Home / Rumah Tangga / WARISAN YANG DIRAMPAS / 4. Rezeki Tak Terduga

Share

4. Rezeki Tak Terduga

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2023-05-31 16:40:48

"Bapak kehilangan sawah .... "

"Apa?!"

Aku dan Mas Fikri saling pandang.

"Bagaimana bisa sawah ada yang mencuri?" Mas Fikri menggaruk kepalanya.

"Maksud Bapak .... sawah kita kena gusur .... "

"Ah, ya ampun! Kenapa Bapak tidak ngomong dari tadi. Malah bilang kehilangan, jadinya kita mikir yang tidak-tidak." Mas Fikri mengusap wajah sambil tersenyum. Sementara Bapak terkekeh sambil menggulung tembakau.

Emak yang tidak terima karena Bapak telah membuat anak dan menantunya ini kaget pun sontak memukul pangkal lengan suaminya.

"Itu 'kan sawah kita satu-satunya, Pak?"

Setahuku, bapak mertuaku ini memang hanya punya sawah satu tempat tapi lumayan luas.

"Iya, tapi mau bagaimana lagi, Fik." Bapak menyulut tembakau yang baru saja selesai dilinting. Menghisap kuat lalu membuang asapnya hingga mengepul di ruang kosong sekitar wajahnya.

"Memangnya ada pembangunan apa?"

"Katanya sih, untuk pembangunan jalan tol."

Tak sadar kepalaku manggut-manggut. Kemudian terlintas di benakku, ada penggusuran tentu ada nominal yang diterima. Sementara Bapak hanya memiliki dua anak laki-laki. Mas Fikri dan kakaknya, Mas Fahmi. Ingin rasanya segera kutanyakan perihal uang pembebas lahan itu, tapi urung aku lakukan. Tidak pantas rasanya, sebagai menantu, aku tidak boleh ikut campur. Apalagi ini soal harta keluarga mereka. Memangnya Mbak Ira dan Mbak Diah, yang selalu gercep pada harta peninggalan Bapak dan Ibuku.

"Terus dari mana Bapak makan kalau sawah itu sekarang tidak ada?" Wajar kalau Mas Fikri mengkhawatirkan orang tuanya.

"Bapak dan Emakmu ini sudah tua, makan juga cuma sedikit-sedikit, langsung kenyang. Beras itu bisa dibeli, toh kami masih punya hasil dari kebun yang bisa dijual untuk membeli beras." Emak yang sedari tadi hanya jadi pendengar, kini bersuara.

"Uang dari hasil gusuran itu lumayan besar. Itu sebabnya Bapak menyuruhmu ke sini. Bapak ini sudah tua, sudah tidak punya keinginan untuk membeli apapun. Asal ada nasi, itu sudah cukup. Uang dari pembebasan lahan itu sudah Bapak bagi dua, buat kamu dan kakakmu, Fahmi."

Mendengar penuturan Bapak barusan, rasanya aku ingin bersorak. Di saat kedua kakak laki-lakiku menguasai harta peninggalan orang tua kami, yang jelas-jelas sudah menjadi bagianku. Ternyata Allah memberikan kami rezeki dari jalan yang berbeda. Ini benar-benar rezeki yang tidak disangka-sangka, meskipun mertuaku harus kehilangan sawah milik mereka.

"Jujur saja, Pak. Saat ini kami memang sedang membutuhkan uang banyak, tapi bukankah lebih baik uang itu Bapak belikan lagi sawah. Supaya Bapak punya padi, punya beras untuk makan." Namun jawaban yang tidak kusangka keluar dari mulut Mas Fikri. Secara tidak langsung suamiku itu menolak uang tersebut. Hatiku kembali menciut, jika Mas Fikri benar-benar menolak uang itu maka aku harus berlapang dada menjalani hidup seperti sekarang.

Bapak terkekeh kemudian kembali menghisap tembakaunya.

"Ambil uang itu, Mak. Kita lihat saja, apakah si Fikri masih mau menolak kalau dia sudah melihat wujudnya." Bapak kembali terbahak.

Emak yang mendapat perintah dari suaminya segera bangkit lalu berjalan menuju ke kamar mereka. Tak lama kemudian wanita yang sudah berumur namun masih terlihat gesit itu  pun keluar sambil menenteng sebuah kantong kresek berwarna hitam yang dibungkus dengan kain taplak meja. Aku hampir terbelalak lantaran benda yang ditenteng Emak itu cukup besar, itu artinya uangnya memang tidak main-main.

