Waktu yang Hilang
- Bukan Prioritas"Mbak, ayo makan dulu!" ajak Ana setelah mengambil piring dan sendok dari rak pantry kantor."Kamu makan dulu. Aku belum lapar ini, An," jawab Melati. Masih sibuk meneliti deretan angka yang tertera di layar komputernya."Aku ambilin, ya."Melati menatap saudaranya. "Aku belum lapar. Aku makan nanti saja.""Kalau waktunya makan harus makan, Mbak. Biar nggak sakit, biar kuat menghadapi kenyataan," canda gadis muda itu."Apalagi kenyataan hidup Mbak Melati yang membuatku nyaris gila meski hanya melihatnya saja," tambah Ana."Bisa saja kamu." Melati berdiri dari duduknya, kemudian mendekati Ana yang tengah mengambil nasi di meja kosong sudut ruangan.Biasanya ada karyawan yang mengambilkan makan siang untuknya, sekalian untuk para pekerja lain. Tapi sudah beberapa waktu ini, Melati membawa bekalnya sendiri"Kita makan di belakang, yuk, Mbak!" ajak Ana.Keduanya melangkah ke belakang. Duduk di tempat biasanya. Sebuah balai-balai dari bambu yang ada di bawah pohon mangga.Melati diam sejenak. Menghirup udara siang yang segar seraya menatap di kejauhan. Pada hamparan tanaman teh yang menghijau. Juga memandang Gunung Arjuno yang berdiri megah di hadapan. Gunung kokoh yang ingin ditaklukkan para pendaki.Siang yang cerah. Namun tetap saja terasa sejuk, karena suasana di pegunungan memang seperti itu.Angin siang meriapkan ujung jilbab warna hijau sage yang dipakai Melati."Mbak, buruan di makan. Nanti lembek malah nggak enak," tegur Ana menunjuk pada piring saudaranya.Melati mengangguk kemudian mulai menyuap nasi. Dulu dia kerap makan bersama dengan Akbar di tempat itu. Sambil ngobrol dan bercanda.Waktu hamil Moana, Melati sering tiduran dengan berbantalkan pangkuan suaminya di balai itu. Ada saja bahan percakapan yang membuat mereka tergelak bersama, hingga perut besar Melati terguncang. Akbar akan mengelusnya penuh cinta. Tiga tahun mereka menunggu hadirnya buah hati, akhirnya Melati hamil juga yang disambut suka cita oleh Akbar.Namun kebahagiaan itu tidaklah lama. Semua terenggut oleh kehadiran perempuan bernama Nara. Segalanya berubah dalam sekejab saja.Biasanya ke mana pun Akbar pergi, pasti akan memberitahu tujuannya pada Melati. Jadi sang istri tahu posisi suaminya ada di mana. Tapi sekarang, tak penting lagi untuk memberitahu. Yang penting sudah pamitan kalau hendak ke luar. Hanya sesekali saja Akbar bilang tujuannya hendak ke mana.Apakah jika tidak memberitahunya, bermakna dia tengah mencari perempuan itu? Kekasih hatinya?Melati menarik napas dalam-dalam."Mbak, makan dulu. Jangan sampai Mbak tumbang dan sakit. Apapun masalahmu, tunjukkan kalau kamu kuat dan hebat. Jadi perempuan tangguh jangan setengah-setengah. Kalau kamu kuat hidup berbagi, jangan biarkan tubuhmu rapuh. Rawat diri, biar tetap cantik dan glowing. Ini bukan untuk suamimu yang tega menduakanmu. Tapi untuk dirimu sendiri. Sayangi dirimu sendiri, Mbak."Senyum merekah di bibir Melati. Saudaranya ini masih sangat muda. Tapi pemikirannya dewasa. Mereka berdua memang perempuan-perempuan yang digembleng oleh keadaan. Kerasnya hidup yang harus ditanggung, membuat mereka belajar dari kondisi yang dihadapi. Menjadi dewasa oleh keadaan yang menuntutnya untuk bisa berpikir lebih jauh dari usia mereka.Ketika tengah asyik makan, muncul Saga sambil membawa kantung plastik. "Aku cari di dalam, rupanya kalian ada di sini," ujar laki-laki itu seraya duduk di bangku kayu sebelah mereka. Lantas memberikan apa yang dibawanya pada Melati."Apa ini?" Melati melihat isinya. "MasyaAllah, kamu ingat aku ini Moana yang suka lolipop dan es krim."Saga tersenyum. "Sekali-kali menghibur diri dengan berlagak menjadi anak kecil, Mel. Jaga kewarasan."Ganti Melati yang tersenyum kecut seraya membagi pemberian Saga kepada Ana. Gadis itu meletakkan piringnya yang sudah kosong dan membuka es krim rasa cokelat.Tiap hari ada saja penjual es atau makanan keliling yang datang ke perkebunan mereka."Kamu sudah makan?" tanya Melati pada pria yang menyalakan rokoknya."Sudah tadi."Melati menggeser satu botol air mineral untuk Saga. "Perbanyak minum. Badanmu masih demam, nggak?""Udah mendingan.""Minum obat lagi. Kamu