Share

Wanita Bercadar Itu, Istriku
Wanita Bercadar Itu, Istriku
Penulis: Nelda Friska

Bab 1

"Den, Maaf Bibi mengganggu. I-itu ... Nyonya Khanza. Nyonya pergi dari rumah."

Aku terperanjat mendengar perkataan Bi Minah di seberang sana. Kupunguti pakaian yang berserakan serta bergegas mengenakannya. Tak kuhiraukan wanita di sampingku yang menatap penasaran dengan apa yang terjadi hingga aku bisa sepanik ini. Yang terpenting sekarang aku harus segera pulang untuk memastikan bahwa apa yang asisten rumah tanggaku ucapkan tidaklah benar.

"Ada apa, Mas? Terjadi sesuatu?" tanyanya sembari menaikkan selimut yang menutupi tubuh po losnya hingga sebatas dada.

"Mas harus pulang, Najwa. Bi Minah barusan bilang kalau Khanza pergi dari rumah."

"A-apa? Mbak Khanza pergi?"

"Ya. Maaf karena malam ini Mas tidak bisa menginap di sini."

"Iya, gak papa, Mas. Aku ngerti kamu pasti mengkhawatirkan Mbak Khanza."

"Terima kasih, Sayang. Mas janji akan mengganti waktu kebersamaan kita di lain hari. Jaga diri kamu baik-baik."

Setelah mengecup keningnya sekilas, aku bergegas keluar dari kamar yang hampir saja menjadi saksi bisu malam panjangku bersama Najwa untuk yang kesekian kalinya. Hati ini dilanda gelisah, takut jika apa yang dikatakan Bi Minah benar adanya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kepada diri ini jika sampai Khanza benar-benar pergi. Meski akhir-akhir ini aku sempat kecewa atas sikapnya, tetapi aku tidak bisa kehilangannya.

Aku sangat mencintai Khanza meski saat ini rasa itu telah kubagi untuk wanita lain. Khanza adalah wanita pertama yang membuatku sulit untuk mengalihkan pandangan. Dia yang cantik, energik dan pekerja keras, telah berhasil membuat seorang Emir tergila-gila.

Aku mempersuntingnya empat tahun yang lalu. Khanza adalah seorang gadis yatim yang bekerja di sebuah perusahaan milik salah satu sahabatku. Awal pertemuan kami ketika aku berkunjung ke sana dan berlanjut hingga aku memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius, setelah hati ini mengatakan jika dia-lah wanita yang tepat untuk kujadikan pendamping hidup.

Tiga tahun berumah tangga dengannya, aku merasa menjadi pria yang paling beruntung. Khanza melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik meski ia masih tetap bekerja. Sebenarnya aku sudah melarang, tetapi Khanza memohon agar aku mengizinkan selama kami belum dikaruniai anak.

Namun, satu tahun terakhir sikapnya makin susah dikendalikan. Berawal dari permintaanku agar ia mau menutup aurat yang selalu berujung dengan penolakkan dan pertengkaran.

Belum siap. Dua kata yang selalu menjadi alasan Khanza ketika aku mengutarakan keinginan tersebut. Bukan tanpa alasan aku memintanya memakai pakaian yang lebih tertutup. Selain karena memang kewajiban setiap wanita muslim, juga untuk menjaganya dari pandangan pria di luar sana yang selalu menatapnya dengan tatapan lapar.

Setahun terakhir hubungan kami terasa hambar. Khanza lebih banyak menghabiskan waktu di luar dan seperti sengaja menghindariku. Aku selalu berusaha untuk kembali memperbaiki hubungan kami, tetapi selalu berakhir sia-sia.

Hingga akhirnya aku bertemu dengan Najwa ketika ia melamar pekerjaan di perusahaan milikku. Gadis ayu dengan pakaian tertutup itu seakan menghipnotis diri ini. Apa yang aku inginkan dari diri Khanza ada pada Najwa. Gadis ini menjaga auratnya dengan baik dan pandai membawa diri. Keluguan serta kegigihannya dalam bekerja membuatku merasakan hal yang sama ketika aku pertama kali melihat Khanza.

Najwa berhasil mencuri sebagian hati ini yang seharusnya aku peruntukkan hanya untuk Khanza. Keinginanku untuk memilikinya begitu kuat hingga aku memutuskan mengambil langkah yang aku tahu akan mempersulit hidupku ke depannya. Aku menikahi Najwa tanpa sepengetahuan Khanza dan orang tuaku. Istri kedua yang aku nikahi secara siri itu berhenti dari pekerjaan dan tinggal di rumah yang aku beli untuknya. Sebenarnya ada alasan lain mengapa aku memilih langkah menikahi gadis ayu tersebut. Ayah dari Najwa yang sudah sepuh menginginkan putrinya segera menikah dan beliau memintaku untuk segera meresmikan hubungan kami sebelum ajal menjemputnya. Aku yang merasa kasihan, menuruti permintaannya dengan menikahi Najwa beberapa hari setelahnya.

Selama enam bulan ini aku merahasiakan kehadiran Najwa di antara aku dan Khanza. Namun meski begitu, aku tetap berusaha adil dengan membagi waktu untuk kedua istriku walau aku harus membohongi Khanza dengan berbagai alasan.

Sekarang, entah apa yang terjadi hingga Khanza memutuskan pergi. Aku takut jika ia telah mengetahui pernikahan keduaku dan memilih meninggalkan diri ini. Aku belum siap dan tidak akan pernah siap kehilangan istri pertamaku karena aku sangat mencintainya.

