Share

3

"Satu lagi dek, aku ingin diperkenalkan dengan keluarga besar kita. Aku ingin mereka tahu jika Mas Satria memiliki istri lain,"

Deg

Seketika aku merasa takut, takut jika keluarga Bang Tama dengan suka rela menerima mbak Naraya. Apalagi sampai saat ini aku masih belum bisa memberikan penerus untuk Bang Tama.

"Bagaimana dek? Ini permintaan sederhana dariku," ujarnya sembari menggenggam tanganku. "Tolong jangan buat aku seperti istri simpanan," lanjutnya kemudian berlalu meninggalkanku seorang diri.

Istri simpanan? Bukankah selama ini statusnya memang hanya seorang istri simpanan? Lalu jika ia mampu bertahan sekian lama, mengapa sekarang ia menuntut status yang jelas? Apa lagi setelah ini?

"Sayang, kamu ngapain?" Pecah suara dari orang yang begitu aku kenal memecah lamunanku. "Eh adek nangis?" lanjutnya sembari menyeka air mataku.

Menangis? Bahkan aku tak merasa jika air mataku luruh. Apa yang aku tangisi? Nasibku yang di madu? Ah bukan, akulah yang menjadi madu. Atau aku menangis karena takut jika posisiku akan tergeser? Buat apa aku takut, jika sebenarnya posisi itu sedari awal bukan hanya milikku seorang.

"Sayang, ada apa? Katakan pada Abang," ujarnya sembari menatapku.

"Bang, benarkan jika pernikahan kalian tidak terdaftar dimata hukum?" tanyaku. Sekilas aku melihatnya terkejut, mungkin ia tak menyangka jika aku menanyakan hal ini padanya. Padahal dengan yakinnya tadi aku mengatakan jika akulah satu-satunya istri Bang Tama yang sah dimata hukum dan agama.

"Benar sayang, kami hanya menikah secara siri," sahutnya membuatku menghela nafas lega.

"Abang tahu jika istri pertama Abang memintaku untuk mengenalkannya pada keluarga besar kita?"

"Hah? Lalu?" responnya terkejut.

"Menurut Abang bagaimana?" tanyaku mencoba untuk meminta pendapatnya.

"Sayang, Abang tidak siap untuk ..."

"Pengecut!" makiku padanya membuat ia terkejut.

"Sayang,"

"Abang pengecut. Masalah ini berawal dari Abang, tapi apa? Abang tidak berani berterus terang, jika tiba-tiba mama kemari terus melihat Mbak Raya dan bertanya statusnya. Apa yang harus aku jawab? Jujur saja, untuk mengakui jika akulah istri keduamu itu sangat berat. Apalagi mengenalkan wanita lain sebagai istri pertama dari suamiku. Banyak ketakutan yang bercokol di hatiku Bang. Hingga saat ini kita belum memiliki anak, aku takut keluargamu justru mendukung hubungan kalian. Atau jika mereka tak menerima kehadiran istri pertamamu, bagaimana jika orang lain tahu akulah istri kedua, mau tidak mau akulah yang akan disebut pelakor. Apakah sebelum Bang Tama memutuskan untuk membawanya kemari telah memikirkan itu semua?" luahku pada lelaki yang kini diam mematung. Mungkin ia tak percaya jika istrinya ini mampu berkata seperti itu. Selama ini aku memang selalu diam menerima setiap keputusannya. Tapi kali ini, aku harus bisa menolak, walaupun percuma saja. Dia telah menikahi wanita lain sebelum menikahiku.

"Jadi Abang harus bagaimana?" tanyanya padaku. Nampak sekali jika ia tengah kalut.

"Kenalkan istrimu itu," sahutku mantap.

Sungguh, kali ini aku berperan sebagai wanita munafik. Mendorong suamiku untuk mengenalkan istri lainnya, namun dalam hati tidak ada keikhlasan sama sekali. Seolah-olah aku baik-baik saja, tapi rasanya sungguh hancur. Harus menerima status yang akan dianggap sebagai orang ketiga.

"Tapi dek, kamu tahu pastikan jika poligami di keluarga kita dilarang?" tanyanya terlihat ragu.

"Lantas apa Abang bisa mengubah fakta jika saat ini hal itulah yang terjadi? Atau Abang berencana untuk menceraikan salah satu diantara kami?" tantangku.

"Dek, jangan bicara begitu. Abang tak akan bisa hidup tanpa kamu sayang," ucapnya menghiba.

"Kalau begitu ceraikan mbak Naraya!' tagasku.

Kulihat dia terdiam. Aku yakin dia tak akan bisa melepas salah satu diantara kami. Bagaimanapun dia mencoba untuk mengelak, rasa cinta itu telah terbagi. Dan mengetahui fakta itu membuatku semakin merasakan sakit. Pernikahan yang awalnya ku kira akan baik-baik saja, akhirnya diterjang badai. Aku hanya berdoa dan berusaha untuk terus bertahan di dalam badai itu. Entah sampai kapan.

