"Hari ini, nggak usah masak siang! Kita makan di luar aja sekalian mengajakmu membeli gaun. Saya pikir kamu pasti nggak punya gaun cantik kan!" ujar Pak Adit memastikan. "Ada satu, Pak! Om Seno yang belikan kemarin." "Itu kan beda, saya ingin semua saya yang belikan. Sudah, nanti ikut saja! Saya berangkat dulu," ucap Pak Adit sambil menghidupkan mobil. Aku masuk ke dalam rumah, karena Pak Adit bilang tak masak. Aku pun mengerjakan hal yang lain. Ah, bagaimana kalo aku mencuci baju Pak Adit saja. Dengan bersenandung kecil, mencari pakaian kotor. Walaupun sudah kotor, Pakaian Pak Adit masih wangi. Aku mencium sekilas sebelum masuk ke mesin cuci. Seketika sadar, aduh apa yang barusan aku lakukan. Menciumi baju Pak Adit, sungguh memalukan kamu Ayu! Ingat dia itu Bos bukan suami kamu, batinku bicara. Siangnya, aku tiba di perusahaan. Begitu di depan meja sekretaris, menyuruhku langsung masuk ke dalam kantor. Aku pun mengetuk pintu dan terdengar seruan dari dalam. Begitu aku buka pint
Pak Gading melirikku lalu menoleh Pak Adit. "Siapa wanita ini?" tanyanya heran, Pak Gading tidak mengenalku karena penampilan baruku. "Kenalkan, dia Ayu, calon istriku! Eks manajer yang dulu Pak Gading pecat!" kata Pak Adit tersenyum. Mata Pak Gading membulat sempurna, terkejut. Tentu saja, aku lebih lagi saat Pak Adit mengaku aku calon istrinya. Entah apa maksud Pak Adit mengatakan itu, yang pasti Pak Gading sangat malu mengingat kejadian dulu itu. "Ayu?" katanya tak percaya. Aku mengulurkan tanganku dan berusaha tersenyum manis. "Iya, saya Ayu! Pak Gading masih ingat, kan!" Dengan kikuk Pak Gading mengangguk dan menjabat tanganku. Wajahnya menyiratkan seperti mimpi melihatku berubah dan kini diakui calon istri dari seorang Bos besar, Aditya Pratama Sulistyo. Dari ekor mataku terlihat Pak Adit sangat menikmati momen kejutan ini. Ah, ternyata Pak Adit pintar memainkan perannya. Aku berharap pengakuan Pak Adit itu benar, bukan saja hanya ingin membantuku menjatuhkan mental orang-
"Akhirnya, lepas juga dari dia!" kata Pak Adit sambil mengambil minuman yang disajikan pelayan. Pak Adit mengambilkan aku minum, aku menerima kemudian meneguknya sedikit. Mataku terus mengitari ruangan besar yang mulai padat tamu undangan. Saat tertuju pada pelaminan, aku tersedak. Pak Adit segera mengambil tisu dan mengelap bibirku yang ketumpahan minum. "Kamu nggak apa-apa 'kan, kok bisa tersedak?" "Pak, ini sebenarnya pesta pernikahan siapa?" tanyaku ingin kejelasan. "Anak perempuan Pak Bobby, anak buah saya. Kenapa, kamu kenal?" tanya Pak Adit heran. Aku menggeleng sambil menatap pelaminan. Menatap seseorang yang yang sedang bahagia menyalami para tamu. Seseorang yang lumayan tampan kini memakai baju pengantin. Dia adalah Mas Lucky, mantan suamiku. "Menantu Pak Bobby itu saya kenal, dia adalah Lucky Alamsyah anak buah saya. Asisten Pak Bobby dianak cabang perusahaan," jelas Pak Adit menerangkan. Jadi, ini pernikahan Mas Lucky dengan Maya yang dihadiri banyak Bos perusahaan.
