. Aku sedikit mengenal mereka karena pasangan suami istri itu tinggal juga di kosan yang sama denganku. Mereka selalu terlihat bahagia dan saling mencintai, lagi-lagi aku iri pada apa yang aku lihat. Apakah suatu saat nanti aku akan bisa memiliki pasangan yang bisa menerimaku dan mencintaiku dengan segala kekurangan yang aku miliki.Aku terus berjalan menuju halte yang sudah terlihat di depan mataku, smartphone milikku bergetar dan berdering di dalam tasku. Segera aku mengambilnya dan melihat siapa yang mengirim pesan.[Jangan lupa malam ini setelah pulang kuliah langsung ke hotel A ya ] sebuah pesan masuk dari nomor dengan nama Mr. Alex.Aku tersenyum miris membaca pesan itu, baru saja aku membayangkan hal-hal yang indah. Namun bayangan dosa yang aku lakukan langsung saja menyapaku kembali. Tumben kali ini dia memintaku ke hotel biasanya dia akan menyuruhku untuk datang ke apartemen miliknya.Sebenarnya aku biasa memanggilnya nama saja padanya jika kami sedang bersama. Namun aku memberi nama berbeda dikontak ponselku. Lelaki dengan usia tiga puluh tujuh tahun itu tentu jauh lebih tua dariku jika dibandingkan dengan usiaku yang baru dua puluh satu tahun.Aku mengenal dan menjalin hubungan dengannya sejak berusia sembilan belas tahun. Saat itu aku hanyalah gadis muda yang datang dari desa, mengadu nasib di ibukota.[Malam ini adalah malam terakhir kita, kamu tidak boleh pulang hingga esok hari] Pesan kedua datang lagi dari nomor yang sama.Alex Andre Chrysgert memang bukan warga negara Indonesia, dia datang dari negeri tetangga dan bekerja di kota ini. Entah apa pekerjaan akupun tidak ingin tahu, seorang pengusaha atau apa, yang aku lakukan hanyalah melayaninya selama dia ada di sini dan dia memberiku segala kemewahan dunia kepadaku. Bisa dibilang aku adalah simpanannya.Aku gadis desa bernama Mentari biasa di panggil Riri, datang ke ibukota untuk mengadu nasib. Berkhayal memiliki pekerjaan yang bagus dan uang yang banyak seperti halnya yang aku lihat di televisi yang aku tonton. Namun apa yang terlihat di layar kaca itu, sungguh jauh berbeda dengan kehidupan nyata.Tanpa skill dan pengalaman, mencari pekerjaan di ibukota bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Hingga saat aku hampir kehabisan uang di kosan, aku berkenalan dengan seorang teman baru yang menawarkanku sebuah pekerjaan di mall sebagai sales promotion girl.Postur tubuhku yang ideal, kulit yang bersih dan wajah yang menarik ternyata menjadi aset untuk bisa bekerja di tempat itu. Lalu kemudian lewat dirinya juga aku akhirnya mengenal duniaku sekarang ini. Dunia yang seharusnya tidak aku masuki, namun pada akhirnya aku masuk juga ke dalamnya karena tergiur kemudahan dan kemewahan yang ditawarkan. Toh sejak awal datang kesini aku bukan lagi gadis yang suci.****"Mbak, kenapa harus aku yang jadi sekretaris pribadinya?" tanyaku pada Mbak Aira. "Lalu siapa lagi, masa aku? kalaupun mencari orang baru butuh waktu, jadi lebih baik kamu saja. Kamu ini gimana sih, orang-orang senang naik jabatan, kamu malah pakai bertanya," tutur Mbak Aira panjang lebar. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman saja menyandang status itu. Padahal semua orang di kantor ini juga baik-baik semua. "Orangnya baik gak, Mbak?" tanyaku pada temanku itu. "Baik, bule lagi."Memangnya kenapa kalau bule, ada-ada saja Mbak Aira ini. Aku memang belum pernah bertemu dengannya, hanya saja namanya sama seperti orang yang pernah ada dalam masa laluku. Ah mungkin nama itu termasuk nama pasaran. Saat atasan baru kami itu datang pertama kali untuk mengenalkan diri, saat itu aku sedang mengambil cuti karena kematian ayah mertuaku. Harapanku yang menginginkan agar atasanku tersebut adalah bukan orang yang aku kenal ternyata hanyalah sebuah harapan. Satu hari sebelum aku bertemu dengan
Setelah mendapat apa yang kunginkan, aku segera kembali ke cafe, tidak mau membuat Mentari menunggu terlalu lama. Dua buah alat perekam suara dengan ukuran sangat kecil telah aku dapatkan, aku akan menyimpannya di dalam tas kerja istriku. "Apa aku terlalu lama meninggalkan dirimu?" tanyaku pada Mentari yang dengan setia masih menungguku di dalam ruanganku. "Tidak, Mas. Mau pulang sekarang?" "Ayo!" Tanpa beristirahat lagi, aku dan Mentari keluar dari ruanganku dan berjalan beriringan keluar cafe. Tujuan kami adalah pulang ke rumah. Seperti biasanya, sesampainya di rumah kami akan membersihkan diri secara bergantian di kamar mandi. Namun jika sedang ingin, kami akan menghabiskan waktu cukup lama di dalam kamar mandi berdua. "Mentari, tolong ambilkan handuk. Ketinggian," teriakku dari dalam kamar mandi. Tadi aku lihat istriku itu sudah menyiapkan handuk di atas tempat tidur, namun aku sengaja tidak membawanya. Untuk apa lagi coba, tentu saja agak aku bisa memanggilnya dari dalam k
