"Poligami tanpa meminta izin kepada istri pertama memang diperbolehkan, tetapi tidak dianjurkan. Ada adab yang harus dikedepankan untuk menghargai perasaan sang istri pertama.
Dan jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap ( hak-hak ) yatim ( bilamana kamu menikahinya ), maka nikahilah perempuan ( lain ) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka ( nikahilah ) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim.Nak Emir masih ingat penggalan surat An-Nisa tersebut?"Perkataan Ustadz Hakim semalam masih melekat dalam ingatan ini. Ya, aku sadar telah melakukan kesalahan fatal dengan menyakiti Khanza. Ego dalam diri ini mencuat ketika Khanza tidak pernah mau mengabulkan permintaanku. Seharusnya, aku menuntunnya dengan sabar hingga hatinya terbuka dan secara ikhlas mau menjalankan kewajiban untuk menutup aurat. Bukan dengan menikahi wanita lain yang kebetulan berpenampilan seperti apa yang aku inginkan.Untuk sejenak, hati ini meragu. Benarkah aku menikahi Najwa karena cinta? Atau justru karena egoku untuk mempunyai istri yang penurut?Ah, tidak. Aku yakin, aku menikahi Najwa karena memang melibatkan perasaan, bukan karena bentuk pelampiasan."Duduklah, Nak. Kita bicara baik-baik."Kesadaran ini ditarik paksa ketika mendengar suara Ustadz Hakim. Di depan kami, Khanza sudah berdiri berdampingan dengan Umi Salamah. Setelah semalam aku menginap di sini demi menunggui istriku, Ustadz Hakim berjanji akan membujuk Khanza agar bersedia berbicara dengan kepala dingin. Aku harap, ada penyelesaian dari masalah ini. Bukan dengan perpisahan, tetapi Khanza mau memberiku kesempatan untuk memperbaiki semuanya."Abi sudah mendengar cerita dari Nak Emir. Ia telah menyadari kesalahannya dengan menikah diam-diam di belakangmu. Sebenarnya Abi tidak berhak untuk ikut campur masalah ini karena yang berhak memutuskan bagaimana ke depannya adalah kalian berdua. Untuk itu, bolehkah Abi bertanya padamu?" Ustadz Hakim memulai pembicaraan setelah Khanza dan Umi Salamah duduk di depan kami."Silakan, Abi." Khanza menjawab tanpa mengangkat kepala. Jemarinya sibuk meremas gamis yang ia kenakan."Apa kamu masih tetap bersikeras ingin berpisah dengan Nak Emir?""Ya." Khanza mengangguk yakin, dan aku menggelengkan kepala dengan cepat."Sayang ....""Maaf, Nak Emir. Tolong biarkan kami berbicara dulu."Aku akhirnya pasrah. Membiarkan Ustadz Hakim berbicara dengan istriku, meski sebenarnya diri ini sudah tidak sabar untuk kembali membujuk Khanza."Apa tidak sebaiknya kamu memikirkannya lagi? Kesalahan Nak Emir bisa dibilang fatal, tetapi walau bagaimanapun dia masih suamimu. Abi tahu, tidak ada satu orang pun wanita yang benar-benar ikhlas dipoligami. Tapi kita juga tidak bisa menentang syariat. Nak Emir sudah menyadari kesalahannya. Ia ingin memperbaiki rumah tangga kalian meski kini ada wanita lain yang berhak diperlakukan sama denganmu.Nak, apakah kamu ingat apa yang sering Abi katakan ketika kamu memutuskan untuk menutup aurat dengan sempurna?"Khanza mengangguk lemah."Setiap orang yang beriman akan mendapatkan ujiannya masing-masing. Dan sekarang saatnya kamu sedang diuji. Hadapilah semuanya dengan ikhlas dan hati yang lapang. Selama Nak Emir bisa menjalankan kewajibannya dan berlaku adil, kamu tidak berhak untuk meminta perceraian. Abi yakin kamu wanita yang kuat. Kamu pasti bisa menghadapi semuanya dengan hati yang lapang. Pulanglah dengan suamimu, Nak. Abi dan Umi di sini pasti akan selalu mendoakan kebaikanmu," tutur Ustadz Hakim.Khanza kembali tergugu. Ingin sekali aku mendekapnya, tetapi lagi-lagi aku