"Ini," kata emak sambil menaruh bungkusan itu di hadapan Mas Fikri.

"Apa kamu masih menolak melihat uang sebanyak itu?" Bapak menatap anak bungsunya.

"Utamakan dulu kesejahteraan Bapak dan Emak di sini. Aku ini masih muda, masih kuat untuk bekerja keras. Sementara Bapak sudah tua, sudah seharusnya beristirahat." Mas Fikri belum juga mau menerima uang itu. Terkadang aku kesal juga pada prinsip suamiku ini. Pantang baginya menerima belas kasihan orang lain, ia lebih suka bekerja keras ketimbang mendapat bantuan. Tapi ini kan pemberian orang tuanya. Apa masih mau ditolak juga?

"Ini adalah uang setelah dibagi dua dengan kakakmu. Bapak sudah mengambil bagian untuk membeli sepetak sawah di dekat milik Haji Sobari. Juga dua ekor kambing dan dua ekor sapi. Itu cukup buat Bapak." Bapak kemudian menggeser kantong kresek itu agar lebih mendekat ke arah Mas Fikri. Bukannya menerima Mas Fikri malah menoreh ke arahku, seakan meminta persetujuanku.

"Itu bagianmu, Fikri. Jangan ditolak lagi." Emak menegaskan. Akhirnya aku pun mengangguk samar.

"Uang itu bisa kamu gunakan untuk memperbaiki rumah peninggalan orang tuanya Nurma, juga memperbesar usahamu. Belilah kendaraan yang layak supaya anak dan istrimu tidak kehujanan dan kepanasan. Bapak rasa uang itu cukup."

"Sebenarnya ... kami sudah tidak tinggal di rumah peninggalan orang tuanya Nurma lagi, Pak." Mas Fikri sepertinya ragu memberitahu Bapak perihal rumah itu. Kami memang belum sempat bercerita tentang rumah dan bengkel yang dijual oleh kedua Abangku.

"Maksud kamu apa?" Bapak dan Emak terperangah.

Mas Fikri kemudian menceritakan kejadian yang baru saja kami alami beberapa minggu yang lalu. Bapak terlihat manggut-manggut, sementara Emak beberapa kali membuang nafas berat.

"Kamu yang sabar, ya, Nur. Rezeki itu tidak akan tertukar, buktinya ini. Di saat kamu kehilangan harta peninggalan orang tuamu. Allah mengirimkannya lewat kami. Sebenarnya wacana pembebasan lahan ini sudah lama terdengar, namun tidak juga terjadi. Ternyata Allah sedang menunggu momen yang tepat untuk kalian." Emak mengusap tanganku membuatku seketika menjatuhkan diri di pelukannya.

"Itu hakmu, Nurma. Kalau bisa kamu perjuangkan. Tapi kalau kedua Kakakmu bersikeras, sudah ikhlaskan saja. Gunakan uang ini untuk membeli rumah dan memulai lagi usaha kalian." Bapak menimpali.

Mendengar kalimat itu terucap dari bibir Bapak mertuaku aku tidak bisa berkata-kata. Yang kulakukan saat ini hanya terdiam sampai terisak dipelukan Emak. Jika teringat pada kedzoliman kedua kakak laki-lakiku, hatiku terasa perih. Tapi memang ternyata benar, bahwa Allah tidak pernah tidur. Di saat aku kehilangan banyak, kami mendapatkan ganti yang lebih banyak lagi.

"Bismillah, Dek. Dengan uang ini kita akan membuktikan ada Bang Usman dan Bang Halim, bahwa sekuat apapun mereka menahan rezeki kita, jika Allah yang memberi maka akan didatangkan dari jalan yang lain." Ucapan Mas Fikri membuat aku semakin terisak lagi, namun sesaat setelah itu aku menjauhkan diri dari pelukan Emak, lalu mengusap pipiku. Setelah ini aku harus memikirkan cara supaya kedua kakakku itu jera.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • WARISAN YANG DIRAMPAS Ā Ā Ā 82. Balasan dari Tuhan

    Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan

  • WARISAN YANG DIRAMPAS Ā Ā Ā 81. Warisan

    Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab

  • WARISAN YANG DIRAMPAS Ā Ā Ā 80. Kisah Ibu

    Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma

  • WARISAN YANG DIRAMPAS Ā Ā Ā 79. Terpaksa Membayar

    Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me

  • WARISAN YANG DIRAMPAS Ā Ā Ā 78. Sikap Diah

    Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin

  • WARISAN YANG DIRAMPAS Ā Ā Ā 77. Perhatian

    Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status