"Maaf jika Mas terkesan mengabaikanmu. Mas harus terus berada di samping Najwa untuk menguatkannya."Aku memberi penjelasan kepada Khanza agar ia tidak salah paham dan merasa diabaikan. Sebelum jenazah ayah mertuaku dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya, aku sempatkan menghampiri Khanza yang terus didampingi oleh Mama. "Tidak apa, aku mengerti.""Kamu tidak marah?" Aku memastikan."Kenapa harus marah? Dia kan istri Mas Emir juga.""Berjanjilah untuk tidak berpikiran macam-macam. Mas janji setelah semuanya selesai, Mas akan lebih sering menghabiskan waktu denganmu.""Tidak perlu terlalu berlebihan, lakukan saja sewajarnya. Aku tidak akan menuntut waktu lebih banyak karena aku tidak ingin dikatakan sebagai istri yang serakah. Berbagi waktulah dengan adil padaku juga Najwa."Perkataan Khanza sama sekali tidak membuatku senang. Ia seolah menghindar dariku yang sebenarnya masih ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. "Mas hanya ingin mengganti waktu satu tahun selama kita
Pov Khanza"Jaga diri baik-baik, Abi dan Umi akan selalu mendoakan kamu. Jika suatu saat kamu memutuskan untuk menyerah, kembalilah ke sini. Pintu rumah ini akan selalu terbuka untukmu."Perkataan Abi Hakim menjadi pengantar ketika aku memutuskan untuk kembali bersama Mas Emir. Meski hati ini berat melakukannya, aku berusaha menerima takdir diri yang ternyata dipertemukan kembali dengan suamiku. Emir Alfaraz ... suami yang kukira sangat mencintaiku, ternyata tega menduakan diri ini. Marah, benci, bahkan hancur. Itulah gambaran hatiku saat itu. Mas Emir telah menodai ikatan suci pernikahan dengan menghadirkan orang ketiga dalam bahtera rumah tangga kami. Tidak ada pilihan lain selain pergi. Hidup bersama pengkhianat hanya akan memupuk luka yang terus menggerogoti hati ini. Ikhlas Berbagi? Tidak!Aku tidak akan pernah sudi berbagi dengan wanita lain. Hidupku terlalu berharga jika harus bertahan dengan suami yang telah tega mendua. Tidak ada jaminan ia akan berlaku adil jika aku mene
Pov Khanza"Kenapa Anda membawa saya ke tempat ini?"Pria yang ternyata Kakak dari Najwa menarik wajahnya yang tadi begitu dekat. Ia berjalan menuju lemari usang yang tidak jauh dari ranjang tempatku duduk dan menyandarkan tubuhnya di sana. "Supaya kamu tidak mengganggu kebahagiaan adikku.""Saya Mengganggu? Anda tidak salah?" Aku cukup tersinggung dengan apa yang ia katakan. Seharusnya perkataan itu lebih pantas ditujukkan kepada adiknya. Najwa yang hadir menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku dan Mas Emir. Mencuri sebagian hati suamiku tanpa memikirkan perasaanku. Lantas kenapa pria ini malah menuduh orang yang salah?"Istirahatlah. Sebentar lagi anak buahku membawakan makanan untukmu."Pria yang kutahu bernama Aidan sama sekali tidak menanggapi ucapanku. Ia kembali berjalan menuju pintu kamar dan hampir saja keluar sebelum aku menahannya."Anda ingin membunuh saya?"Pergerakannya terhenti. Ia bergeming di posisinya tanpa menoleh padaku."Jika memang dengan membunuh saya membua
Pov EmirHampir satu minggu sudah Khanza menghilang dan aku masih berusaha untuk mencarinya. Meski rasa lelah kadang menyapa karena selain disibukkan oleh pekerjaan, aku pun harus mendampingi Najwa yang tengah mengandung dengan kondisi yang sangat lemah. Istri keduaku menolak setiap makanan yang dimasak oleh Asisten Rumah Tangga di rumah Mama. Alhasil, aku harus menuruti keinginannya yang kerap kali ingin makan makanan luar bahkan di waktu yang seharusnya aku gunakan untuk beristirahat.Papa menyarankan untuk melapor kepada polisi atas kehilangan Khanza dan aku sudah melakukannya. Namun hingga saat ini belum menemukan titik terang di mana istriku itu berada. Bahkan di Pondok Ustadz Hakim pun sudah aku kunjungi dan Khanza tidak ada di sana. Ustadz Hakim menyayangkan karena hal seperti ini harus terulang. Beliau merasa kecewa karena aku lalai menjaga putri angkatnya tersebut."Maafkan saya, Ustadz." Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan di depan ayah angkat Istri pertamaku."Mas ....