disadarkan bahwa dia belum bisa menerimaku kembali sepenuhnya."Aku takut, Abi. Aku takut tidak akan kuat menghadapinya. Tahap ikhlas dalam diriku belum sampai setinggi itu. Aku ... aku belum siap untuk berbagi," ujarnya lirih.Aku tidak tahan lagi ketika melihatnya menangis pilu. Bergegas bangun, aku kembali bersimpuh di depannya. Khanza tidak menolak saat aku menyentuh jemarinya dan menggenggamnya."Maaf karena telah menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga kita. Mas tahu, akan terdengar sangat egois ketika Mas tetap bersikeras mempertahankan kalian berdua. Mas mencintai kamu, Khanza. Sangat. Karena itulah Mas tidak ingin melepaskan kamu. Tapi ... Mas juga tidak mungkin melepas Najwa karena dia sudah menjadi tanggung jawab Mas. Saat ini, Mas hanya berharap kamu mau tetap bertahan demi cinta kita. Mas mohon, Sayang. Kita hadapi semua ini sama-sama."Khanza terlihat bimbang. Wanitaku beberapa kali menoleh ke arah Ustadz Hakim seakan ingin meminta pendapat dari ayah angkatnya tersebut."Kamu tidak perlu khawatir. Mas tidak pernah membawa Najwa ke rumah kita. Selama ini Mas sama Najwa tinggal di rumah Papa dan Mama. Mas tidak sejahat itu dengan membawa dia untuk tinggal di rumah impian kita," sambungku untuk meyakinkannya.Khanza menarik napas dalam. Istriku mengusap air mata yang mengalir dari sudut matanya, sebelum akhirnya kembali berbicara."Baiklah. Aku akan kembali ke rumah itu.""Alhamdulillah, terima kasih, Sayang."Aku tersenyum bahagia. Lega rasanya setelah mendengar jawaban Khanza seperti apa yang aku harapkan."Terima kasih ya, Allah!" Aku berseru karena saking bahagianya."Aku memang akan kembali ke rumah itu, tapi bukan demi Mas Emir, cinta kita, atau apa pun itu yang terdengar memuakan di telingaku. Aku akan kembali dan menghadapi semuanya untuk mengukur sejauh mana aku bisa melewati ujian ini. Jika pada saatnya nanti aku merasa tidak kuat, maka jangan lagi menahanku untuk pergi. Berjanjilah ... Mas Emir akan melepaskan aku jika tiba saatnya nanti aku menyerah."Seketika, kebahagiaan ini kembali sirna setelah mendengar ucapan Khanza.**ššššKepulangan Khanza disambut haru oleh Papa dan Mama. Kedua orangtuaku langsung menuju rumah ini ketika aku memberi kabar pada mereka. Suasana haru melingkupi kami. Mama tak hentinya menangis sambil memeluk tubuh menantu kesayangannya. Tak jarang, kalimat bernada sindiran ia lontarkan pada putranya ini yang telah menjadi sebab kepergian Khanza. Aku menerimanya dengan ikhlas. Se-pedas apa pun ucapan Mama, tetap aku terima karena memang begitulah kenyataannya. Aku-lah penyebab Khanza memilih pergi dan menjauh dari kami. Aku yang telah bermain hati dan menghadirkan orang ketiga dalam bahtera rumah tangga ini. "Kamu jangan pernah meninggalkan kami lagi. Hampir setiap malam Mama tidak bisa tidur karena mengkhawatirkanmu. Mama takut terjadi sesuatu yang buruk padamu. Mama tidak akan pernah berhenti menyalahkan Emir karena dia biang keladi masalah ini! Andai saja dia tidak jelalatan dan menikah lagi, kamu pasti tidak akan memilih pergi!""Sudah, Ma. Emir sudah menyadari kesalahannya. Kita bi