bawa obatnya?"Saga menggeleng."Wajahmu masih pucet gitu. Jangan remehkan sesuatu yang terlihat sepele, Ga. Obati betul-betul lukamu. Pergilah ke dokter. Untuk kasusmu sebaiknya papa harus dikasih tahu. Selama ini beliau hanya tahu perkelahianmu saja. Tanpa tahu bagaimana mereka berhasil melukai tubuhmu."Pria muda yang tengah merokok itu hanya menjawab dengan senyuman. Membuat Melati tambah geram. "Ga, ayolah bertindak. Sudah berapa kali kamu dibuat seperti ini? Dan orang rumah serta orang lain tahunya kamu emang suka tawuran dan bikin masalah. Bersihkan nama baik kamu.""Sebersih apa?" tanya Saga santai."Jangan bercanda. Aku serius. Menjaga nama baik itu perlu, Ga."Tatapan Saga menerawang pada langit lepas yang biru jernih. Bibirnya meniup asap rokok hingga meliuk-liuk di embus angin."Aku tidak takut dibenci, Mel. Oleh siapapun itu. Aku juga tidak berharap untuk disukai. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku juga tidak ingin mengemis simpati dari siapa pun." Saga berhenti sejenak. "Aku sudah terbiasa dengan lingkungan ini sejak aku masih dalam kandungan ibuku. Aku biasa dibenci dan menyembuhkan lukaku sendiri. Menyemangati diri untuk terus berjuang semampuku. Mungkin sampai aku tumbang karena tak mampu lagi bertahan. Banyak hal yang mengajariku untuk diam. Diam tapi tahu segalanya."Melati diam, kalimat Saga bermakna sangat dalam. Bahkan Ana pun menunduk, terharu."Kamu tahu apa yang membuatku bertahan di sini?" Saga menoleh pada Melati. Mereka bersitatap. "Papa yang membuatku tidak bisa pergi. Papa yang bisa membuatku bisa merasakan, memiliki orang tua seperti anak-anak lainnya. Hingga suatu hari nanti, ada waktu di mana mengharuskanku pergi, angkat kaki dari sini."Ya, ketika Saga menikah dengan Alita. Sudah pasti akan pindah dari perkebunan. Melati yakin. Jika menikahi gadis itu, sudah pasti Saga akan pergi. Lalu, Melati akan kehilangan teman untuk berbagi kisah."Aku doakan, pernikahanmu dengan Alita nanti bisa memberikanmu kebahagiaan," ucap Melati tulus dengan senyuman yang menghiasi bibirnya.Saga diam lantas mengalihkan perhatian.Hening menerpa mereka bertiga. Ana ikut sedih dalam arus permasalahan yang mereka hadapi. Ikut prihatin dan merintih dalam hati. Namun melihat mereka berdua, Ana bisa merasakan betapa tangguh dua orang di sebelahnya itu.Saga meletakkan ponsel di jok samping. Beberapa kali membunyikan klakson tapi juga percuma. Kemacetan sudah memanjang mulai dari depan. Macet total karena ada perbaikan jalan. Bisa jalan hanya bergerak maju sendikit, lantas berhenti lagi.Sabar sabar. Ini bukan di film India yang dia bisa meninggalkan mobilnya di sana dan lari secepat Cetah yang melompat dari mobil ke mobil lainnya, bahkan melangkahi bangunan tinggi. Adegan film yang rasanya sangat mustahil dan tidak masuk akal itu, ingin rasanya di tiru saat ini.Melihat ponselnya kembali berpendar, membuat Saga menyambar benda itu. "Halo, Sayang. Bagaimana?""Aku sudah sampai rumah sakit, Mas. Barusan di periksa dokter.""Lalu ....""Ternyata ini sudah bukaan lima. Dan aku bisa lahiran normal.""Loh, katanya beresiko kalau lahiran normal? Mana dokternya biar mas ngomong sama dia.""Dokternya sudah kembali ke kantor. Katanya nggak apa-apa aku lahiran normal. Barusan di cek semua baik-baik saja. Tensiku juga normal. Mas, jangan khawati
Waktu yang Hilang- Best MomentSaga membantu Melati menyiapkan segala perlengkapan untuk persalinan Minggu depan. Dokter kandungan sudah menyarankan supaya Melati melahirkan secara cesar saja untuk persalinan bayi kembarnya. Melati menolak, tapi Saga memintanya untuk menyetujui. Mengingat dua bulan terakhir ini Melati dua kali opname karena demam tinggi. Minggu depan genap 38 minggu usia kehamilannya. Dokter kandungan sudah menetapkan jadwal operasi untuknya.Kedua janinnya sehat. Masing-masing memiliki plasenta dan air ketuban. Jadi sudah siap dilahirkan di Minggu ke 38."Budhe Tami sampai sini sekitar jam setengah tiga sore, Mas. Tadi siang beliau ngabari," kata Melati sambil melipat baju yang hendak di masukkan ke dalam travel bag."Oke, besok mas akan pulang lebih awal dan langsung jemput budhe ke stasiun."Budhe Tami memang akan menemani Melati pada persalinan nanti. Rencananya wanita itu akan tinggal di Jogja sampai si kembar umur selapan."Mulai besok nggak usah lama-lama di
