Teriakan alarm membangunkan Hasung. Tubuhnya masih terasa remuk redam, kepalanya juga masih pening, dan demam yang melandanya masih belum ada tanda-tanda untuk menurun. Dengan hati-hati, Hasung melenyapkan suara alarm itu menggunakan satu sentuhan kecil sembari memeriksa keadaan sekitar. Ketika Hasung hendak mengangkat tubuhnya, tiba-tiba terdengar suara seseorang menekan kombinasi kunci rumahnya. Hasung sudah tahu, itu pasti Adelian. Jadi, Hasung tak peduli.
“Adeul[1].”
“Eomma[2]?” Mata sipit Hasung langsung membesar. Ternyata yang datang bukan Adelian. Hasung Menemukan ibunya datang dengan bingkisan plastik besar. “Bagaimana Ibu bisa datang ke sini?” Hasung masih tak habis pikir. jam berapa ibunya berangkat dari Incheon hingga tiba di Seoul sepagi ini.
“Lian menelepon Ibu dan mengatakan kau sedang sakit,” jelas Ibunya saat hendak berlalu menuju dapur. Namun, raut heran di wajah Hasung sama sekali belum hilang, terlebih lagi saat melihat Ibunya yang memutar arah dan melangkah mendekat. “Tapi apa ini?” tanya ibunya.
Hasung menggeleng dan ikut memeriksa sesuatu yang mencuri perhatian ibunya.
“Eommoni, Anda sudah datang?” Tiba-tiba suara sapaan itu terdengar disusul dengan kemunculan makhluk mungil berambut berantakan yang membungkus tubuhnya dengan mantel dan syal dari bawah ranjang tempat tidur Hasung.
“Hei! Apa yang kau lakukan di sana? Kau bilang kau akan segera pulang setelah menonton drama,” pekik Hasung tak percaya, menemukan Lian yang tertidur semalaman di bawah tempat tidurnya tanpa selimut dan bantal.
Lian terkekeh, masih setengah sadar. “Selamat pagi, Eommoni!” sapa Lian sekali lagi. Ia berdiri, lalu membungkuk dan memberi salam seadanya.
Sang Ibu hanya mengangguk dengan tawa tertahan melihat kepolosan Adelian, sedangkan Hasung masih mematung dengan ekspresi sulit untuk percaya.
Setelah semuanya dipastikan bernapas dengan kesadaran penuh, Ibu Hasung segera menghampiri dapur untuk membuat sarapan, termasuk sup kimchi agar Hasung segera sembuh. Namun, entah kenapa saat sedang melangsungkan sarapan bersama, Hasung malah melirik Lian dengan tatapan murka, sedangkan Lian tetap memasang wajah tak bersalah sembari tersenyum senang menyantap makanan karya ibu Hasung.
“Inilah yang dinamakan seni yang sesungguhnya,” puji Lian. Wajahnya mengekspresikan seolah-olah ia sudah tenggelam ke dalam lezatnya masakan Ibu Hasung.
***
Selain kisah menggelikan itu, ada juga satu kisah yang membuat Lian semakin merindukan Hasung dan ingin berterima kasih untuk ke sekian kalinya pada lelaki itu.
Pada suatu pagi yang terbilang biasa. Suara kombinasi pintu rumahnya yang ditekan seseorang, membuat Hasung terbangun lalu buru-buru memperbaiki posisi tidurnya. Ia tahu itu pasti Lian karena orang tuanya yang berada di Incheon, hanya Lian yang tahu kombinasi kunci rumahnya dengan baik.
“Hasung-ah, kau ada jadwal hari ini?” Sudah tidak diragukan lagi, itu suara Lian.
“Ada, nanti siang,” jawab Hasung tanpa semangat. Tubuhnya masih dilahap selimut juga matanya masih terpejam.
Adelian duduk membisu di samping tempat tidur Hasung tanpa mengatakan apapun, membuat Hasung mendesah lalu mengangkat tubuhnya cepat. Ia menemukan Lian yang menatapnya dengan bibir manyun. “Ayolah! Jangan seperti ini. Katakan jika kau ingin bantuanku.”
Tiba-tiba senyum Lian mengembang, “Aku ada praktik pagi ini, kau mau membantuku, ‘kan?”
Hasung mendesah sekali lagi, anggukannya seketika membuat Lian meloncat senang dan langsung berlalu dari kamar Hasung. Hasung mengangkat tubuhnya dengan setengah hati. Jika bukan karena Lian, ia tak akan melakukannya. Hasung pantas bersyukur dikaruniai tubuh yang bisa dikatakan sehat sehingga bisa membantu Lian kapan pun gadis itu membutuhkan bantuan.