"Maaf jika Mas terkesan mengabaikanmu. Mas harus terus berada di samping Najwa untuk menguatkannya."Aku memberi penjelasan kepada Khanza agar ia tidak salah paham dan merasa diabaikan. Sebelum jenazah ayah mertuaku dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya, aku sempatkan menghampiri Khanza yang terus didampingi oleh Mama. "Tidak apa, aku mengerti.""Kamu tidak marah?" Aku memastikan."Kenapa harus marah? Dia kan istri Mas Emir juga.""Berjanjilah untuk tidak berpikiran macam-macam. Mas janji setelah semuanya selesai, Mas akan lebih sering menghabiskan waktu denganmu.""Tidak perlu terlalu berlebihan, lakukan saja sewajarnya. Aku tidak akan menuntut waktu lebih banyak karena aku tidak ingin dikatakan sebagai istri yang serakah. Berbagi waktulah dengan adil padaku juga Najwa."Perkataan Khanza sama sekali tidak membuatku senang. Ia seolah menghindar dariku yang sebenarnya masih ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. "Mas hanya ingin mengganti waktu satu tahun selama kita
Pov Khanza"Jaga diri baik-baik, Abi dan Umi akan selalu mendoakan kamu. Jika suatu saat kamu memutuskan untuk menyerah, kembalilah ke sini. Pintu rumah ini akan selalu terbuka untukmu."Perkataan Abi Hakim menjadi pengantar ketika aku memutuskan untuk kembali bersama Mas Emir. Meski hati ini berat melakukannya, aku berusaha menerima takdir diri yang ternyata dipertemukan kembali dengan suamiku. Emir Alfaraz ... suami yang kukira sangat mencintaiku, ternyata tega menduakan diri ini. Marah, benci, bahkan hancur. Itulah gambaran hatiku saat itu. Mas Emir telah menodai ikatan suci pernikahan dengan menghadirkan orang ketiga dalam bahtera rumah tangga kami. Tidak ada pilihan lain selain pergi. Hidup bersama pengkhianat hanya akan memupuk luka yang terus menggerogoti hati ini. Ikhlas Berbagi? Tidak!Aku tidak akan pernah sudi berbagi dengan wanita lain. Hidupku terlalu berharga jika harus bertahan dengan suami yang telah tega mendua. Tidak ada jaminan ia akan berlaku adil jika aku mene
Pov Khanza"Kenapa Anda membawa saya ke tempat ini?"Pria yang ternyata Kakak dari Najwa menarik wajahnya yang tadi begitu dekat. Ia berjalan menuju lemari usang yang tidak jauh dari ranjang tempatku duduk dan menyandarkan tubuhnya di sana. "Supaya kamu tidak mengganggu kebahagiaan adikku.""Saya Mengganggu? Anda tidak salah?" Aku cukup tersinggung dengan apa yang ia katakan. Seharusnya perkataan itu lebih pantas ditujukkan kepada adiknya. Najwa yang hadir menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku dan Mas Emir. Mencuri sebagian hati suamiku tanpa memikirkan perasaanku. Lantas kenapa pria ini malah menuduh orang yang salah?"Istirahatlah. Sebentar lagi anak buahku membawakan makanan untukmu."Pria yang kutahu bernama Aidan sama sekali tidak menanggapi ucapanku. Ia kembali berjalan menuju pintu kamar dan hampir saja keluar sebelum aku menahannya."Anda ingin membunuh saya?"Pergerakannya terhenti. Ia bergeming di posisinya tanpa menoleh padaku."Jika memang dengan membunuh saya membua
Pov EmirHampir satu minggu sudah Khanza menghilang dan aku masih berusaha untuk mencarinya. Meski rasa lelah kadang menyapa karena selain disibukkan oleh pekerjaan, aku pun harus mendampingi Najwa yang tengah mengandung dengan kondisi yang sangat lemah. Istri keduaku menolak setiap makanan yang dimasak oleh Asisten Rumah Tangga di rumah Mama. Alhasil, aku harus menuruti keinginannya yang kerap kali ingin makan makanan luar bahkan di waktu yang seharusnya aku gunakan untuk beristirahat.Papa menyarankan untuk melapor kepada polisi atas kehilangan Khanza dan aku sudah melakukannya. Namun hingga saat ini belum menemukan titik terang di mana istriku itu berada. Bahkan di Pondok Ustadz Hakim pun sudah aku kunjungi dan Khanza tidak ada di sana. Ustadz Hakim menyayangkan karena hal seperti ini harus terulang. Beliau merasa kecewa karena aku lalai menjaga putri angkatnya tersebut."Maafkan saya, Ustadz." Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan di depan ayah angkat Istri pertamaku."Mas ....
