"Astaghfirullah, Nak. Jangan berbicara seperti itu!"
Ustadz Hakim dan Umi Salamah menegur putri angkat mereka. Pun denganku yang hanya mampu menggelengkan kepala setelah mendengar permintaan Khanza.Menceraikan dia? Tentu saja tidak akan pernah aku lakukan sampai kapan pun!"Lalu saya harus bagaimana, Abi? Saya hanya perempuan biasa yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa suami saya ternyata telah menikah lagi. Saya tidak siap dan tidak akan pernah rela dimadu." Khanza terduduk di dekat Umi Salamah yang langsung menyambut istriku ke dalam pelukannya.Sedangkan aku? Hanya mampu menundukkan kepala, merasa malu kepada istriku, juga Ustadz Hakim dan istrinya."Jadi, alasan kamu pergi dari rumah itu karena kamu sudah tahu Mas menikah lagi?" Kali ini aku memberanikan diri menatap Khanza."Ya. Aku sudah tahu kalau Mas Emir menikahi wanita lain secara diam-diam. Aku marah, aku sakit, dan aku benci kalian berdua! Aku memutuskan pergi karena aku sadar, aku tidak akan sanggup hidup dengan seorang pengkhianat!""Istighfar, Nak." Umi Salamah mengelus punggung Khanza untuk menenangkan istriku yang hampir histeris."Aku tidak mau kembali lagi padanya, Umi. Aku tidak mau hidup dengan pria yang bahkan tidak bisa menjaga kesetiaan. Apa karena aku belum bisa mengikuti keinginannya, lantas dia berhak mengkhianatiku?""Sayang, jangan berkata seperti itu. Mas minta maaf karena telah mengkhianati kamu. Tapi demi Allah, Mas mencintai kamu. Mas tidak ingin kehilangan kamu lagi.""Bohong!" Khanza berteriak."Sungguh, Mas tidak berbohong."Aku mendekat padanya. Bersimpuh di depannya yang sama sekali enggan menatapku."Maaf ... maaf atas semua kesakitan yang kamu rasakan selama ini. Tapi Mas mohon, jangan meminta berpisah. Sampai kapan pun, Mas akan tetap mempertahankan kamu.""Egois," desisnya.Tak apa. Aku memang egois karena tidak ingin kehilangannya. Berpisah dengan Khanza, sama saja dengan merenggut separuh jiwaku. Meski kini ada Najwa yang juga menjadi pendampingku, tetapi tidak bisa menggantikan posisi Khanza sepenuhnya di hati ini.Khanza dan Najwa.Dua wanita yang sama-sama kucintai, tetapi dengan porsi yang berbeda. Jika ditanya hati ini lebih condong kepada siapa, tentu saja jawabannya adalah Khanza. Namun, hal itu bukan berarti aku akan melepas Najwa karena walau bagaimanapun, wanita itu kini telah menjadi tanggung jawabku."Nak Emir, sebaiknya hal ini kita bicarakan lagi besok. Kasihan Khanza jika harus ditekan seperti ini. Biarkan dia berpikir secara jernih agar pembicaraan nanti tidak melibatkan emosi. Saya harap, Nak Emir bisa mengerti. Saya sangat memaklumi bahwa Nak Emir sangat merindukan Khanza. Tapi saya juga sangat memahami perasaan Khanza saat ini." Ustadz Hakim angkat bicara."Maaf, Ustadz. Tapi saya tidak akan pergi dari sini jika tidak bersama istri saya. Jika memang Khanza tidak bisa ikut bersama saya malam ini, maka izinkan saya untuk menginap di sini." Aku tetap bersikeras. Tidak ingin menyiakan kesempatan barang sedetik saja. Andai aku lengah, aku takut Khanza akan berbuat hal nekat dengan pergi lagi secara diam-diam."Silakan kalau memang Nak Emir mau menginap di sini. Saya akan meminta pada salah satu santri untuk menyiapkan kamar di pondok."Tidak perlu, Ustadz. Izinkan saya untuk tidur di sini saja. Tidak apa meski saya harus tidur di sofa. Yang penting bagi saya adalah, saya tidak