“Tekan seperti ini selama lima menit,” pinta Adelian sembari mencontohkan dengan lengan tangannya sendiri pada Hasung.
“Kau berbicara seolah-olah ini pertama kalinya aku melakukannya untukmu,” ujar Hasung.
Hasung memeriksa sekitar. Ruangan itu dipenuhi aroma kehidupan yang menyengat, aroma darah dan obat-obatan. Untuk kesekian kalinya ia membiarkan Lian menyedot darahnya dengan berbagai alasan praktik. Seperti kali ini, cek gula darah. Lian menjelaskan sesuatu pada Hasung, tapi Hasung tak mau memperhatikannya karena ia sudah bisa menebak apa yang akan Lian katakan.
“Gomawo, chingu-ya[3],” ucap Adelian senang.
Hasung hanya mengangguk lalu melangkah dengan lambaian ringan seakan-akan darah yang ia sumbangkan untuk praktik Lian pagi ini menyedot sebagian nyawanya.
“Lian-ah, pacarmu?” tanya Goo Nara yang rela jauh-jauh datang ke tempat duduk Lian. Ia menunjuk Hasung yang melangkah ke luar ruangan.
Lian menggeleng.
“Dia mahasiswa Menejemen Bisnis, bukan? Shin Hasung!”
Lian mengangguk seadanya, ia tak terkejut Goo Nara mengetahui Hasung. Hasung memang cukup terkenal di kalangan wanita lantaran sifatnya yang hangat, ramah, dan mudah akrab. Selain itu Hasung juga rajin mengikuti berbagai klub kampus yang membuatnya semakin populer.
“Bisa atur aku ketemu dengannya?” Goo Nara terlihat semakin antusias.
“Goo Nara, bukankah kau pacaran dengan Park Minseok, mahasiswa Fakultas Kedokteran?” tanya Jiyul cepat.
“Aku sudah putus dengannya dua hari yang lalu,” jawab Nara dengan enteng.
Adelian, Jiwoo, dan Jiyul saling menatap satu sama lain lalu menggeleng. “Aku tidak berpengalaman dalam masalah atur mengatur hubungan orang, mian[4],” jawab Lian.
Nara berdecak sembari menggeleng sinis. “Baiklah kalau begitu. Sebenarnya, aku tak perlu bantuanmu, aku bisa mengaturnya sendiri, ” tukasnya.
Wanita yang katanya blasteran Korea-Canada dengan pakaian modis bak mahasiswa design itu langsung melangkah pergi meninggalkan Adelian, Jiwoo, dan Jiyul yang diam dan juga heran. Suara high heels yang dikenakan Nara menggelegar dengan elegan, mencuri perhatian sebagian besar penghuni ruangan.
[1] Putraku.
[2] Ibu
[3] Terimakasih, teman.
[4] Maaf (informal)
“Karena sebuah takdir itu persis seperti melempar bumerang. Sejauh apa pun kau melemparnya, ia akan kembali kepada titik semula. Sejauh apa pun kau bersembunyi dan menutup diri dari kenyataan, niscaya kau akan kembali berjalan pada takdir yang seharusnya. Jika pada satu kisah kau tak bertemu dengannya lagi, itu berarti dia bukan takdirmu. Sebenarnya, cara Tuhan sesederhana itu. Hanya saja, kadang kau berusaha terlalu keras untuk menghindar dan berjalan pada jalan yang tidak seharusnya. Jikalau karena itu kau pun terluka, jangan salahkan Tuhan. Salahkan dirimu yang tak mau percaya pada takdir-Nya.”Itulah bunyi tulisan hangat dalam sebuah lukisan raksasa di sudut pekarangan vila. Semua orang dapat melihat tulisan yang dipersembahkan oleh Han Jinhee itu. Semua orang tersentuh sembari memandangi satu sama lain untuk melempar senyuman.Hampir dua tahun telah berlalu. Lian sudah kembali ke Korea setelah menyelesaikan tugasnya di Ja
Lian melangkah gontai keluar dari kamarnya. Ia ingin tidur, tapi tak bisa. Ia pun terpaksa ke luar. Lian tak ingin memikirkan apa pun. Namun, lelaki itu terus masuk ke kepalanya.“Astaga!” Mata Lian membesar. Tubuhnya terpental beberapa senti ke belakang, lalu langsung memaku bak patung.“Maaf, aku mengagetkanmu.” Suara itu keluar dari mulut Hasung yang sudah bersila di atas karpet di depan sofa dengan bungkusan makanan yang mengeluarkan aroma gochujang yang menyengat.“Apa yang membawamu ke sini?” tanya Lian. Ia belum berniat untuk mendekat.“Aku bawa Odeng dan Tteokpokki. Ayo makan bersama!” pinta Hasung. Wajahnya berseri, tidak seperti sebelumnya.Tentu saja Lian kebingungan. “Apa yang merasukimu?”Hasung tersenyum. Lama menunggu Lian yang masih tetap pada posisinya, Hasung langsung menarik tubuh Lian dan memintanya segera duduk. Lian tak memberontak, t