"Sayang!"Khanza yang tengah duduk di salah satu kursi menoleh padaku. Tanpa merasa sungkan ataupun malu oleh beberapa orang polisi yang berada di ruangan ini, aku memeluk istriku erat. Rindu, khawatir sekaligus lega bercampur menjadi satu. Kehilangan Khanza kembali ditambah dengan menghadapi kehamilan Najwa yang cukup lemah membuatku nyaris gila. Rupanya mempunyai dua istri tidak semudah yang aku bayangkan. Berusaha bersikap adil tapi nyatanya sangat sulit kulakukan jika situasi sudah mendesak. Apa memang aku harus melepas salah satunya seperti yang diminta oleh Mama Alice?Ah, biar nanti saja kupikirkan lagi. Yang terpenting saat ini aku ingin melepas rindu kepada istri pertamaku ini. "Kamu dari mana saja? Apa yang terjadi sampai kamu menghilang beberapa hari?" cecarku setelah mengurai pelukan. Aku sedikit kecewa karena Khanza tidak membalas pelukanku. Bahkan tidak terlihat senang ketika bertemu denganku lagi. "Maaf, Pak Emir. Sebaiknya kita duduk dulu. Kita dengarkan keterangan d
"Bolehkah aku menyerah?"Perkataan Khanza terus terngiang di telinga ini. Ucapannya tersebut berhasil membuatku hampir kehilangan napas. Melepaskan Khanza sama saja dengan merenggut separuh jiwaku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kacaunya hidupku jika harus kehilangan dia untuk yang ke sekian kalinya."Mas mohon jangan menyerah. Beri Mas waktu untuk memperbaiki semuanya dan mengembalikkan semuanya seperti semula." Aku mengeratkan pelukan di pinggangnya. Saat ini kami tengah berbaring bersama di peraduan dengan posisi Khanza membelakangiku. Kupeluk dirinya dari belakang. Rasa takut kehilangan membuatku mengabaikan keberadaan Najwa dan kakaknya yang mungkin saja masih berada di ruang tamu. "Bagaimana caranya? Semuanya sudah terlambat, Mas. Najwa sedang mengandung anakmu dan kamu tidak mungkin menceraikannya.""Nanti kita pikirkan. Mas akan membicarakannya dengan Papa dan Mama. Kamu harus janji tidak akan meninggalkan Mas lagi. Mas mohon bersabarlah sebentar saja." Aku terus berus
"Jangan takut, mobil itu sudah tidak mengikuti kita."Aku menenangkan Khanza yang masih terlihat gelisah. "Bersiaplah, sebentar lagi kita sampai," sambungku seraya mengelus kepalanya yang tertutup jilbab. Kami sampai di kediaman megah keluarga Pak Bambang. Aku membukakan pintu untuk Khanza yang terlihat jauh lebih tenang. Kuulurkan tangan untuk meraih lengannya. Kami bergandengan menuju pintu masuk yang dijaga oleh beberapa petugas keamanan. Beberapa rekan bisnis yang kukenal menyambut kedatangan kami dengan hangat. Kami terlibat obrolan sebentar sebelum naik ke pelaminan untuk mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. "Terima kasih sudah bersedia datang, Pak Emir," ucap Pak Bambang ketika aku menghampirinya yang tengah berbincang dengan beberapa orang. "Sama-sama, Pak.""Ini ... istri Pak Emir?"Aku menoleh ke arah Khanza yang menangkupkan kedua tangan sambil mengangguk sopan. "Iya, Pak. Ini istri saya.""Masya Allah, istri Pak Emir ini pandai sekali menjaga auratnya. Selamat d