"Dek, Raya adalah amanah untukku," sahutnya kemudian setelah terdiam beberapa detik. "Jika Abang menceraikannya, itu artinya Abang mengingkari janji Abang pada almarhum ayahnya Raya."

"Baiklah jika begitu mari kita yang bercerai,"

"Sayang, Abang sangat mencintaimu. Bagaimana mungkin Abang melepaskan satu-satunya wanita yang Abang cintai Hem? Tolong jangan pernah meminta untuk berpisah dengan Abang," ucapnya lirih.

"Serakah. Abang ternyata serakah. Ah tidak hanya serakah tapi Abang juga pembohong. Cinta Abang bukan lagi hanya untukku, tapi untuk istri Abang yang lain juga." cecarku, muak sudah aku mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya itu.

Ting tong Ting tong

Ditengah perdebatan kami, bel rumah berbunyi nyaring. Astaghfirullah aku lupa jika aku telah mengundang mertua dan juga kedua kakakku serta ayah. Rencananya malam ini kami akan merayakan ulang tahunku pernikahanku dengan Bang Tama. Mama, telah memesan makan malam spesial untuk acara ini. Ya Allah, bagaimana ini?

"Assalamualaikum menantu kesayangan Mama," salam ceria terdengar begitu saja ketika aku masih berusaha untuk mencari solusi.

"Waalaikumsalam mama," sahutku seraya memaksa bibir ini untuk tersenyum semanis mungkin. Tapi nampaknya aku gagal, karena tanpa sengaja aku melihat kerutan di dahi kak Nando. Jika sudah begitu, aku yakin tak akan bisa menyembunyikan apapun dari Kakak sulungku itu.

"Lho ... Sudah sampai rumah rupanya kamu Tam," sapa Papa pada Bang Tama yang hanya diam mematung. Aku yakin ia sama bingungnya denganku saat ini.

"Iya pa, Alhamdulillah," sahutnya seraya tersenyum.

"Bagus dong Pak, jadi kita bisa merayakan hari bahagia anak-anak kita tanpa harus menunggu yang punya acara datang," sambut ayah dengan binar wajah yang ketara sekali jika beliau bahagia.

Oh Allah, apakah kebahagiaan ini tetap akan terasa jika mereka semua mengetahui fakta besar yang tengah berusaha kami sembunyikan?

"Sayang, ada apa?" tiba-tiba saja Kak Nando bertanya keadaanku. Mungkin dia heran melihatku yang biasanya akan langsung bermanja dengan ayah, kini hanya diam.

"Oh enggak kak, enggak apa-apa kok," sahutku sedikit terbata.

"Jangan bohong sayang, kakak perhatikan sedari tadi senyummu tak selepas biasanya. Ingat kamu mungkin bisa membohongi semua orang, tapi tidak dengan kakakmu ini." ucap Kak Nando membuatku takut. Aku tak ingin mereka mengetahui masalah kami secepat ini.

"Insyaallah semua baik-baik saja kak," sahutku pada akhirnya memilih untuk tetap menyembunyikan masalah kami.

Kak Nando hanya mengangguk, aku yakin jika ia tak percaya padaku. Tapi tak apa, setidaknya saat ini aku terhindar darinya. Sesaat kulihat Bang Tama yang masih tetap mempertahankan senyumnya walaupun sangat terlihat jia ia tengah gugup.

"Bang, boleh tolong bantu adek sebentar?" ujarku membuat fokusnya teralih padaku.

"Baiklah," sahutnya tanpa banyak tanya. Kemudian, ku ajak suamiku itu ke dapur. Sambil menyiapkan minuman dan sedikit cemilan, aku mengatakan tujuanku mengajaknya ke dapur.

"Abang, tolong katakan pada mbak Naraya untuk tetap berada di dalam kamar sampai acara kita selesai. Untuk malam ini saja, biarkan aku yang hanya menjadi istrimu. Hanya untuk malam ini, dan ini yang terakhir. Setelahnya aku akan mencari cara, bagaimana mengenalkannya pada keluarga kita," ujarku tanpa menoleh padanya.

"Sayang,"

"Kumohon Bang," pintaku lirih.

"Maaf sayang, jangan memohon begini. Akan Abang beri tahu Raya untuk tidak keluar kamar. Adek bisa bawa minuman ini sendiri?" tanyanya yang kujawab dengan anggukan saja. Semoga acara malam ini lancar.

Setelah mengatur degup jantungku agar normal kembali, aku melangkahkan kaki menuju ruang keluarga dimana semua tengah berkumpul. Melihat keluargaku bercanda ria, rasanya tak tega jika harus mengungkapkan kebenaran menyakitkan ini. Ya Allah bantu hambamu agar tetap kuat menjalani takdir yang telah engkau rancang untukku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status