ingin berjauhan lagi dengan Khanza."Ustadz Hakim dan Umi Salamah saling tatap. Keduanya mengangguk bersamaan setelah cukup lama aku menunggu jawaban."Kalau begitu, terserah Nak Emir saja. Saya tidak akan melarang jika memang Nak Emir tidak keberatan tidur di sofa.""Saya sama sekali tidak keberatan.""Umi, tolong bawa Khanza ke kamarnya. Biarkan dia istirahat supaya lebih tenang. Abi akan menemani Nak Emir di sini."Umi Salamah menuruti perintah suaminya. Ia menuntun Khanza kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Aku menatap kepergian istriku dengan sendu. Khanza sama sekali tidak menoleh lagi padaku."Nak Emir.""Oh, iya, Ustadz." Aku gelagapan. Rupanya diri ini terlalu larut dalam kekecewaan karena Khanza masih saja menolakku, hingga tidak menyadari Ustadz Hakim sudah memanggilku beberapa kali."Istirahatlah. Insha Allah besok kita berbicara lagi dengan hati yang sudah jauh lebih tenang. Terutama Khanza. Saya masih mengkhawatirkan dia karena selama ia tinggal di sini, saya belum pernah melihatnya sampai histeris seperti tadi," ucapnya sembari menghela napas."Saya tidak pernah menyangka ujian hidupnya begitu berat. Khanza tidak pernah bercerita tentang hal ini baik kepada saya maupun istri saya. Dia hanya bilang bahwa dia sudah tidak memiliki siapa pun dan memohon agar diizinkan tinggal di sini. Khanza juga meminta agar saya tidak melapor pada pihak yang berwajib atas kecelakaan yang dia alami. Dia ingin hidup tenang, begitu katanya." Ustadz Hakim tersenyum lirih."Saya sudah menganggapnya seperti putri saya sendiri. Saya sangat menyayanginya meski tetap saja ada batasan di antara kami. Melihatnya menangis seperti tadi, hati saya ikut merasakan sakit," sambungnya seraya mengusap sudut matanya yang mulai berair."Saya mengerti, Ustadz. Saya menyesal karena telah menyakiti istri saya."Ustadz Hakim mengangguk. Pria yang usianya sebaya dengan Papaku itu menepuk bahu ini. "Poligami itu tidak mudah. Jangan nekat melakukannya jika kita sama sekali tidak mengetahui ilmunya. Apalagi, jika kita memulainya dengan perselingkuhan," ucapnya menohok, bak tamparan keras untuk diri ini.**Bersambung."Poligami tanpa meminta izin kepada istri pertama memang diperbolehkan, tetapi tidak dianjurkan. Ada adab yang harus dikedepankan untuk menghargai perasaan sang istri pertama. Dan jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap ( hak-hak ) yatim ( bilamana kamu menikahinya ), maka nikahilah perempuan ( lain ) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka ( nikahilah ) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim.Nak Emir masih ingat penggalan surat An-Nisa tersebut?"Perkataan Ustadz Hakim semalam masih melekat dalam ingatan ini. Ya, aku sadar telah melakukan kesalahan fatal dengan menyakiti Khanza. Ego dalam diri ini mencuat ketika Khanza tidak pernah mau mengabulkan permintaanku. Seharusnya, aku menuntunnya dengan sabar hingga hatinya terbuka dan secara ikhlas mau menjalankan kewajiban untuk menutup aurat. Bukan dengan menikahi wanita lain yang
