"Kai jangan bicara seperti itu, yah. Maafkan kelakuan cucu Bibi, ya, Den!" kata Asih tak enak hati.
‘Apa anak ini tidak memiliki seorang Ayah?’ Calvin menatap Kai yang kini tertunduk takut setelah ditegur oleh neneknya. “Tidak masalah, kamu bebas panggil dengan sebutan apa saja.” Mendengar jawaban Calvin, Kai memberanikan diri untuk kembali menatap wajahnya dan tersenyum kecil. Sedangkan Asih bukan saja merasa terkejut karena ucapan cucunya yang meminta anak majikannya untuk menjadi ayahnya. Namun, dirinya juga terkejut dengan kemiripan wajah Kai dan Calvin. Pantas saja selama ini Asih selalu merasa wajah Kai mirip seseorang. Asih merasa itu sebuah kebetulan yang aneh. Namun, tentu saja dia tidak berani untuk membayangkan kemungkinan itu. Bagaimanapun status Calvin begitu jauh dengan status anaknya, Tavisha. Sehingga rasanya tidak mungkin bahwa Calvin pernah datang ke desa tempat tinggalnya dahulu. "Ayok cucu Nenek! Kita ke kamar?" ajak Asih, tidak ingin kehadiran Kai menganggu Calvin. Kai menganggukan kepalanya dan melambaikan tangan kecilnya pada Calvin. “Sampai bertemu lain kali Om Superman." Tanpa terasa Calvin tersenyum lembut melihat tingkah Kai yang begitu menggemaskan. Dalam benaknya Calvin merasa heran mengapa anak sekecil itu sudah tidak memiliki ayah. Suara pesan masuk menyadarkan Calvin dari lamunan. Rupanya pesan dari Dion, sahabat masa kuliahnya. 'Cal, siang ini mampir ke kafe gue, ada Tama, Greta, dan anak-anak lainnya, jangan lupa!' Sementara ini, tiga tahun mereka hanya sesekali bertemu. Calvin terlalu sibuk dengan jabatannya sebagai CEO, Dion meneruskan kafe yang telah ia bangun selama hampir empat tahun ini, sedangkan Tama, meneruskan perusahaan keluarganya. 'Ok, tetapi gue nggak janji!' balas Calvin. Dirinya kemudian bergegas menuju perusahaan untuk menghadiri meeting dengan klien. Calvin keluar dari mobil sambil merapihkan jas yang di kenakannya, dia pun berjalan keluar dengan gagah. Aura yang mengintimidasi membuat para karyawan di kantornya tidak ada yang berani mendekati pria itu, meskipun mereka mengagumi wajah tampannya. "Pak Calvin?" panggil Anna sekertarisnya. Calvin menoleh seraya mengernyitkan keningnya. "Ada apa?" "Pak, jam sebelas ini kita ada rapat di kafe 'Star House' bersama Pak Tama," jelas Anna. Calvin menoleh pada jam di tangannya. 'Kafe, bukannya itu kafe Dion?' gumamnya merasa bingung dengan kebetulan ini, pantas saja Dion tadi memberitahu dirinya untuk datang ke Kafe. "Ya sudah, kita berangkat sekarang!" "Baik Pak, Mari!" ajak Anna. Anna tersenyum tipis, bahkan tiga tahun ini dia tak bisa menaklukkan hati Calvin. "Huhh? Aku penasaran pada siapa hati Pak Calvin berlabuh? Apa Nyonya Greta? Dengar-dengar kedua orang tuanya akan menjodohkan mereka, ah ... patah hati deh gue," batin Anna. Setibanya di kafe Star House, Calvin duduk di salah satu ruangan 'meeting room' menunggu kedatangan Tama, klien sekaligus sahabat masa kuliahnya. "Pak Tama, silakan duduk!" ucap Anna dengan ramah begitu melihat kehadirannya. "Terima kasih, Anna. Apa kabar Tuan Calvin?" tanya Tama basa-basi. "Saya baik, bagaimana kabar Anda, Pak Tama?" Calvin berbalik tanya, seolah keduanya merasa asing. Keduanya saling menatap dan tersenyum tipis, sedangkan di hati Tama, dia masih menyimpan rasa dendam dan benci saat Greta lebih memilih Calvin di bandingkan dirinya. Mereka berdua melanjutkan meeting membahas pekerjaan, selayaknya klien dan rekan bisnis. Dari kejauhan, Visha yang sedang memegang nampan berisi dua gelas americano menatap tak percaya begitu melihat wajah Calvin. ‘Pria itu ....’ Tangan Visha bergetar begitu melihat wajah Calvin yang mengingatkannya pada seseorang. Ingatan kelam akan kejadian masa lalunya kembali menyeruak masuk dalam pikirannya. “Loh, Mbak Visha, kenapa gak masuk ke dalam untuk antar pesanannya?” Ayu rekan kerja Visha menatapnya dengan raut wajah bingung. Pegangan tangan Visha pada nampan terasa melemah. Dirinya hampir saja menjatuhkan minuman, jika saja tangan Ayu tidak segera menahan nampan tersebut agar tidak terjatuh. “Mbak gapapa? Wajah Mbak pucat sekali?” “Ayu, maaf! Tapi, bisa tolong gantikan aku antarkan ini ke ruang meeting room?" Visha berusaha menghindari Calvin di balik kaca ruangan itu. "Baik Mbak Visha," kata Ayu tanpa curiga. Visha bergegas untuk kembali ke pantry, namun dirinya justru malah bertabrakan dengan Dion. "Visha?" "Eumm, maaf Mas, Visha ...."Calvin memejamkan mata perlahan, air mata luruh membasahi pipinya. Rasa sesal dan penyesalan begitu dalam mencengkeram hatinya. “Mas tahu hatimu masih cinta sama Mas, Sha. Maafin Mas, jika mengecewakan kamu.”“Mas,” ucap Visha akhirnya, suaranya bergetar menahan tangis.“Yah sayang,” jawab Calvin, suaranya terdengar parau.“Berjuanglah, luluhkan dan ...” Visha terdiam, kalimatnya terhenti di tengah jalan. Dia tidak tega untuk melanjutkan kalimatnya. Dia tahu, apa yang dia harapkan dari Calvin sangatlah sulit.“Mas akan berusaha,” jawab Calvin, suaranya terdengar lemah. Dia tahu, dia harus berjuang untuk mendapatkan kembali hati Visha. Namun, dia juga tahu, jalan yang harus dia tempuh tidaklah mudah.“Mas, aku percaya kamu bisa,” ucap Visha, tangannya menggenggam erat ponsel. Dia memberikan dukungan penuh kepada Calvin, meskipun hatinya terluka.“Terima kasih sayang,” ucap Calvin, dengan lega. Dia bersyukur memiliki Visha, wanita yang selalu ada di sisinya, mendukungnya dalam s
Calvin terkejut dengan suara Asih, ibu mertuanya yang meninggi. “Turun!” perintah Asih. “B-baik, Bu.” Calvin menjawab, dia pun membuka pintu dan menghampiri Asih. “Bu, Visha ...” “Mulai sekarang, jangan kamu temui lagi Visha dan Kai. Mereka bahagia meski tanpa kamu, pria pengecut yang selalu termakan hasutan mantan kekasihmu.” Calvin lagi-lagi terkejut dengan ucapan Asih. “Bu ... tapi Visha dan Kai, bagian dari keluarga Calvin.” “Bagian dari keluarga kamu? Lalu ke mana saja saat anakku tadi menangis, bahkan dengan tega kamu mengusirnya?” “Bu, Calvin benar-benar minta maaf! Calvin janji tidak akan mengulangi hal ini lagi.” Calvin berusaha meminta maaf pada Asih, tetapi Asih tak luluh begitu saja. “Cukup! Tinggalkan anak saya sekarang juga!” “Bu,” panggil Visha, dia berdiri dengan tegak, bibirnya gemetar. “Sha, ayok pulang? Maaf, jika Mas tadi ...” “Mas, pulanglah!” Visha menunduk, air matanya menetes. Calvin terdiam, hatinya terasa sesak. Dia mencintai Visha dan
Greta tersenyum licik. Dia pun menambahkan kata-kata lagi untuk meracuni pikiran Calvin. “Oh, jangan-jangan kamu sengaja menggoda Pak Cokro?”Visha tersentak. “Tutup mulutmu!” teriaknya. “Calvin ... Calvin, kamu mau saja ditipu oleh wanita ini! Padahal aku sudah mengantarkan Visha ke depan ruanganmu, tetapi kenapa dia malah pergi ke ruangan Pak Cokro!”“Hentikan ucapanmu, Mbak Greta!” Visha kesal. “Aku bahkan tidak mengenal pria itu!”“Owh yah?” Greta mencemooh. “Aku tidak yakin. Jangan-jangan kamu ...” “Greta, sebaiknya kamu pergi ke ruanganmu!” perintah Calvin, suaranya dingin.Calvin meleraikan pelukannya. Dia berjalan selangkah, hatinya cemburu dan terhasut oleh ucapan Greta. Pandangannya tertuju pada Visha yang berdiri terdiam, wajahnya memerah menahan amarah.“Visha, sebaiknya kamu pulang. Biar Bara yang antar kamu,” ucap Calvin, suaranya terdengar dingin.“Mas, aku ke sini hanya untuk bertemu dengan kamu. Aku bawain ...” Visha mencoba menjelaskan, tetapi Calvin langs
