"Natalie ... buka pintunya, Natalie!" Suara ketukan terus terdengar dari balik pintu.
Sementara Natalie masih terlihat tenang, mendandani dirinya di depan cermin.
"Natalie ... apa kau dengar aku? Kumohon buka pintunya!" Suara itu terdengar memelas. Namun tak cukup membuat Natalie merasa iba, malah membuatnya jijik.
"Natalie ... please! Aku akan segera membawa Celine ke hadapanmu! Aku akan membuat dia berlutut meminta maaf padamu! Kumohon, buka pintunya!" Suara Rio terdengar serak.
"Cih! Merepotkan!" Natalie mencibir.
"Huh ... baiklah. Mari kita tes kemampuan aktingku!" Natalie berjalan menuju sebuah rak kosmetik. Ia mengambil eyeshadow, lalu mulai melukis wajahnya. Sentuhan terakhir, ia memakai tetes mata, supaya terlihat seperti orang menangis hingga mata membengkak.Tak lama kemudian, ia membuka pintu.
"Natalie ...." Terlihatlah wajah Rio yang cemas. "Kau baik-baik saja?" tanyanya kemudian."Rio ...." Tanpa segan, Natalie memeluk lelaki itu dengan erat.
"Aku merindukanmu," rengeknya manja.Rio tak kuasa menahan godaan Natalie.
"Aku juga merindukanmu, Natalie." Rio membalas pelukan gadis itu. Sementara Natalie tersenyum licik di balik pundak pria itu."Kita masuk, ya." Rio mengajak Natalie masuk setelah menenangkannya.
Natalie hanya mengangguk, menuruti permintaan Rio.
"Apakah sakit?" Rio mencoba mengulurkan tangan, ingin mengusap pipi Natalie."Uh ... sakit." Natalie memegang pipinya untuk mencegah tindakan Rio.
"Kau tenang saja! Setelah ini, aku pastikan Celine merasakan dua kali lipat dari rasa sakitmu." Rio mengepalkan tangannya, menjanjikan perlindungan pada gadis itu. Ia tak tahu, justru tindakannya malah semakin membuat Natalie merasa jijik.
"Aku tak apa, Rio. Aku lebih suka jika kau meninggalkanku. Aku tak tahan diperlakukan bak seorang wanita murahan." Natalie merendah.
"Tenanglah, Natalie. Beri aku waktu untuk menceraikan Celine." Rio memeluk gadis di hadapannya.
Natalie yang merasa risih dengan perlakuan Rio segera mendorong tubuh Rio.
"Percuma, Rio! Orangtuamu tak akan setuju jika kau menikah denganku. Bagi mereka, aku hanyalah wanita penggoda.""Tidak! Mereka tidak mengenalmu dengan baik. Itu hanya fitnah dari orang yang iri padamu! Aku mengenalmu lebih baik dari mereka. Tenanglah! Kau tidak perlu memikirkan hal yang tak penting. Aku yang urus semuanya." Rio meyakinkan kekasihnya.
"Sekarang, ikut denganku!" Rio lalu menarik tangan Natalie."Mau ke mana?" Natalie bertanya dengan ragu.
"Ke rumahku. Untuk mendengar permintaan maaf dari Celine," ujar Rio dengan suara mantap.
"Jangan, Rio!" Natalie coba menahan Rio yang bersikeras membawanya pergi.
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin ke rumahmu. Itu akan membuat namamu tercemar jika melihatmu membawa seorang wanita yang dianggap penggoda. Jika itu tersebar, bisnismu akan terpengaruh. Aku tak ingin reputasimu hancur," Natalie menjelaskan, dengan wajah yang menunduk.
Sesaat Rio terdiam, memikirkan kata-kata gadis itu. Ia begitu terharu, karena dalam keadaan seperti ini pun, Natalie masih mementingkan dirinya. Itulah yang membuat Rio semakin menyukainya. Ia merasa Natalie cinta mati padanya.
"Baiklah! Kalau begitu, aku akan membawa Celine ke sini! Akan kubuat dia bersujud di hadapanmu!" ujar Rio, dengan penuh keyakinan, lalu kembali memeluk kekasihnya itu.
