Share

Bab 6

Author: Nelda Friska
last update Last Updated: 2023-01-04 21:32:27

"Astaghfirullah, Nak. Jangan berbicara seperti itu!"

Ustadz Hakim dan Umi Salamah menegur putri angkat mereka. Pun denganku yang hanya mampu menggelengkan kepala setelah mendengar permintaan Khanza.

Menceraikan dia? Tentu saja tidak akan pernah aku lakukan sampai kapan pun!

"Lalu saya harus bagaimana, Abi? Saya hanya perempuan biasa yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa suami saya ternyata telah menikah lagi. Saya tidak siap dan tidak akan pernah rela dimadu." Khanza terduduk di dekat Umi Salamah yang langsung menyambut istriku ke dalam pelukannya.

Sedangkan aku? Hanya mampu menundukkan kepala, merasa malu kepada istriku, juga Ustadz Hakim dan istrinya.

"Jadi, alasan kamu pergi dari rumah itu karena kamu sudah tahu Mas menikah lagi?" Kali ini aku memberanikan diri menatap Khanza.

"Ya. Aku sudah tahu kalau Mas Emir menikahi wanita lain secara diam-diam. Aku marah, aku sakit, dan aku benci kalian berdua! Aku memutuskan pergi karena aku sadar, aku tidak akan sanggup hidup dengan seorang pengkhianat!"

"Istighfar, Nak." Umi Salamah mengelus punggung Khanza untuk menenangkan istriku yang hampir histeris.

"Aku tidak mau kembali lagi padanya, Umi. Aku tidak mau hidup dengan pria yang bahkan tidak bisa menjaga kesetiaan. Apa karena aku belum bisa mengikuti keinginannya, lantas dia berhak mengkhianatiku?"

"Sayang, jangan berkata seperti itu. Mas minta maaf karena telah mengkhianati kamu. Tapi demi Allah, Mas mencintai kamu. Mas tidak ingin kehilangan kamu lagi."

"Bohong!" Khanza berteriak.

"Sungguh, Mas tidak berbohong."

Aku mendekat padanya. Bersimpuh di depannya yang sama sekali enggan menatapku.

"Maaf ... maaf atas semua kesakitan yang kamu rasakan selama ini. Tapi Mas mohon, jangan meminta berpisah. Sampai kapan pun, Mas akan tetap mempertahankan kamu."

"Egois," desisnya.

Tak apa. Aku memang egois karena tidak ingin kehilangannya. Berpisah dengan Khanza, sama saja dengan merenggut separuh jiwaku. Meski kini ada Najwa yang juga menjadi pendampingku, tetapi tidak bisa menggantikan posisi Khanza sepenuhnya di hati ini.

Khanza dan Najwa.

Dua wanita yang sama-sama kucintai, tetapi dengan porsi yang berbeda. Jika ditanya hati ini lebih condong kepada siapa, tentu saja jawabannya adalah Khanza. Namun, hal itu bukan berarti aku akan melepas Najwa karena walau bagaimanapun, wanita itu kini telah menjadi tanggung jawabku.

"Nak Emir, sebaiknya hal ini kita bicarakan lagi besok. Kasihan Khanza jika harus ditekan seperti ini. Biarkan dia berpikir secara jernih agar pembicaraan nanti tidak melibatkan emosi. Saya harap, Nak Emir bisa mengerti. Saya sangat memaklumi bahwa Nak Emir sangat merindukan Khanza. Tapi saya juga sangat memahami perasaan Khanza saat ini." Ustadz Hakim angkat bicara.

"Maaf, Ustadz. Tapi saya tidak akan pergi dari sini jika tidak bersama istri saya. Jika memang Khanza tidak bisa ikut bersama saya malam ini, maka izinkan saya untuk menginap di sini." Aku tetap bersikeras. Tidak ingin menyiakan kesempatan barang sedetik saja. Andai aku lengah, aku takut Khanza akan berbuat hal nekat dengan pergi lagi secara diam-diam.

"Silakan kalau memang Nak Emir mau menginap di sini. Saya akan meminta pada salah satu santri untuk menyiapkan kamar di pondok.

"Tidak perlu, Ustadz. Izinkan saya untuk tidur di sini saja. Tidak apa meski saya harus tidur di sofa. Yang penting bagi saya adalah, saya tidak ingin berjauhan lagi dengan Khanza."

Ustadz Hakim dan Umi Salamah saling tatap. Keduanya mengangguk bersamaan setelah cukup lama aku menunggu jawaban.

"Kalau begitu, terserah Nak Emir saja. Saya tidak akan melarang jika memang Nak Emir tidak keberatan tidur di sofa."

"Saya sama sekali tidak keberatan."

"Umi, tolong bawa Khanza ke kamarnya. Biarkan dia istirahat supaya lebih tenang. Abi akan menemani Nak Emir di sini."