Pak Adit segera mengejar ku sampai di parkiran mobil pun menjadi heran. "Tunggu Ayu! Kamu kenapa?" "Sebenarnya, apa tujuan Pak Adit mengatakan pada semua orang kalo Ayu calon istri Pak Adit?" tanyaku meminta kejelasan. "Bukankah, kamu ingin saya membantumu agar mereka nggak merendahkanmu lagi?" sergah Pak Adit merasa benar. Oh, jadi Pak Adit hanya membantu saja tanpa ada perasaan khusus padaku. Malangnya kamu Ayu, sudahlah mungkin aku bukan tipe Pak Adit. Wanita miskin sepertiku seharusnya bersyukur, Pak Adit masih mau menerima sebagai asisten. "Pak, kita pulang aja. Ayu capek!" kataku sambil masuk kedalam mobil. "Kamu nggak mau makan lagi? Kan tadi blom habis nasinya," Pak Adit membujuk agar masuk lagi. "Ayu udah kenyang, antar Ayu pulang aja Pak!" Pak Adit yang menggeleng pun terpaksa menuruti dan berjalan memutar, lalu membuka pintu mobil dan masuk. Pak Adit menoleh ke arahku sebelum menghidupkan mobil. Namun, aku memalingkan wajah dan memandang keluar jendela. Suara ramai
"Kalian ini apa-apaan, sih? Dari gedung sampai sini, itu aja yang kalian ucap. Apa salah kalo saudaraku miskin, toh kalian juga dulu miskin sebelum kenal denganku," hardik Om Seno marah. Makjleb, perkataan Om Seno barusan seperti membuat mereka berdua tertampar. Jadi, dulunya mereka juga miskin. Huh, dasar sombong! gerutu ku dalam hati. Aku masih penasaran dengan cerita yang sebenarnya. Tentang Om Seno dan keluarganya, benarkah Marissa itu cuma anak tiri Om Seno lalu seperti apa masa lalu anak istrinya itu sebelum kenal Om Seno. Aku harus bertanya pada Om Seno nanti. "Ayo, Mas! Kita pulang sekarang, aku udah ngantuk," ajak Tante Fitri sambil menguap. "Mbak, kami pulang dulu ya! Kapan-kapan nanti Seno kemari lagi," ucap Om Seno pamit. "Ya, hati-hati dijalan, No! Terima kasih udah ngajak Mbak ke pesta," jawab Ibu senyum dan melambai tangan. Kulihat Marissa hanya mencibir sinis dan Tante Fitri menutup kaca mobil dengan angkuh. Ibu lalu mengajakku masuk kerumah, kami barengan melepa
Setelah sehari merehatkan badan, aku masuk kerja kembali seperti biasa. Pukul enam pagi sudah tiba di kediaman Pak Adit. Jika biasa Pak Adit masih memakai piyama, kali ini sudah bersiap akan olahraga. Walaupun hati kecewa, tapi aku tetap bersikap biasa agar Pak Adit tidak curiga. "Pagi, Pak! Ayu akan menyiapkan pakaian dan sarapan," Aku menyapa Pak Adit yang berdiri di halaman rumah. "Ya, masuk aja! Saya akan olahraga sebentar," jawab Pak Adit sambil melakukan pemanasan. Gegas aku masuk ke dalam rumah dan naik ke lantai atas. Kamar Pak Adit sudah rapi, aku masuk ke ruang ganti pakaian. Saat menyiapkan pakaian kerja Pak Adit, aku melihat sebuah kotak kecil di meja aksesoris. Kotak apa itu? Dari bentuknya saja sudah mewah, sepertinya kotak cincin. Penasaran, aku pun membukanya. Kilau cahaya keluar saat kotak terbuka dan membuat mataku membulat. Benar, sebuah cincin dengan mata berlian mahal. Untuk siapa Pak Adit membeli cincin ini, apa ada wanita istimewa di hati Pak Adit? Wanita i
"Oh ya, Pak Adit kenapa nggak datang malah mengutus kamu calon istrinya?" tanya Pak Gading heran, mungkin hanya mengenalku sebagai calon istri Pak Adit. "Pak Adit nggak bisa datang karena ada rapat. Saya sebagai asisten Pak Adit sudah mendapat mandat dari beliau untuk membahas hal perusahaan dengan anda," jawabku tegas. Ya, aku harus bisa menunjukkan wibawa seorang asisten Bos besar. Pak Gading yang awalnya ragu kemudian menghela napas. Dia juga menyerahkan sebuah map, aku mencoba membaca dan mempelajari. Aku mengerinyitkan dahi. "Apa perusahaan anda sudah separah ini?" "Ya, karena itu saya meminta bantuan pada Pak Adit untuk memberi pinjaman modal sebesar sepuluh milyar," jawab Pak Gading tertunduk lesu. "Tapi, kami nggak bisa mempercayai anda begitu saja, Pak!" ujarku menolak. Kini saatnya aku membalikkan ucapannya padaku dulu. "Kenapa? Bukankah modal segitu gampang buat Pak Adit?" tanyanya heran. "Memang gampang, tapi kami nggak percaya begitu saja pada anda. Jadi, maaf kam
"Gimana hasilnya?" tanya Pak Adit setelah aku tiba di kantor. Senyumku mengembang dan duduk di sofa merebahkan tubuh. Pak Adit yang baru siap rapat juga sedang bersantai, lalu berjalan dan duduk di depanku. Aku pun menceritakan dari awal hingga akhir. Tidak tahu apakah Pak Adit menerima sikap dan keputusanku tersebut, karena beliau cuma mengangguk saja. Sambil berpangku kaki dan bersedekap tangan, Pak Adit merenung sejenak. "Apa Pak Adit setuju dengan negoisasi Ayu dengan Pak Gading?" tanyaku harap-harap cemas. "Walaupun seharusnya kamu nggak perlu menyamakan dengan kejadian dulu, tapi itu sudah bagus! Yang penting ada bukti untuk menyelesaikan masalah perusahaan Pak Gading. Saya yakin Pak Gading nggak perlu meminjam dari saya lagi," jawab Pak Adit percaya diri. Lega hatiku mendengar perkataan Pak Adit. Ya siapa tau setelah Pak Gading bisa menyelesaikan masalah, uang itu bisa kembali padanya lagi. Dengan begitu tidak merepotkan Pak Adit. "Kita tunggu saja kabar dari Pak Gading b