Beberapa kali aku menghubungi nomor Khanza tetapi tidak aktif. Sepertinya memang istriku sengaja mematikan ponselnya agar aku tidak bisa menghubungi. Entah ada apa dengan Khanza karena tidak biasanya dia seperti ini.

Aku menekan gas cukup kuat agar lebih cepat tiba di rumah dan mengetahui kejadian yang sebenarnya.

🍁🍁🍁

Satu tahun setelah kepergian Khanza, akhirnya aku memperkenalkan Najwa kepada keluargaku. Awalnya Papa dan Mama menolak, bahkan Papa menamparku beberapa kali karena dianggap telah mengkhianati Khanza. Namun seiring berjalannya waktu, kedua orang tuaku bisa menerima kehadiran Najwa karena walau bagaimanapun, dia kini telah menjadi menantu mereka.

Lain halnya dengan Mama mertuaku--ibunya Khanza. Beliau sama sekali tidak pernah mau menerima permintaan maafku, bahkan dengan tegas memintaku untuk tidak datang lagi menemuinya.

"Kamu menikah lagi tanpa sepengetahuan putri saya dan itu artinya, kamu telah mengkhianati Khanza. Saya tidak bisa menerima putri saya dikhianati seperti ini. Pergilah Emir, jangan pernah datang lagi ke rumah ini karena mulai saat ini, kamu bukan lagi menantu saya."

Kata-kata ibu mertuaku saat aku berkunjung ke rumahnya masih terngiang di telinga ini. Aku memang salah karena telah mengkhianati Khanza. Namun, mereka sama sekali tidak tahu bahwa sampai saat ini, aku begitu tersiksa karena merindukan istri pertamaku tersebut.

Satu tahun lamanya, sama sekali tidak ada kabar dari Khanza. Baik aku maupun orang tuaku sudah berusaha mencarinya, tetapi selalu berakhir sia-sia. Khanza menghilang bak ditelan bumi. Tidak ada kabar sama sekali yang aku dapat tentangnya meski beberapa orang suruhan sudah kukerahkan untuk mencari keberadaan istri pertamaku itu.

Saat ini aku hanya bisa pasrah dan berdoa semoga ia baik-baik saja di manapun dirinya berada. Meski rasa takut sering menghinggapi diri ini, aku selalu berusaha yakin bahwa istriku masih hidup dan dia akan kembali ke pelukanku lagi.

"Emir, Minggu depan Papa dan Mama akan berkunjung ke Pondok Ustadz Hakim di Ciamis. Putri sulung beliau akan menikah dan kita diundang ke sana. Sekalian silaturahmi lah. Lumayan lama Papa tidak bertemu dengan beliau. Kalau tidak salah hampir lima tahun," terang Papa ketika kami baru saja menyelesaikan sarapan.

"Minggu depan ya, Pa? Sepertinya jadwal Emir tidak terlalu padat, jadi Emir sama Najwa bisa ikut."

"Baguslah, Papa memang ingin kalian ikut ke sana. Sekalian beliau ingin bertemu dengan istri kamu. Ustadz Hakim tidak sempat datang waktu pernikahanmu dengan Khanza. Sekarang Khanza tidak ada jadi biar Najwa saja yang kamu perkenalkan padanya."

Perkataan Papa membuatku tertegun. Ya, andai saja Khanza ada, aku pasti akan sangat senang memperkenalkan istriku itu kepada sahabat lama Papa. Akan tetapi, takdir berkata lain. Justru Najwa lah yang akan aku perkenalkan meski status keduanya memang sama, sebagai istriku.

Perjalanan ke Ciamis hanya memakan waktu kurang lebih dua jam. Kami disambut dengan baik oleh Ustadz Hakim beserta keluarga besarnya. Mereka menjamu kami dengan berbagai hidangan khas kota ini. Tak lupa, aku pun memperkenalkan Najwa sebagai istriku ketika Ustad Hakim bertanya. Meski di sudut hati terasa ada yang salah, tetapi aku sebisa mungkin menyembunyikan perasaan ini ketika lantunan doa beliau ucapkan untuk keberkahan rumah tangga kami.

"Oh ya, tolong panggilkan Humaira ke sini Umi. Kita juga harus memperkenalkan dia sebagai anggota baru di keluarga kita," titah Ustadz Hakim kepada istrinya.

"Humaira? Siapa dia?" Papa bertanya.

"Dia gadis yang aku temukan tergeletak di pinggir jalan karena tabrak lari. Nanti aku ceritakan padamu."

Mendengar penjelasan Ustadz Hakim, entah mengapa dada ini tiba-tiba berdebar sangat kencang. Apalagi ketika Umi Salamah, Istri Ustadz Hakim kembali muncul diikuti seorang wanita bercadar di belakangnya.

"Perkenalkan, ini Humaira. Putri angkat kami."

Gadis bernama Humaira menganggukkan kepala ke arah kami. Untuk sesaat, aku terpaku ketika netra ini beradu tatap dengannya. Bola mata itu ... sangat persis dengan milik seseorang yang selama ini aku rindukan.

Tak sadar, mulut ini menggumamkan namanya.

"Khanza."

*

*

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
penjahat kelamin selalu punya alasan buat menikah lagi. terlebih si pelakor sesuai dg harapannya. pelakor syari. klu cinta g akan pernah mendua
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status