Umi Salamah menuruti perintah suaminya. Ia menuntun Khanza kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Aku menatap kepergian istriku dengan sendu. Khanza sama sekali tidak menoleh lagi padaku.

"Nak Emir."

"Oh, iya, Ustadz." Aku gelagapan. Rupanya diri ini terlalu larut dalam kekecewaan karena Khanza masih saja menolakku, hingga tidak menyadari Ustadz Hakim sudah memanggilku beberapa kali.

"Istirahatlah. Insha Allah besok kita berbicara lagi dengan hati yang sudah jauh lebih tenang. Terutama Khanza. Saya masih mengkhawatirkan dia karena selama ia tinggal di sini, saya belum pernah melihatnya sampai histeris seperti tadi," ucapnya sembari menghela napas.

"Saya tidak pernah menyangka ujian hidupnya begitu berat. Khanza tidak pernah bercerita tentang hal ini baik kepada saya maupun istri saya. Dia hanya bilang bahwa dia sudah tidak memiliki siapa pun dan memohon agar diizinkan tinggal di sini. Khanza juga meminta agar saya tidak melapor pada pihak yang berwajib atas kecelakaan yang dia alami. Dia ingin hidup tenang, begitu katanya." Ustadz Hakim tersenyum lirih.

"Saya sudah menganggapnya seperti putri saya sendiri. Saya sangat menyayanginya meski tetap saja ada batasan di antara kami. Melihatnya menangis seperti tadi, hati saya ikut merasakan sakit," sambungnya seraya mengusap sudut matanya yang mulai berair.

"Saya mengerti, Ustadz. Saya menyesal karena telah menyakiti istri saya."

Ustadz Hakim mengangguk. Pria yang usianya sebaya dengan Papaku itu menepuk bahu ini. "Poligami itu tidak mudah. Jangan nekat melakukannya jika kita sama sekali tidak mengetahui ilmunya. Apalagi, jika kita memulainya dengan perselingkuhan," ucapnya menohok, bak tamparan keras untuk diri ini.

*

*

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Bercadar Itu, Istriku   Bab 37. Extra Part

    "Mas, jangan deket-deket! Aku mual nyium bau badan kamu!"Aku menghela napas pasrah sembari menuruti keinginannya. Memberi jarak agak jauh karena dia yang katanya mual jika berdekatan denganku. Kehamilan Khanza kali ini lebih parah dari yang pertama. Itu yang ia katakan ketika aku bertanya tentang perbedaan dengan kehamilannya yang dulu. Jika dulu ia masih bisa makan nasi, maka sekarang mencium baunya saja ia langsung muntah. Dan yang paling parah, ia selalu mengusirku jika suaminya ini sedang ingin bermanja dengannya. Akan tetapi, aku tetap bersabar demi dia dan calon bayi kami. Apa pun keinginannya akan aku turuti termasuk ketika ia memintaku mengambilkan mangga muda di pohon yang letaknya di depan rumah Ustadz Hakim. Bayangkan. Malam-malam kami berangkat ke Ciamis demi memenuhi permintaan ngidamnya yang aneh.Namun meski begitu, aku bahagia. Akhirnya aku bisa menjadi seorang ayah dari anak yang lahir dari rahim wanita yang sangat kucintai. Rumah tanggaku dengan Khanza di pernik

  • Wanita Bercadar Itu, Istriku   Bab 36

    "Lebih baik Mas Emir mencari wanita lain untuk dijadikan pendamping. Jangan wanita cacat sepertiku yang bahkan untuk berjalan saja susah."Itulah jawaban Khanza atas pertanyaanku hari itu. Dia menolak ketika aku melamarnya secara langsung. Akan tetapi, bukan Emir namanya jika menyerah begitu saja. Akan kulakukan berbagai cara untuk membujuknya agar ia mau menerima. "Mas tidak menginginkan wanita lain. Jika mau, Mas bisa saja menerima Kiyomi yang tergila-gila sama Mas. Tapi Mas menolaknya karena memang tidak mencintainya. Hanya kamu dan cuma kamu. Andai kita tidak bisa bersama lagi, lebih baik Mas menduda seumur hidup," tuturku selembut mungkin. Berharap ia merasa tersanjung atas penuturanku barusan. "Manis sekali. Andai saja dulu Mas bisa bersikap seperti itu. Tegas menolak hadirnya wanita lain di tengah pernikahan kita. Mungkin jalan ceritanya akan berbeda," pungkasnya yang selalu berhasil membuatku tak berkutik. "Mas rela meminta maaf sampai beribu-ribu kali untuk hal yang satu i

