Share

4. Rezeki Tak Terduga

"Bapak kehilangan sawah .... "

"Apa?!"

Aku dan Mas Fikri saling pandang.

"Bagaimana bisa sawah ada yang mencuri?" Mas Fikri menggaruk kepalanya.

"Maksud Bapak .... sawah kita kena gusur .... "

"Ah, ya ampun! Kenapa Bapak tidak ngomong dari tadi. Malah bilang kehilangan, jadinya kita mikir yang tidak-tidak." Mas Fikri mengusap wajah sambil tersenyum. Sementara Bapak terkekeh sambil menggulung tembakau.

Emak yang tidak terima karena Bapak telah membuat anak dan menantunya ini kaget pun sontak memukul pangkal lengan suaminya.

"Itu 'kan sawah kita satu-satunya, Pak?"

Setahuku, bapak mertuaku ini memang hanya punya sawah satu tempat tapi lumayan luas.

"Iya, tapi mau bagaimana lagi, Fik." Bapak menyulut tembakau yang baru saja selesai dilinting. Menghisap kuat lalu membuang asapnya hingga mengepul di ruang kosong sekitar wajahnya.

"Memangnya ada pembangunan apa?"

"Katanya sih, untuk pembangunan jalan tol."

Tak sadar kepalaku manggut-manggut. Kemudian terlintas di benakku, ada penggusuran tentu ada nominal yang diterima. Sementara Bapak hanya memiliki dua anak laki-laki. Mas Fikri dan kakaknya, Mas Fahmi. Ingin rasanya segera kutanyakan perihal uang pembebas lahan itu, tapi urung aku lakukan. Tidak pantas rasanya, sebagai menantu, aku tidak boleh ikut campur. Apalagi ini soal harta keluarga mereka. Memangnya Mbak Ira dan Mbak Diah, yang selalu gercep pada harta peninggalan Bapak dan Ibuku.

"Terus dari mana Bapak makan kalau sawah itu sekarang tidak ada?" Wajar kalau Mas Fikri mengkhawatirkan orang tuanya.

"Bapak dan Emakmu ini sudah tua, makan juga cuma sedikit-sedikit, langsung kenyang. Beras itu bisa dibeli, toh kami masih punya hasil dari kebun yang bisa dijual untuk membeli beras." Emak yang sedari tadi hanya jadi pendengar, kini bersuara.

"Uang dari hasil gusuran itu lumayan besar. Itu sebabnya Bapak menyuruhmu ke sini. Bapak ini sudah tua, sudah tidak punya keinginan untuk membeli apapun. Asal ada nasi, itu sudah cukup. Uang dari pembebasan lahan itu sudah Bapak bagi dua, buat kamu dan kakakmu, Fahmi."

Mendengar penuturan Bapak barusan, rasanya aku ingin bersorak. Di saat kedua kakak laki-lakiku menguasai harta peninggalan orang tua kami, yang jelas-jelas sudah menjadi bagianku. Ternyata Allah memberikan kami rezeki dari jalan yang berbeda. Ini benar-benar rezeki yang tidak disangka-sangka, meskipun mertuaku harus kehilangan sawah milik mereka.

"Jujur saja, Pak. Saat ini kami memang sedang membutuhkan uang banyak, tapi bukankah lebih baik uang itu Bapak belikan lagi sawah. Supaya Bapak punya padi, punya beras untuk makan." Namun jawaban yang tidak kusangka keluar dari mulut Mas Fikri. Secara tidak langsung suamiku itu menolak uang tersebut. Hatiku kembali menciut, jika Mas Fikri benar-benar menolak uang itu maka aku harus berlapang dada menjalani hidup seperti sekarang.

Bapak terkekeh kemudian kembali menghisap tembakaunya.

"Ambil uang itu, Mak. Kita lihat saja, apakah si Fikri masih mau menolak kalau dia sudah melihat wujudnya." Bapak kembali terbahak.

Emak yang mendapat perintah dari suaminya segera bangkit lalu berjalan menuju ke kamar mereka. Tak lama kemudian wanita yang sudah berumur namun masih terlihat gesit itu  pun keluar sambil menenteng sebuah kantong kresek berwarna hitam yang dibungkus dengan kain taplak meja. Aku hampir terbelalak lantaran benda yang ditenteng Emak itu cukup besar, itu artinya uangnya memang tidak main-main.

