Saat mendapat tatapan tajam dari wanita dan pria paruh baya di hadapannya, Naila langsung menundukkan pandangan. Ketakutan mulai menerpa hatinya dikala hawa di sekitar mulai terasa tak nyaman saat ini. "Ini istri Tuan Ali, namanya Naila. Tuan Ali sedang pergi ke kantor, Nyonya." Sebagai orang kepercayaan Ali, Santi mulai membuka suara. Walau rasa takut pun menderanya. "Istri?"Mendengar jawaban Santi, Anya Taamir—Mama kandung Ali, mengerutkan dahi."Iya Nyonya," sahut Santi, cepat.Untuk sejenak Anya melempar pandangan pada pria di sampingnya. Suara tawa tiba-tiba berkumandang di sekitar. Pasangan suami-istri itu tengah tertawa terpingkal-pingkal. Menganggap perkataan Santi barusan adalah sebuah lelucon. Saat Mendengar tawa yang tak asing ditelinganya, Naila masih bergeming, dengan rasa takut hinggap dihatinya sedari tadi. Tanpa berniat sekalipun menggerakkan kepala, Naila meremas ujung pakaiannya, cemas. "Haha! Astaga Santi, siang-siang begini kamu malah membuat lelucon, ada-ada
Naila tergugu, lidahnya sangat sulit digerakkan. Suara yang terdengar barusan memang benar Ali. Namun, mengapa penampilan Ali teramat berbeda. Ali menggenakan setelan jas berwarna hitam, rambutnya tampak pendek dan rapi, lalu tak ada lagi jambang panjang terlihat di rahangnya. Meski garis mukanya sama, tapi Ali tampak asing dimatanya sekarang. Masih duduk di atas lantai, Naila menundukkan wajah ke bawah. Mengabaikan rasa sakit yang menjalar di rambutnya.Sementara Anya, secara perlahan-lahan menurunkan tangannya dari kepala Naila. Lalu melipat tangan di dada, melirik ke arah Salman sesaat dan berkata,"Istri? Jangan aneh-aneh Ali! Apa kamu sedang mengarang cerita sama seperti Santi?" Anya dan Salman tertawa remeh sejenak, tak percaya akan perkataan putra bungsunya itu barusan.Ali enggan menyahut, berjalan cepat, menghampiri Naila dan mengulurkan tangannya. Mengabaikan kedua orang tuanya yang masih tertawa. "Nai, bangunlah!" Ali berkata dengan penuh penekanan, berharap Naila dapat s
Kembali ke dalam mansion, Naila dan Ali bergeming di tempat. Keduanya tengah berdiri menghadap ke arah pintu utama."Naila." Ali membalikkan badannya ke belakang seketika, melihat Naila masih menundukkan pandangan."Iya, Al," sahut Naila, memberanikan diri mengangkat wajah. "Kamu tak apa-apa, 'kan?" Ali menelisik keadaan tubuh Naila dari atas sampai ke ujung kaki, apakah ada yang terluka atau tidak.Naila menggeleng cepat dan berkata, "Tidak ada, Al, aku baik-baik saja." 'Tapi hatiku yang sakit, Al. Mengapa semua orang membenciku.' Naila hanya dapat melontarkan kalimat tersebut di dalam hatinya. Memikirkan penderitaannya yang tak kunjung habis.Kepergiannya ke ibu kota pun masih ada saja orang yang menyiksa dan mencaci makinya. Namun, sekarang Naila merasa senang sebab ada seseorang yang memperlakukannya selayaknya manusia, dialah Ali, suaminya sendiri. Meskipun Ali tampak asing di matanya kini. Oleh sebab itu, ketampanan Ali membuat Naila berkecil hati. Dia merasa tak pantas bersan
"Ahk! Tidak! Awas kamu, Ali!" Mirna menjerit histeris di depan rumahnya. Melihat para pria bertubuh besar dan bersetelan jas hitam mengobrak-abrik isi warungnya sekarang. Sepuluh menit lalu, Mirna yang sedang melayani pembeli di warung, begitu terkejut melihat kedatangan empat orang pria asing ke rumahnya. Mereka menyuruh Mirna untuk angkat kaki dari rumahnya sekarang. Sebab atasan mereka ingin membuka lahan di area rumahnya. Tentu saja Mirna tak terima dan mengatakan mereka tak memiliki hak untuk mengusirnya dari rumahnya sendiri. Tanpa banyak kata, salah seorang dari mereka memberikan dia dokumen yang menunjukkan kepemilikan rumah bukan miliknya lagi. Mirna tergugu sejenak, melihat nama Ali tertera di surat tersebut. Gurat kebingungan tergambar pula di wajahnya tadi, bertanya-tanya, mengapa sertifikat rumahnya bisa berada di tangan Ali, bukankah sertifikat rumahnya dia gadaikan kepada Pak RT, sebagai jaminan untuk meminjam uang beberapa tahun lalu. Mirna pun menyesali kebodohanny