Rio tak tahu, wajah Natalie kini telah berubah. Tak lagi manis seperti saat menyambutnya. Natalie hanya tersenyum puas, mengetahui rencananya akan berhasil.
Begitu Rio pergi, Natalie kembali meregangkan tubuhnya di springbed, menikmati suasana manis yang ia cipta.
"Aku tak sabar menunggumu, Celine," gumam Natalie.Tak lama kemudian, terdengar handphone Natalie berbunyi. Sebuah video call tampak di layar. Terpampang jelas nama si pemanggil.
'Nyonya Boss'"Hello ...." Natalie menerima panggilan tersebut.
"Dari suaramu, sepertinya kau sedang menikmati sesuatu, Natalie!" seru suara di ujung sana.
"Belum. Tapi sebentar lagi aku akan menikmatinya, Nyonya. Dan kau akan jadi orang berikutnya yang merasa puas setelah pelangganku yang lain," ujar Natalie bangga.
"Oh, ya? Itu bagus. Lalu ... apa kau baik-baik saja? Kudengar seseorang menamparmu saat di cafe."
"Sepertinya jaringan informasimu sangat luas, Nyonya. Dan aku yakin kau sudah tahu siapa yang menamparku." Natalie coba menebak.
"Bukankah itu alasanku harus menelponmu sekarang? Tapi sepertinya kau baik-baik saja." Wanita di ujung telepon coba memprovokasi.
"Tamparan seperti itu tidak ada apa-apanya bagiku. Tapi nyonya, bengkak di wajahku ini tidak terlihat bagus. Bagaimana jika Rio tak lagi menyukaiku, hanya karena luka kecil ini?" keluh Natalie, lalu memperlihatkan pipinya.
"Huh ... baiklah! Berapa yang kau minta?" Wanita di telepon segera mengerti apa yang dimaksud Natalie. Setiap ucapan gadis itu mengandung makna. Yang artinya, Natalie meminta bayaran lebih.
"Tak banyak. Hanya bayaran untuk biaya pengobatan. Kau tahu ‘kan, wajah ini sangat berharga." Natalie tampak mengelus wajahnya.
"Baiklah! Aku akan mentransfernya di rekeningmu. Anggap saja itu bonus, karena kau telah bekerja keras." Wanita itu mengiyakan permintaan Natalie.
"Terima kasih, Nyonya. Kau memang yang terbaik!" ucap Natalie, dengan tersenyum manis.
***"Ikut aku!" Rio menarik lengan Celine begitu pulang ke rumah, seusai menenangkan Natalie.
"Ke mana kau akan membawaku?" Celine mencegah Rio yang akan membawanya pergi.
"Ke rumah Natalie," jawab Rio, dengan wajah memerah.
"A-apa?! Tidak mau! Untuk apa ke rumah perempuan murahan itu?" Celine menolak mengikuti keinginan Rio.
Plak!
Untuk kesekian kalinya, Rio menampar Celine.
"Sudah kukatakan, jangan mengatainya!" Rio semakin murka."Lebih baik kau pukul aku, daripada aku harus merendah di hadapan wanita itu!" Celine masih keras kepala.
"Dengar, Celine! Jika kau masih ingin tinggal di sini, temui Natalie dan minta maaf padanya!" Rio membentak Celine dengan suara keras.
"Jika tidak ... silahkan keluar dari rumah ini!" Rio menghempas tubuh Celine, hingga ia tersungkur ke lantai."Rio ...." Celine menangis sejadi-jadinya.
"Dengar, Celine. Aku mencintai Natalie, tapi aku tak bisa menikahinya. Kau tetaplah ratu di rumah ini. Jika kau menuruti permintaanku, maka kau akan selalu menjadi ratu di rumah ini. Jika tidak, aku akan segera menceraikanmu," Rio mengancam.
Celine tak bisa membayangkan jika dirinya pergi dari rumah ini. Ia terbiasa hidup dalam kemewahan. Bagaimana jika ia pergi dari sisi Rio? Akankah ia menjadi pengemis? Ia sudah muak hidup menderita. Dengan susah payah ia merangkak naik ke ranjang pria ini untuk mendapatkan hidup yang nyaman. Ia tak rela kenyamanan itu direbut wanita lain.