Sesi pembacaan naskah untuk naskah drama terbaru yang digarap Han Jinhee berjalan dengan sangat lancar. Semua pihak hadir tanpa terkecuali. Penulis novel yang digarap oleh Jinhee menjadi Naskah drama pun hadir ditemani Shin Hasung sebagai perwakilan dari pihak penerbitan Ahn Young. Di mana Ahn Young-lah penerbit yang membuat naskah novel ini menjadi best seller sampai beberapa kali cetakan hingga produser tertarik untuk menjadikannya sebuah drama. Hasung pulang. Kali ini tidak dengan Jinhee yang tadi pagi lebih dulu menawarkan diri untuk menjemputnya. Ia pulang sendiri dengan wajah yang tidak sesegar pagi tadi.Saat Hasung baru saja menapaki kakinya keluar dari lift, ia menemukan pintu rumah Lian yang baru saja tertutup. Sepertinya Lian baru pulang sama sepertinya. Hanya saja, jika Hasung bisa sedikit lebih cepat, mereka pasti akan bertemu dan Hasung mungkin tidak akan bisa me
Lian melangkah gontai menerobos dinginnya malam. Ia terpaksa pulang lebih dulu karena tak tahu harus berbuat apa. Di sepanjang jalan yang sepi, Lian terus terisak sembari menyembunyikan wajahnya dengan tekukan. Ia memeriksa sekeliling sebentar. Namun, semuanya tampak biasa dan bahkan Hasung pun tak muncul untuk mencegah kepergiannya seperti yang ia harapkan.Lian kembali terisak. Kali ini ia tak bisa menahan suaranya. Namun, ia tak berhenti melangkah. Meskipun kadang ada taksi yang berjalan pelan melintasinya Lian tak peduli.Sampai satu sedan merah berteriak dengan klaksonnya dan menghentikan langkah gontai Lian. Tanpa pikir panjang, Lian mendekat. Ada Jiwoo yang muncul dari balik kemudi. Sahabatnya itu tampak iba. Namun, tak bisa berbuat banyak. Untung saja Jiwoo tidak sedang sibuk sehingga tak lama dari saat Lian menghubunginya, ia sudah tiba.Satu loncatan kecil membuat Lian kini sudah berada di samping Jiwoo. Mata basah Lian menjelaskan semuanya, termasuk m
Hasung dan Lian sudah tiba di Lotte World[1]. Mereka tampak berjalan seperti biasa di tengah keramaian dengan setelan musim dingin yang juga terlihat biasa. Hanya saja, Lian sedikit terlihat berbeda karena menambah polesan make up di wajahnya yang terlihat tidak setipis biasanya.Lian menyadari sebagian besar pengunjung sudah memakai bando animasi yang didapatkannya di toko dekat pintu masuk. Lian pun mengajak Hasung untuk memakainya. Hasung menolak. Namun, Lian terus memaksanya hingga bando berbentuk kucing singgah di kepala Hasung dan Lian terlihat bahagia dengan bando kelinci yang sesuai dengan setelan white-peach nya.Saat berjalan-jalan memeriksa sudut taman bermain terbesar di Korea itu, Lian dan Hasung menikmati waktunya dengan menikmati latte hangat. Mereka persis terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan. Mereka juga menemukan ada banyak orang yang terlihat melakukan hal yang sama, tapi dengan
“Hasunglah yang bertemu dengan Goo Nara dan memintanya untuk menjelaskan semuanya padamu.”Deg! Degupan keras menghantam jantung Lian. Tak ada alasan pasti, hanya saja mendengar pengakuan Jiwoo jantungnya hampir berhenti berdetak. “Bagaimana mungkin?” Lian tak habis pikir.“Apa yang kau pikirkan ketika dia masih peduli kejadian tujuh tahun silam?” Jiwoo menginterogasi.Lian menggeleng sembari berusaha menyeimbangkan napasnya. “Kenapa dia harus melakukannya?” Lian bertanya pada Jiwoo juga pada dirinya sendiri yang terheran. “Dia bisa saja tak peduli apa pun tentang saat itu, tapi kenapa dia melakukannya?” tanya Lian sekali lagi.“Mungkin dia juga masih mengharapkanmu.” Jiwoo tak sepenuhnya yakin dengan apa yang ia katakan. “Seperti yang kau katakan. Jika dia memang tak punya harapan, seharusnya dia melupakannya, bukan?”Lian menghela napas dalam-dala