Dengan tergesa-gesa Santi menghubungi Roni, menyuruhnya untuk cepat datang ke mansion, mengatakan ada seseorang yang berteriak-teriak tak jelas di depan pintu utama.Setelah memberitahu Roni, Santi pun mengajak Naila untuk pergi ke depan, melihat siapa yang berhasil menerobos mansion Ali. Sesampainya di depan pintu utama, Naila langsung menundukkan pandangan saat sosok asing itu nampak ketakutan melihat wajahnya."Astaga, mengerikan sekali wajah itu!" Dia berseru sambil memundurkan langkah kakinya perlahan.Melihat gurat ketakutan terpatri di wajah sosok tersebut. Santi lantas berdiri di depan Naila. Dia tak mau mendengar orang-orang kembali menggunjing Naila. "Hei, siapa kamu? Ada keperluan apa kamu datang kemari?" Santi bertanya dengan mata melirik ke kanan dan ke kiri sekilas, hendak menelisik keberadaan para penjaga, yang kebetulan tak nampak di pelupuk matanya sekarang. Biasanya ada dua orang bodyguard berjaga di depan pintu masuk mansion. Tapi, sekarang entah kemana perginya
“Apa-apaan ini?!” teriak Roni, dengan raut wajah terkejut.Roni baru saja sampai di mansion. Karena padatnya jalanan ibu kota di sore hari, membuat Roni akhirnya terjebak macet. Alhasil jarak tempuh antara kantor dan mansion, yang seharusnya dua puluh menit menjadi lima puluh menit. Di tambah lagi mobilnya tadi tiba-tiba mogok tanpa tahu apa penyebabnya. Roni menebak ada sesuatu yang tidak beres sekarang. Namun, dia tak kehabisan akal, Roni kembali ke mansion dengan menggunakan taksi. Roni tak mau mengecewakan atasannya. Tadi, sebelum pergi ke mansion, Ali memberikan perintah, agar selalu bersiap siaga melindungi Naila, di saat Ali tengah sibuk merampungkan perkerjaan yang menggunung di kantor, akibat kepergiannya ke desa tiga bulan lalu. Sehingga banyak sekali dokumen yang harus diperiksa Ali sebelum ditandatangani. Para asisten rumah lantas menghentikan pergerakkan tangannya, kemudian menoleh serempak ke sumber suara, melihat Roni, tangan kanan Ali, berdiri di hadapan mereka dengan
Setelah puas memandangi wajah Naila. Ali naik ke atas tempat tidur dan merebahkan diri di samping Naila. Kemudian mendekap tubuh Naila dari belakang tiba-tiba. Ali tak bersuara sama sekali. Hanya alisnya yang terangkat sedikit, kala sensasi panas menerpa tubuhnya saat ini. "Tenanglah, Nai. Besok tak ada lagi orang yang menganggumu." Ali berbisik pelan di telinga Naila. Seolah-olah Naila dapat mendengarkannya. Wanita itu tertidur amat pulas sehingga tak menyadari jika Ali telah memeluknya kini. Ali semakin mengeratkan pelukan dan menaruh dagunya di pundak Naila pula. Lalu menutup kedua matanya perlahan-lahan, ikut mengarungi samudera mimpi bersama Naila. ***Waktu menunjukkan pukul satu dini hari, Ali membuka kelopak mata pelan-pelan dan melihat Naila masih terlelap dengan begitu damai di sampingnya. Dalam hitungan detik dia beringsut dari atas ranjang, kemudian berlalu pergi dari kamar. "Tuan, semua sudah beres."Baru saja Ali keluar dari kamar. Roni membuka suara tanpa menatap
Naila tak kalah terkejutnya. Tanpa sadar air ludah ia telan dengan susah payah saat ini. Kepalanya langsung menunduk, dia tak berani membuka suara kembali. Sementara Santi, dengan perlahan memutar kepalanya ke samping, melihat Ali berdiri di hadapannya, entah sejak kapan. Melempar senyum kaku, Santi berkata," Hehe, selamat pagi, Tuan. Ternyata Tuan sudah datang rupanya. Mari Tuan, silakan duduk."Santi memundurkan kaki sebanyak empat langkah ke belakang, sambil sesekali melirik-lirik Roni yang saat ini berdiri tegap di belakang Ali. Roni melototi Santi, untuk jangan melakukan sesuatu yang membuat suasana hati Ali berubah. Santi mengerti, lantas melempar senyum tipis. "Kalian belum menjawab pertanyaanku, Shakira, siapa yang kalian maksud?" Ali menggerakkan bibirnya tiba-tiba. Suara beratnya terdengar tajam, membuat telapak tangan Santi berkeringat dingin. Santi tak langsung menyahut. Wajahnya tampak ketakutan. Dia tengah berusaha mencari kata-kata di benaknya untuk memberikan alib