Tanpa merasa curiga, Visha masuk ke dalam ruangan itu. Dia duduk di sofa, sesekali menatap satu per satu ruangan yang tampak mewah. "Jadi ini ruangan kerja Mas Calvin," ucapnya bangga.Visha berjalan menuju jendela, menatap indahnya pemandangan dari atas gedung bertingkat lima. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, membawanya pada lamunan tentang masa depan bersama Calvin."Semoga saja dengan kedatanganku kemari, Mas Calvin akan sangat bahagia," gumam Visha, matanya berkaca-kaca.Pada saat Visha sedang melamun, pintu ruangan terbuka dengan suara berderit. Seorang pria gendut berwajah garang terkejut dengan pemandangan wanita yang berbaju merah berdiri dengan anggunnya di dekat jendela."Wow, bukannya aku baru beberapa menit memesan wanita cantik? Rupanya Carles cepat sekali mendapatkan wanita cantik!" katanya sembari melangkah mendekati Visha.Visha yang sedang melamun tak menyadari gerakan langkah kaki yang mendekat. Dia tersentak kaget saat merasakan tangan kekar itu melingka
Visha berjongkok di depan Kai, puteranya yang polos. Tangannya menggenggam erat tangan mungil Kai, mencoba menenangkan. "Sayang, Jangan berbicara seperti itu yah, Nak. Papah Calvin—""Stop Bunda, Om Superman bukan Papah Kai!" teriak Kai, suaranya bergetar menahan tangis."Nak!" Visha terkesiap, hatinya tersayat mendengar kata-kata putranya.Kai menghempaskan tangannya, dia berbalik mendekati Asih, neneknya. "Nek, Kai mau tinggal di sini sama Nenek, Kai tidak mau bertemu dengan Om jahat."Asih memeluk erat Kai, tangannya mengusap perlahan rambut Kai. "Sayang, ayok sekarang Kai cuci kaki dan kita berangkat sekolah. Nanti Nenek yang antar kamu ke sekolah."Kai mengangguk, matanya berkaca-kaca. Dia pun bergegas pergi meninggalkan Visha yang berdiri terpaku, air matanya menetes perlahan."Bu?" panggil Visha, suaranya terengah-engah. "Kamu harus bersabar, Kai masih trauma pada Ayahnya, biarkan dia tenang dulu!" kata Asih, lembut.Visha hanya bisa mengangguk, hatinya pedih meliha
Visha berdecak kesal, matanya menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari Calvin. Jari-jarinya menekan tombol Power, mematikan layar yang menampilkan pesan yang membuatnya geram.“Menyebalkan, apa kamu pikir aku butuh uangmu!” gerutu Visha, suaranya meninggi. Dia melempar ponselnya ke atas ranjang, kepalanya tertunduk lesu.Visha enggan untuk menelepon kembali Calvin, apalagi menjelaskannya. Perasaannya campur, antara kesal, kecewa, dan sedikit takut.“Huhh! Kenapa jadi seperti ini?” gumam Visha, lelah. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.Asih kembali mendekati Visha. “Bagaimana, apa suami kamu mengizinkannya?” tanyanya, matanya penuh harap.Visha menggigit bibirnya, ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. “Iyah Bu, Mas Calvin sudah mengizinkan Visha untuk menginap di rumah Ibu,” jawabnya berbohong.“Ya sudah, ayok bantu Ibu membereskannya rumah ini?” Asih tersenyum, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Visha.Keduanya seharian membereskan ruma