Share

Gue Suka Sama Nara

Ponsel Reza berbunyi.

Ia merogoh saku belakang celananya untuk mengambil ponselnya, ia berdecak kesal membaca pesan itu. Kenapa di saat seperti ini harus ada penghalang ke bahagiaannya.

 Reyhan A : Tuan hari ada rapat penting mengenai bekerja bersama dengan Worts Babel. Serta beberapa dokumen yang harus di tanda tanganin.

Reza M : Saya ke sana.

Reza bergegas untuk ke perusahannya untuk saat ini jadwalnya tidak bisa di tunda lagi apalagi dengan perusahaan Worts Babel. Jika ia berhasil bekerja sama dengannya itu akan sangat menguntungkan bagi MaLvi Company dan untuk dirinya sendiri.

Sesampainya di ruang rapat, Reza di sambut hangat oleh ketua Worts Babel. Tangan terulur untuk berjabat tangan, Reza yang ditemani oleh Reyhan dan beberapa karyawan kepercayaannya untuk melangsungkan rapat penting ini.

Setelah rapat berlangsung baik dari pihak Worts Babel dan pihak MaLvi Company, akhirnya mereka bersepakat untuk mendirikan perusahan baru yang akan nantinya berjalan dalam bidang perusahaan minyak. Letak utamanya markasnya akan berada di Texas. Mereka juga bersepakat akan menamai perusahaan barunya dengan nama MaLvi Babel yang akan beroperasi sekitar 9 bulan lagi.

“Rey, ke sini,” panggil Reza.

“Iya tuan, ada apa?”

“Gausah terlalu formal, biasa aja.”

“Ada apa ka?”

“Bawain gue jas baru,” Reyhan menggangguk paham lalu membawakan jas baru yang dipinta Reza.

“Ini ka.”

“Ambil kartu kredit itu, buat lo pakai aja gausah di balikin,” ujarnya seraya menunjuk kartu kredit.

Walaupun dengan sifat Reza yang seperti ini. Reyhan tidak pernah merasa tersinggung atas perbuatan Reza yang terkadang suka semaena-mena padanya. Malahan Reyhan sangat bersyukur karna sudah di pertemukan sama Reza. Berkat Reza kehidupan Reyhan jauh lebih baik dari sebelumnya. Baik Reyhan mau Reza, mereka sudah satu sama lain menganggap bahwa mereka adalah kakak adik.

Reyhan sangat memahami segala sisi Reza, mau Reza sekuat apa pun untuk menantang arus. Ia juga akan menangis jika sudah menyangkut orang yang ia sayangi. Reza itu sangat perhatian namun, dengan caranya sendiri.

“Ka ini berlebihan banget,” protes Reyhan.

“Ambil! Lagi juga lo udah berjuang sampai sekarang,” titahnya sambil memberi paksa kartu kredit itu.

“Lo kapan nikah? Mau bujang lapuk lo?” tanyanya sambil tertawa hambar.

“Apa jangan-jangan lo gay, ya!” tuduhnya.

“Gila lo ka! Ya gal ah. Gue nungguin lo bahagia.”

“Kalau gue ga bahagia?” tanyanya sambil menyereput teh miliknya.

“Ya… ga kan nikah gue...”

Plak!

Reza memukul lengan Reyhan, sontak membuat Reyhan kaget. “GILA!” hardiknya seraya berjalan keluar ruangan rapat.

“Rey!” Reza memunculkan kepalanya diambang pintu.

“Eh kaget! Sialan,” Reyhan memegangi dadanya.

“Jaga omongon lo!” desis Reza yang menatap tajam ke arah Reyhan.

“Itung semua keuntungan tadi, kalau rugi siap-siap nyawa lo!” ancam dan langsung menutup pintunya dengan kasar.

“Iya tuan.”

Reza berjalan ke lobby untuk mengambil mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit. Tapi sebelum itu ia akan mampir dulu ke cafe sahabatnya untuk membicarakan Nara.

Sesampainya di depan cafe, Reza berjalan masuk dan memesan americano dua dan menyuruh salah pelayan untuk mengantarnya ke ruangan Farhan.

“Bro!” sapa Reza seraya tersenyum ke arah Farhan.

“Ngapai ke sini?” Farhan yang menyahutnya dengan malas.

“Mainlah. Oh ya! Thanks udah mecat Nara buat gue,” Reza menepuk pundak sahabatnya.

Tok tok tok

“Maaf pak ini pesanannya,” ujar pelayan itu dengan sangat ramah.

