Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan
Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab
Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma
Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me
Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin
Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t