"Jika aku ada di dalam rumah saat kamu pulang, apa kamu juga akan tetap pergi?"Tapi, apa bedanya jika saat aku pulang Ken ada di rumah atau tidak.Menyambutku yang merasakan rasa bersalah yang sama sekali tak ingin kuhilangkan dari diri karena kelalaian dan ketakpekaanku pada apa yang seharusnya tumbuh dalam rahimku pergi. Anak kami.Anak kami yang seharusnya sudah besar, berlarian kesana-kemari membuat kewalahan, membuat rumah berantakan, mencorat-coret tembok bahkan tak akan berhenti ketika mendengar teguran, memanggilku dengan sebutan ibu ataupun mama, 'Kh--'Aku menarik nafasku dalam saat merasakan sesak yang teramat sangat.Sementara mataku yang terasa perih mengingat wanita bodoh yang terus memegang gagang telepon meski sambungan diputus secara sepihak. Sementara selembar kain yang kukenakan rasanya tak mampu kutopang saking beratnya.Ia, suamiku, lelaki yang kuhubungi menolak bicara denganku yang membutuhkannya, masih mengharapkan kehadirannya, atau setidaknya sekedar mendeng
"Yang."Aku membuka cepat mataku yang rapat terpejam, panggilan pelan yang begitu lembut keluar dari mulut Ken. "Yang," ucap Ken lagi, membuatku melepas peganganku pada engsel pintu.'Ini gila!' Seharusnya tidak seperti ini!Seharusnya aku tetap memaksa diri untuk keluar, mendorong Ken menjauh, membuka pintu, lalu keluar secepatnya seperti niat awalku.Masuk dan keluar secepatnya setelah menidurkan Banyu. Namun, tubuhku memilih melepas gagang pintu dan membiarkan rasa takutku menghilang, berganti tangis dalam dekapan suami yang kutinggalkan 5 tahun lalu. 'Aku kembali menghianati diriku sendiri. benar-benar menghianati diriku sendiri.'Ken tak mengatakan apapun saat aku menangis, ia hanya terus memelukku, merengkuhku, mendekapku.Ia tidak perduli bajunya basah dengan air mata juga ingusku yang ikut keluar saat aku menangis. Sebanyak apa air mata yang bisa keluar dari mata manusia? Apakah akan ada habisnya?Rasanya aku sudah menangis terlalu banyak, tapi air tetap bisa keluar dari
Aku membuka mata terpejamku saat merasakan tangan kokoh yang memelukku, pemiliknya benar-benar terlelap. Perlahan aku mengangkat tangan Ken dan mengganti diriku dengan bantal agar bisa ia peluk. "Ugh...," keluhku saat bergerak merasakan tubuh bagian bawahku tak biasa.Namun, rasa tak nyaman dan basah di bagian intim kuindahkan saat aku berjalan memunguti pakaian. 'Kemana perginya celana dalamku?'Aku berkeliling tapi tak menemukan apa yang kucari.Melihat jam, kuputuskan untuk memakai apa yang sudah ada di tangan karena harus bekerja. Kuharap siapapun yang menemukan celana dalamku besok, tidak akan tahu jika salah satu tenaga pembersih-lah pemiliknya. Meski tak ingin, setelah memakai baju dengan pelan agar tak menimbulkan suara, aku menatap tubuh lelap Ken yang memeluk bantal.Posisi tidur Ken membuatku mengingat Banyu. Seketika perasaanku tak nyaman.["Mama."]Sekali lagi panggilan Banyu terngiang tak hanya di telinga. Dan, tak butuh waktu lama untuk diriku merasa aku sudah melaku
Pancake dengan lelehan madu juga potongan buah menjadi pilihan Muray, ditemani kopi hitam tanpa gula yang aromanya kuat.'Orang pingsan akan sadar mencium aroma kopi yang wangi ini.' "Better than your sandwich, e'," ucap Muray menyuapkan potongan anggur ke dalam mulut saat aku mengunyah sarapanku.Aku hanya mengangguk.Muray yang memang mengenalku, tidak senang melihatku menunjukan senyum palsu yang terlalu sering ku tunjukan pada siapa saja, bahkan ibu kosku di rumah."So?"Aku yang siap memotong pancake menatap Muray. "So, what?" tanyaku balik.Ia memutar bola matanya malas. Meletakan cangkir kopi yang tak jadi ia seruput, "I am talking about our GM." Aku mengangguk, karena sejak kami belum memulai sarapan Muray begitu antusias membahas tentang Ken."Oh, come on, girl. Apa kau tidak merasa antusias sedikitpun bertemu dengan manusia yang bisa bicara bahasamu yang susah dilafalkan itu?"Aku bisa melihat mata Muray bercahaya, "baru hari pertama saja ia sudah membuat seluruh penduduk