Wanita yang Merindukan SurgaPOV Bagas"Mas, aku hari ini nggak usah dijemput, aku akan ke cafe sendirian baru kita pulang bareng," Begitulah yang di katakan Mentari saat menelponku tadi siang saat jam makan dan istirahat. Aku sebenarnya tidak mau istriku itu jalan sendirian pulang kerja, kebiasaan mengantar dan menjemputnya, bagiku seperti sebuah pekerja, seperti sebuah rutinitas. Aku melakukannya dengan senang hati, tapi sepertinya kali ini dia ingin pulang sendiri. Katanya ingin menikmati kendaraan umum lagi. Ada-ada saja, biasanya orang menikmati kemudahan, ini malah ingin mengulang masa-masa sulitnya dulu. Ketukan pintu membuyar lamunanku. "Masuk!" Seruku dari dalam.Seorang karyawan wanita masuk ke dalam ruanganku."Pak, ada tamu yang mencari Bapak. Namanya Pak Galang." Galang, untuk apa dia ke sini menemuiku. Aku sudah memutuskan hubungan dengannya saat dia melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan pada istriku. Bahkan aku memutuskan hubungan bisnis, aku mengambil alih
Seminggu sudah berlalu dari kepergian bapak mertuaku, Mas Bagas terlihat masih belum bisa menerima kenyataan itu. Aku tahu rasanya kehilangan orang yang kita sayangi, meskipun saat itu aku masih kecil, tapi rasa sakitnya masih bisa aku rasakan hingga sekarang. "Mas, kalau kamu masih mau disini bersama ibu, disinilah dulu. Aku akan kembali ke kota sendiri. Nanti aku yang akan melihat dan mengecek keadaan cafe di sana sepulang kerja." Aku berkata sambil membereskan baju-baju kami. Melihat Mas Bagas tidak bersemangat saat bekemas, membuatku mengatakan hal tersebut.Bukan tanpa alasan aku harus segera kembali ke kota. Aku sudah menambah masa cuti dengan alasan kematian mertuaku. Rasanya aku tidak bisa lagi menambah liburan di sini, apalagi hingga menunggu empat puluh hari wafatnya mertuaku. "Nggak apa-apa, mas akan pulang juga. Mana mungkin aku tega membiarkan dirimu pergi sendirian?" Tolak Mas Bagas, tidak setuju dengan ideku."Aku dulu terbiasa kemana-mana sendiri jadi tidak masalah.
Aku terbangun dari tidur seorang diri, kemana perginya suamiku. Tadi setelah makan siang, kami beristirahat dan tidur siang. Mas Bagas yang kelelahan langsung tertidur pulas begitu tubuhnya bersentuhan dengan bantal. Sedangkan aku perlu waktu lebih lama hingga akhirnya mataku bisa terpejam. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar, mencari dimana suamiku berada atau mungkin bisa membantu kesibukan mertuaku dan mengakrabkan diri dengan wanita yang sudah melahirkan suamiku. "Dia anak tunggal, kamu anak tunggal. Bagiamana jika kalian susah punya anak?" terdengar suara ibu mertuaku berbicara dengan Mas Bagas. Suara itu terdengar dari arah ruang tamu. Aku yang sudah keluar dari kamar akhirnya urung untuk mendekat pada mereka karena mendengar perkataan itu. Aku lebih memilih untuk berdiri di tempatku, entah untuk menguping atau karena kakiku enggan melangkah meninggalkan tempat ini. "Mana ada hubungannya Bu," sahut Mas Bagas. "Buktinya, sampai sekarang dia belum hamil
"Apa aku perlu ikut, mas?" tanyaku pada Mas Bagas saat dia hendak pergi ke cafe. Mungkin Mas Bagas hendak menemui Pak Galang atau menyelesaikan pekerjaan kemarin yang belum selesai. "Tidak perlu, mas gak mau kamu ketemu dengan laki-laki itu. Kamu tungguin di kamar saja ya? bosan gak? apa mau jalan-jalan?" "Nggak mas, aku di kamar saja." "Aku akan cepat kembali," ucapnya sambil mencium keningku sebelum pergi. Seharusnya aku ikut dengannya seperti rencana awal Mas Bagas memperkenalkan aku pada usahanya di kota ini, namun kejadian kemarin membuat semuanya jadi berantakan. Kenapa juga Pak Galang dan Mas Bagas harus berteman. Setelah kepergian Mas Bagas, aku memilih untuk bersantai didalam kamar. Bermain dengan smartphone milikku dan menonton film kesukaanku. Hal yang sudah lama sekali tidak pernah aku lakukan karena kesibukanku. Seharusnya saat ini akupun juga sibuk, namun nyatanya Mas Bagas memintaku untuk beristirahat saja. Aku menonton film hingga selesai beberapa judul, hingga