Melati tersenyum. Jagoan kecilnya sudah tebar pesona. Melihat Shaka, ia jadi teringat masa kecil suaminya. Begitulah Saga waktu kecil. Tapi Shaka memang lebih bersih dan terawat, karena jarang bermain di kebun. Kalau Saga dulu, keluyuran di kebun sampai kulitnya lecet-lecet. Berenang di kali bersama teman-teman, termasuk dirinya juga. Melati paling kecil di antara mereka."Kenapa senyum-senyum?" senggol Saga."Aku ingat masa kecilmu, Mas."Saga hendak menggoda sang istri, tapi mereka dikejutkan oleh suara salam dari pintu depan."Itu Gama datang!" Bu Ariana bangkit dari duduknya dan melangkah ke ruang tamu. Wanita itu tercekat sejenak saat melihat Gama datang bersama seorang wanita tinggi semampai. Memakai celana bahan warna krem dan blouse warna putih. Diakah pacar Saga? Gadis itu tersenyum ramah dan mencium tangan Bu Ariana. "Selamat malam, Tante.""Selamat malam.""Namanya Alita, Bulek." Gama memperkenalkan gadis itu pada sang bulek. Membuat Bu Ariana kaget, tapi tidak menunjukkan
Waktu yang Hilang- Gama dan Perempuan ItuAkbar melongok ke luar jendela. Meninggalkan sejenak laptopnya untuk melihat apa yang tengah dilakukan oleh Moana dan Shaka di luar sana.Tampak dua bocah itu sedang duduk di bawah pohon mangga. Bermain masak-masakan. Moana menuangkan sesuatu dari teko kecil ke dalam cangkir mainan. Shaka lantas pura-pura meminumnya. "Manis?"Shaka mengangguk-angguk. Moana kemudian memberikan piring kecil berisi biji-bijian. "Di makan, ya!"Bocah laki-laki itu mengikuti perintah sang kakak. Pura-pura memakan benda di piring kecil yang sama sekali memang tidak boleh di konsumsi.Pertama kali diajak bermain masak-masakan oleh Moana, Shaka sempat bingung. Dia tidak pernah bermain seperti itu, bahkan melihatnya pun belum pernah, karena mainannya di rumah hanya mobil-mobilan, robot, puzzle, dan buku mewarnai.Akbar tersenyum melihat tingkah mereka. Bahagia karena mereka sangat rukun. Shaka juga penurut. Dia juga kerasan tinggal di Malang. Tapi di Jogja sana, Saga
Sebenarnya Melati berharap kalau Moana yang akan tinggal di Jogja selama liburan. Ternyata Shaka yang justru ingin ikut ke Malang. Baik Saga maupun Melati hanya khawatir kalau anak itu tiba-tiba rewel dan minta pulang. Sebab selama ini jarang sekali berjauhan dari kedua orang tuanya. Paling seharian main ke rumah Bu Ariana dan sorenya sudah di antar pulang."Lasmi kamu suruh ikut?""Ya, Bulek. Mak Lasmi sendiri juga pengen ke Malang.""Uti bakalan kangen sama kamu." Bu Ariana mengusap kepala Shaka."Uti, mau ikut?" Ah, malah ditawari pula."Enggak. Uti nunggu Shaka di sini saja."Bu Ariana mengusap permukaan perut Melati. "Kemarin jadi pergi ke dokter?""Ya.""Cowok apa cewek?""Cowok lagi dua-duanya," jawab Melati sambil tersenyum."MasyaAllah. Moana bakalan cantik sendiri."Melati tersenyum. Akbar yang duduk tidak jauh dari mereka mendengar jelas percakapan itu. Dia juga tidak sabar ingin segera melihat bayi kembar Melati lahir ke dunia. Dalam hati turut juga merasakan kebahagiaan i
Waktu yang Hilang- Terbongkarnya Rahasia "Aku paham bagaimana perasaan Mbak Melati, Mas. Dulu saja dia sempat stres saat berpisah dengan Moana, setelah kalian resmi bercerai." Tini berusaha memberikan pengertian pada Akbar. Sebab dia tahu betul bagaimana sedihnya Melati kala itu."Kamu tahu?""Ya, aku tahu." Tini menarik diri dan duduk tegak menghadap sang suami. "Maafkan aku. Dulu aku diam-diam membalas pesan yang dikirimkan Mbak Melati. Hampir tiap saat aku mengirimkan foto kegiatan Moana."Akbar juga menegakkan duduknya. Serius mendengarkan istrinya bicara. Baru kali ini ia tahu kenyataan yang sudah lewat kurang lebih empat tahun yang lalu."Aku nggak sampe hati melihat Mbak Melati menangis setiap hari dan menderita, Mas. Tiap malam telepon aku dengan suaranya yang serak. Aku bisa merasakan bagaimana sakitnya berpisah dari anak. Aku saja yang hanya pengasuh Moana, selalu terbayang-bayang jika aku izin pulang. "Dia cerita mengalami hal tersulit setelah meninggalkan Wonosari. Data