"Lepasin aku, Ga, aku harus ngasih pelajaran sama gembel gak tahu diri ini." Pinta wanita yang tangannya terus ditahan Arga, lelaki yang tinggal di gedung apartemen sama bahkan pintu rumah kami berhadapan. "That's just a fucking damn card, Nabila! Kamu bisa meminta ayahmu menonaktifkan akses agar siapapun tak bisa menggunakannya.""Kamu tahu ini bukan hanya masalah aktif atau tidak aktifnya kartuku, kan, Ga? Ini masalah kepercayaan seorang customer untuk hotel tempat ia tinggal. Bagaimana aku bisa merasa tenang jika pegawai yang seharusnya memberi pelayanan justru mencuri dariku!"Muray dan asistennya hanya bisa saling pandang, mereka tentu tidak paham bahasa yang dilontarkan dua orang di hadapanku. Meski rasanya mereka bisa menyimpulkan garis besarnya. "And you, a fucking thief!" tunjuk wanita bernama Nabila padaku yang masih diam tak percaya siapa lelaki yang ada di hadapanku ini, "stop staring at my man and give me back my card!"'Kartu? Kartu apa yang ia maksud?' "Don't pretend
"Nyonya?"Meski tidak ingin, mataku tergenang air. Air yang akan beku jika aku tak menghapusnya."Apa saya salah berucap?" Tidak, ia tidak salah berucap. Aku hanya disadarkan dari kehidupan menyedihkan yang kupilih untuk kujalani. Dan kini, aku kembali berusaha membohongi diri.Berusaha sekeras apapun, aku tahu, aku sadar, aku paham! Aku tak akan bisa menjauhkan pikiran juga kenangan dari kehidupan yang kutinggalkan lima tahun lalu.Aku pergi tanpa menyelesaikan apapun, aku juga tak kembali untuk menyelesaikan apapun.Saat itu, lima tahun lalu. Jika aku memaksa tinggal, aku tahu aku tak akan bisa menjalani kehidupan yang kupikir bisa kujalani setelah tahu suamiku ternyata berselingkuh dengan wanita yang benar-benar ia cintai.Kehidupan pernikahan yang kupikir akan baik-baik saja, meski ada penghianatan di dalamnya bahkan di dasari dengan rasa kasihan ... adalah kalimat yang tidak pernah kubayangkan akan kudengar saat itu.Tidak sekalipun. Aku tidak pernah ingin dikasihani siapapun s
"Anda sendiri ... apa anda tinggal di kota ini, Nyonya?"Pertanyaan yang rasanya dikatakan begitu hati-hati itu membuatku menyentuh cangkir teh dengan tangan yang sudah melepas sarung tangan saat berjabat tangan dengan Arga tadi."Maaf," ucap Arga saat aku tak juga menjawab.Wajahnya yang selalu tersenyum setiap kali kami bertemu terlihat menyesal. Meski aku tak mengerti apa yang membuatnya menunjukan ekspresi seperti itu, aku memilih tak bertanya. "Saya ... saya sudah tinggal di sini sejak lima tahun lalu, Tuan. Tinggal sendiri." Mata Arga terlihat membesar, "o--oh," ia jadi diam sebelum menyentuh cangkir tehnya, "kota ini pasti tak buruk jika anda betah tinggal di sini, Nyonya."Aku tak menyangka ia akan berkata seperti itu dengan senyum yang kembali. Meski tawanya terlihat berbeda, manik Arga yang gelap seolah berkabut walau hanya sesaat.'Bukan tempat yang buruk?' Aku menoleh keluar. Hamparan salju sejauh mataku memandang menutupi lebatnya hutan Cemara yang jadi memutih, suara
"Tante...?" Ucap wajah kantuk yang matanya memperhatikanku lalu menguap lebar sampai berair.Tanganku terjulur, menutup mulut merah yang pemiliknya mengucek mata, melihat sandwich yang masih tersisa banyak meski susu coklat di samping piring hanya tinggal bagian dasarnya.Tadi, aku yang sedang bersih-bersih melewati lobi, melihat Banyu tertidur di sofa cafetaria, sendirian. Ini sudah lewat tengah malam, hampir jam 2 dan anak kecil yang duduk terkantuk-kantuk di pojok ruangan, keberadaanya tak disadari pegawai hotel. "Ayo, Tante carikan orang untuk mengantarmu," ucapku membopong tubuh kecil yang langsung melingkarkan tangannya pada leherku dengan mata terpejam. "Ng!" jawab Banyu kembali menguap dan menyenderkan kepalanya pada ceruk leherku.Namun, tangan kecil Banyu yang memeluk leherku menolak saat pegawai hotel yang mau mengantarnya ke kamar ingin menggendongnya.Banyu yang membuka mata malah makin menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku."I think, it's better that you take him