Share

Bab 6

"Astaghfirullah, Nak. Jangan berbicara seperti itu!"

Ustadz Hakim dan Umi Salamah menegur putri angkat mereka. Pun denganku yang hanya mampu menggelengkan kepala setelah mendengar permintaan Khanza.

Menceraikan dia? Tentu saja tidak akan pernah aku lakukan sampai kapan pun!

"Lalu saya harus bagaimana, Abi? Saya hanya perempuan biasa yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa suami saya ternyata telah menikah lagi. Saya tidak siap dan tidak akan pernah rela dimadu." Khanza terduduk di dekat Umi Salamah yang langsung menyambut istriku ke dalam pelukannya.

Sedangkan aku? Hanya mampu menundukkan kepala, merasa malu kepada istriku, juga Ustadz Hakim dan istrinya.

"Jadi, alasan kamu pergi dari rumah itu karena kamu sudah tahu Mas menikah lagi?" Kali ini aku memberanikan diri menatap Khanza.

"Ya. Aku sudah tahu kalau Mas Emir menikahi wanita lain secara diam-diam. Aku marah, aku sakit, dan aku benci kalian berdua! Aku memutuskan pergi karena aku sadar, aku tidak akan sanggup hidup dengan seorang pengkhianat!"

"Istighfar, Nak." Umi Salamah mengelus punggung Khanza untuk menenangkan istriku yang hampir histeris.

"Aku tidak mau kembali lagi padanya, Umi. Aku tidak mau hidup dengan pria yang bahkan tidak bisa menjaga kesetiaan. Apa karena aku belum bisa mengikuti keinginannya, lantas dia berhak mengkhianatiku?"

"Sayang, jangan berkata seperti itu. Mas minta maaf karena telah mengkhianati kamu. Tapi demi Allah, Mas mencintai kamu. Mas tidak ingin kehilangan kamu lagi."

"Bohong!" Khanza berteriak.

"Sungguh, Mas tidak berbohong."

Aku mendekat padanya. Bersimpuh di depannya yang sama sekali enggan menatapku.

"Maaf ... maaf atas semua kesakitan yang kamu rasakan selama ini. Tapi Mas mohon, jangan meminta berpisah. Sampai kapan pun, Mas akan tetap mempertahankan kamu."

"Egois," desisnya.

Tak apa. Aku memang egois karena tidak ingin kehilangannya. Berpisah dengan Khanza, sama saja dengan merenggut separuh jiwaku. Meski kini ada Najwa yang juga menjadi pendampingku, tetapi tidak bisa menggantikan posisi Khanza sepenuhnya di hati ini.

Khanza dan Najwa.

Dua wanita yang sama-sama kucintai, tetapi dengan porsi yang berbeda. Jika ditanya hati ini lebih condong kepada siapa, tentu saja jawabannya adalah Khanza. Namun, hal itu bukan berarti aku akan melepas Najwa karena walau bagaimanapun, wanita itu kini telah menjadi tanggung jawabku.

"Nak Emir, sebaiknya hal ini kita bicarakan lagi besok. Kasihan Khanza jika harus ditekan seperti ini. Biarkan dia berpikir secara jernih agar pembicaraan nanti tidak melibatkan emosi. Saya harap, Nak Emir bisa mengerti. Saya sangat memaklumi bahwa Nak Emir sangat merindukan Khanza. Tapi saya juga sangat memahami perasaan Khanza saat ini." Ustadz Hakim angkat bicara.

"Maaf, Ustadz. Tapi saya tidak akan pergi dari sini jika tidak bersama istri saya. Jika memang Khanza tidak bisa ikut bersama saya malam ini, maka izinkan saya untuk menginap di sini." Aku tetap bersikeras. Tidak ingin menyiakan kesempatan barang sedetik saja. Andai aku lengah, aku takut Khanza akan berbuat hal nekat dengan pergi lagi secara diam-diam.

"Silakan kalau memang Nak Emir mau menginap di sini. Saya akan meminta pada salah satu santri untuk menyiapkan kamar di pondok.

"Tidak perlu, Ustadz. Izinkan saya untuk tidur di sini saja. Tidak apa meski saya harus tidur di sofa. Yang penting bagi saya adalah, saya tidak ingin berjauhan lagi dengan Khanza."

Ustadz Hakim dan Umi Salamah saling tatap. Keduanya mengangguk bersamaan setelah cukup lama aku menunggu jawaban.

"Kalau begitu, terserah Nak Emir saja. Saya tidak akan melarang jika memang Nak Emir tidak keberatan tidur di sofa."

"Saya sama sekali tidak keberatan."

"Umi, tolong bawa Khanza ke kamarnya. Biarkan dia istirahat supaya lebih tenang. Abi akan menemani Nak Emir di sini."

Umi Salamah menuruti perintah suaminya. Ia menuntun Khanza kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Aku menatap kepergian istriku dengan sendu. Khanza sama sekali tidak menoleh lagi padaku.

"Nak Emir."

"Oh, iya, Ustadz." Aku gelagapan. Rupanya diri ini terlalu larut dalam kekecewaan karena Khanza masih saja menolakku, hingga tidak menyadari Ustadz Hakim sudah memanggilku beberapa kali.

"Istirahatlah. Insha Allah besok kita berbicara lagi dengan hati yang sudah jauh lebih tenang. Terutama Khanza. Saya masih mengkhawatirkan dia karena selama ia tinggal di sini, saya belum pernah melihatnya sampai histeris seperti tadi," ucapnya sembari menghela napas.

"Saya tidak pernah menyangka ujian hidupnya begitu berat. Khanza tidak pernah bercerita tentang hal ini baik kepada saya maupun istri saya. Dia hanya bilang bahwa dia sudah tidak memiliki siapa pun dan memohon agar diizinkan tinggal di sini. Khanza juga meminta agar saya tidak melapor pada pihak yang berwajib atas kecelakaan yang dia alami. Dia ingin hidup tenang, begitu katanya." Ustadz Hakim tersenyum lirih.

"Saya sudah menganggapnya seperti putri saya sendiri. Saya sangat menyayanginya meski tetap saja ada batasan di antara kami. Melihatnya menangis seperti tadi, hati saya ikut merasakan sakit," sambungnya seraya mengusap sudut matanya yang mulai berair.

"Saya mengerti, Ustadz. Saya menyesal karena telah menyakiti istri saya."

Ustadz Hakim mengangguk. Pria yang usianya sebaya dengan Papaku itu menepuk bahu ini. "Poligami itu tidak mudah. Jangan nekat melakukannya jika kita sama sekali tidak mengetahui ilmunya. Apalagi, jika kita memulainya dengan perselingkuhan," ucapnya menohok, bak tamparan keras untuk diri ini.

*

*

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status