Kepulangan Khanza disambut haru oleh Papa dan Mama. Kedua orangtuaku langsung menuju rumah ini ketika aku memberi kabar pada mereka. Suasana haru melingkupi kami. Mama tak hentinya menangis sambil memeluk tubuh menantu kesayangannya. Tak jarang, kalimat bernada sindiran ia lontarkan pada putranya ini yang telah menjadi sebab kepergian Khanza. Aku menerimanya dengan ikhlas. Se-pedas apa pun ucapan Mama, tetap aku terima karena memang begitulah kenyataannya. Aku-lah penyebab Khanza memilih pergi dan menjauh dari kami. Aku yang telah bermain hati dan menghadirkan orang ketiga dalam bahtera rumah tangga ini. "Kamu jangan pernah meninggalkan kami lagi. Hampir setiap malam Mama tidak bisa tidur karena mengkhawatirkanmu. Mama takut terjadi sesuatu yang buruk padamu. Mama tidak akan pernah berhenti menyalahkan Emir karena dia biang keladi masalah ini! Andai saja dia tidak jelalatan dan menikah lagi, kamu pasti tidak akan memilih pergi!""Sudah, Ma. Emir sudah menyadari kesalahannya. Kita bi
"Maaf jika Mas terkesan mengabaikanmu. Mas harus terus berada di samping Najwa untuk menguatkannya."Aku memberi penjelasan kepada Khanza agar ia tidak salah paham dan merasa diabaikan. Sebelum jenazah ayah mertuaku dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya, aku sempatkan menghampiri Khanza yang terus didampingi oleh Mama. "Tidak apa, aku mengerti.""Kamu tidak marah?" Aku memastikan."Kenapa harus marah? Dia kan istri Mas Emir juga.""Berjanjilah untuk tidak berpikiran macam-macam. Mas janji setelah semuanya selesai, Mas akan lebih sering menghabiskan waktu denganmu.""Tidak perlu terlalu berlebihan, lakukan saja sewajarnya. Aku tidak akan menuntut waktu lebih banyak karena aku tidak ingin dikatakan sebagai istri yang serakah. Berbagi waktulah dengan adil padaku juga Najwa."Perkataan Khanza sama sekali tidak membuatku senang. Ia seolah menghindar dariku yang sebenarnya masih ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. "Mas hanya ingin mengganti waktu satu tahun selama kita
Pov Khanza"Jaga diri baik-baik, Abi dan Umi akan selalu mendoakan kamu. Jika suatu saat kamu memutuskan untuk menyerah, kembalilah ke sini. Pintu rumah ini akan selalu terbuka untukmu."Perkataan Abi Hakim menjadi pengantar ketika aku memutuskan untuk kembali bersama Mas Emir. Meski hati ini berat melakukannya, aku berusaha menerima takdir diri yang ternyata dipertemukan kembali dengan suamiku. Emir Alfaraz ... suami yang kukira sangat mencintaiku, ternyata tega menduakan diri ini. Marah, benci, bahkan hancur. Itulah gambaran hatiku saat itu. Mas Emir telah menodai ikatan suci pernikahan dengan menghadirkan orang ketiga dalam bahtera rumah tangga kami. Tidak ada pilihan lain selain pergi. Hidup bersama pengkhianat hanya akan memupuk luka yang terus menggerogoti hati ini. Ikhlas Berbagi? Tidak!Aku tidak akan pernah sudi berbagi dengan wanita lain. Hidupku terlalu berharga jika harus bertahan dengan suami yang telah tega mendua. Tidak ada jaminan ia akan berlaku adil jika aku mene
Pov Khanza"Kenapa Anda membawa saya ke tempat ini?"Pria yang ternyata Kakak dari Najwa menarik wajahnya yang tadi begitu dekat. Ia berjalan menuju lemari usang yang tidak jauh dari ranjang tempatku duduk dan menyandarkan tubuhnya di sana. "Supaya kamu tidak mengganggu kebahagiaan adikku.""Saya Mengganggu? Anda tidak salah?" Aku cukup tersinggung dengan apa yang ia katakan. Seharusnya perkataan itu lebih pantas ditujukkan kepada adiknya. Najwa yang hadir menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku dan Mas Emir. Mencuri sebagian hati suamiku tanpa memikirkan perasaanku. Lantas kenapa pria ini malah menuduh orang yang salah?"Istirahatlah. Sebentar lagi anak buahku membawakan makanan untukmu."Pria yang kutahu bernama Aidan sama sekali tidak menanggapi ucapanku. Ia kembali berjalan menuju pintu kamar dan hampir saja keluar sebelum aku menahannya."Anda ingin membunuh saya?"Pergerakannya terhenti. Ia bergeming di posisinya tanpa menoleh padaku."Jika memang dengan membunuh saya membua