  • Wanita Bercadar Itu, Istriku   Bab 35

    "Wildan dan Khanza dinyatakan kritis."Keterangan dari Ustadz Hakim membuat tubuhku makin lemas. Tidak. Khanza tidak boleh pergi meninggalkanku selamanya. Dia harus sembuh karena ada bayinya yang sangat membutuhkannya. Papa menuntunku untuk duduk di kursi tunggu. Beliau mengusap punggung putranya ini yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Mengapa orang-orang baik seperti mereka harus mengalami hal tragis seperti ini? Mengapa tidak aku saja yang menggantikan posisi mereka?"Khanza tidak akan pergi kan, Pa? Dia harus tetap hidup demi anaknya. Katakan pada Dokter untuk menyelematkan mereka. Berapapun biayanya tidak masalah. Emir akan membayar semuanya," racauku seraya meremas rambut dengan kasar. "Tenanglah. Daripada meracau seperti ini lebih baik kamu berdoa. Papa paham perasaanmu. Tapi kita tidak bisa melawan apa yang sudah Tuhan gariskan untuk setiap umatnya," ucapnya bijak.Ya, aku paham dan mengerti maksud ucapan Papa. Akan tetapi, tetap saja hati ini dilanda ketakutan

  • Wanita Bercadar Itu, Istriku   Bab 34

    "Papa senang akhirnya kamu bisa fokus pada pekerjaan. Perusahaan kita makin maju di tanganmu," ucap Papa ketika kami tengah mengobrol di ruang tengah. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Satu tahun sudah semenjak pertemuanku dengan Khanza di pesta pernikahan Aidan, kami tidak pernah bersua kembali. Hanya kabar terakhir yang kudengar dari Mama, bahwa Khanza baru saja melahirkan. Akhirnya, impian Khanza untuk memiliki momongan terkabul. Aku turut senang mendengar kabar bahagia itu meski dalam sudut hati yang lain merasa iri. Kenapa bukan aku ayah dari anak yang dikandung Khanza? Mengapa di saat ia menikah dengan pria lain, Tuhan memberi anugerah sebesar itu kepada mantan istriku?"Emir.""Ya, Pa?" Guncangan di bahu aku rasakan. Sepertinya aku terlalu larut dalam lamunan tentang mantan istriku hingga tidak mendengar panggilan dari Papa. "Melamun lagi, hmm?" tanyanya. Aku menghela napas. "Sedikit." Papa memandang sendu putranya ini. Wajahnya yang tadi ceria berubah murung ketika m

  • Wanita Bercadar Itu, Istriku   Bab 33

    Keinginan Kiyomi untuk berpindah agama ternyata tidak main-main. Ia sangat antusias ketika aku mempertemukan dia dengan Ustadz Hakim. Semoga saja jalannya dipermudah hingga ia benar-benar diberi hidayah untuk berubah. Aku sendiri memilih berpamitan setelah menitipkan Kiyomi di sana. Awalnya wanita itu keberatan, tetapi aku meyakinkan dia bahwa aku akan sesekali mengunjunginya. Jujur aku masih tidak menduga dia bisa senekat itu demi seorang pria. Bahkan Kiyomi sampai menentang kedua orang tuanya karena melarang gadis itu berpindah agama. Cinta memang buta dan pepatah itu benar adanya. Namun, aku salut karena dengan kejadian ini, Kiyomi berniat memeluk Islam dan semoga saja ia akan Istiqomah dengan niatnya tersebut. Dua bulan sudah gadis itu tinggal di Pondok dan aku belum pernah sekalipun menemuinya. Hanya sesekali bertanya pada Ustadz Hakim tentang perkembangannya di sana. Kabar baik aku dapatkan. Kiyomi begitu tekun memperdalam ilmu agama, bahkan ia sempat menangis ketika Ustadz H

  • Wanita Bercadar Itu, Istriku   Bab 32

    Pov Emir"Selamat menempuh hidup baru lagi. Mas akan selalu mendoakan semoga kalian berbahagia sampai maut memisahkan."Doa yang aku ucapkan untuk Khanza benar-benar tulus. Mantan istri yang masih sangat kucintai itu memang berhak mendapatkan kebahagiaan bersama pria yang tepat untuknya. Dokter Wildan. Pria itu sudah sah menjadi suami Khanza, menggantikan diriku yang kini harus mengikhlaskan mereka berdua. Benar apa yang dikatakan Papa. Tidak semua hal yang kita inginkan akan kita dapatkan, termasuk ketika aku ingin memiliki Khanza kembali. Aku yang telah menyakitinya. Aku juga yang telah membuang dengan memilih melepaskannya. Kini aku harus memetik hasil dari keputusanku tersebut. Mengikhlaskan ia bersama pria lain yang jauh lebih baik dariku. "Terima kasih, Mas."Suara lembutnya terdengar bergetar. Ia menangis. Entah karena bahagia atau justru karena mengasihani mantan suaminya ini. Tidak. Aku tidak boleh membuatnya menangis, apalagi di hari bahagianya. Karena itulah, aku bergeg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status