Namun, ternyata perbuatan pelayan itu terlihat sangat salah. “Memangnya saya sudah memperbolehkan anda masuk?” itu bukan suara dari Farhan melainkan dari Reza.

“Maaf pak,” ujar mba Shafa yang sudah ketakukan.

“Za, taruh di meja saya,” sela Farhan.

“Baik pak, permisi.”

Reza menyeruput minumannya dengan tenang. “Gue suka sama Nara,” jelas Farhan.

Reza hampir tersedak mendengar perkataan Farhan. Ia menatap lekat sahabatnya seraya menaruh cangkirnya kembali. “Maksud lo?!”

“Gue harap lo budeg sama perkataan gue barusan.”

Sifat Farhan yang hampir mirip dengan Reza hanya saja Farhan masih terlihat ramah jika dibandingkan dengan Reza.

“Udah berapa lama?”

“Hampir satu tahun,” jawab Farhan dengan sangat tenang.

“Sialan!” desis Reza.

“Gue kasih dia ke lo kalau dia udah menderita sama perlakukan gue ke dia,” Reza kembali menyeruput minumannya.

“Lo yakin kalau nantinya lo gabakalan suka sama Nara?” kini Farhan sudah menyudutkan Reza.

Reza terdiam dan rahangnya mulai mengeras tatapannya sudah sangat gelap ke Farhan kemudian menggeleng perlahan. “Ga akan.”

Farhan tersenyum smirk. “Gue merasa tertantang sekarang.”

“Silahkan gue ga akan peduli dengan itu. Gue kasih Nara ke lo nantinya sebagai tanda ucapan terima kasih.”

Reza bangkit dari duduknya dan berjalan keluar sedangkan Farhan secara ga langsung ia sudah membuat Reza menjadi khawatir. Reza takut jika semuanya akan hancur. Reza yang kini sudah berada di dalam mobil langsung memukul stir dengan kencangnya seraya menyalurkan amarahnya. “Sialan Farhan.”

Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Hujan di kota Seoul mulai mereda perlahan dan menampil pelangi yang indah. Sekarang ia harus berhati-hati dengan Farhan.

Sahabat juga bisa berubah menjadi musuh, iya kan?

disisi lain aku terlihat sangat kebingungan  setiap perakataan mama yang dilontarkan.

“Mama…Nara ga paham sama yang mama bicarain,” protesku dalam hati.

“Mama? Apa mama yakin sama keputusan mama?” tanyaku yang mencoba untuk meyakinkan mama.

Mama Sherlie menatap lekat putrinya dan membawa putrinya ke dalam dekapannya seraya mengangguk pelan.

Aku merasakan mama menyimpan sesuatu dariku.

“Apa mama yakin kalau Reza baik?” tanyaku seraya memotong apel. Sherlie melihat tangan putrinya lalu menggenggam tangan putrinya dengan lembut.

“Mama yakin sayang,” ujarnya sambil mengelus rambut panjang putrinya.

“Tinggalkan Reza, Nara,” batin Sherlie yang sangat tertekan.

“Yaudah kalau itu keputusan mama, Nara tau ko kalau itu yang terbaik buat Nara dari mama.”

“Mama itu sebenarnya kenapa?” batinku yang mulai kebingungan dengan sikap mama yang menyuruhku untuk menikahi pemuda asing.

“Sekarang mama istirahat ya, Nara ada di luar ko,” sambungku sambil membantu mama untuk beristirahat lagi.

Aku melenggang pergi dengan perasaan yang masih berkecamuk. Aku mengeratkan sweaterku yang beberapa hari lalu tertinggal. Apa kehidupan anak SMA akan sesulit ini? Atau memang akunya saja yang tak kuat menghadapinya.

“Papah…Nara ga kuat,”ujarku yang sudah sangat lelah lalu memeluk lututku, aku tenggelamkan kepalaku di lutut. Aku menangis lumayan kencang tanpa memeperdulikan orang lain yang melihat ku seperti ini, saat aku bangkit dari posisiku, aku mendapati Reza yang tengah menatapku dengan tatapan iba  tapi ada senyuman yang terukir.

Senyuman itu terlihat seperti mengejekku namun, aku tidak terlalu peduli denganya, aku sudah sangat cape hari ini.

Aku hanya menghela nafas kasar seraya berjalan menghampirinya, aku duduk di  sampingnya. Ia masih menatapku tanpa henti dan  itu membuat aku mulai risih dengannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status