"Bagaimana, Sayang? Kau tahu semua yang aku katakan selalu nyata, bukan? Aku tak suka wanita pembangkang. Jika kau masih mau menjadi ratu, turuti perkataanku," Rio masih mengancam, tapi kali ini dengan suara lembut.
"Ba-baiklah! Akan aku lakukan. Aku akan minta maaf pada Natalie." Celine pun mengiyakan ucapan Rio.
"Bagus. Itu baru sayangku. Sekarang, ikut aku!" Rio menarik tangan Celine, mengajaknya menaiki mobil, lalu bergegas ke rumah Natalie.
Dalam hati, Celine terus mengutuk Natalie. Ia semakin menyimpan dendam pada wanita ini. Pikirannya telah dikuasai oleh keserakahan. Ia tak rela membagi miliknya kepada wanita mana pun.
"Tunggu saatnya, Natalie. Akan kubuat kau menyesal! Aku akan membalasmu berkali-kali lipat." ucap Celine dalam hati, seraya menggenggam erat tangannya.
...
Sore harinya Jeremy pulang, dengan membawa beberapa obat penurun panas dan pereda nyeri untuk Rai. Meski sebenarnya ia tak ingin menyia-nyiakan uang untuk orang tak dikenal, tapi sisi kemanusiaaannya tak tega jika harus membiarkan Rai dalam keadaan sengsara.Sesampainya di rumah, ia mulai berteriak,"Bu ... Bu." Ia memastikan, jika ibunya ada di rumah."Masuklah, Jemz. Jangan berteriak seperti itu." Ibu Jeremy menasehati."Bu, di mana pria itu? Ia belum mati, kan?" canda Jeremy.Plak."Aw ... sakit, Bu." Jeremy meringis, saat sebuah sapu mendarat di kepalanya."Jaga ucapanmu, Jemz. Kau tidak lihat, pria itu duduk di kursi tamu?!" Ibu Jeremy memelototi anaknya itu."Ups!" Jeremy menutup mulutnya, saat menoleh dan mendapati Rai yang tengah menatapnya sangar."Hei, Bro. Kau sudah bangun rupanya. Bagaimana perasaanmu? Apa kau masih bisa merasakan denyut jantungmu?" Jeremy masih saja bercanda, kemudi
"Argh ... sakit!" teriakan Celine, begitu menggelora di dalam kamar."Maafkan aku, Denia. Kumohon," pekik Celine, memelas.Ia merasakan hawa panas di sekitar wajah, juga selangkangannya. Ia bahkan tak mengingat jelas, kapan terakhir kali ia pingsan. Setiap terbangun, Celine selalu merasakan gatal di sekitar selangkangan, serta wajahnya. Ia tak tahan untuk tidak menggaruknya, membuat bagian yang sensitif itu terluka."Denia ... kumohon ampuni aku. Argh ... aku tak sanggup lagi, Denia. Kumohon, beri aku obat. Argh ...." Suara itu kemudian berubah menjadi tangis pilu.Denia hanya tersenyum puas, mendengar tangisan Celine. Ia merasa tak perlu mengotori tangannya untuk menyakiti Celine. Justru tangan Celine sendiri lah yang membuat luka di tubuhnya."Wah, wah, Nyonya. Aku sangat terkesan padamu. Kau bahkan belum menggunakan tanganmu untuk menyakiti Celine, tapi wanita itu malah teriak dengan hebohnya," puji Natalie, dengan nada menyindir. 