Pov EmirHampir satu minggu sudah Khanza menghilang dan aku masih berusaha untuk mencarinya. Meski rasa lelah kadang menyapa karena selain disibukkan oleh pekerjaan, aku pun harus mendampingi Najwa yang tengah mengandung dengan kondisi yang sangat lemah. Istri keduaku menolak setiap makanan yang dimasak oleh Asisten Rumah Tangga di rumah Mama. Alhasil, aku harus menuruti keinginannya yang kerap kali ingin makan makanan luar bahkan di waktu yang seharusnya aku gunakan untuk beristirahat.Papa menyarankan untuk melapor kepada polisi atas kehilangan Khanza dan aku sudah melakukannya. Namun hingga saat ini belum menemukan titik terang di mana istriku itu berada. Bahkan di Pondok Ustadz Hakim pun sudah aku kunjungi dan Khanza tidak ada di sana. Ustadz Hakim menyayangkan karena hal seperti ini harus terulang. Beliau merasa kecewa karena aku lalai menjaga putri angkatnya tersebut."Maafkan saya, Ustadz." Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan di depan ayah angkat Istri pertamaku."Mas ....
"Sayang!"Khanza yang tengah duduk di salah satu kursi menoleh padaku. Tanpa merasa sungkan ataupun malu oleh beberapa orang polisi yang berada di ruangan ini, aku memeluk istriku erat. Rindu, khawatir sekaligus lega bercampur menjadi satu. Kehilangan Khanza kembali ditambah dengan menghadapi kehamilan Najwa yang cukup lemah membuatku nyaris gila. Rupanya mempunyai dua istri tidak semudah yang aku bayangkan. Berusaha bersikap adil tapi nyatanya sangat sulit kulakukan jika situasi sudah mendesak. Apa memang aku harus melepas salah satunya seperti yang diminta oleh Mama Alice?Ah, biar nanti saja kupikirkan lagi. Yang terpenting saat ini aku ingin melepas rindu kepada istri pertamaku ini. "Kamu dari mana saja? Apa yang terjadi sampai kamu menghilang beberapa hari?" cecarku setelah mengurai pelukan. Aku sedikit kecewa karena Khanza tidak membalas pelukanku. Bahkan tidak terlihat senang ketika bertemu denganku lagi. "Maaf, Pak Emir. Sebaiknya kita duduk dulu. Kita dengarkan keterangan d
"Bolehkah aku menyerah?"Perkataan Khanza terus terngiang di telinga ini. Ucapannya tersebut berhasil membuatku hampir kehilangan napas. Melepaskan Khanza sama saja dengan merenggut separuh jiwaku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kacaunya hidupku jika harus kehilangan dia untuk yang ke sekian kalinya."Mas mohon jangan menyerah. Beri Mas waktu untuk memperbaiki semuanya dan mengembalikkan semuanya seperti semula." Aku mengeratkan pelukan di pinggangnya. Saat ini kami tengah berbaring bersama di peraduan dengan posisi Khanza membelakangiku. Kupeluk dirinya dari belakang. Rasa takut kehilangan membuatku mengabaikan keberadaan Najwa dan kakaknya yang mungkin saja masih berada di ruang tamu. "Bagaimana caranya? Semuanya sudah terlambat, Mas. Najwa sedang mengandung anakmu dan kamu tidak mungkin menceraikannya.""Nanti kita pikirkan. Mas akan membicarakannya dengan Papa dan Mama. Kamu harus janji tidak akan meninggalkan Mas lagi. Mas mohon bersabarlah sebentar saja." Aku terus berus