"Sayang!"Khanza yang tengah duduk di salah satu kursi menoleh padaku. Tanpa merasa sungkan ataupun malu oleh beberapa orang polisi yang berada di ruangan ini, aku memeluk istriku erat. Rindu, khawatir sekaligus lega bercampur menjadi satu. Kehilangan Khanza kembali ditambah dengan menghadapi kehamilan Najwa yang cukup lemah membuatku nyaris gila. Rupanya mempunyai dua istri tidak semudah yang aku bayangkan. Berusaha bersikap adil tapi nyatanya sangat sulit kulakukan jika situasi sudah mendesak. Apa memang aku harus melepas salah satunya seperti yang diminta oleh Mama Alice?Ah, biar nanti saja kupikirkan lagi. Yang terpenting saat ini aku ingin melepas rindu kepada istri pertamaku ini. "Kamu dari mana saja? Apa yang terjadi sampai kamu menghilang beberapa hari?" cecarku setelah mengurai pelukan. Aku sedikit kecewa karena Khanza tidak membalas pelukanku. Bahkan tidak terlihat senang ketika bertemu denganku lagi. "Maaf, Pak Emir. Sebaiknya kita duduk dulu. Kita dengarkan keterangan d
"Bolehkah aku menyerah?"Perkataan Khanza terus terngiang di telinga ini. Ucapannya tersebut berhasil membuatku hampir kehilangan napas. Melepaskan Khanza sama saja dengan merenggut separuh jiwaku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kacaunya hidupku jika harus kehilangan dia untuk yang ke sekian kalinya."Mas mohon jangan menyerah. Beri Mas waktu untuk memperbaiki semuanya dan mengembalikkan semuanya seperti semula." Aku mengeratkan pelukan di pinggangnya. Saat ini kami tengah berbaring bersama di peraduan dengan posisi Khanza membelakangiku. Kupeluk dirinya dari belakang. Rasa takut kehilangan membuatku mengabaikan keberadaan Najwa dan kakaknya yang mungkin saja masih berada di ruang tamu. "Bagaimana caranya? Semuanya sudah terlambat, Mas. Najwa sedang mengandung anakmu dan kamu tidak mungkin menceraikannya.""Nanti kita pikirkan. Mas akan membicarakannya dengan Papa dan Mama. Kamu harus janji tidak akan meninggalkan Mas lagi. Mas mohon bersabarlah sebentar saja." Aku terus berus
"Jangan takut, mobil itu sudah tidak mengikuti kita."Aku menenangkan Khanza yang masih terlihat gelisah. "Bersiaplah, sebentar lagi kita sampai," sambungku seraya mengelus kepalanya yang tertutup jilbab. Kami sampai di kediaman megah keluarga Pak Bambang. Aku membukakan pintu untuk Khanza yang terlihat jauh lebih tenang. Kuulurkan tangan untuk meraih lengannya. Kami bergandengan menuju pintu masuk yang dijaga oleh beberapa petugas keamanan. Beberapa rekan bisnis yang kukenal menyambut kedatangan kami dengan hangat. Kami terlibat obrolan sebentar sebelum naik ke pelaminan untuk mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. "Terima kasih sudah bersedia datang, Pak Emir," ucap Pak Bambang ketika aku menghampirinya yang tengah berbincang dengan beberapa orang. "Sama-sama, Pak.""Ini ... istri Pak Emir?"Aku menoleh ke arah Khanza yang menangkupkan kedua tangan sambil mengangguk sopan. "Iya, Pak. Ini istri saya.""Masya Allah, istri Pak Emir ini pandai sekali menjaga auratnya. Selamat d
"Tolong jangan sentuh istri saya, Bang! Kalian bukan mahram."Aku menyingkirkan tangan Bang Aidan dari tubuh Khanza, kemudian meraih tubuh istriku untuk kupeluk. Bang Aidan menatapku tajam, tapi aku tak peduli. Aku tidak suka dia terlalu berlebihan saat membangunkan istriku yang tidak sadarkan diri. Sebagai sesama pria, aku bisa melihat ada ketertarikan dari diri Bang Aidan terhadap istri pertamaku. Ternyata dugaanku benar. Keanehan sikap Bang Aidan ada hubungannya dengan Khanza yang terlihat selalu gelisah ketika Kakak iparku itu datang ke rumah ini. "Saya hanya berniat membantu," ucapnya dengan mata yang tak lepas dari wajah istriku. "Terima kasih. Tapi seharusnya Abang tidak perlu menyentuh anggota tubuh istri saya.""Maaf, saya hanya reflek."Aku mendengkus tak suka. "Jangan mencari kesempatan," tegasku. Gegas kubopong tubuh Khanza untuk kubawa ke kamarnya di lantai atas. Tidak ingin lebih lama berhadapan dengan Bang Aidan yang terus memperhatikan istriku. "Mbak Khanza kenapa,