"Sialan! Argh ...." Rio yang stres, terus melampiaskan amarahnya pada stir mobil.Beberapa menit kemudian, ponselnya berbunyi. Tertera nama Celine di sana."Cih! Untuk apa wanita murahan ini menelponku? Semua gara-gara dia. Seandainya ia tidak muncul, aku tak 'kan kehilangan kendali seperti tadi. Sekarang, apa yang harus kulakukan? Denia pasti tidak akan memaafkanku." Rio merenung sesaat. Menyesali atas apa yang ia ucapkan pada Denia. Ia benar-benar takut, jika Denia mengetahui hubungan gelapnya dengan Celine.Sebagai seorang lelaki, terkadang ia ingin mendapat perlakuan mesra dari Denia. Tapi, karena Denia seorang wanita karir, membuat ia jarang berada di rumah. Rio merasa diperlakukan seperti lelaki bayaran. Sekarang ia justru terjebak karena ulahnya sendiri.Ponsel Rio masih terus berbunyi, dari kontak yang sama. Dengan terpaksa, Rio mengangkat panggilan itu."Halo." Suara serak Celine terdengar dari ujung sana.
Wanita paruh baya itu tersenyum, melihat wajah Celine yang mendadak pucat."Terkejut? Kau pasti tak 'kan mengira hari ini akan datang, bukan?" Wanita itu mencibir."Natalie ... apa maksudnya ini?" Celine yang dipenuhi rasa penasaran, mulai mempertanyakan."Apa kau sungguh ingin tahu, atau kau takut menebak?" Bukannya menjawab, Natalie malah sengaja memancing amarah Celine."Ka-kau!" Celine tak mampu berkata-kata, saking emosinya."Bagaimana rasanya menjadi istri yang dibuang, Celine? Sakit, bukan?" Denia kembali buka suara."Seperti itu lah yang kurasakan lima tahun lalu! Kau merebut segala yang kupunya hanya dengan modal tubuhmu itu! Kau menghancurkanku, hanya dengan mengandalkan wajahmu! Sekarang, akan kubuat kau merasakan, perasaan dibuang. Dan ...." Denia mengangkat wajah Celine menggunakan telunjuknya."Akan kuhancurkan wajah cantik ini, agar tak ada lagi kebahagiaan yang rusak karena wajah ini!" Denia mengatakan itu, dengan penu
"Bagus Natalie. Bagus sekali." Seorang wanita tampak memuji Natalie, usai ia menyerahkan beberapa berkas penting."Seperti yang kau tahu, Nyonya. Aku selalu profesional," puji Natalie pada diri sendiri."Aku tahu, kau tak 'kan mengecewakanku. Kupikir kau akan segera menyerah, karena di telpon tadi, kau mengatakan masih belum mendapatkan apa-apa," sindir wanita yang akrab disapa Denia itu.Deg.Jantung Natalie bagai ditombak, mendengar perkataan nyonya Denia yang begitu menusuk."Oh ... soal itu. Aku hanya ingin memberimu surprize, Nyonya. Bukankah kau merasa terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba ini? Seperti yang kau lihat, misiku telah selesai." Natalie berusaha tenang dalam kebohongannya. Ia tak mau hanya karena sedikit keterlambatan, kliennya merasa tidak puas. Jaringan nyonya Denia sangat luas, jika Natalie bisa memuaskan klien satu ini, kemungkinan di masa depan ia tak 'kan susah mendapatkan misi lagi. Karena nyon
"Ah ... apa yang kau lakukan padaku, Natalie?" erang Celine, saat Natalie mengikat kedua tangannya, serta menyiramkan air di atas kepalanya."Tenanglah! Ini hanya air. Lagipula tidak beracun," ujar Natalie, santai."Kau gila, Natalie! Lepaskan aku!" bentak Celine lagi."Terserah! Sebelum kau mengatakan dengan jelas di mana Rio menyimpan berkas-berkas itu, aku tak 'kan melepasmu!" ancam Natalie."Sungguh, Natalie. Aku tak tahu apa-apa. Dengan posisiku saat ini, apa kau pikir Rio akan memberitahuku tentang itu." Celine mengiba.Natalie sejenak berpikir."Sial! Kau adalah nyonya di rumah ini! Kau adalah istri sah sekarang. Bagaimana bisa kau tidak tahu di mana suamimu menyimpan berkas penting seperti itu!" Natalie murka. Ia mulai tak bisa mengendalikan diri."Aku tidak berbohong. Aku sungguh tak tahu. Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu. Selama ini aku hanya menginginkan posisi nyonya, sama sekali tidak memikirkan ha