"Ini," kata emak sambil menaruh bungkusan itu di hadapan Mas Fikri.

"Apa kamu masih menolak melihat uang sebanyak itu?" Bapak menatap anak bungsunya.

"Utamakan dulu kesejahteraan Bapak dan Emak di sini. Aku ini masih muda, masih kuat untuk bekerja keras. Sementara Bapak sudah tua, sudah seharusnya beristirahat." Mas Fikri belum juga mau menerima uang itu. Terkadang aku kesal juga pada prinsip suamiku ini. Pantang baginya menerima belas kasihan orang lain, ia lebih suka bekerja keras ketimbang mendapat bantuan. Tapi ini kan pemberian orang tuanya. Apa masih mau ditolak juga?

"Ini adalah uang setelah dibagi dua dengan kakakmu. Bapak sudah mengambil bagian untuk membeli sepetak sawah di dekat milik Haji Sobari. Juga dua ekor kambing dan dua ekor sapi. Itu cukup buat Bapak." Bapak kemudian menggeser kantong kresek itu agar lebih mendekat ke arah Mas Fikri. Bukannya menerima Mas Fikri malah menoreh ke arahku, seakan meminta persetujuanku.

"Itu bagianmu, Fikri. Jangan ditolak lagi." Emak menegaskan. Akhirnya aku pun mengangguk samar.

"Uang itu bisa kamu gunakan untuk memperbaiki rumah peninggalan orang tuanya Nurma, juga memperbesar usahamu. Belilah kendaraan yang layak supaya anak dan istrimu tidak kehujanan dan kepanasan. Bapak rasa uang itu cukup."

"Sebenarnya ... kami sudah tidak tinggal di rumah peninggalan orang tuanya Nurma lagi, Pak." Mas Fikri sepertinya ragu memberitahu Bapak perihal rumah itu. Kami memang belum sempat bercerita tentang rumah dan bengkel yang dijual oleh kedua Abangku.

"Maksud kamu apa?" Bapak dan Emak terperangah.

Mas Fikri kemudian menceritakan kejadian yang baru saja kami alami beberapa minggu yang lalu. Bapak terlihat manggut-manggut, sementara Emak beberapa kali membuang nafas berat.

"Kamu yang sabar, ya, Nur. Rezeki itu tidak akan tertukar, buktinya ini. Di saat kamu kehilangan harta peninggalan orang tuamu. Allah mengirimkannya lewat kami. Sebenarnya wacana pembebasan lahan ini sudah lama terdengar, namun tidak juga terjadi. Ternyata Allah sedang menunggu momen yang tepat untuk kalian." Emak mengusap tanganku membuatku seketika menjatuhkan diri di pelukannya.

"Itu hakmu, Nurma. Kalau bisa kamu perjuangkan. Tapi kalau kedua Kakakmu bersikeras, sudah ikhlaskan saja. Gunakan uang ini untuk membeli rumah dan memulai lagi usaha kalian." Bapak menimpali.

Mendengar kalimat itu terucap dari bibir Bapak mertuaku aku tidak bisa berkata-kata. Yang kulakukan saat ini hanya terdiam sampai terisak dipelukan Emak. Jika teringat pada kedzoliman kedua kakak laki-lakiku, hatiku terasa perih. Tapi memang ternyata benar, bahwa Allah tidak pernah tidur. Di saat aku kehilangan banyak, kami mendapatkan ganti yang lebih banyak lagi.

"Bismillah, Dek. Dengan uang ini kita akan membuktikan ada Bang Usman dan Bang Halim, bahwa sekuat apapun mereka menahan rezeki kita, jika Allah yang memberi maka akan didatangkan dari jalan yang lain." Ucapan Mas Fikri membuat aku semakin terisak lagi, namun sesaat setelah itu aku menjauhkan diri dari pelukan Emak, lalu mengusap pipiku. Setelah ini aku harus memikirkan cara supaya kedua kakakku itu jera.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status